“Mungkinkah pasangan ini orang tuanya anak ini? Kalau iya, benar-benar keluarga yang sempurna,” pikir Silvia.
Wanita yang sedang dikagumi Silvia segera berjongkok mengambangkan tangannya. Dia mengajak gadis kecil yang bernama Kaila itu untuk pulang.
“Ayo, sayang. Kita pulang ya?”
Namun, diluar dugaan, gadis kecil berambut ikal panjang itu menolak ajakan wanita itu.
“Tidak mau, pedi tana, pedi tana, tamu daat.” “(Pergi ke sana, pergi ke sana, kamu jahat.)”
Gadis kecil itu menoleh ke arah wanita itu, sesaat kemudian membelakanginya dan kembali memeluk Silvia. Seperti bertemu dengan seorang musuh, gadis kecil itu terlihat begitu marah dan ketakutan.
Wanita itu pun terlihat tidak senang dengan penolakan anak yang bernama Kaila itu. Dia berdiri dan memegang pipinya sebelah kiri untuk menghilangkan rasa malunya.
Sesaat kemudian terdengar suara seorang laki-laki memanggil nama anak itu.
“Kaila. Sayang, ayo sini, Nak?”
Begitu mendengar suara itu dia segera menoleh dan berlari ke arahnya.
Laki-laki itu setengah berjongkok menjulurkan kedua tangannya menyambut gadis kecil itu.
“Papa!” ucap anak itu sambil memangkunya dengan erat.
Orang yang dipanggilnya papa itu membelai kepalanya dengan lembut. Terlihat sekali sisi kebapakannya yang sangat mencemaskan anaknya.
“Kamu baik-baik saja kan? Tidak ada yang luka?” ucap lelaki itu memeriksa tubuh anak yang dipanggil Kaila itu.
“Tidak, Pa, tadi atu ditolong Tante tantik, tapi Tante tantiknya datuh, tatinya luta, Pa. Papa mau dak tacih obat buat Tante tantik?”
Laki-laki itu sudah paham dengan bahasa anaknya. Jadi dia menjawab dengan sangat nyambung.
“Iya, Sayang. Nanti Papa kasih obat ya, kaki tantenya.”
Pria itu menoleh ke arah Silvia.
“Maaf, Mbak. Karena Mbak sudah banyak direpotkan oleh anak saya. Ohya, kenalkan nama saya Dana.”
Laki-laki itu menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Silvia. Dan Silvia pun menyambut uluran tangan laki-laki yang memperkenalkan dirinya sebagai Dana itu.
“Halo, saya Silvia.” Silvia merasa nyaman bersalaman dengan tangan yang lembut dan hangat itu.
Namun ada rasa minder dalam hatinya karena kulitnya yang kasar akibat terlalu banyak melakukan pekerjaan rumah tangga.
Dia juga teringat dengan suaminya yang sedang ia buntuti. Akhirnya dia menarik tangannya dengan cepat.
“Ini teman saya Rani dan ini Kaila anak saya,” ucap laki-laki yang bernama Dana itu.
Wanita yang dikenalkannya bernama Rani itu juga mengulurkan tangan ke arah Silvia dengan ramah.
“Halo, saya Rani,” ucap wanita itu lembut.
“Saya, Silvia.” Silvia menjabat tangannya dengan ramah.
Lalu Pria itu melanjutkan ucapannya yang tertunda.
“Saya minta maaf yang sebesar-besarnya karena anak saya telah menyebabkan mbak Silvia celaka. Dan sebenarnya ini adalah kelalaian saya sebagai papanya. Tolong maafkan saya. Saya bersedia mengganti kerugian Abang dan Mbak.” Pria itu mengeluarkan dompet dari dalam jas yang dikenakannya. Diambil lembaran uang seratus ribu sebanyak sepuluh lembar dan diserahkan ke abang ojek yang sedang berusaha membetulkan setang motornya.
“Ini, Bang. Sebagai permintaan maaf saya dan perbaikan motor Abang. Jika kurang Abang bisa hubungi saya. Ini kartu nama saya.”
Pria itu menyerahkan sebuah kartu nama kepada tukang ojek itu. Namun ditolaknya dengan sopan. Dia hanya menerima uang dengan agak sedikit membungkuk.
“Uang ini saja sudah cukup, Pak. Kerusakannya tidak terlalu parah, kok. Hanya kaca lampu depan yang pecah sama setangnya agak ke kanan sedikit.
Saya bersyukur penumpang saya tadi berteriak Pak. Jika tidak, aduh, saya tidak berani membayangkannya. Mohon maaf Pak, agak lebih hati-hati lagi menjaga si kecil ya, Pak? Mohon maaf,” ucap tukang ojek agak merasa sungkan.
“Iya, Bang. Sekali lagi maaf ya, Bang.”
“Hehe, iya, Pak. Tapi penumpang saya sepertinya kakinya terluka Pak. Sebab saya lihat tadi waktu dia berlari mengejar Anak Bapak, jalannya agak terseok.”
Pria itu berpaling ke arah kaki Silvia yang di tunjuk tukang ojek, dan ternyata benar, ada darah yang mulai menetes dari luka di kaki Silvia sebelah kiri. Apalagi tadi anaknya juga sudah bilang kalau kaki orang yang menyelamatkannya terluka.
Sebagai seorang Dokter dia tergerak untuk segera memberikan pertolongan pertama pada lukanya. Tapi karena kotak obatnya ada di dalam mobilnya, dia belum bisa memberikan pertolongan pertama pada luka Silvia.
“Kebetulan saya seorang Dokter. Dan saya juga akan ke rumah sakit. Apa Mbak Silvia bersedia ikut dengan kami ke rumah sakit? Saya akan mengobati luka di kaki Mbak Silvia.”
“Tidak usah, Dokter. Ini hanya luka kecil. Biar saya obati di rumah saja,” ucap Silvia.
Dia tidak peduli dengan kakinya yang luka. Yang dia inginkan sekarang adalah segera pergi dari tempat itu untuk mengikuti suaminya, tapi sayang sekali, kejadian ini memakan banyak waktunya sehingga dia kehilangan jejak.
Dia memandang dengan tatapan hampa ke arah jalan yang ditujunya tadi. Orang-orang yang tadi berkerumun sudah mulai lengang.
“Halo, Mbak Silvia. Kok malah melamun?” tanya Dokter itu setelah melihat Silvia yang bengong menatap jalanan.Silvia menoleh ke arah suara yang memanggilnya.“Eh iya. Maaf, Mas. Eh Dokter. Iya, Maksudku Mas Dokter. Gak usah ke rumah sakit. Lukanya tidak begitu parah kok. Terima kasih atas tawarannya.”Wanita yang datang bersama Dokter itu, yang dikenalkannya bernama Rani itu menyela pembicaraan mereka. Dia terlihat tidak senang melihat Silvia dan Laki-laki tampan itu bicara berdua.“Jika lukanya tidak parah gak usah dibawa ke rumah sakit, Dana. Lagian dia juga menolak kan? Kasih uang saja buat pengobatan dia, Dan,” ucap wanita itu dengan nada yang lembut.Nada suaranya memang lembut, dan bicaranya juga kepada Dokter Dana, tapi kata-katanya sangat merendahkan Silvia, kerlingan matanya juga mengarah ke Silvia. Silvia sangat sadar kalau kata-katanya bertujuan merendahkannya. Maka dari itu dia menjawab lawan bicaranya dengan gaya yang elegan tapi mematikan pula.“Tidak perlu, Mbak Rani. T
Perjalanan ke rumah sakit tidak membutuhkan waktu lama. Begitu tiba di rumah sakit swasta itu, Dokter Dana segera memarkir mobilnya.Di tempat parkir yang sama Silvia melihat sebuah mobil yang sangat dikenalnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia ingat pesan yang dikirim seseorang bernama Udin kepada suaminya untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Untung saja tadi dia mau ikut ke rumah sakit ini. Karena jika tidak, dia tidak akan bertemu dengan suaminya yang dia curigai berselingkuh itu.Dia melihat Pazel keluar dari mobil. Dia berjalan menuju pintu yang satunya lagi. Dia membukakan pintu untuk orang itu. Lalu dia menggandeng seorang wanita cantik yang seksi dengan mesra.Ternyata benar dugaannya. Pesan dari orang bernama Udin itu adalah seorang perempuan. Mereka tidak melihat Silvia yang masih berada di dalam mobil Dokter Dana. Mereka berjalan bergandengan di depan mata kepala Silvia.Air matanya tumpah tanpa bisa dibendung. Dadanya terasa sesak karena tekanan emosi ya
“Inilah rumah saya. Setidaknya sampai saya meninggalkan rumah ini,” batin Silvia. Dia menghapus air matanya yang menetes lagi.“Stop di sini, Dokter. Terima kasih karena dokter sudah mengantar saya sampai ke rumah. Saya tidak akan melupakan kebaikan Dokter. Ini kaca matanya, Dokter.”“Sudahlah. Simpan saja kaca mata itu. Siapa tahu kamu masih membutuhkannya.”“Apa tidak apa-apa, Dokter?”“Tidak apa-apa, Buat kamu saja.”“Apa Dokter jijik karena Bekas saya pakai tadi?”“Tidak. Tidak. Bukan begitu maksud saya. Baiklah. Kalau begitu sini saya ambil.”“Ya sudah, Dokter. Kalu begitu saya simpan saja.”“Jangan. Jangan. Biar saya yang simpan.”“Ah, Dokter. Tadi kan sudah Dokter kasih buat saya? Kenapa diambil lagi? Ini kan sudah menjadi milik saya.”“Kan sudah kamu balikin lagi ke saya?”“”gak mau. Ini sudah punya saya.”Mereka berdua berebut seperti anak kecil. Dan akhirnya mereka tertawa bersama.“Jadi kaca mata ini sudah jadi milik saya kan, Dokter?”“Iya. Itu jadi milikmu sekarang,” ucap
Dari pada dia harus mengotori tangannya hanya untuk laki-laki tidak setia seperti Pazel, lebih baik dia membalas wanita murahan ini dengan cara yang tidak akan dia lupakan. “Apa kamu bilang? Wanita mandul? Ha, ha, ha. Apa kamu mau tahu satu rahasia penting dalam keluarga ini? Maksudku satu rahasia penting yang Cuma aku saja yang tahu?” teriak Silvia sambil mendekatkan mulutnya ke arah perempuan itu.“Baiklah, aku anggap kamu menantangku untuk berkata jujur.” Dia menarik napas dan menghembuskannya. Dia menepuk tangannya satu kali, kemudian dia berkata sambil berdiri. “ Baiklah, ini saatnya kalian tahu yang sebenarnya. Laki-laki yang katamu telah menghamilimu ini tidak dapat membuahi wanita mana pun! Karena dia mandul! Jadi sudah dipastikan bahwa anak dalam rahimmu itu adalah benih dari laki-laki lain!”Penekanan kata-kata Silvia membuat Rima ketakutan setengah mati. Namun belum cukup membuat Silvia berhenti. Dia bahkan menambahkan: ”Dan, kalau saya mau, saya bisa melaporkan kalian be
Pazel kembali mengingat kejadian satu tahun yang lalu. Pada saat itu Pazel sedang mencari kado untuk hadiah satu tahun pernikahannya dengan Silvia di sebuah toko perhiasan. Di sana dia melihat seorang wanita yang ia kenal. Dia menemui wanita itu yang ternyata adalah mantan kekasihnya Rima. Mereka saling bertukar nomor handphone. Bahkan Pazel mengurungkan niatnya untuk membeli perhiasan. Dia malah mengajak Rima untuk pergi ke sebuah restoran.Meski sudah ada istri yang cantik dan setia, dia tetap tidak bisa mengabaikan perasaannya yang masih ada untuk wanita masa lalunya ini. Setelah memesan beberapa makanan dan minuman, mereka asyik dengan candaan dan cerita tentang masa lalu mereka yang menyenangkan. Sampai akhirnya Pazel mengatakan ia sangat rindu ingin bersenda gurau seperti dulu lagi. Sayangnya nomornya sudah hilang karena dia sudah mengganti semua kontak dan nomor handphonenya semenjak menikah.“Jadi Abang sudah mengganti nomor ponsel Abang?”“Iya, semenjak menikah aku menggan
Dan bodohnya dia karena begitu mudahnya percaya. Hari ini dia akan keluar dari rumah suaminya, dan digantikan oleh wanita lain. Wanita yang datang sebagai penghancur rumah tangganya.Hanya dalam hitungan menit dia akan meninggalkan orang yang pernah dianggapnya sebagai pengganti ibunya dan meninggalkan orang yang pernah ia harapkan akan menemaninya sampai di usia senja nanti.Semua harapan yang pernah ia gantungkan pada rumah tangganya hancur tak berbekas. Yang ada kini hanya kesedihan dan air mata.Tapi ia tidak akan menunjukkan kesedihannya lagi. Ia akan menjadi wanita yang mampu berdiri tanpa penopang untuk kemudian hari setidaknya ia akan berusaha kuat sampai ia keluar dari neraka rumah tangganya dan untuk seterusnya.Ia harus menunjukkan kalau ia mampu untuk bahagia tanpa suami. Toh selama ini dia hanya dianggap beban rumah tangga oleh suami dan mertuanya.Dulu dia terpaksa harus berhenti dari pekerjaannya sebagai asi
Begitu sampai di rumah ibu tirinya dia disambut dengan suka cita.“Mari masuk, Nak.” Wanita itu mengajak Silvia duduk di ruang tengah. Tidak lupa dia menyuguhkan secangkir teh hangat.“Sayang, kenapa kamu datang dengan membawa koper? Ada apa? Pernikahanmu dengan nak Pazel baik-baik saja kan?” Pertanyaan itu diutarakan ibu tirinya yang bernama Bu Iyes, saat mereka sedang duduk di ruang tamu.Rumahnya hanya mempunyai dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Ibu tirinya tinggal berdua dengan adik tirinya satu ayah lain ibu. Adik tirinya bernama Tiara, baru berumur lima belas tahun. Mereka hidup sangat sederhana. Ayah kandung Silvia pergi dari rumah semenjak adiknya berumur lima tahun.Semenjak ayahnya tidak pulang, dari sepuluh tahun yang lalu, dialah yang menjadi tulang punggung keluarganya. Sampai setelah dia menikah, dia masih membiayai ibu dan adik tirinya dengan uang belanja bulanan yang dia terima dari Pazel.
“ Beby!” teriak Silvia dengan sangat girang. Seorang laki-laki bertubuh tegap, kulit putih, rambut diikat dengan rapi dengan pakaian yang rapi pula berdiri di depan pintu. Dia adalah sahabat lama Silvia. “Gue juga mau ikutan dong,” ucap Boby yang dipanggil Beby oleh Silvia. Dulu dia lelaki yang gemuk, tetapi sekarang tubuhnya sangat ideal. Dia berlari menghampiri Silvia dan keluarganya. Mereka kembali berpelukan. Silvia tidak bisa menahan haru saat bertemu dengan sahabatnya ini. Begitu juga dengan Boby. “Bagaimana kabar lu Sil, senang bangat gue ketemu Elu,” ucapnya setelah melepas pelukan dan duduk bersebelahan dengan Silvia. “Kabar gue baik, lu sendiri bagaimana kabarnya sekarang? Bukannya lu di luar negeri, kenapa tiba-tiba ada di sini?”“Tiba-tiba gua kangen sama lu, Sil.”“Masa sih? Gue juga kangen Ama lu Beb.”“Makanya gua pulang ke Indonesia. Mungkin gua akan lama di Indonesia. Gua mau mela