Sepuluh Tahun Kemudian
Langit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.
Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak.
“Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.
Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”
Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”
Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”
Savana dan Aurora saling lirik dengan mendesah pelan. “Iya, Mama,” jawab mereka serempak.
Di teras rumah, Manggala baru saja menutup laptopnya. Ia menatap keluarganya dengan mata berbinar. Kehangatan itu begitu nyata. Ia bangkit, berjalan menuju mereka, lalu merangkul Sagara dari belakang.
“Anak Papa, udah besar banget kamu sekarang,” gumam Manggala bangga. “Empat belas tahun… Gak kerasa, ya.”
Sagara menoleh, menatap ayah sambungnya dengan mata teduh. “Ayah… makasih ya. Udah selalu ada buat aku.”
“Kenapa jadi sentimental gini pagi-pagi?” Manggala tertawa. “Eh, kamu tahu nggak? Dari semua anakku, kamu yang paling bikin Ayah belajar banyak tentang jadi ‘ayah’.”
Sagara tersenyum. Hatinya hangat.
Dia tahu persis bagaimana hidupnya dulu—menurut kisah yang ia dengar dari neneknya. Jeena tidak pernah menceritakan kisah sedih yang ia alami pada Sagara. Namun berbeda dengan Ana. Ia menceritakan banyak hal tentang Jeena, agar Sagara tumbuh menjadi seorang anak yang menyayangi ibunya.
Jeena menghampiri mereka dan menaruh tangan di bahu suaminya. “Kita berhasil ya, Mas? Membesarkan empat orang anak,”
Manggala mengangguk pelan. “Iya… kita berhasil. Mau nambah lagi gak?”
Jeena membelakakan matanya. Kemudian menggeleng ribut. “Udah ah! Cukup,”
“Gak apa-apa, Sayang, Mas suka banyak anak. Rumah rame. Kalau soal ngurus anak. Kita kan bisa sewa babysitter lagi.”
Manggala menggoda istrinya. Baginya, sebetulnya empat anak sudah cukup. Ia tak tega setiap kali melihat Jeena melahirkan.
“Enggak ah.”
Jeena tetap pada pendiriannya.
“Bercanda, Sayang! Oh, ya Beryl anaknya nambah lagi? Ya ampun, gak kebayang repotnya,” timpal Manggala dengan kekehan pelan.
Jeena seketika menyatukan ke dua alisnya. “Katanya, Laila hamil lagi.”
“Mama, boleh aku ngajak Bintang, Savana, sama Aurora ke danau sore ini?” tanya Sagara mengusik percakapan mereka.
Jeena mengangguk. “Boleh, asal pulangnya jangan kemalaman ya. Bawa minum, dan jangan lupa topi.”
“Siap, Mama!”
Sagara merangkul adik-adiknya dan berjalan ke arah samping rumah, dikelilingi tawa mereka. Dari belakang, Jeena dan Manggala berdiri berdampingan, saling menatap dengan damai.
Di langit, awan putih bergerak perlahan.
Masa lalu yang pahit telah terkubur di belakang mereka.
Yang tersisa kini hanyalah kebahagiaan, kehangatan, dan harapan.
Dan Sagara, anak yang dulu lahir dari luka, kini tumbuh dalam cinta. Sebuah akhir yang indah—dan sekaligus, sebuah awal yang lebih baik.
***
Pagi itu mendung menyelimuti langit perbukitan. Angin berhembus perlahan, membawa aroma tanah basah yang menguar dari halaman rumah. Sagara baru saja pulang dari sekolah ketika seorang wanita paruh baya dengan raut wajah penuh kepedihan dan kesan menyimpan dendam datang ke gerbang utama.
Wajahnya tampak jauh lebih tua dari usianya. Rambutnya disanggul rapi, namun sorot matanya menyimpan bara yang belum padam. Ia berdiri mematung di depan penjaga keamanan, menatap megahnya rumah Jeena dan Manggala.
“Aku hanya ingin bertemu cucuku,” ucap Diajeng datar, namun penuh tekanan. “Aku nenek kandungnya.”
Sisi lain, Jeena sedang menyiapkan teh di dapur saat suara petugas keamanan terdengar di interkom.
“Bu Jeena, ada tamu atas nama Ibu Diajeng… mengaku nenek dari Sagara.”
Jeena tersentak. Seketika tangannya bergetar. Ia menoleh pada Manggala yang duduk membaca koran di ruang tamu. Sudah lama memang wanita itu tidak pernah datang mengunjungi cucunya.
“Mas…”
Manggala mendongak, sedikit kaget. “Suruh masuk aja,”
Jeena mengangguk.
Diajeng pun masuk ke dalam hunian mewah itu. “Aku mau ketemu cucuku,”
Jeena bersikap sopan seperti biasa.
“Ada di taman belakang,” jawabnya tenang.
Tanpa basa-basi, Diajeng langsung berjalan menuju taman belakang diantar oleh pelayan.
Sagara yang masih mengenakan seragam sekolah langsung menoleh saat melihat siapa yang datang.
“Nak… Sagara… Eyang kangen. Eyang cuma ingin tahu kabarmu.”
Sagara menunduk. “Aku baik, Eyang.”
“Kamu betah tinggal di sini? Kalau gak betah, kamu bisa pindah dan tinggal sama Eyang. Sebelum meninggal, Papamu sudah mewariskan perusahaan yang dia bangun lagi untukmu. Papamu juga sudah menyimpan tabungan untuk pendidikanmu.”
Diajeng kembali membujuk Sagara. Setelah suaminya meninggal. Ia kesepian. Setiap kali menjenguk Sagara, ia selalu mengajak Sagara untuk tinggal bersamanya.
“Enggak, Eyang. Aku akan tinggal di sini aja. Papa Manggala sangat baik padaku. Mama apalagi …”
Diajeng tersenyum tipis. Namun senyum itu dingin. Mata tuanya menatap lekat.
“Tapi kamu tau, kan? Ayah kandungmu, Danar… meninggal karena orang itu.”
Sagara mengerutkan kening. “Papa Manggala? Maksud Eyang?”
“Kalau bukan karena dia… Danar masih hidup. Dialah yang mengambil semuanya dari ayahmu. Dari keluarga kita!” Diajeng menekankan setiap kata dengan emosi yang tajam. “Manggala sudah merampas ibumu dari Papamu termasuk perusahaan Yudistira.”
“Eyang,” Sagara menatapnya, bingung dan cemas. “Tapi... Papa Danar meninggal karena kanker. Aku ingat…”
“Benar! Ayahmu sakit karena frustrasi akibat ulah Manggala. Tanyakan pada ibumu kalau tak percaya. Mereka merahasiakan segalanya darimu!” Diajeng mulai menghasut Sagara yang masih polos.
Sagara terdiam. Hatinya diguncang. Rasa sayangnya pada Manggala berbenturan dengan benih keraguan yang kini mulai tumbuh. Tangannya mengepal. Dadanya sesak.
Diajeng melangkah lebih dekat, menatap wajah remaja itu dengan tatapan menyedihkan.
“Kamu anak Danar. Kamu berhak tahu kebenarannya, Sagara.”
Dan di saat itulah, langkah kaki terdengar mendekat. Jeena berdiri di ambang pintu taman, wajahnya tegang, suaranya tajam seperti belati.
“Cukup, Bu Diajeng.”
Sagara menoleh—ibunya berdiri di sana, mata menatap langsung ke wajah wanita yang dulu pernah memanggilnya menantu.
Dan di balik bayangannya, sesosok lelaki muncul—Manggala.
Ketegangan membuncah.
Sagara berdiri, matanya mencari jawaban.
“Mama… Papa Benarkah semua ini…?” gumam Sagara menatap Jeena dan Manggala bergantian.
“Jangan dengarkan dia!” jawab Jeena pada putranya lalu menatap Diajeng. “Kami mau ada urusan. Silahkan keluar dari sini sekarang!”
Diajeng menatap Jeena dengan tatapan yang sama, permusuhan.
“Gara, cucu Eyang, pikirkan baik-baik perkataan Eyang,” bisiknya lalu pergi begitu saja.
***
Malam itu, hujan turun perlahan, seperti rintik-rintik rahasia yang jatuh satu-satu ke tanah, mengisi kesunyian dengan dentingan lembut.
Sagara berdiri di balik jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Di balik kaca yang basah, pikirannya melayang ke percakapan dengan Diajeng siang tadi. Kata-kata neneknya menggema, terus berputar seperti gema yang tak kunjung padam.
“Kamu anak Danar. Kamu berhak tahu kebenarannya, Sagara.”
“Mereka merahasiakan segalanya darimu.”
Sagara mengepalkan tangan. Ia bingung, hatinya terombang-ambing. Benarkah Manggala menyimpan rahasia tentang ayah kandungnya? Tapi... bagaimana dengan semua kenangan selama ini? Manggala tak pernah sekalipun membedakan dirinya dari adik-adiknya. Bahkan, lebih dari itu—ia selalu merasa disayang.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk pelan.
“Boleh Papa masuk?” suara Manggala terdengar hangat, seperti biasa.
Sagara segera menghapus air matanya yang tak sadar mengalir. “Iya, Papa”
Pintu terbuka, dan Manggala masuk sambil membawa semangkuk sup panas.
“Kamu belum makan malam,” katanya, meletakkan mangkuk di meja belajar. “Mama bilang kamu murung. Ada apa?”
Sagara menunduk, ragu. Ia ingin bertanya. Ia ingin tahu. Tapi hatinya tak sanggup menyakiti lelaki ini.
“Gak apa-apa,” ujarnya pelan.
Manggala duduk di tepi ranjang, menatap anak remajanya dengan penuh perhatian. “Sagara... Kamu tahu, Papa bukan lelaki sempurna. Papa bukan Danar. Tapi Papa sayang kamu, melebihi apapun.”
Sagara menggigit bibirnya. Air matanya kembali menggenang.
“Kamu anak pertama Papa. Dan akan selalu jadi kebanggaan Papa.”
Manggala tidak membahas soal Diajeng secara langsung. Ia hanya ingin meyakinkan Sagara, bahwa ia menyayanginya seperti anak kandung sendiri.
Sagara menatapnya. Matanya berair.
Manggala tersenyum dan menyentuh bahu anak tirinya itu. “Kamu anak yang hebat. Dan kamu selalu bisa tanya apapun pada Papa, kapanpun kamu siap.”
Dan saat itu... Sagara melihatnya. Mata Manggala penuh ketulusan, bukan topeng. Genggaman tangannya hangat, bukan sandiwara. Dan sup hangat di meja adalah hal kecil yang menampar kesadarannya.
Bukan siapa yang melahirkan, tapi siapa yang mencintai tanpa pamrih.
“Terima kasih, Papa ...” suara Sagara parau. “Maaf kalau aku sempat ragu.”
Manggala menatapnya, lalu menariknya dalam pelukan erat.
“Tak apa. Namanya juga anak Papa,” bisiknya.
Pelukan itu, untuk Sagara, lebih kuat dari seribu kata.
Dan malam itu, ia tahu. Apapun yang dikatakan masa lalu, hatinya telah memilih.
Manggala akan selalu menjadi ayahnya.
***
Suara tawa anak-anak menggema di halaman belakang rumah besar peninggalan Hanum dan Sulaiman. Rumah itu masih berdiri kokoh, penuh kenangan masa lalu, kini menjadi tempat berkumpul keluarga besar Basalamah yang makin ramai dan penuh warna.
Ali, sang anak sulung, berdiri di beranda sambil memandangi halaman yang telah ditata dengan apik untuk gathering keluarga hari itu. Meja-meja panjang berjajar, penuh hidangan khas keluarga: nasi kebuli, ayam bakar madu, sup buntut, dan beraneka kue buatan Sulis dan Levina. Lampu-lampu gantung memberi cahaya hangat saat matahari mulai condong ke barat.
“Alhamdulillah, semua bisa datang,” gumam Ali tersenyum, menatap wajah-wajah yang ia sayangi.
Ana datang bersama suaminya, Dr. Zain dan cucu-cucunya, Sagara dan Bintang yang menginap di rumahnya. Mereka duduk di sudut teras, bercengkrama ringan sambil memperhatikan anak-anak yang berlarian. Sesekali, Ana menoleh ke arah taman, tempat Sagara sedang bermain bola dengan Bintang. Jeena dan Manggala datang menyusul tak lama kemudian, membawa brownies panggang buatan Jeena yang selalu jadi favorit keluarga.
Tak lama kemudian, suara tawa khas Pasha terdengar, disusul Rosa yang turun dari mobil sambil menggendong Lili, balita berusia lima tahun yang bersorak kegirangan melihat para sepupu mereka. Pun, Rayyan dan Rafael ikut turun dengan antusias. Apalagi melihat sepupu mereka yang sudah lebih dulu tiba di sana.
Laila dan Beryl datang membawa pasukan kecil mereka. Lima putri cantik yang penuh semangat. Mariyam dan Halimah sibuk membantu Levina di dapur luar, sementara tiga kembar mungil, Fatimah, Aisyah, dan Khodizah, duduk berbaris, menyanyikan lagu-lagu kecil yang membuat semua orang gemas.
“Berapa anak lagi nih, Beryl?” goda Pasha sambil menyikut bahu sepupunya itu.
Beryl tertawa, menatap Laila yang tersipu malu. “Cukup tujuh. Kalau lebih, kami buka PAUD sekalian.”
Ia ingin sekali memiliki anak lelaki, namun takdir berkata lain. Semua anaknya berjenis kelamin perempuan. “Doain yang ini cowok,”
Pasha nyaris tersedak udara. “Laila hamil lagi?”
Beryl nyengir kuda. Ia merangkul pinggang istrinya. “Iya. Kembar dua sekarang. Tiga bulan,”
Pasha menganga mendengar pengakuan Beryl. “Selamat!”
Beryl dan Laila saling melempar pandang dan terkekeh pelan.
“Gen kembar sih,” beo Beryl kemudian tatapannya tertuju pada ke lima putrinya yang bergabung dengan ke dua putri kembar Jeena.
Maryam, Halimah, Fatimah, Aisyah, Khodizah, Savana dan Aurora. Mariyam yang paling besar sedang mengatur mereka yang lebih kecil agar duduk dengan tertib.
“Sa, beneran kita buka PAUD sekalian,” lanjut Beryl.
Pasha mengikuti arah tatapan Beryl. “Bener. Mungkin dulu Nena dan Jidu cuman punya dua anak kembar. Sekarang cucunya banyak. Anak Jeena empat. Anakku tiga. Anak Alby dua. Lo yang rekor mau punya tujuh anak. Totalnya, enam belas cucu,”
Ke dua pria itu tertawa bersamaan.
Levina muncul dari balik pintu dapur dengan wajah bersinar, mengenakan dress longgar yang tak bisa menyembunyikan perut yang membulat. Alby menggandeng Alvin kecil yang kini sudah bisa membaca dan suka bercerita. Levina dan Alby memiliki seorang anak lelaki berusia empat tahun.
“Levina hamil lagi?” seru Rosa dengan wajah bahagia.
“Insya Allah. Tiga bulan ini,” jawab Alby bangga.
Tawa dan canda memenuhi seluruh sudut rumah. Anak-anak berlarian, orang dewasa saling bertukar cerita dan memori. Bahkan Dr. Zain yang biasanya serius, tertawa lepas saat Fatimah kecil tiba-tiba menyuapinya potongan semangka.
Di meja makan, Ali berdiri sambil mengetuk gelas. Semua mata menoleh padanya.
“Kita bersyukur,” katanya. Suaranya bergetar sedikit, tapi tegas. “Dulu, rumah ini sering sunyi. Kini, penuh canda tawa. Mama Hanum dan Papa Sulaiman mungkin sudah tiada, tapi cinta mereka tetap hidup... dalam semua tawa anak-anak kita.”
Semua bertepuk tangan. Jeena menatap Manggala dan menggenggam tangannya. Di sebelah mereka, Sagara melirik ayah sambungnya, lalu tersenyum kecil.
Dan malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, rumah Basalamah tidak hanya menjadi tempat tinggal, tapi rumah hati—tempat pulang.
Dan kisah mereka tak sempurna, tapi indah.
TAMAT.
Noted:
Halo,
Terima kasih my Lovely Goodreaders yang sudah menikmati kisah romansa Novel Dicampakkan Setelah Melahirkan hingga selesai. Kini kita sudah berada di penghujung cerita. Semoga kalian terhibur dengan ceritanya. Mohon maaf juga karena ada begitu banyak kekurangan di dalam ceritanya. See you di novel berikutnya.
Sedikit spoiler, novelnya masih menunggu kontrak. Novel baru Pie Mar bergenre Romcom ya. Cerita baru yang lebih fresh cara penyampaiannya. Cerita tentang cinta beda usia.
Oh ya, yang mau nostalgia dengan spin off novel Dinodai Setelah Malam Pertama, nanti di novel tersebut ada kisah anaknya Neng Mas, si pendekar silat dan anaknya Si Silly Sally☺️.
Wassalam,
Pie Mar
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby