Part 2
“Kalau kamu mau tinggal di rumah orang tuamu lagi, silakan. Tapi jangan pernah datang ke sini lagi," katanya dengan nada menghina. “Aku sudah capek, Berlian! Hidupku penuh drama sejak kamu datang!” Berlian memejamkan mata, menahan isak. “Aku cuma butuh kamu, Mas, satu-satunya orang yang kupunya…” Leo mengibaskan tangan, geram. “Masih untung aku gak nuntut kamu bayar biaya rumah sakit! Kamu pikir melahirkan itu murah? Puluhan juta, Berlian! Dari kamar perawatan sampai ruang operasi! Itu semua aku yang tanggung!” Ia tertawa hambar, sinis, menusuk. “Dan lihat hasilnya? Bayinya mati. Sia-sia.” “Aku … aku gak pernah minta kejadian ini, aku gak pengin bayi kita pergi …” lirihnya. “Tapi kamu suamiku, Mas. Kamu tempat aku pulang.” “Salah!” Leo mendesis. “Mulai hari ini, kamu bukan siapa-siapa. Dan aku akan urus perceraian kita secepatnya.” Deg. Ucapan itu seperti palu besar yang menghantam jantungnya. Berlian terisak, dan kali ini ia tak sanggup berdiri. Lututnya lemas, tubuhnya jatuh berlutut di lantai teras yang dingin dan basah. “Mas … jangan … tolong …” ucapnya pelan. Tapi Leo sudah memutar tubuhnya, kembali masuk ke dalam rumah. Tanpa menoleh lagi. Tanpa sedikit pun rasa iba. Pintu ditutup dengan kencang. BRAAKK ... Hujan masih deras. Petir menyambar sesekali, menggetarkan langit sore itu. Berlian menunduk. Matanya basah, napasnya tersengal. Tangannya yang memegang perut mulai bergetar. Rasa panas menusuk bekas jahitan operasinya. Namun tidak ada tangan yang memeluknya. Tidak ada yang bertanya apakah ia baik-baik saja. Tidak ada yang peduli. Dengan langkah tertatih, Berlian berjalan perlahan menjauh dari rumah. Melewati gerbang, menyusuri trotoar basah. Kaki kirinya menjejaki genangan air, lututnya gemetar. Sementara itu, Leo hanya menatap dari balik jendela kamar lantai atas. Dengan tangan memegang gelas anggur dan perempuan muda yang bersandar di dadanya, ia tetap diam, tanpa rasa iba. Seolah hatinya telah mati. Langkah demi langkah, darah mulai merembes. Di bawah gamis panjang yang ia kenakan, cairan merah meresap membentuk noda gelap. Berlian menggigit bibirnya, menahan isak dan nyeri yang tak bisa dibedakan lagi. Tapi ia terus berjalan. Tak tahu arah, tak peduli tujuan. Ia hanya ingin pergi. Pergi sejauh mungkin. Satu … dua langkah lagi… Namun tubuhnya tak sanggup. Pandangannya tiba-tiba gelap. Ia jatuh. Tubuhnya rebah di trotoar. Kepala terbentur keras di jalan basah. Plastik obat dan map rumah sakit tercecer. Darah bercampur air hujan. Namun detik itu juga, sebuah suara panik terdengar. “Ya ampun! BERLIAN?!” Seseorang berlari menghampiri. Sosok perempuan muda dengan jaket merah, kantong belanja kecil tergantung di tangannya, ia baru saja pulang kerja sebagai kasir Alfamart di ujung jalan. “Ya Allah, kamu kenapa?! Berlian?! Sadar dong … Astaga … ini darah ya?!” Anggun panik. Tangannya gemetar saat menyentuh pipi Berlian yang dingin. Tanpa pikir panjang, ia langsung menghentikan ojek online yang kebetulan lewat dan membawa Berlian ke klinik terdekat. *** Malam Hari di rumah Leo Lampu kamar utama redup. Tirai tipis menari pelan diterpa angin dari jendela yang sedikit terbuka. Aroma parfum mewah menguar di udara, bercampur dengan suara tawa pelan seorang perempuan muda. Perempuan berambut panjang dengan baju tidur tipis nyaris transparan, tengah bersandar manja di lengan Leo. Jemarinya mengusap pelan garis rahang pria itu, sementara Leo meneguk wine dari gelas kristal di tangan. “Kamu yakin nggak bakal nyesel ninggalin istrimu cuma buat aku?” bisik Clara dengan senyum menggoda. Leo mendengus pelan. “Dia hanya wanita pembawa sial dan terlalu banyak drama. Aku butuh yang lebih fresh dan menggoda,” ujarnya sambil mengecup kening Clara. “Dan kamu ... kamu tahu caranya bikin aku lupa segalanya.” Clara tertawa genit, lalu bangkit dan berdiri di depan Leo, membiarkan cahaya lampu malam memantul dari kulitnya yang bersih. “Kamu janji ya, Mas ... Aku nggak mau cuma jadi selingan. Kamu udah usir dia, berarti mulai malam ini … rumah ini milik kita, kan?” Leo menatap Clara lalu meletakkan gelasnya dan menarik perempuan itu kembali ke pelukannya. “Rumah ini, ranjang ini, semuanya cuma untuk kamu sekarang,” bisiknya penuh nafsu. "Jadi kapan kamu mau nikahin aku?" Leo terdiam. Tak ada sepatah kata apapun yang keluar, hanya napas dan detik jam yang beradu. Clara menyandarkan tubuhnya, tapi kali ini senyumnya menghilang. Tatapannya berubah serius. Jemarinya kini menggenggam kerah piyama pria itu, seolah tak ingin dia menghindar. “Kamu belum jawab pertanyaanku,” bisiknya pelan tapi tegas. “Kapan kamu mau nikahi aku, Mas?” Leo menarik napas panjang. Ia memejamkan mata sebentar, lalu menatap ke arah jendela yang basah oleh hujan. Hatinya tak tenang. “Clara … sekarang bukan waktunya bahas itu.” “Kenapa bukan sekarang?” Clara langsung bangkit dari pelukannya. “Kamu udah tinggalin istrimu. Kamu usir dia dari rumah. Kamu bilang semuanya buat aku. Terus kenapa kamu nggak bisa kasih aku kepastian?” Leo bangkit dari tempat tidur, berjalan ke arah meja, menuang wine lagi ke dalam gelas. “Banyak hal yang harus diberesin dulu.” Clara memelototinya. “Apa lagi yang harus diberesin?! Kamu pikir aku bodoh? Aku udah tidur sama kamu, melakukan semuanya demi kamu, kamu pikir aku mau digantung kayak gini, Mas?!” Leo berbalik, wajahnya mulai gelap. “Jangan paksa aku sekarang, Clara.” “Tapi kamu udah janji, Mas! Kamu sendiri yang bilang kamu bakal nikahin aku! Atau semua ini cuma permainan buat kamu?” Leo memlempar gelasnya ke meja dengan keras, membuat Clara tersentak. “Aku udah cukup pusing, Clara!” Suaranya meninggi. “Jangan tambah tekanan lagi!” Clara menatapnya, berusaha menahan diri. "Oke. Tapi, jangan salahkan aku kalau semuanya akan bocor ke publik. Termasuk hubungan kita, alasan kamu mencampakkan istrimu, tentang bayimu dan semua hal yang kamu coba sembunyikan selama ini.”Lima Tahun KemudianSuasana mall siang itu cukup ramai. Musik lembut mengalun dari pengeras suara, anak-anak berlarian sambil memegang balon, dan aroma wangi dari kafe di lantai bawah tercium sampai eskalator.Alif, yang kini berusia enam tahun, berjalan riang sambil memegang cone es krim. Berlian berjalan sedikit di belakang sambil sesekali tersenyum melihat tingkah laku putranya.“Pelan-pelan, Sayang. Lantainya licin,” pesan Berlian. Wanita itu kini tengah mengandung. Perutnya membuncit tanda usia kehamilannya sudah menginjak tujuh bulan.“Baik, Bun!” jawab Alif sambil melambaikan tangan, tak sadar ia menginjak bagian lantai yang basah karena baru saja dipel.BRUK!Alif terpeleset, tubuhnya miring ke belakang. Namun sebelum punggungnya benar-benar membentur lantai, sepasang tangan besar menangkapnya dengan sigap.“Nak, hati-hati. Lantai licin,” tukas sebuah suara berat namun lembut.Alif mendongak, sedikit gug
Part 39 Ulang tahun Alif yang pertama Pagi itu, matahari bersinar lembut menembus tirai jendela kamar Berlian. Ia terbangun lebih awal dari biasanya, meski semalam sempat susah tidur karena memikirkan acara hari ini. Tangannya otomatis meraih Alif yang masih terlelap di ranjang bayi di sisi tempat tidurnya. Berlian tersenyum, hatinya hangat. “Selamat ulang tahun yang pertama, sayangku …” bisiknya lembut sambil mencium kening Alif. Tak lama, Kaivan masuk ke kamar sambil membawa nampan sarapan. Ada roti panggang, segelas susu hangat untuk Berlian, dan bubur lembut untuk Alif. “Selamat pagi, dua malaikatku,” sapanya ceria. Berlian terkekeh kecil. “Pagi, Mas. Kenapa repot-repot bawa sarapan ke sini?” “Karena hari ini spesial,” jawab Kaivan, duduk di tepi ranjang. Ia lalu menatap Alif dengan penuh kasih sayang. “Selamat ulang tahun, jagoan ayah. Satu tahun sudah k
"Kata siapa kami tidak memberitahumu? Kami datang memintamu untuk jadi wali Berlian tapi Anda justru menolak dan mengusir kami!" tukas Kaivan tegas."Aah bulshit! Dasar orang kaya tak punya adab!" Eris hampir saja melayangkan tangannya hendak menghajar Kaivan."Tunggu! Kamu harus lihat ini dulu!" sela Kaivan lalu menunjukkan video saat Berlian meminta jadi wali tapi dia menolaknya. Posisi saat itu Eris sedang mabuk. Eris terdiam sejenak, dalam hati kecilnya merasa malu. Tapi karena sudah kepalang tanggung akhirnya dia mengancam."Oke! Beri aku uang sekarang! Kalau tidak, Berlian dan anaknya akan--""Berapa yang kau inginkan?""100 juta."Berlian kaget mendengar penuturan kakaknya. "Bang, jangan ngaco! Uang sebanyak itu buat apa?!""Ah berisik! Cepat berikan! Kalau gak--""Oke. Aku akan memberikannya tapi setelah ini jangan pernah kembali dan ganggu kami!" ucap Kaivan. Eris manggut-manggut me
Jalanan perumahan elit tampak sepi, hanya lampu-lampu taman yang berderet di sisi kiri-kanan. Mobil yang dikemudikan Kaivan melaju tenang.Di kursi belakang, Ny. Inara duduk dengan Alif di pangkuannya. Berlian di sebelahnya, sesekali membantu membetulkan selimut kecil untuk anak itu.“Bunda pasti capek ikut kita seharian,” ucap Berlian pelan, mencoba mencairkan suasana.Ny. Inara tersenyum tipis. “Capek sedikit tidak apa-apa. Bunda senang melihat Alif lebih ceria.”Berlian mengangguk pelan. Kaivan yang fokus menyetir hanya melirik lewat kaca spion. Wajahnya tetap datar, namun sesekali tatapannya bergeser pada Berlian.Mobil berhenti di depan rumah besar milik Ny. Inara. “Bunda hati-hati. Kalau butuh sesuatu, telepon saya,” kata Kaivan sambil keluar untuk membukakan pintu.Ny. Inara turun, lalu menepuk bahu putranya. “Kamu juga hati-hati di jalan, Van. Jangan terlalu keras pada diri sendiri dan juga pada Berlia
Leo menoleh, matanya merah dan basah, “Tapi, Ma, Alif itu anakku. Berlian juga ... Aaargh! Aku sudah kehilangan semuanya! Bisnis, rumah, sekarang dia pun hilang …” Bu Rahayu tak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya mengelus punggung anaknya. Ia tahu, luka ini tak akan sembuh dalam sehari. Dan ia pun sadar, mungkin anaknya sedang menjalani hukuman dari kesalahan masa lalunya. *** Beberapa hari berlalu ... Pagi itu, Leo terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya masih sembab, namun ada tekad baru yang perlahan tumbuh di dadanya. Ia mengambil wudhu, lalu memutuskan untuk pergi ke masjid dekat kontrakan. Suara adzan subuh berkumandang, menyatu dengan dinginnya udara pagi. Di masjid, Leo ikut shalat berjamaah. Saat sujud terakhir, bulir bening di matanya jatuh ke sajadah. "Ya Allah, ampuni aku. Aku sudah terlalu jauh tersesat. Aku tak mau kehilangan-Mu lagi," bisiknya lirih. Selesai dz
Part 37Malam itu, kamar terasa hening hanya ditemani suara detak jam di dinding. Berlian duduk di tepi ranjang, menunduk, raut wajahnya masih terlihat shock dan sedih usai pertemuan dengan Leo tadi.Pintu kamar terbuka pelan. Kaivan masuk, menutup pintu, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di samping Berlian, “Berlian …” panggilnya lirih.Berlian tak langsung menoleh, hanya mengangkat sedikit wajahnya. “Ya?” sahutnya nyaris berbisik.Kaivan menarik napas panjang, menatap kosong ke depan. “Aku ingin kau tahu tentang Alif. Waktu itu, aku sedang hancur karena Bayi kami meninggal tak lama setelah lahir. Dan setelah melahirkan Rania ia terus menanyai bayinya, saak kubilang bayinya meninggal dia tak percaya, depresi. Dan di saat yang bersamaan, Leo …” Kaivan menelan ludah, nada suaranya terdengar berat. "Leo mau membuang bayi yang baru saja lahir darimu. Aku tak tega. Jadi, aku memutuskan mengadopsinya. Aku membayar sejumla