Share

Kehilangan jejak

“Halo, Mbak Silvia. Kok malah melamun?” tanya Dokter itu setelah melihat Silvia yang bengong menatap jalanan.

Silvia menoleh ke arah suara yang memanggilnya.

“Eh iya. Maaf, Mas. Eh Dokter. Iya, Maksudku Mas Dokter. Gak usah ke rumah sakit. Lukanya tidak begitu parah kok. Terima kasih atas tawarannya.”

Wanita yang datang bersama Dokter itu, yang dikenalkannya bernama Rani itu menyela pembicaraan mereka. Dia terlihat tidak senang melihat Silvia dan Laki-laki tampan itu bicara berdua.

“Jika lukanya tidak parah gak usah dibawa ke rumah sakit, Dana. Lagian dia juga menolak kan? Kasih uang saja buat pengobatan dia, Dan,” ucap wanita itu dengan nada yang lembut.

Nada suaranya memang lembut, dan bicaranya juga kepada Dokter Dana, tapi kata-katanya sangat merendahkan Silvia, kerlingan matanya juga mengarah ke Silvia. Silvia sangat sadar kalau kata-katanya bertujuan merendahkannya. Maka dari itu dia menjawab lawan bicaranya dengan gaya yang elegan tapi mematikan pula.

“Tidak perlu, Mbak Rani. Tidak semua harus dibayar dengan uang. Lagi pula saya juga tidak minta ganti rugi kok. Ini cuma luka kecil saja.”

“Lalu, jika kamu tidak mau dibayar dengan uang, kamu mau dibayar dengan apa?”

Silvia tidak menyangka wanita cantik yang terlihat ramah dan baik ini ternyata bisa mengeluarkan kata-kata yang kasar. Dia merendahkan orang lain dengan sangat mudah. Dia tidak menyangka orang yang terlihat baik itu ternyata sangat sombong.

Dokter Dana menyadari suasana panas yang sedang terjadi. Dia melihat dengan mata bulat ke arah wanita yang bernama Rani itu. Sementara badannya menghadap langsung ke arahnya.

Melihat tatapan marah dari Dokter itu, Rani tidak berani lagi berdebat dengan Silvia. Dia menundukkan pandangannya.

Setelah suasana kembali dingin, Dokter Dana kembali bicara.

“Mbak Silvia. Tolong ikutlah bersama saya ke rumah sakit. Saya hanya ingin bertanggung jawab atas kelalaian saya. Luka di kaki Mbak Silvia memang terlihat seperti luka ringan, tapi jika tidak segera diobati, akan membengkak. Lebih baik segera diobati.”

Mendengar penjelasan Dokter Dana itu Silvia jadi agak takut juga kakinya nanti akan membengkak. Lagi pula rencananya untuk membuntuti suaminya juga sudah pasti gagal. Dia tidak tahu harus mencari jejaknya ke mana.

“Baiklah, Dokter. Saya ikut ke rumah sakit dengan Dokter dan Mbak Rani.

“Ok. Kalau begitu, kalian berdua tunggu di sini. Saya akan mengambil mobil dulu di parkiran.

Tidak berapa lama, sebuah kendaraan roda empat, berhenti di pinggir tempat Silvia berdiri. Sedangkan di bangku belakang ada Kaila yang sedang memangilnya. “Ayo Tante tantik, cini duduk cama Tila.” (Ayo Tante cantik, sini duduk sama Kaila). Merasa tidak enak menolak kebaikan anak kecil nan imut itu, akhirnya Silvia masuk dan duduk di samping Kaila. Sedangkan wanita yang bernama Rani itu duduk di samping Dokter Dana.

Sebelum ke rumah sakit, Dokter Dana mengantar wanita bernama Rani itu ke sebuah hunian elite.

“Kenapa kamu mengantarku pulang, Dana? Bukankah kita mau mencari sekolah untuk Kaila? Di sekolah yang tadi kan belum diisi formulirnya.”

Wanita itu tidak terima diantar pulang ke rumahnya. Dia tidak ingin membiarkan laki-laki itu berdekatan dengan perempuan lain.

“Saya akan mencarinya sendiri nanti, Ran. Terima kasih banyak karena hari ini kamu sudah menemaniku mencari sekolah untuk Kaila. Sekarang aku mau ke rumah sakit dulu. Nanti kita bicara lagi. Ok?

Gadis itu sangat tidak terima, sehingga dia turun dengan wajah yang kusut. Dia membanting pintu mobil dengan keras.

Dokter Dana menyadari kemarahan yang sedang ditunjukkan Rani. Tapi dia tidak peduli. Yang ada dia malah curiga anak yang dia sayangi hampir celaka karena ada campur tangan dia. Hanya saja dia tidak punya bukti yang kuat untuk menuduh wanita itu. Tapi dia sangat paham bagaimana watak asli perempuan itu. Dia bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Di balik kecantikannya tersimpan sebuah kebusukan.

Sebelum Dokter itu memutar arah mobilnya, dia meminta Silvia untuk duduk di bangku depan.

“ Mbak Silvia. Tolong pindah ke bangku depan. Saya tidak mau nanti dianggap sebagai sopir Mbak.”

Silvia terkekeh mendengar kata-kata Dokter itu.

“ada-ada saja Mas Dokter ini, Tapi Kaila tidur Mas Dok. Nanti kalau saya bawa turun takutnya malah terbangun,” ucapnya.

“Tidurkan saja Kaila di situ.”

Silvia menurunkan Kaila secara perlahan agar tidak terbangun.

Setelah Silvia pindah ke kursi depan, Dokter itu menyerahkan sebuah kotak berwarna putih. Dia mengambil sarung tangan dan memakainya. Kemudian dia mengeluarkan alkohol dari dalam kotak itu. Lalu menuangkan beberapa tetes ke secarik kapas, kemudian dengan hati-hati dia membersihkan luka di kaki Silvia. Setelah itu dia meneteskan beberapa tetes Betadine kelukanya. Lalu membalutnya dengan perban.

“Karena kaki saya sudah diobati? Kita tidak perlu lagi ke rumah sakit kan Mas Dok?”

“Ada dua hal yang perlu kamu lakukan “

“Apa itu, Mas Dok?”

Silvia mendengarkan dengan sangat serius tentang dua hal yang akan dia lakukan nantinya.

“Pertama kita tetap akan ke rumah sakit.”

Kan kaki saya sudah di kasih obat dan sudah diperban, Mas Dok.”

“Itu hanya pertolongan pertama. Kita harus tetap ke rumah sakit untuk mengambil beberapa obat yang di perlukan.”

“Ok, Mas Dok. Terus yang ke dua apa, Mas Dok?”

“Yang kedua, kamu berhenti menyebut saya dengan sebutan Mas Dok. Karena saya tidak suka panggilan itu. Cukup panggil Mas saja, atau Dana juga boleh.”

Silvia tertawa mendengarnya.

“Jadi yang kedua tidak boleh panggil Mas Dok? Ok, Mas. Aku panggil Mas saja boleh, Mas Dok?

“Iya, boleh. Sekarang kita ke rumah sakit.”

Dokter itu memutar kembali arah mobilnya menuju rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status