Share

Bab 2. Bakti Pada Mertua?

“Ada apa sih?” Nur muncul dari arah belakang, melihat kedua anaknya tampak berdebat. Perhatian Nur teralih pada Farhan yang masih memegangi kopernya. “Farhan? Kamu baru sampai?” tanya Nur, tersenyum melihat anak keduanya yang akhirnya kembali. Farhan langsung mendekat pada Nur, lalu mencium tangannya. “Baru aja, Bu,” jawabnya singkat.

“Baru pulang kenapa langsung berdebat sama adikmu sih?” tanya Nur, heran melihat keadaan sebelumnya.

“Siapa yang berdebat sih, Bu? Aku cuma negur Farida aja, soalnya dia gak nyuci baju sendiri. Malah dicuciin sama Mbak Alisha,” jelas Farhan.

Nur menghela nafas panjang sebelum mencoba meredakan situasi tersebut.

“Farhan, menurut ibu masalah itu tidak perlu dibesar-besarkan. Lagian, kan wajar kalau Alisha bantu kerjaan di rumah,” jelas Nur.

Farhan menggelengkan kepalanya. “Tapi gak harus semua kerjaan dilimpahkan ke Mbak Alisha.”

“Itu cuma bentu bakti sama mertua. Dulu ibu juga selalu bantu-bantu waktu tinggal di rumah kakek sama nenek kamu,” ucap Nur tak ingin disalahlan.

“Ibu juga punya anak perempuan, coba bayangin kalau nanti Farida sudah lulus kuliah, terus menikah, ikut mertua, apa ibu rela anak ibu diperlakukan seperti pembantu?” tanya Farhan.

Nur tercekat seolah merenungi ucapan Farhan. Farida merasa kesal, “Mas apa-apaan sih? Kenapa jadi bawa-bawa aku? Lagian kalau aku nikah nanti, aku gak mau ikut mertua, aku mau terus tinggal sama ibu,” ujarnya dengan nada yang agak keras. Dengan ekspresi masih terlihat kesal, Farida langsung masuk ke dalam kamar, pintunya ditutup dengan keras. Farhan hanya bisa menghela napas berat.

Nur menatap Farhan dengan tatapan lembut namun penuh kekecewaan. “Baru pulang sudah bertengkar sama adikmu,” ucapnya dengan suara pelan.

“Bukan bertengkar, Bu. Tapi Farida yang ngambek,” Farhan membela diri.

“Tapi kamu yang bikin dia ngambek,” kata Nur menyudutkan.

“Aku kan cuma negur Farida, Bu. Ibu juga sebaiknya gak terlalu manjain dia,” ujar Farhan.

Farhan lalu menyeret kopernya menuju kamar dengan langkah yang berat. Nur menghela napas lagi, lalu melangkah keluar dari ruang tamu dengan ekspresi yang lesu.

Di halaman depan, Nur melihat Alisha baru saja selesai menjemur pakaian. Ekspresi lembut terpancar dari wajahnya saat dia menyapa Alisha.

“Alisha, tadi sebenarnya kamu cerita apa sama Farhan? Kenapa dia sampai marahin adiknya?” tanya Nur, mencoba mencari tahu penyebab konflik yang terjadi.

Alisha terkejut mendengar pertanyaan itu. “Aku gak cerita apa-apa sama Farhan, Bu,” jawabnya dengan polos.

“Benar kamu gak cerita apa-apa?” Nur memastikan, kedua matanya terlihat ragu. “Apa selama ini kamu merasa diperlakukan seperti pembantu? Kamu gak ikhlas bantu-bantu kerjaan di rumah?” tambahnya dengan lembut, namun kata-katanya membuat Alisha merasa tertekan.

“Ibu kenapa nanya gitu? Aku ikhlas bantu kok,” jawab Alisha dengan suara yang sedikit gemetar.

“Baguslah kalau begitu, memang sudah seharusnya menantu yang baik itu gak cuma berbakti sama suami, tapi juga sama keluarga,” kata Nur dengan tegas.

Alisha terdiam, termenung sedih mendengar ucapan Nur. Namun, dia hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

“Kamu sudah selesai jemur bajunya kan? Tolong kamu gosok lantai kamar mandi, ya. Tadi agak licin, ibu kan udah tua, bahaya kalau sampai ibu jatuh di kamar mandi,” perintah Nur dengan suara yang penuh perhatian.

“Iya, Bu,” jawab Alisha dengan suara yang lemah.

Nur masuk ke dalam, meninggalkan Alisha yang terdiam sedih di halaman belakang.

***

Farhan keluar dari kamarnya setelah berganti baju dengan kaos lengan pendek dan celana santai. Tatapannya tertuju pada buku kesehatan ibu dan anak yang terletak di atas meja.

Dia meraih buku tersebut dan melihat nama yang tertera di atasnya: 'Alisha Listiani'. Sebuah senyum mengembang di wajah Farhan saat menyadari makna dari temuannya itu.

“Mbak Alisha hamil?” gumamnya pelan dalam hati. “Sebentar lagi aku punya ponakan,” tambahnya dengan senyum.

Farhan melangkah menuju kamar mandi, berencana untuk membersihkan diri setelah perjalanan panjangnya. Namun, saat hendak masuk, ia terkejut melihat Alisha yang sedang sibuk menggosok lantai kamar mandi.

“Mbak? Kamu ngapain?” tanya Farhan dengan ekspresi heran.

Alisha tersenyum ramah, “Kamu mau mandi? Sebentar ya, mbak hampir selesai kok nyikatnya,” jawabnya sambil membenahi posisi hijab yang agak melorot.

Farhan menggelengkan kepalanya, “Nggak, maksud aku, mbak ngapain nyikat lantai kamar mandi? Tadi sudah nyuci baju banyak banget, sekarang masih bersihin kamar mandi? Harusnya mbak gak boleh terlalu capek, kan lagi hamil muda.”

“Kamu itu tau apa, Farhan?” tiba-tiba Nur muncul dari arah belakang Farhan, membuat keduanya menoleh ke arah ibunya.

“Justru kalau ibunya aktif, bayinya juga lebih sehat,” kata Nur dengan suara yang penuh keyakinan.

“Bu, ibu yang hamil muda justru rawan,” ucap Farhan, mencoba menjelaskan kekhawatirannya.

Nur segera menyela, “Siapa yang bilang? Ibu yang lebih berpengalaman, sudah tiga kali hamil, selama hamil, ibu selalu aktif, buktinya ibu sama anak-anak ibu sehat semua. Lahiran juga lancar,” katanya dengan keyakinan yang kuat.

Farhan menghela napas, merasa tidak bisa mendebat ibunya. “Tapi aku tetap gak tega kalau liat perempuan hamil malah kerja keras kayak gini,” tambahnya sambil merebut sikat yang sebelumnya digunakan untuk menyikat lantai kamar mandi, “Biar aku saja, mbak Alisha istirahat sana.”

“Biar mbak—” Alisha belum selesai bicara, tapi Farhan segera memotong, “Gak apa-apa biar aku aja, Mbak,” ujarnya dengan lembut.

Alisha akhirnya bangkit, merasa bersyukur masih ada orang yang pengertian di rumah ini. Nur hanya bisa geleng kepala melihat tingkah Farhan, “Laki-laki harusnya gak ngerjain pekerjaan rumah, Farhan,” kata Nur dengan nada yang sedikit menegur.

Farhan menghela napas panjang, lalu menoleh pada Ibunya, “Kalau begitu, ibu suruh Farida saja gosok lantai kamar mandi,” usulnya dengan nada agak frustasi.

Nur terkejut dan menggeleng, “Dia gak bisa,” sahutnya dengan cepat.

“Ibu manjain Farida terus sih,” protes Farhan lalu fokus menggosok lantai kamar mandi, merasa tidak adil dengan perlakuan Nur selama ini.

Alisha masih berdiri di dekat pintu kamar mandi dengan wajah tidak enak hati. Menyadari Alisha masih terdiam, Farhan menoleh pada kakak iparnya. “Mbak, kok masih berdiri di situ? Istirahat saja,” ujarnya dengan lembut.

Alisha akhirnya mengangguk, “Kalau gitu, mbak ke kamar dulu,” katanya. Setelah itu, Alisha menunduk pada Nur, “Permisi bu,” ucapnya dengan sopan.

Nur hanya mengangguk sebagai jawaban, memberikan izin kepada Alisha untuk pergi ke kamar dan beristirahat.

Alisha berjalan menuju kamar dengan langkah berat karena kelelahan, namun di tengah jalan, dia berpapasan dengan Farida yang baru keluar dari kamarnya. Farida langsung menatap Alisha dengan sinis, “Aku tahu dari dulu mbak Alisha memang gak suka sama aku,” tegas Farida.

Alisha kaget, “Kamu kenapa bisa ngomong kayak gitu, Farida?”

“Buktinya tadi, mbak jelek-jelekin aku di depan Mas Farhan kan? Sampai Mas Farhan marah sama aku,” lanjut Farida dengan nada menuduh.

“Mbak gak pernah jelek-jelekin kamu, apalagi sama Farhan,” ucap Alisha dengan suara lembut.

“Gak usah ngeles lagi, Mbak. Aku udah tahu semuanya, kok,” sahut Farida sinis.

“Memangnya apa yang kamu tahu?” tanya Alisha dengan ekspresi tak habis pikir.

“Kamu gak suka sama aku, karena selama ini aku gak pernah cuci baju kan? Perkara aku nitip beberapa potong baju buat dicuciin aja, mbak sampai segitunya ngaduin aku ke Mas Farhan,” kata Farida dengan penuh kekecewaan, “Padahal mbak sendiri di sini cuma numpang! Mbak juga makan dari uang Mas Faisal kan? Masa mbak maunya cuma santai-santai tiap hari, tanpa kasih kontribusi?” lanjutnya dengan nada menyalahkan.

“Ribut banget? Sampai kedengaran dari luar. Ada apa sih?” tanya Faisal heran saat baru pulang kerja dan mendapati suasana yang tegang di dalam rumah.

Farida langsung mengadu, “Kamu ajarin istri kamu ini, Mas, biar dia gak suka adu domba.”

Faisal dan Alisha sama-sama kaget mendengar ucapan Farida.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status