Hari resepsi di rumah Pak Subhan akhirnya tiba. Sama seperti para remaja yang ditugaskan menjamu para hadirin, aku menggunakan pakaian bernuansa hitam putih. Diam-diam aku memperhatikan Galih dari kejauhan. Dia nampak tampan dengan pakaian pengantin berwarna emas yang membalut raganya. Rasa nyeri menghantam hatiku, tak terasa air mataku tumpah, memaksaku untuk menundukan kepala. Jangan sampai ada yang melihat aku seperti ini.Di depan mata, aku menyaksikan dua insan yang bersatu, membuka gerbang keduanya untuk mengarungi kehidupan baru sebagai suami istri.Pria yang selama ini aku kagumi sudah berstatus menjadi suami orang. Tapi biarlah, mungkin ini sudah takdir Yang Maha Kuasa. Setidaknya aku pernah memelihara dengan baik rasa cinta di dalam hatiku, meski tak ku ungkapkan. "Uwis mbak, ini," ucap Nuril pelan, lebih tepatnya berbisik sembari menyerahkan selembar tisu kepadaku.Aku menggigit bibir bawahku untuk menghalau rasa sakit yang menyentuh bagian dalam dadaku. Namun tetap saja b
Suara azan subuh mengalun merdu memasuki indra pendengaranku. Aku mengerjapkan mata berkali-hali, sampai akhirnya mataku bisa menatap bening semua objek di kamar yang bernuansa khas Jawa kuno ini. Aku meraih benda pipih yang berada di samping kanan kepalaku. Sejak semalam, aku memutuskan untuk tidak menjamah benda itu. Aku membirakannya diam di tempat beralaskan seprei batik yang membalut kasur. 12 panggilan tak terjawab dan 7 pesan masuk di aplikasi bewarna hijau. Aku meletakkan kembali benda itu saat ku lihat nama 'Emak' di daftar panggilan tak terjawab paling atas. Aku masih enggan berkomunikasi dengan orang tua egois itu. Aku bangkit hendak mengambil wudhu di kamar mandi. Melintasi dapur, aku lihat Wening sedang meracik bumbu, sementara Budhe memotong sayuran yang hendak diolah. "Sudah bangun, Vin?" tanya Wening tanpa menghentikan gerak mata pisau. Aku melihat parasnya begitu elok tanpa polesan make up sedikitpun. "Iya, Wen. Mau ambil wudhu. Permisi ya, Budhe," ucapku sembari
Aku mengerjapkan netra berulang kali saat aku tersadar dari pingsan. Pandanganku menyapu seluruh ruangan yang didominasi dengan warna putih ini. Tak seorangpun berada disini. Kiranya, siapa yang mengantarku ke tempat ini?Tak berselang lama, seorang perempuan paruh baya berseragam layaknya tenaga kesehatan muncul dari balik pintu. "Syukurlah kalau Anda sudah sadar." ucapnya sembari mengeluarkan sebuah suntikan dari sebuah kotak stainless steel, lalu menyuntikanya ke lenganku. Cekit, semakin berkurang cairan di dalam tabung suntik, semakin nyeri pula rasanya."Saya berikan suntikan emergency, kita lihat perkembangannya satu jam kebdepan. Kalau terjadi perbaikan, boleh pulang untuk rawat jalan." sambung perempuan itu, sebuah kapas kecil ditempel pada bekas suntikan, menyisakan rasa dingin, lalu ditutupnya menggunakan sebuah plester. "Saya permisi dulu," ucapnya lagi sebelum akhirnya berlalu meninggalkan ruangan.Sesosok pemuda bertubuh padat berisi memasuki ruangan, di mana sebelumnya
Keheningan meruang diantara kami bertiga, hanya suara Tiwul yang terus menggema di dalam ruangan. 10 menit lamanya Tiwul mengeluskan kepalanya di kaki setiap kami yang berada di ruangan ini. Namun selama itu juga kami mengabaikan tangisannya. "Lapar mungkin, Nduk," ucap Bapak sembari mengangkat tubuh binatang berbulu itu."Bisa saja, Pak." aku menghela nafas kasar, sisa kekesalanku terhadap ubur-ubur merah yang selalu saja mengusik keluarga kami. Tiwul berlari mengikuti aku begitu kakiku melenggang ke arah dapur. Aku tuang makanan kering ke dalam mangkuk yang selalu menemani aktifitas makanya selama lima tahun ini.Dengan semangat anak bulu itu mengunyah makanan yang aku berikan dengan sedikit mengerang. 'Ini sangat enak,' begitulah aku memaknai erangannya. Seketika pikiranku melayang, seiring dengan suara keriyukan yang timbul akibat kunyahan makanan kering dari mulut Tiwul.Aku tak pernah menduga, mengapa selalu saja hal-hal menyebalkan muncul ke dalam hidupku. Aku bisa saja rela
Seminggu berlalu setelah kejadian itu, aku dan Akas sering bertemu. Terkadang dia datang berkunjung ke rumahku, atau mengajakku keluar untuk sekedar bertukar cerita sehari-hari. Hanya cerita wajar, namun cukup mengasyikan. Matahari mulai menampakan diri dari tempat semula ia bersembunyi. Menorehkan rasa hangat di pagi yang cukup dingin di hari Minggu ini. Kerumunan pembeli tak kunjung surut, pergi satu, datang lagi yang baru, dan begitulah seterusnya. Mungkin seperti inilah kesibukan Akas di setiap harinya. Terkadang aku merasa iba melihatnya menghadapi para ibu yang tak putus asa menawar barang dagangannya, padahal hampir semua orang yang terbiasa berbelanja ke pasar pun tau, harga di lapak Akas paling murah dibanding dengan pedagang lain.Kendati begitu, aku tak menemukan kekesalan tersirat di wajah bulatnya. Sesekali ia menanggapi para ibu-ibu tersebut dengan candaan. Perlahan, tapi pasti. Kini bak mobil pick up bewarna putih itu mulai lenggang, hanya tersisa sedikit sayuran di
Laju kendaraan membawaku tiba di jalanan depan rumah. Pandanganku menyisir seluruh halaman depan rumah, biasanya Bu Ginah yang letak rumahnya selisih 3 rumah dari rumahku akan beringsut mendekat untuk mengintip siapa laki-laki yang datang ke rumahku.Helaan nafas lega ku hembuskan sembari mengelus dadaku. Netraku tidak mendapati pergerakan yang mencurigakan dari perempuan bertubuh gemuk itu. Aman. Rasa canggung tak henti meruang di dalam dadaku, menyisakan degup-degup tak karuan di bagian jantungku. Jika sebelumnya aku bisa dengan mudah mengucap terimakasih kepada Akas, namun kini tidak. Sekedar menatap wajahnya saja aku enggan. Aku terjebak dilema di antara perasaan kesal, atau rasa tak enak hati karena dia sudah menolongku saat pingsan di halte. Aku merasa berhutang budi pada pemuda yang kini menuruni kendaraanya itu. Tanpa mengucap sepatah katapun, aku melenggangkan kaki untuk segera memasuki rumah. Namun sebuah tarikan kuat di pegelangan tanganku membuat langkahku tercekat. "Su
[Aku tunggu di halte Pasar Sapi ya. Nebeng motor kamu, hehehe] Begitulah pesan dari Mira. yang baru saja aku baca. Sabtu pagi yang cukup cerah. Cuaca sangat sangat mendukung untukku melakukan perjalanan jauh ke lereng Merbabu, salah satu gunung yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Bukan healing alasanku melakukan perjalanan ke sana, melainkan memenuhi undangan acara Saparan yang diadakan di Desa tempat tinggal Akas. Saparan adalah, ritual atau tradisi tahunan yang dilaksanakan pada setiap bulan Sapar. Saparan merupakan tradisi budaya Jawa yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur dengan tujuan agar diberikan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Biasanya, setiap rumah penduduk akan menyajikan beragam makanan, mulai dari makanan ringan sampai makanan berat, dan membiarkan siapapun makan di rumah mereka tanpa terkecuali. Konon, semakin banyak orang yang berkunjung dan makan hidangan yang disuguhkan, rejeki sang tuan rumah akan bertambah banyak.Sewaktu istirahat jam kerja aku
Hari Senin adalah hari yang panjang. Nampaknya ungkapan itu juga berlaku untukku. Sedari pagi aku terus saja mencuri pandang pada jam dinding yang bertengger di sebelah kanan papan target. Jarum jam terasa sangat lambat berpindah ke angka lain, seolah tengah mengejekku.Aku terkesiap saat mendapati sepasang mata tengah mendelik menatapku. Segera aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang terasa sangat menjemukan hari ini. Aku menggerakkan tanganku dengan lihai, sedangkan kedua netraku ku usahakan menatap lekat pada pada setiap helaian kain yang aku jahit. Seorang wanita paruh baya bertubuh gendut tengah berkacak pinggang sembari berjalan mendekatiku. Pura-pura aku tetap terfokus pada pekerjaanku untuk menutup perasaan gugup yang menyerang jiwaku. "Kenapa dari tadi lihat-lihat jam terus?!" tanya wanita itu sembari menaikan lengan baju bewarna merah jambu yang ia kenakan. Kini terlihat sangat jelas lengan putih berlemaknya, dengan sebuah tato bunga mawar di lengan kirinya. Sekilas aku