Share

Stop! Berhenti di situ

Perjalanan ke rumah sakit tidak membutuhkan waktu lama. Begitu tiba di rumah sakit swasta itu, Dokter Dana segera memarkir mobilnya.

Di tempat parkir yang sama Silvia melihat sebuah mobil yang sangat dikenalnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia ingat pesan yang dikirim seseorang bernama Udin kepada suaminya untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Untung saja tadi dia mau ikut ke rumah sakit ini. Karena jika tidak, dia tidak akan bertemu dengan suaminya yang dia curigai berselingkuh itu.

Dia melihat Pazel keluar dari mobil. Dia berjalan menuju pintu yang satunya lagi. Dia membukakan pintu untuk orang itu. Lalu dia menggandeng seorang wanita cantik yang seksi dengan mesra.

Ternyata benar dugaannya. Pesan dari orang bernama Udin itu adalah seorang perempuan. Mereka tidak melihat Silvia yang masih berada di dalam mobil Dokter Dana. Mereka berjalan bergandengan di depan mata kepala Silvia.

Air matanya tumpah tanpa bisa dibendung. Dadanya terasa sesak karena tekanan emosi yang bergejolak.

Laki-laki yang ia harapkan akan menjadi pendampingnya sampai maut memisahkan ternyata bermain api di belakangnya. Sungguh pedih rasa hati yang ia rasakan saat ini. Air matanya tak kuasa ia bendung. Dia sudah berusaha menahan sesak didadanya sampai ia menutup mulutnya dengan tangannya.

Dokter Dana yang melihat Silvia seperti itu merasa kasihan, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia melihat Silvia dan orang yang sedang ditatap Silvia secara bergantian. Hal yang bisa dia lakukan adalah memberikan kotak tisu.

“Apa Mbak Silvia mengenal mereka?”

Pertanyaan itu ia utarakan setelah tangisnya mulai mereda. Bukan menjawab, tapi tangisnya semakin menjadi. Terpaksa dia harus bersabar menunggu air matanya mereda.

Disisi lain, Pazel sedang berada di ruangan Dokter Kandungan. Dia sedang harap-harap cemas menanti hasil pemeriksaan urin yang baru dilakukan Rima kekasih gelapnya.

“Bagaimana Dok? Apa saya benar-benar hamil?” pertanyaan itu ditanyakan oleh Rima, kekasih gelapnya.

“Selamat, Buk. Usia kandungan anda sudah memasuki minggu ke empat. Tolong dijaga kandungannya, Buk. Untuk sementara tidak boleh banyak pikiran dulu, dan tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat.”

“Terima kasih, Dokter,” ucap Pazel dan kekasihnya Rima. Mereka berjalan keluar dari ruangan dokter itu, setelah mendapat resep obat yang akan ditebusnya di apotik rumah sakit

Begitu pintu dibuka, ternyata seorang wanita berdiri di depan pintu menghadang mereka. Pazel terperanjat melihat orang yang ada di depannya. Sekujur badannya terasa dingin.

Wanita itu memakai kacamata hitam. Tapi dia masih dapat mengenalinya dengan jelas, karena pakaian yang ia pakai masih yang dikenakannya tadi pagi. Wanita itu membuka kacamatanya. Terlihat jelas matanya yang masih bengkak karena habis menangis. Dia segera meraih tangan istrinya untuk menjauh dari pintu. Tapi Silvia menepis tangannya.

“Tidak perlu. Saya bisa jalan sendiri. Sebaiknya kamu ajak selingkuhanmu itu ke rumah. Nanti aku akan menyusul.”

Dia berjalan meninggalkan Pazel dan selingkuhannya.

Pazel memperhatikan jalan istrinya. Ada rasa perih di hatinya melihat istrinya berjalan seperti menahan rasa perih di kakinya. Dan yang membuat dia semakin perih lagi, saat dia harus melihat mata istrinya yang bengkak karena habis menangis. Hati Pazel seperti diiris-iris sembilu membayangkan kesedihan istrinya.

Dia merasakan kesedihan istrinya yang sangat dalam dari matanya. Namun apa daya. Nasi sudah menjadi bubur. Dia ingin jujur, tapi dia masih menunggu waktu yang tepat. Tidak disangka, istrinya malah memergokinya keluar dari ruang Dokter kandungan.

Dia mengejar istrinya.

“Sayang. Kenapa kakimu?”

Tetapi tangannya di pegang oleh selingkuhannya. Dia melihat Silvia menghentikan langkahnya. Tapi Istrinya tidak menoleh ke belakang. Sesaat kemudian dia melanjutkan langkahnya beriringan dengan seorang pemuda yang menggendong seorang anak kecil.

Pazel tidak menyangka kalau dia akan bertemu dengan Silvia di rumah sakit ini. Dia ingin sekali mengejar istrinya. Tapi dia juga tidak tega meninggalkan selingkuhannya yang sedang hamil. Dia teringat dengan kata-kata Dokter, bahwa dia tidak boleh banyak pikiran.

“Rima. Ayo aku antar kamu pulang.”

“Mengantarku pulang atau mengajakku pulang, Bang?”

“Rima. Tolong mengertilah. Keadaan sekarang sedang panas. Nanti kalau suasananya sudah dingin, aku akan mengajakmu pulang ke rumah kita.

“Tapi kapan, Bang? Lebih baik sekarang, atau bisa saja kamu berubah pikiran nanti. Toh dia juga sudah tahu yang sebenarnya. Jadi untuk apa disembunyikan lagi. Aku tidak mau disembunyikan lagi.”

Pazel menggusar kepalanya yang tidak gatal. Kebiasaan itu akan selalu dia lakukan disaat dia sedang panik.

Di ruangan Dokter Dana, Silvia yang sudah berusaha menyiapkan mental untuk kemungkinan seperti ini tetap saja merasa marah dan kecewa. Tapi, dia tidak ingin membuat gaduh di depan umum. Dia berusaha menahan tangisnya sekuat tenaga. Tapi air matanya tidak mau diajak kompromi.

Tadi dia sengaja berhenti saat suaminya memanggil dan bertanya tentang kakinya. Dengan harapan suaminya akan mengejar dia. Tapi dia salah. Suaminya hanya basa basi. Dia memilih tetap berada disisi selingkuhannya.

“Mbak Silvia, ini. Minumlah dulu.” Dokter Dana memberikan sebotol minuman dingin.

“Terima kasih, Dokter.”

“Menangislah sepuasnya. Di sini adalah ruangan pribadi saya. Kamu bebas menangis sepuasmu, Mbak Silvia.”

Setelah beberapa saat Silvia berhasil menetralkan pikirannya. Dia mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Tapi matanya masih bengkak, jadi dia meminjam kaca mata Dokter itu lagi.

“Dokter. Apa boleh kaca matanya aku pinjam lagi?”

“Tentu saja. Kamu bisa membawanya pulang. Saya akan mengantarmu pulang.”

“Tidak usah, Dokter. Saya sudah banyak merepotkan Dokter. Besok saya akan balikin kaca mata ini lagi.”

“Kamu boleh simpan saja kaca mata itu sebagai kenangan perkenalan kita. Tapi saya akan tetap mengantarmu pulang. Saya tidak mau kamu nanti loncat di jembatan. Bisa-bisa saya kena introgasi juga sama polisi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status