Share

Bab 8 Menghadiri Pernikahan Mantan

Malam itu, Rayhan dan kedua orang tuanya terlibat pembicaraan serius. Sebenarnya malas bagi Rayhan untuk membahas ulang masalah pernikahan yang tak diinginkan itu.

"Acara pernikahan kalian akan digelar dua Minggu lagi, Ray. Kamu harus prepare! Papa nggak mau dengar alasan apapun lagi. Satu lagi papa tegaskan ke kamu. Jangan coba- coba kabur kalau kamu masih mau lihat papa hidup," ujar Adnan sebelum akhirnya masuk ke kamar. Sementara Inggid masih duduk bersama Rayhan sambil mengulum bibir bawahnya.

"Aarggh ...."Rayhan geram dan memukul sisi sofa.

"Ikuti aja maunya papa! Yakin kalau pilihan orang tua itu adalah pilihan yang terbaik buat kamu ,Ray."

"Kenapa sih harus ngancem-ngancem gitu? Memangnya ini zaman apa sehingga harus dijodohin kayak gini?" dadanya naik turun emosi Rayhan memuncak. namun, seberusaha mungkin ia kontrol.

"Rayhan ini bukannya nggak mau nikah, Ma. Rayhan cuma pengen nunggu seseorang. Seseorang yang udah lama Rayhan cinta." Sungut Rayhan.

"Kalau memang kamu punya pilihan lain, kenapa kamu nggak pernah bawa perempuan. Itu ke mari? Apa kamu pikir kami sebagai orang tua percaya begitu aja kalau kamu itu udah punya pacar, tanpa pernah kamu bawa kemari? Hmm?" tanya Inggit hati-hati. Wanita berlesung pipi itu selalu bicara dengan lemah lembut pada anaknya.

Sebenarnya Inggit juga ingin memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk menentukan pilihan. Namun, dirinya juga tak punya kuasa untuk menolak apa yang telah suaminya rencanakan. Selama ini Adnan selalu memperlakukannya dengan baik, memprioritaskan dan memberi yang terbaik untuk istri dan anak-anaknya. Inggit tahu suaminya itu selalu memikirkan matang-matang untuk semua keputusan yang ia ambil.

Rayhan mengangguk, "Berarti udah nggak ada lagi harapan buat mangkir dari keputusan Papa." Dengan raut kecewa Rayhan beranjak dari sofa dan menuju kamar. Baginya bicara dengan orang tuanya malah semakin membuat beban pikirannya menjadi-jadi.

Rayhan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Mengambil handphone dari dalam saku celana. Membuka media sosial dan mencari nama Anisa Hafni. Disana terpampang sebuah foto seorang wanita dengan gaya rambut yang pernah nge-trend di zamannya sekitar sepuluh tahun yang lalu. sedangkan postingan itu dibuat sekitar lima tahun lalu. Entah sudah berapa ratus pesan dikirim Rayhan untuk Anisa. Berharap pesan itu dibaca. Kenyataannya tak satu pun pesan itu dilihat apalagi dibalas.

Rayhan membalikkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Memejamkan mata dan menarik nafas dalam dalam. Sepertinya memang inilah takdir yang harus ia jalani. Rayhan pun berusaha memantapkan hati untuk mengikuti apa yang kedua orang tuanya mau.

"Anisa ..., Andai sekali aja kamu balas chat aku, udah pasti aku akan membatalkan pernikahan ini dan mengatakan pada mereka semua kalau kamu telah kembali. Kita akan hidup sama sama," gumam Rayhan. Hingga matanya terasa berat. Tak menunggu waktu lama matanya mulai terpejam.

***

"Kamu kalau nggak kuat, nggak usah datang, Na!" Ucap Nining kepada anak perempuannya yang masih mematut diri di depan cermin.

"Memangnya kalau Hana nggak kesana apa nggak akan jadi masalah, Bu? Semua yang ada di sana pasti menyangka Hana belum move on dan nggak bahagia atas pernikahan sepupu Hana sendiri, Bu," jelas Hana.

"Memang kenyataannya seperti itu, kan? Hana, kamu nggak bisa nutupi itu dari ibu mu ini. Ibu yang melahirkan kamu, tentu ibu tahu apa yang ada di hati dan pikiran kamu," pungkas sang ibu.

Sementara Hana terdiam mendengar apa yang diucapkan Nining. Semua itu benar, Hana memang masih memiliki rasa pada Ridwan. Padahal, sudah dengan bersusah payah ia menahan rasa ini. Kehadirannya di acara pernikahan Rina dan Ridwan hanya untuk memberi tahu kepada orang-orang bahwa dirinya sudah baik-baik saja. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya. Ia masih begitu hancur dan puing puing itu sudah melebur entah kemana. Entah bagaimana nanti dirinya akan memberi ucapan selamat pada Ridwan dan Rina.

"Kalau nggak kuat, nggak usah datang, Na. Kamu di rumah aja! Lagian disana juga udah rame. Ibu khawatir kamu ...," kata-katanya terhenti saat Hana langsung memotong ucapan ibunya.

"Buk, Hana juga udah mau nikah. Masak ia Hana nggak datang ke acara spesial Rina. Nanti apa kata dunia kalau Hana nggak datang, Bu? Ibu tenang aja ya! Hana baik-baik aja kok." Hana pun meraih handphonenya dan mengajak ibunya untuk bersama-sama pergi ke rumah Obed.

Keduanya berjalan berdampingan hingga sampai di pelataran rumah Obed. Disana sudah ada pelaminan besar dengan nuansa putih biru, ada juga para sepupu yang berpakaian sama. Mereka semua adalah bridesmaids sang pengantin. Hanya Hana saja yang tak diminta untuk itu.

Semua mata tertuju pada kedatangan Hana. Ada yang menatapnya dengan haru, kasihan dan ada juga yang menatapnya dengan tatapan menghina. Padahal mereka yang menjadi bridesmaids itu adalah sepupu Hana juga. Nining langsung berjalan terus ke dapur,sedangkan Hana mendekat ke arah mereka, berusaha bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa.

"Hana, lama banget kamu datang? Aku pikir kamu nggak datang, Na!" ucap Dina, sepupu sekaligus sahabat Hana dari kecil sampai sekarang. Hana mengulas senyum dan langsung ikut duduk bersama gadis-gadis itu.

Beberapa Menik kemudian, pengantin keluar dengan menggunakan pakaian adat Jawa. Semua mata tertuju pada sepasang pengantin itu. mereka saling berbisik membicarakan keserasian pengantin itu. Semua sibuk mengabadikan momen itu.

Sementara Hana, matanya memanas melihat pemandangan itu. Seberusaha mungkin untuk tidak menitikkan air mata. Namun tampak jelas sekali matanya berkaca kaca. Dina yang menyadari hal itu, langsung membawa pergi Hana dari sana. Ia tak ingin Hana merasa dipermalukan lagi karena Hana tak bisa menahan air matanya agar tidak tumpah.

"Kamu nggak usah kesana lagi ya , Han! Aku tau kamu pasti sedih banget lihat itu kan? Aku temani kamu ya!" Keduanya sudah sampai di dalam rumah Hana.

Hana tak lagi bisa menahan air matanya. Ia merasakan sesak di dalam dadanya kala mengingat Rina yang dengan bahagianya menggandeng tangan suaminya untuk sampai ke pelaminan. Sungguh itu membuat Hana sesak dan sakit di dalam sini, hati.

"Han, kamu harus move on! Ridwan bukan yang terbaik buat kamu. Insha Allah, Allah udah nyiapin yang terbaik buat kamu. Kamu nggak pantas ingat-ingat dia lagi. Dia udah jadi suami orang, Han. Kamu cantik dan aku yakin kalau sudah tiba waktunya kamu juga akan di kamar oleh lelaki yang tepat," ujar Dina menyemangati. Ia belum tahu bahwa sahabatnya itu juga akan menikah dalam waktu dekat ini.

"Nggak tau kenapa masih sakit aja di dalam sini."

"Tari nafas dalam dalam terus keluarkan perlahan! Ayo ikutin aku!" Dina meminta Hana untuk mengikutinya, bukan tanpa sebab. Ini berguna untuk meringankan sesak di dadanya.

Setelah melakukan berkali kali,Hana pun merasa lebih lega dan plong.

"Makasih ya, Din. Udah selalu ada buat aku," ucap Hana yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Dina pun tersenyum.

"Din, sebenarnya Minggu depan aku juga akan menikah."

" Apa ...," jawab Dina antusias.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status