Silvia melihat kendaraan yang sudah dipesannya berdiri di depan pagar. Dia pun segera menaikinya.
“Bang. Ikuti mobil itu!”
Silvia menunjuk ke arah mobil suaminya yang baru melaju.
Tadi malam Silvia sempat membaca pesan di ponsel suaminya dari seseorang bernama Udin.
[Abang jadi ambil cuti besok bang? Kalau jadi, temani aku ke Dokter ya, bang? Soalnya dari kemarin aku gak enak badan, mual terus bawaannya.]
Pesan itu hanya di baca sekilas karena aplikasinya tidak bisa di buka. Sebelum subuh dia sengaja bangun untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah, agar dia bisa bersiap-siap untuk mengikuti suaminyia
Nama yang tertera di ponsel itu memang nama laki-laki. Tapi dia yakin pesan itu dari seorang perempuan. Dia tidak membangunkan suaminya malam itu. Karena dia ingin membuktikannya dengan mata kepala sendiri tentang kecurigaannya.
Perasaannya benar-benar dihancurkan oleh kebohongan suaminya. Dia sangat kecewa kepada laki-laki yang sudah berumah tangga selama dua tahun dengannya itu.
“Apakah pernikahan yang kita jalani selama dua tahun ini tidak ada artinya bagimu bang. Atau aku yang mungkin terlalu curiga padamu? Jika memang ini hanya kecurigaanku saja, lalu siapa laki-laki itu? Kenapa dia mengirim pesan kepadamu seperti itu? Aku benar-benar bisa gila jika tidak memastikan kebenarannya dengan mata kepalaku sendiri. Pesan itu mengatakan kalau kamu hari ini cuti. Tapi kamu dari rumah bilangnya mau berangkat bekerja.”
Silvia terus teringat dengan pesan yang dibacanya itu hingga kekecewaannya membawanya untuk mengikuti suaminya secara diam-diam.
“Jangan terlalu dekat ya, Bang? Supaya tidak ketahuan.”
“Siap, Neng,” Sahut abang ojeknya.
Tukang ojek itu sepertinya mengerti kalau penumpangnya sedang membututi suaminya, dia pun agak memperlambat lajunya, namun dia tidak membiarkan mobil yang dia ikuti hilang dari penglihatannya.
Saat melewati jalan di depan sekolah taman kanak-kanak ternyata ada anak perempuan berumur sekitar tiga tahun yang lepas dari pengawasan orang tuanya sedang berjalan sendirian di pinggir jalan. Anak itu menyeberang jalan yang akan dilewati ojek yang di tumpangi oleh Silvia.
“Awas, Bang....!” teriak Silvia histeris
Karena terkejut dengan teriakan penumpangnya serta merta Abang ojek itu membanting setang motornya ke kiri. Abang ojek itu bersyukur tidak menabrak anak perempuan itu karena teriakan Silvia.
Namun dia harus rela lampu motornya pecah ditambah luka ringan di telapak tangannya karena menapak di trotoar jalan. Seketika orang-orang yang ada di sekitar berteriak histeris.
Tapi hanya Silvia yang segera berlari mengejar anak kecil yang masih berada di tengah jalan raya. Tak dihiraukannya rasa sakit yang ada di kakinya yang sebelah kiri karena terimpit motor. Dia takut jika anak itu tidak segera diambil akan tertabrak pengendara lain. Dengan terseok-seok Silvia membawa anak itu ke trotoar.
“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Silvia kepada anak itu sambil memeriksa tubuh anak itu.
“Iya Tante, maacih Tante tantik?” ucap gadis kecil itu dengan lembut. Gadis kecil dan imut itu mengambangkan tangannya untuk memeluk Silvia. Silvia merasa terharu dan memeluk gadis manis itu dengan lembut.
“Kenapa kamu berkeliaran di jalan, Nak? Orang tua kamu mana?”
Anak itu hanya teersenyum
“Mungkin anak ini tidak mengerti dengan kata orang tua,” batin Silvia.
Dia mengulang pertanyaannya lagi.
“Mama sama Papamu mana, Nak?”
Bukannya menjawab, anak itu malah balik bertanya.
“Kaki Tante luka. Nanti obat cama papa ya, Tante?”
Silvia melihat ke kakinya sebelah kiri yang mulai terasa perih.
“ Oh iya, Kaki Tante terluka. Terima kasih ya, Sayang. Kamu baik banget, sampai tahu kalau kaki Tante sedang terluka.”
Dia mencubit lembut hidung mungil gadis kecil itu. Silvia mencoba lagi untuk bertanya.
“Sayang. Mama kamu mana, Nak?
“Mama cudah di cuga, Tante.” Telunjuknya diarahkan ke atas langit oleh gadis kecil itu.
Silvia merasa haru mendengar jawaban gadis kecil itu. Dia pun memeluknya.
“Maaf ya, Sayang.”
Gadis kecil itu membalas pelukan Silvia dengan hangat. Dia melingkarkan tangannya di leher Silvia, seolah dia telah menemukan ibunya yang sudah lama dirindukannya. Dia tidak berniat untuk melepaskan pelukannya dari Silvia. Silvia merasa pelukan anak itu begitu hangat dan nyaman.
“Seandainya aku bisa memiliki anak yang cantik dan imut seperti ini, alangkah bahagianya aku, Rumah tanggaku pasti akan bahagia,” batin Silvia.
Wanita yang sudah terluka di kaki kirinya itu melepaskan pelukannya secara perlahan. Di sentuhnya kepala anak lucu itu. Anak itu memperlihatkan senyum manisnya kepada Silvia, dan itu membuat Silvia semakin gemas. Dia kembali mencubit hidung mungil anak itu dengan lembut.
“Kamu lucu banget, sih. Nama kamu siapa, Sayang?”
“Nama atu Tila, Tante,” ucapnya sambil tersenyum.
Silvia yang kurang mengerti dengan bahasa anak kecil, mengulangi perkataannya.
“Nama kamu, Tila?”
“Butan.”
“Dila?”
“Butan, Tante. Tapi Ti_la.” Gadis cilik itu mengeja namanya, agar Silvia bisa mengerti.
Silvia jadi bingung, karena setiap nama yang ia sebut selalu salah. Lalu dia menyebut satu nama yang terlintas di kepalanya, walau dia juga tidak yakin nama itu akan sesuai dengan apa yang disebut gadis kecil itu.
“Kaila?”
“Iya, betul, Tante. Tante hebat.”
Anak itu melonjak kegirangan.
Silvia pun ikut merasa senang melihat kegirangan anak itu. Lalu dia kembali menanyakan keberadaan orang tuanya.
“Kaila kesini sama siapa?”
“Cama papa.” Kemudian anak itu menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang masih berlari ke arahnya, entah ingin membantu atau hanya menonton saja.
Dari kerumunan orang yang ingin membantu ada sepasang orang yang berlari menghampiri Silvia. Penampilan mereka berbeda dari yang lain. Mereka berdua terlihat bak model papan atas. Sang pria mengenakan jas berwarna coklat susu, berkacamata hitam, tinggi dan tegap. Kulit putih bersih seperti aktor Korea. Yang perempuan cantik, ayu dan ramah.
Kedua orang itu berlari ke arah Silvia yang sedang berjongkok memangku gadis kecil yang sudah ia selamatkan dari jalan raya.
Silvia berkata dalam hatinya. “Mungkinkah pasangan ini orang tuanya anak ini? Kalau iya, benar-benar keluarga yang sempurna, pantas saja anaknya cantik, lucu, imut lagi,” pikir Silvia.
Karena melihat raut sedih di wajah istrinya yang berkepanjangan, akhirnya Dokter Dana mendekap istrinya dan berkata dengan yakin. "Kamu jangan khawatir lagi, Sayang. Aku pastikan bayi kita akan segera bersama kita lagi, dan penculiknya akan segera mendapat hukuman yang sangat berat.""Bagaimana, Mas bisa seyakin itu? Sudah hampir seminggu lamanya kita kehilangan bayi kita. Bahkan kita sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil," keluhnya dalam kesedihannya."Tapi, kita tidak boleh berputus asa, Sayang," pinta Dokter Dana yang sebetulnya menahan kesedihannya demi memberi kekuatan kepada istrinya."Lalu, apa ada perkembangan dari pencarian kita dan polisi, Mas? Aku gak sabar ingin segera bertemu sama anakku, Mas. Aku rindu, aku juga khawatir orang yang menculik anak kita tidak memberikan asupan makanan yang layak untuk anak kita. Atau jangan-jangan...." Kata-katanya terhenti saat pikirannya melayang ke hal-hal yang membuatnya takut. Air matanya tidak berhenti menetes. Melihat keka
Sebenarnya Rani merasa sangat terhina saat dia diperiksa di pos keamanan untuk bisa masuk ke rumah Perdana. Sebelumnya dulu dia tidak pernah diperiksa dulu sebelum masuk. Tapi hari ini dia harus melewati beberapa pemeriksaan dulu. "It's ok. Ini demi melancarkan rencanaku," ucapnya dalam hati. Dia melangkah masuk bersama dua orang anak buahnya yang masing-masing memegang bingkisan."Assalamualaikum," ucap Rani saat dia telah berada di ruangan tamu. Di sana sudah ada Pak Efendi dan istrinya, Pak Herman dan istrinya dan juga Dokter Dana dengan istrinya. Mereka serempak menjawab salam dari Rani."Wa'alaikummussalam.""Maaf, Dana. Om dan Tante. Juga Silvia. Aku tidak tahu, kalau Dana dan Silvia sedang ada acara kumpul keluarga," ucapnya basa-basi."Tidak apa-apa kok, Rani. Tidak ada acara penting. Silakan duduk. Perdana mencoba bersikap biasa."Iya, silakan duduk." Silvia pun berusaha bersikap ramah, walau di hatinya ada kecurigaan bahwa dialah dalang dibalik hilangnya anaknya."Terima ka
Bukan salahnya juga jika wanita itu menganggapnya lain. Dia hanya ingin berbuat baik kepada orang lain. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang yang sedang terzalimi. Dan itu adalah perbuatan mulia. Namun, wanita itu salah kaprah terhadap kebaikan yang ditunjukannya, hingga menganggapnya sebuah tanda cinta sehingga dia menjadi tersanjung, lalu tidak terima saat melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya."Kalau begitu, Perdana sudah melakukan perbuatan yang baik kepadamu. Lalu kenapa kamu membalasnya dengan menculik anaknya, Rani? Hentikan semua ini. Setidaknya demi Dana," bujuk Kanaya. "Bukan aku yang menculik anaknya! Tapi kamu! Kamu yang menculik anaknya, dan aku yang akan menyelamatkannya," kilah wanita itu dengan berteriak."Kamu ini sudah gila, Rani!" hardik Kanaya."Ya! Aku gila karena cinta, Kanaya. Dalam cinta semua adil," kekeh Rani yang tidak kehabisan kata-kata untuk membenarkan perbuatannya."M itueskipun begitu, tetap saja perbuatan kamu ini tidak benar, R
"Rani! Aku mohon, lepaskan aku. Aku janji akan melupakan ini semua. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar ancaman dari Kanaya, Rani jadi naik pitam. "Apa kamu bilang? Kamu mengancamku? Mau melaporkan aku ke polisi? Kamu gak sadar ya? kalau sekarang nyawamu ada di tanganku!" bentaknya. "Baiklah, kalau kamu menyetujui kesepakatan kita, aku mungkin bisa melepaskanmu," ujarnya. "Kesepakatan apa?" tanyanya dengan cemas. Ha ha ha....Setelah tertawa, dia mendekat ke muka Kania. "Sepertinya kamu sudah setuju, dan memang seharusnya kamu setuju," ocehnya yang terdengar seperti sampah di telinga Kanaya."Aku bukannya setuju. Aku hanya bertanya tentang kesepakatannya!" kilahnya dengan geram."Dengar, Kanaya. Kamu jangan menghabiskan tenagamu untuk marah-marah, karena selain kamu akan kehabisan tenaga, kamu juga akan kesulitan nantinya. kenapa? Karena aku bisa menyakitimu dan juga tiga orang yang sedang berada di ge
Sudah hari ketiga semenjak Savana menghilang. Puncak hidung Kanaya masih belum ditemukan. Nomornya sudah tidak aktif. Segala macam cara sudah dicoba untuk mencari keberadaan Kanaya, namun tak ada jejaknya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.Pihak kepolisian sudah menyatakan dia di daftar pencarian orang. Fotonya sudah disebar di berbagai media sosial dan di selebaran kertas sepanjang jalan di seluruh pelosok."Dasar perempuan tidak punya hati nurani," cerca Kanaya terhadap wanita yang kini tertawa lepas mendengar cercaannya. "Bisa-bisanya kamu menculik anak yang baru berumur dua hari, hanya untuk memuaskan egomu yang terluka!" hardiknya lagi.Perempuan itu menaikkan alisnya dan menghentikan tawanya lalu berkata, "Tunggu! tunggu. Tadi kamu bilang saya wanita yang tidak punya hati nurani karena menculik anak yang berumur dua hari. Betul begitu?" Perempuan itu diam sejenak seolah menunggu jawaban dari Kanaya. Namun belum sempat Kanaya berkata sepatah kata pun, dia sudah tertawa lagi terb
Ternyata ruangan itu kosong. Hanya tetesan air keran yang belum tertutup sempurna yang mengeluarkan suara tetesan air. "Sepertinya dia sengaja tidak menutup habis keran air," batin Perdana. "Dasar perempuan ular!" bentaknya sambil mengayunkan tinjunya ke udara.Dia kembali ke ruangan tengah dengan wajah yang masih merah padam.Silvia yang sudah tidak sabar mendengar keberadaan Kanaya pun bertanya."Bagaimana, Mas? Apa dia ada?"Pak Herman juga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya itu. Dia menatap mata Perdana yang merah. Menunggu dengan tidak sabar. Meski dai tahu yang paling penting saat ini adalah keberadaan cucunya. Entah wanita itu yang menculik cucunya atau tidak, dia hanya ingin cucunya segera kembali.Pak Efendi juga satu pemikiran dengan Pak Herman. Dia ingin segera menemukan keberadaan cucunya. Tapi jika memang perempuan itu yang menculik cucunya, dia tidak akan memberikan ampun."Dia tidak ada di kamar tamu.""Jadi, dia yang menculik putri kita," ucapnya dengan