Share

Pertemuan Ketiga

“Kami membutuhkan seorang karyawan dan karyawati di bagian gudang pabrik produksi.”

Dengan antusias Agatha langsung menganggukkan kepala tanpa berpikir dua kali. Ia sangat-sangat membutuhkan sebuah pekerjaan saat ini. Apa pun itu pekerjaannya, tentu Agatha akan dengan senang hati melakukannya asalkan ia tidak diusir dari apartemennya. Mau ke mana lagi ia akan tinggal jika pemilik apartemen itu benar-benar mengusirnya dari sana?

“Kau kirimkan saja CV-mu kepadaku. Nanti, aku akan mengirimkannya kepada HRD supaya prosesnya lebih cepat,” jelas Gabby memberitahu.

Agatha mengangguk-anggukkan kepala. “Terima kasih, Gabby. Aku janji akan mentraktirmu kalau aku sudah gajian nanti,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

“Jangan sungkan padaku, Agatha. Kita juga sudah lama berteman, bukan? Jadi sudah sewajarnya kalau kita saling menolong,” balas Gabby tersenyum seraya menyentuh pundaknya lembut.

Beberapa hari setelahnya, Agatha mendapat panggilan kalau dirinya lolos seleksi CV dan interview dan ia bisa mulai bekerja di pabrik industri yang disarankan oleh Gabby tersebut.

Seorang supervisor menjelaskan mengenai pekerjaan apa saja yang harus dilakukan oleh Agatha mengingat hari ini adalah hari pertama perempuan itu bekerja. Pabrik tersebut memang membutuhkan cukup banyak karyawan baru karena mereka sedang memproduksi beberapa produk terbaru yang akan di-launching secepatnya.

“Apakah sampai sini kau paham dengan job desk yang kuberikan padamu, Agatha?” tanya sang supervisor.

“Saya paham, Bu,” jawab Agatha mengangguk.

Supervisor perempuan itu tersenyum. “Bagus. Kalau begitu selamat bergabung dengan perusahaan ini. Semoga kau betah tinggal di sini, Agatha,” ucap si supervisor dengan senyuman di sudut bibirnya.

“Terima kasih, Bu,” jawab Agatha sambil tersenyum lebar dan menundukkan kepalanya sejenak sebagai rasa terima kasih.

Agatha pun mulai menjalani aktivitas barunya. Kesibukan yang ia jalani selama bekerja di pabrik ternyata sedikit banyak mulai membuatnya terdistraksi agar tidak memikirkan tentang rasa sakit yang diberikan oleh Zio.

Kini rutinitas Agatha sedikit sibuk, bekerja pagi-pagi sekali, lalu baru pulang pukul empat sore. Bahkan terkadang ia lembur sampai jam delapan malam. Sesampainya di rumah, ia langsung beristirahat sehingga gadis itu memang sudah benar-benar tak punya waktu untuk memikirkan mantan kekasihnya yang sangat kurang ajar itu.

Di pabrik juga ia tidak mendengar berita terbaru tentang Zio dan istirnya itu karena teman-temannya tidak ada yang menggosipkan hal tersebut. Pikiran Agatha kini benar-benar tenteram karena pekerjaan barunya.

***

Di depan pintu kantor berdirilah seorang pria tampan bersama seorang sekretarisnya, “Apakah aku sudah memberitahumu jika hari ini aku ada kunjungan ke pabrik?” tanya Dirga kepada sekretarisnya.

“Sudah, Pak. Saya juga sudah mengosongkan jadwal meeting Anda hari ini sesuai dengan permintaan Anda,” jawab si sekretaris.

“Bagus. Sekarang kita berangkat ke pabrik saja. Kalau terlalu siang takutnya jalanan semakin macet,” ucap Dirga memberi perintah.

“Baik, Pak,” jawab Jessica, sekretaris Dirga.

Dirga dan Jessica berjalan menuju ke lift. Setelah sampai di basement mereka berjalan menuju ke mobil yang berbeda. Benar, meskipun mereka memiliki tempat tujuan yang sama, mereka tetap memilih untuk pergi dengan mobil terpisah karena Dirga tidak terlalu nyaman jika harus satu mobil dengan orang lain yang tak ia kenal dengan akrab. Apalagi, Jessica adalah sekretarisnya. Bisa-bisa akan banyak gosip yang menyebar kalau mereka pergi dengan mobil yang sama meskipun sebenarnya hal tersebut sangatlah wajar.

Jarak dari kantor ke pabrik tidaklah begitu jauh. Hanya dua kilometer saja. Dirga dulu memang sengaja membangun pabrik yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan kantor agar dia dapat dengan mudah memantau barang-barang produksi.

Kebetulan sekali bulan depan mereka akan merilis produk elektronik terbaru perusahaan Gold Company sehingga dia ingin melakukan pemantauan langsung agar tidak ada barang-barang yang mengecewakan konsumen. Sebagai salah satu perusahaan induk yang memiliki banyak anak perusahaan dari berbagai jenis produk, seperti barang elektronik, produk makanan, hingga produk keperluan interior rumah. Tentunya Dirga harus memastikan kepuasan konsumen dengan memproduksi produk-produk yang tidak mengecewakan.

Sesampainya di pabrik, seorang supervisor langsung menyambut kedatangan Dirga dan Jessica lalu mengarahkan Dirga dan Jessica ke ruang produksi. Di sana mereka memantau proses produksi dari nol sampai menjadi sebuah barang yang akan mereka jual.

“Jadi, seberapa siap barang-barang yang akan kita launching?” tanya Dirga melirik sang supervisor.

“Seperti biasa, Pak."

"Aku tidak ingin kita kehabisan barang di minggu-minggu awal perilisan barang,” sambung mengingatkan sang supervisor.

“Tentu, Pak. Kami sudah menyiapkan setidaknya dua ribu barang yang siap dipasarkan. Sementara itu, di hari perilisan kami yakin jika produksi kami sudah mencapai sekitar sepuluh ribu barang,” jelas si supervisor begitu detail.

Dirga mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bisakah kau antar aku ke tempat penyimpanan barang-barang yang sudah siap dipasarkan?”

Si supervisor mengangguk, lalu berjalan mendahului Dirga menuju ke sebuah gudang penyimpanan. Para karyawan dan karyawati tampak sedang memindahkan barang-barang dan menatanya dengan rapi.

“Di sini sudah ada sekitar dua ribu produk yang kualitasnya juga sudah kami tes, Pak. Semua produk yang ada di sini sudah sesuai dengan peraturan standar negara dan dapat berfungsi dengan sangat baik,” ucap sang supervisor menjelaskan.

Dirga mengangguk-anggukkan kepala, paham dengan penjelasan bawahannya itu. Matanya menyisir ke seluruh gudang yang memiliki luas 10x12 meter tersebut. Mata Dirga memicing ketika dia melihat seseorang yang tampak tak asing di matanya.

“Apakah dia karyawati baru?” tanya Dirga kepada si supervisor.

“Benar, Tuan. Dia baru bekerja di sini selama empat hari,” jawab si supervisor, lalu memanggil Agatha. “Agatha, kemarilah!”

Agatha yang merasa dipanggil menoleh. Matanya membulat sempurna ketika ia melihat siapa pria yang tengah berdiri di samping supervisornya. ‘Kenapa pria itu ada di sini?’ tanya Agatha dalam hati.

Perempuan itu menggigit bibir bawahnya lalu berjalan mendekat.

“Ya, Bu? Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?” tanya Agatha dengan sopan.

“Ah tidak. Perkenalkan ini adalah Pak Dirga, dia adalah pemilik perusahaan yang mengoperasikan pabrik ini,” ucap sang supervisor memberitahu.

Mendengar itu, Agatha semakin terkejut bukan main. Perempuan itu tidak pernah menyangka jika ia akan kembali bertemu dengan pria yang sudah dua kali menyelamatkannya sekaligus mengagalkan aksi bunuh dirinya.

Yang paling mengejutkan lagi adalah fakta kalau pria itu adalah pemilik perusahaan di mana Agatha bekerja saat ini. Itu artinya, mereka akan lebih sering bertemu dari pada sebelumnya.

“Senang bertemu denganmu, Agatha,” ujar Dirga sambil tersenyum miring.

Demi Tuhan, Agatha serasa ingin mengoyak bibir Dirga agar pria itu tidak dapat tersenyum seperti ini lagi. Agatha memberengut kesal sambil berkata, “Senang bertemu dengan Anda juga, Pak Dirga.”

Tatapan Dirga dan Agatha terkunci selama beberapa saat. Tidak-tidak. Ini bukanlah tatapan romantis atau apa. Melainkan tatapan sebal karena takdir harus mempertemukan mereka kembali.

‘Kenapa aku harus bertemu dengan pria ini lagi, sih? Dan parahnya lagi ... kenapa dia adalah bosku?’ gerutu Agatha dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status