"Bangun!!" bentak seorang lelaki dengan wajah yang tertutup topeng. Suaranya menggelegar dengan segala kekejaman yang ia perlihatkan. Byurr!! Lelaki itu dengan tega menyiram Irana dengan satu ember air. Air dingin itu seolah olah menyuruh Irana untuk tersadar. Irana yang semula tertidur dalam pengaruh obat kini terbangun dengan wajah yang pucat pasi. Irana bahkan basah kuyup dengan tubuh yang bergetar. Dia menatap lelaki di depannya dengan gusar. "I-itu hanya mimpi?" tanya Irana kepada dirinya sendiri."Akhirnya kita bertemu lagi Irana," ucap lelaki bertopeng itu. Sorot matanya tajam seolah mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai keberadaan Irana. Irana yang belum mendapatkan semua kesadarannya itu menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mencoba mengenali siapa yang ada dibalik topeng itu dan apa ini? Irana sedang berada di mana? Irana melihat ke semua arah. Diperhatikanlah semua barang-barang yang ada di ruangan itu dengan seksama. Irana mencoba mengenali tempat ini. Tapi sekeras a
Rasa sakit kian merajalela. Rasa takut pun berhasil membuat mentalnya down. Hampir saja Irana menyerah, namun saat ia menatap perutnya yang saat ini telah berisi, seketika Irana ingin bangkit. Hatinya sudah bulat untuk melawan semua kedzaliman yang sedang dia rasakan. Irana mengamati postur lelaki itu. Diperhatikan dengan teliti setiap incinya. Irana yakin tidak salah orang. Berdasarkan ciri dan suara laki-laki itu Irana semakin yakin orang yang saat ini di depannya itu memang seorang lelaki yang selama ini menghancurkan kehidupan dan masa depannya. "Ri-rio." Irana menyebut nama lelaki itu dengan suara yang bergetar.Rio yang saat itu mendengar panggilan Irana dengan licik tersenyum tipis. Bibirnya tersenyum pahit seraya membuka topeng yang ia pakai. "Kau sudah mengenaliku gadis manis?""Bagaimana aku bisa lupa dengan suara orang yang membuatku sengsara?" jawab Irana dengan terus mencoba menetralkan suaranya. "Hahaha kamu terlalu munafik Irana. Bagaimana? Apa sekarang anak itu sud
Deg! Deg!! Deg!! Detakan jantung Irana berpacu di atas rata-rata. Dia begitu terkejut dengan suara Rio yang cukup menggelegar itu. Tidak ada jalan lain untuk Irana selain melarikan diri. Terus berada dalam kurungan Rio tentu secara otomatis menyiksa dirinya sendiri. Irana berlari tanpa henti, di dalam ketakutannya gadis itu terus memacu kecepatannya. Irana keluar dari ruangan terkutuk itu, meski beberapa kali lelaki biadab itu mengejar dan berteriak untuk membuatnya berhenti, Irana tidak akan pernah menyerah. "Tuhan," lirih Irana. Tetap Tuhan yang maha kuasa yang selalu gadis itu sebutkan. Sebuah pintu keluar telah terlihat di depan mata. Irana yang menyadari Rio semakin dekat dengannya itu segera menambah kecepatannya. Walaupun rasa sakit menyerang perutnya, gadis yang sedang hamil muda itu terlihat gigih untuk lolos dari kejaran seorang lelaki bernama Rio. "Berhenti Irana!" Teriak Rio. Brugh! Brugh!! Suara pukulan terdengar memekakak telinga. Lelaki kejam itu saat ini denga
"Jadi seperti itu ceritanya? Nona kau begitu kuat bisa bertahan sejauh ini," ujar lelaki itu dengan kagum. Irana meringis dalam diam. Dia tersenyum getir seraya menetralkan napasnya. "Kita ke rumah sakit dahulu Nona. Kau butuh penanganan medis!" ujarnya. Irana tidak menggubris ucapan lelaki itu. Entahlah di pikirannya hanya ada satu. Ia ingin mengetahui kabar Gibran. Di rumah sakit. Irana mendapat penanganan dengan baik. Orang yang mengenal Irana dengan cepat membersihkan luka dan mengobati Irana. Sedangkan lelaki itu menunggu di luar ruangan sembari sibuk dengan telpon genggamnya. "Nona istirahatlah. Jika anda perlu sesuatu panggil kami," ujar perawat itu dengan bijak. Irana mengangguk. "Terima kasih," ujarnya dengan lemah. Perawat itupun tersenyum manis, beberapa detik kemudian ia pergi meninggalkan Irana di dalam ruangan yang paling terbaik ini. ****"Di mana? Di mana Dia Johan!" teriak seseorang yang berada di ruangan Irana itu. Lelaki misterius yang dipanggil Johan itu
Plak! Sebuah tamparan yang begitu menyakitkan di dapatkan Irana dari ibunya sendiri. Tamparan itu begitu keras hingga membuat pipinya begitu perih. "Dasar anak durhaka! Anak tidak tau diuntung! Bosan aku mengingatkanmu Irana!" seru bu Nina dengan amarah yang bergejolak dihatinya. Irana hanya bisa terdiam, ia tidak berani mengatakan apapun. Air mata yang sudah diujung matanya ia tahan agar tidak jatuh di hadapan ibunya. Irana memegang pipinya beberapa detik kemudian ia mencoba bangkit untuk berdiri setelah sebelumnya ia tersungkur akibat tamparan dari ibunya. "Irana hanya ingin bahagia dengan cara Irana sendiri Bu. Tolong jangan halangi aku untuk hidup bahagia bersama Rio." Dingin dan tanpa ekspresi Irana mengatakan hal itu kepada ibunya sendiri. Bu Nina tentu merasa kesal, anak semata wayangna kini sudah melanggar prinsip yang sudah ia ajarkan sejak kecil. "Apakah kebahagianmu adalah mengandung sebelum menikah Irana Putri Nabella?! Apa kebahagiaanmu hanya sebatas menikah dengan
Irana menelan ludahnya sendiri, ia bahkan membiarkan Rio menyentuh pahanya yang terekspos jelas. "Ri-rio apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Irana dengan suara yang sedikit menahan tangis. Ia sebenarnya tidak suka saat Rio menyentuhnya dengan bebas dimanapun yang ia sukai. "Sebentar lagi Sayang, mungkin lima menit lagi."Irana membuang napasnya dengan kasar lalu ia menyenderkan tubuhnya dengan santai ke kursi tempatnya duduk. "Aku lelah, entahlah sungguh aku ingin segera tidur," ucapnya dengan lemas. "Kamu tidak seperti biasanya hari ini, apa kamu sakit Irana?" Di dasari kecurigaan yang begitu tajam membuat Rio begitu penasaran dengan keadaan Irana saat ini. Rio memutar arah laju mobilnya dan tentunya Irana menyadari hal itu. "Rio mengapa kita putar balik? Bukankah kamu bilang sebentar lagi kita akan sampai di apartemenmu?"Rio dengan lugas menjawab "Kita ke rumah sakit dulu, aku takut kesehatanmu terganggu."Irana begitu resah, ia tidak mungkin harus jujur sekarang perihal k
Sontak dengan cepat Rio memeluk Irana. Darah yang mengalir dengan luka yang ada di kening, leher dan pergelangan tangannya membuat Rio cemas. "Shit! Apa yang kamu lakukan Irana!" bentak Rio. Irana sudah tidak sadarkan diri, dan tentunya hal itu membuat Rio semakin khawatir."Dasar gadis bodoh!" umpat Rio dibalik kecemasannya yang luar biasa. Rio tanpa berlama-lama langsung mengangkat tubuh Irana yang terkurai lemas di lantai kamar mandi. Buru-buru Rio membawa Irana ke dalam mobilnya. "Ya Tuhan, Irana ada apa dengan dirimu?" tanya Rio kepada gadis di sampingnya. Dia mengelus rambut Irana dengan tangan yang bergetar karena khawatir. Di rumah sakit. Pihak rumah sakit menangani Irana dengan cepat. Apalagi mereka mengetahui bahwa Rio adalah salah satu pemegang saham rumah sakit ini. Rio duduk di depan ruangan UGD dengan cemas. Ia merapatkan kedua tangannya menanti kabar Irana. Pemeriksaan pun sudah dilakukan, Irana sudah ditangani dengan baik dan Rio sudah di berikan izin untuk men
Sudah dua hari Irana dirawat di rumah sakit. Namun Rio tak kunjung datang menjenguknya lagi. Irana semakin waswas dengan perkataan terakhir Rio perihal ibunya. Irana pun sangat menyesal tidak mendengarkan perkataan ibunya, dan kini ia merasakan akibatnya. "Ibu, maafkan Irana Bu," Irana memejamkan matanya seraya terus memanggil ibunya. Gibran, dokter yang menangani Irana tentu merasa iba. Dia adalah orang yang tampan nan pengertian dan menurutnya perbuatan Rio sangatlah buruk. Gibran yang semula berdiri di ujung pintu segera mendekat ke arah ranjang Irana. "Irana bagaimana kabarmu? Apa ada keluhan untuk hari ini?" tanya Gibran dengan ramah. Irana menggelengkan kepalanya lalu membuka matanya "Tidak ada keluhan apapun Dokter. Yang sakit itu bukan ragaku tapi hatiku," ujar Irana.Girban terkesima mendengar jawaban Irana. Dia menangkap sesuatu dari apa yang diucapkan Irana. "Apa aku bisa membantumu? Mungkin aku bisa meringankan bebanmu Irana," ujar Gibran. Irana melirik dokter itu.