Barangkali bukan rezeki Embun untuk bekerja di cafe milik saudara temannya Yasmin?
Ibu satu anak itu pun menghela napas.
Digantinya seragam cafe dengan pakaian sebelumnya.
Ia memutuskan berjalan keluar kafe dan berdiri mematung di tepi jalan dengan perasaan yang runyam. Ia bingung harus pulang ke apartemen Yasmin. Yasmin pasti marah padanya karena ia sudah merusak kepercayaan Yasmin. Padahal adik sambungnya itu sudah bersusah payah mencarikannya pekerjaan.
“Ternyata, benar apa kata Ayah. Mencari kerja di kota sangat sulit. Apalagi aku hanya lulusan SMA di kampung.”
Embun menghela nafas panjang. Tatapannya menyapu seluruh sudut jalan. Ia merasa dunianya kosong. Tangannya begitu saja mengusap perutnya. Lupa jika ia telah melahirkan.
Mengingat bayinya yang tampan, dada Embun merasa sesak sekali. Hatinya terasa perih. Namun ia berusaha menegarkan dirinya kendati merasa hidup tidak adil baginya! Mengapa ia harus menanggung masalah ke dua orang tuanya?
Jangan tanyakan perasaannya saat ini! Hatinya sangat hancur. Ia merasa dikhianati oleh pria yang begitu dipujanya. Pun, ia merasa dijebak dan dimanfaatkan olehnya.
Kenangan-kenangan buruk yang melintas sungguh menguras energi wanita lugu itu. Ia menjadi lapar dan haus. Namun, uang yang tersisa hanya sedikit. Ia pun mampir ke sebuah warung yang berada di tepi jalan. Ia membeli air mineral dalam botol.
Glek, glek, glek,
Embun meneguk perlahan air mineral itu. Sungguh, ia merasa sangat kehausan. Beberapa detik kemudian, Embun merasa sakit di bagian payudaranya. Seharusnya ia memompa ASI-nya. Namun ia tidak memiliki kesempatan melakukannya. Payudaranya mengeras dan sangat sakit.
Tatapan Embun beralih dari botol mineral tersebut pada sebuah layar 14 Inchi yang berada di warung tersebut. Seketika ia berjengit kaget saat melihat ada sebuah berita yang menampilkan sosok familiar.
“CEO PT Yudistira Group-Danar Yudistira dan CEO PT Cahyadi Group-Paramita Rosalina Cahyadi kini tengah mereguk kebahagiaan yang sempurna. Setelah menunggu selama sepuluh tahun lamanya akhirnya mereka dikaruniai putra tampan melalui proses kehamilan yang teramat sukar.”
Begitulah narasi yang diberitakan dalam berita tersebut.
Embun merasa sakit di ulu hatinya. Ia baru tahu jika suaminya itu bukanlah orang biasa. Ia hanya tahu jika suaminya seorang pengusaha dan bekerja di ibukota. Selama menjadi istrinya, Danar memang pendiam dan tidak membahas apapun selain sebuah pesan pada istrinya. “Kau harus makan dengan baik karena ada janin yang harus kaujaga!”
Yang paling mengejutkan ialah ternyata suaminya sudah memiliki istri sebelumnya. Bahkan pernikahan mereka sudah mencapai sepuluh tahun. Kesimpulannya sudah jelas jika dirinya hanyalah alat untuk mendapatkan keturunan pewaris.
“Beruntung sekali ya kalau jadi Paramita. Sudah anak pengusaha, penerus usaha keluarganya dan suaminya pengusaha. Hidupnya enak dari lahir. Apalagi katanya Tuan Danar itu orangnya baik banget. Dia pria setia, gak neko-neko. Argh, sempurna sudah!”
Pemilik warung-wanita bertubuh tambun mengomentari berita yang tengah viral itu.
Embun hanya menghela nafas pelan mendengarnya. Cara pandang dirinya pada mantan suaminya sudah berubah seratus delapan puluh derajat.
“Eh, katanya, kalau misalkan Tuan Danar gak punya anak lelaki, maka warisan dari kakeknya itu akan turun pada sepupunya.”
Tiba-tiba ada seorang pembeli yang menimpali.
“Keren lah! Pulang dari luar negeri langsung bawa anak! Dulu katanya Paramita mandul. Tapi … the power of money apa sih yang enggak zaman sekarang.”
Wanita pemilik warung itu berkomentar dengan santai.
Embun yang mendengarnya merasa tercabik-cabik hatinya. Bayi yang dikatakan mereka itu bayinya dengan Danar. Ia yang sudah menjaga bayi itu selama sembilan bulan lamanya dalam rahimnya. Lalu dengan enteng mereka mengumumkan bayi itu anak dari Paramita?
Namun Embun hanya memilih diam, menyimak perbincangan mereka. Mungkin selama ini ia hanya berkutat di rumah. Ia tidak mengetahui ihwal berita yang berada di luar sana. Ada banyak hal yang dilewatkan dalam hidupnya karena disibukkan dengan urusan rumah tangga. Ia juga tidak aktif mengikuti media sosial.
“Kalian senang sekali bergosip! Sudah! Cari berita yang penting kek,” imbuh si suami wanita itu memperingati.
“Ah, si Bapak, gak apa-apa dong kali-kali nonton gosip,” kata si pembeli tadi, wanita muda bicara dengan kekehan kecil.
“Pernikahan bisnis di keluarga pengusaha itu sudah biasa. Anaknya pengusaha batu bara nikah sama anak pengusaha emas. Pokoknya ya seputar lingkungan mereka. Jangan harap orang-orang kayak kalian dinikahi macam Tuan Danar! Kecuali kalian jadi wanita simpanan, ya Neng!”
Bapak itu berkata sembari menoleh ke arah Embun.
Telinga Embun semakin memanas mendengar percakapan mereka. Ingin segera beranjak dari sana.
Embun akan pulang kembali ke apartemen milik adik sambungnya. Sayang, karena ia tidak tahu jalan, ia justru tersesat. Ia pun memilih menunggu di sebuah halte bus yang menurutnya tempat paling aman. Ia pun menelepon Yasmin namun tidak diangkat. Naasnya, Embun bahkan tidak tahu bagaimana caranya memesan kendaraan secara online.
Embun celingukan ingin bertanya pada wanita yang duduk di sampingnya. Wanita paruh baya yang sibuk karena mencari dompetnya.
“Astaga, dompet hilang! Bagaimana aku membayar bus? Mana gak ada pulsa lagi gak bisa telepon.”
Embun mendengar wanita paruh baya berpakaian rapi itu mengoceh sendiri seperti orang tidak waras. Ia mengecek beberapa kali tas dan barang bawaannya. Nihil, ia memang dicopet saat tadi turun dari kendaraan umum di sana.
Melihat wanita itu sibuk dengan wajah yang cemas, Embun memberanikan diri bertanya padanya. Barangkali ia bisa membantunya. “Bu, apa yang sedang kaucari?”
Wanita itu menoleh seraya tersenyum menatap Embun. “Cah Ayu, saya sedang mencari dompet. Sepertinya hilang dicopet tadi saat naik kereta.”
“Ya ampun, Bu. Ibu mau pergi ke mana sekarang?” tanya Embun bernada khawatir. Ia lupa jika dirinya juga tengah kebingungan.
Alih-alih menjawab pertanyaan Embun, wanita paruh baya itu berkata, “Neng, saya bisa pinjam uang gak? Nanti saya bayar.”
Embun terdiam sejenak. Uang miliknya saja hanya tersisa seratus ribu rupiah. Jika ia membagi uang itu dengannya maka ia tidak yakin bisa tiba di apartemen Yasmin.
Sisi lain, wanita itu berpikir jika Embun pasti keberatan. Mereka baru saja bertemu. Nanti dikira ia seorang penipu.
“Atau, begini, boleh saya pinjam hape-nya? Saya mau telepon seseorang untuk menjemput saya.”
Jika demikian, Embun pun tak keberatan. Wanita bermanik almond itu meminjamkan ponselnya pada wanita itu. Matanya bergerak-bergerak mengawasi wanita yang sedang teleponan dengan seseorang. Embun takut jika ponselnya dicuri sebab belum dibayar.
“Makasih ya!” imbuh wanita itu dengan perasaan lega. Mereka pun berkenalan. Wanita bernama Mbak Nuri itu ternyata seorang asisten rumah tangga yang bekerja di salah satu perumahan elit di ibukota. Ia baru saja pulang kampung karena menghadiri adiknya yang menikah.
Diam-diam, Embun menyimak perbincangan di antara wanita bernama Mbak Nuri dengan seseorang. Terdengar Mbak Nuri ingin dijemput oleh seorang supir. Namun seketika ia terperangah saat mendengar Mbak Nuri menyebutkan alamat majikannya. Sebuah alamat yang sudah ia hafal sejak ia menginjakan kakinya di ibukota.
“Siapa majikan Mbak Nuri?” tanya Embun dengan hati-hati.
Mbak Nuri menatap Embun lama kemudian menjawab. “Majikan saya Tuan Danar Yudistira.”
Mendengar nama itu disebut, ke dua tangan Embun meremat roknya dengan kuat.
Danar Yudistra--nama mantan suaminya!
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby