Mata Jihan mengerjap melihat reaksi dari Darren yang terlihat biasa saja. Jihan mengira kalau suami kontraknya ini bakal marah, sebab masa lalunya sebagai janda dan tak becus mengurus anak hingga meninggal diketahui oleh Luna. Hal itu bisa saja jadi kelemahan untuk Darren."Anu, Pak--Mas. Bukankah bisa gawat kalau kak Luna tahu?"Darren menatap Jihan serius. "Kau takut kalau kak Luna akan mengatakannya pada keluargaku?"Kepala Jihan mengangguk. "Iya Mas.""Kak Luna bukan orang yang berpihak pada keluargaku," sahut Darren."Aku juga tidak peduli dengan pandangan mereka terhadapmu. Aku hanya perlu kau fokus mengurus Bella dan berpura--"Jihan menatap Darren yang berhenti bicara dan melirik ke arah pintu. Jihan tertegun saat Darren tiba-tiba saja menarik tangannya, hingga membuat Jihan terjatuh di atas pangkuan suaminya. Tangan Darren pun memeluk perutnya, ketika Jihan berusaha memberontak, Darren memeluk erat."Ada yang datang," bisik Darren.Jihan menjadi membisu dengan jantung yang be
Jihan membulatkan mata saat mendengar bahwa Darren menginginkan tubuhnya. Jihan berusaha memberontak, tapi Darren menciumnya dengan sangat rakus. Bukan hanya tak bisa bicara. Bergerak saja Jihan kesulitan."Jihan diam dan menurutlah," pinta Darren dengan kesal sebab dirinya selalu memberontak."Ini tidak benar Pak. Bagaimana bisa kau mau melakukannya padaku? Terakhir kali aku tidak begitu mempermasalahkannya, karena saat itu kau dikuasai oleh hasrat dari minuman yang kau minum. Sementara sekarang kau dalam kondisi sadar, Pak."Darren tersenyum sinis. "Saat itu aku juga sadar, sama sekali tidak mabuk. Makanya aku ingin tubuhmu, karena aku sangat sadar dan merasa kau menyenangkan."Jihan tertegun mendengar fakta bahwa bagi Darren, dirinya menyenangkan. Makanya diinginkan kembali untuk menjadi penghangat ranjang. Jadi, meski Jihan menolak pun, Darren akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kepuasan melalui dirinya.***Tengah malam. Jihan menuruni ranjang dan memunguti pakaiannya y
"Kau memanggilku mama? Ah, senangnya." Jihan langsung memeluk anaknya.Bella tersenyum dan melingkarkan tangan pada pinggangnya dengan erat. Sementara Luna langsung menutup mulut dengan tangan, saking tidak percayanya pada apa yang barusan masuk ke telinga."Kenapa kau memanggil Jihan dengan Mama?" tanya Luna dengan mata menatap tajam pada Bella."Karena aku kan ibunya, Kak," sahut Jihan mewakili Bella yang hanya diam.Luna menyeringai mendengar penuturannya, lantas mulai berbalik dan berjalan pergi. "Jangan lupakan jati dirimu sendiri. Kau bisa buat anakmu sedih karena begitu senang mendengar anak orang lain mengakuimu sebagai ibunya."Senyum di bibir Jihan langsung hilang sempurna. Mendengar Luna menyinggung, membuat Jihan teringat dengan anak kandungnya. Memang, Jihan tidak bisa melupakan putri kecilnya. Tapi, terlepas dari itu semua, ada anak yang harus dirinya sayangi sebagai konsekuensi karena Jihan menikahi ayahnya."Mama mau ke kantor papa sebentar. Bella tidak apa kan ditingg
Jihan melepaskan tangannya, membiarkan Darren terus memeluknya. "Aku penasaran."Mata Darren menatapnya, sementara Jihan begitu menantikan pintu itu terbuka. Jihan kembali dibuat terkejut oleh Darren yang tiba-tiba saja mengecup lehernya dengan lembut. Bahkan Yuna yang hendak menyapa dengan senyuman paling lebar, langsung membisu melihat pemandangan di depan mata. Jihan sendiri hanya membiarkan Darren bermain di lehernya. Tapi, Jihan yang menjadi tidak fokus langsung menghindar, tentu membuat Darren terhenti."Mas, bukankah kau harusnya makan?" Dan Jihan sengaja tidak menganggap kehadiran Yuna, sampai tangan Yuna mengepal.Darren memutar kepalanya dan sempat mengecup bibirnya. "Bagaimana ya, aku lebih suka memakanmu siang-siang begini."Jihan tidak bisa membiarkan Darren memanfaatkan kehadiran Yuna untuk menyentuhnya. "Tahanlah Mas, di sini kau kedatangan tamu."Darren menyeringai menatap pada Yuna yang sudah setengah mati menahan amarah terhadap Jihan. Yuna tertegun ketika menyadari
"Kalau kau hamil?" tanya Darren membuat mata Jihan menatap lekat."Ya," sahutnya.Darren menyeringai dan tangan meraih lehernya, Jihan terkejut saat Darren berhasil menciumnya kembali. Jihan berusaha melepaskan diri dengan mendorong pundak, tapi Darren benar-benar tak membiarkan Jihan lolos."Kalau hamil, bukankah bagus untuk Bella? Dia ada teman," bisik Darren berhasil membuat Jihan terkejut setengah mati.Tanpa sadar, Jihan langsung menampar wajah Darren kemudian terburu menjauh. Darren sendiri memegangi pipi dan menyeringai dengan mata menyorot tajam padanya. Jihan sendiri berusaha menenangkan emosinya."Selama ini aku berusaha untuk menahan diri. Tapi, berulang kali kau melewati batas Pak!""Melewati batas," gumam Darren dengan tubuh bangkit dari duduk."Di awal, kau hanya memintaku untuk menjadi pengurus Bella. Kemudian merambat menjadi istri. Lalu, kau menyentuhku bukan hanya sekali. Kali ini aku benar-benar muak!"Darren menyeringai. "Sejak awal aku tidak hanya mencari ibu untu
Jihan berusaha tersenyum mendengar ucapan Darren. "Kenapa Bapak mengucapkannya dengan ekspresi serius begitu? Membuat aku berpikir seolah Bapak menaruh rasa terhadapku."Darren menyeringai. "Menaruh rasa? Padamu?""Ya ... meski itu sangat mustahil," sahutnya.Darren mengambil teh di atas meja, kemudian menyesap sedikit dengan mata melirik pada Jihan. "Hati manusia itu tidak seperti baja. Bisa saja suatu hari aku goyah padamu."Jihan langsung menoleh dan membentuk x besar dengan kedua tangannya. "Hari itu tidak akan datang di antara kita berdua."Bibir Darren kembali menyeringai. "Ya, bagus kalau kau masih sadar. Maka dari itu, jangan salah paham."Benar, tidak seharusnya ia menjadi salah paham hanya dengan ucapan Darren yang bersedia mendukungnya. Jihan menatap makanan di atas meja, rasa laparnya membuat Jihan melupakan izin Darren dan mulai sibuk makan juga."Kau bisa masak?"Kepala Jihan menoleh. "Tiba-tiba tanya?"Darren tak menjawab, memilih lanjut makan dengannya. Siang itu, kali
Sore itu, setelah memperbaiki penampilan. Jihan langsung keluar kamar dan menuruni anak tangga. Rupanya Darren juga Bella sudah menantikan kedatangannya.Mereka bertiga langsung pergi ke supermarket. Jihan tersenyum lebar melihat Bella yang duduk di troli, Darren bertugas mendorong sementara Jihan mengambil bahan makanan yang dibutuhkan. Bella banyak sekali menunjuk makanan, Darren pun nampak melihat kandungan nutrisi jika tinggi maka akan dimasukkan ke troli."Kenapa pilih-pilih begitu? Kan Bella menunjuk banyak," komen Jihan saat melihat makanan untuk Bella lebih sedikit."Makanan yang bernutrisi lebih baik ketimbang lebih banyak kandungan penyedap rasanya," sahut Darren masih memilah makanan.Jihan menghela napas dan diam-diam mengambilkan makanan yang Bella inginkan. Darren yang mengetahui tindakannya langsung menatap tajam dan menaruh kembali makanan di tempatnya. Hal itu membuat Bella cemberut."Setidaknya belikan satu makanan yang Bella inginkan, tanpa melihat komposisinya," pi
Jihan terpaksa memejamkan matanya, meski sulit untuk tidur dengan posisi dipeluk oleh Darren. Jantung Jihan berdetak cukup cepat, hingga membuat Darren mendekat dan kepala berada di pipinya. Jihan melotot terkejut dan berusaha melepaskan, namun Darren memeluknya erat."Aku bisa merasakan jantungmu, apa kau berdetak cepat karena aku, Jihan?"Jihan terkekeh. "Bagaimana mungkin? Aku seperti ini karena tandanya aku masih hidup."Darren menyeringai mendengar ucapannya. "Alasan konyol."Setelah mengatakan hal itu, Darren mulai menurunkan kepala di bantal lagi. Namun, tak membuat Darren melepaskan dirinya. Jihan sendiri berusaha menetralkan napasnya yang gugup."Besok, jangan membuat ulah," ujar Darren tiba-tiba.Tentu membuatnya sedikit menoleh. "Maksudnya?""Mantan suamimu kan datang ke acara. Aku harap kau tidak menemuinya secara pribadi, sebab di sana ada banyak media yang datang," celetuk Darren.Jihan kini melepaskan pelukan Darren paksa. Kemudian tidur saling berhadapan. Jihan menatap