Part 1
“Bayi Anda meninggal dunia, Bu. Kami sudah melakukan yang terbaik …” Ucapan itu terasa seperti palu godam yang menghantam dada Berlian. Tubuhnya masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, mata sayu dan sembab karena belum sempat tidur sejak kontraksi semalam. Dia menoleh pelan, seolah berharap mendengar kalimat lanjutan yang menenangkan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Tapi tidak ada. Hanya tatapan dingin dari Leo, suaminya, yang berdiri kaku di samping ranjang. “A-apa?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Tidak mungkin … tidak … Aku, aku dengar tangisnya tadi … aku dengar ...” Perawat yang berdiri di sampingnya menunduk dalam. “Itu tangisan sesaat, Bu. Bayinya lahir prematur. Parunya belum sempurna. Kami mohon maaf …” Air mata jatuh begitu saja, membasahi pipi pucatnya. Tangan Berlian menggenggam selimut rumah sakit erat-erat, gemetar hebat. Dia bahkan belum sempat menyentuh anaknya. Belum sempat memberi nama. Belum sempat membisikkan doa. "Aku ingin memeluknya … aku ingin menggendong anakku … Sus, bolehkah aku melihatnya?" Suaranya terhenti oleh tangis parau. “Untuk apa?” sela suara seseorang dengan tajam. Ibu mertua Berlian melangkah masuk ke kamar dengan wajah sinis dan mata yang dipenuhi kilat amarah. Dan saat itu sang perawat justru memilih pergi meninggakkan ruangan. “Anakmu bahkan nggak sempat hidup. Anakmu sudah mati, Berlian! Sudah mati! Kamu pikir kamu layak dipanggil ibu?” Berlian terdiam. Nafasnya tercekat. Luka di tubuhnya belum kering, dan kini luka baru dibuka lebar-lebar tanpa jeda. “Sudah kubilang dari awal, kamu itu perempuan pembawa sial. Baru beberapa tahun menikah, bisnis anakku seret, dan sekarang cucuku mati. Ini pasti karena kamu!” lanjut ibu mertua sambil menunjuk wajah Berlian dengan telunjuk gemetar. Leo tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, seperti boneka tak bernyawa. Air mata menetes di pipi Berlian, namun dia tak lagi punya tenaga untuk membela diri. Semua terasa kosong dan hampa. “Ini semua gara-gara kamu. Karena kamu anakku menderita!” “Bu, cukup ...” lirih suara Berlian akhirnya pecah, namun justru membuat amarah perempuan itu semakin membara. “Cukup?! Kamu mau menyangkalnya? Kamu itu bukan siapa-siapa, Berlian! Kalau saja kamu lebih berguna sedikit saja sebagai istri—” BRAK! Tiba-tiba suara bangku kecil di sudut ruangan terguling ke lantai. Leo akhirnya beranjak. Tapi bukan untuk memeluk Berlian, bukan untuk menenangkan ibunya, melainkan melangkah keluar tanpa sepatah kata. Berlian terpaku. Bahkan pria yang mengucap janji akan menjaganya kini memilih pergi. Di tengah keheningan, seorang perawat muda masuk membawa sesuatu dalam kotak kecil yang tertutup kain bersih. “Bu Berlian …” katanya dengan suara hati-hati, menahan napas. “Ini … barang terakhir milik putra Ibu.” Ia meletakkan kotak itu di pangkuan Berlian dengan sangat hati-hati. Berlian membukany, di dalamnya terlipat rapi selimut bayi berwarna putih susu, yang masih menyisakan aroma lembut dari ruang bersalin. Selimut itu hanya sempat membungkus tubuh mungil putranya selama beberapa menit terakhir hidupnya. Berlian menatapnya tanpa berkedip. Tangannya yang gemetar menyentuh kain itu, mengusapnya perlahan, lalu menariknya erat ke dadanya. Tangisnya pecah, menyesakkan dada. “Maafkan Mama, Nak …” ucapnya parau. “Maafkan Mama nggak bisa jagain kamu … Mama belum sempat peluk kamu …” *** Tiga hari kemudian. Dokter datang ke kamar rawat dengan senyum tipis. “Bu Berlian, kondisi Ibu sudah cukup stabil. Kami izinkan pulang hari ini. Tapi pastikan tetap istirahat total di rumah ya.” Berlian mengangguk pelan. Sejak kemarahan ibu mertuanya hari itu, tidak ada satu pun anggota keluarga yang datang menengoknya. Bahkan suaminya, Leo, tak pernah muncul lagi. Tidak ada bunga, tidak ada pesan ataupun dukungan. Dengan tangan lemas, Berlian meraih ponsel dari meja kecil di samping tempat tidur. Ia membuka daftar kontak dan menatap nama “Suamiku" cukup lama, sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali. Enam kali. Tidak diangkat. Berlian menutup panggilan. Ia menarik napas panjang. Lalu mengetik pesan. [Mas, hari ini aku sudah diperbolehkan pulang. Apa kamu nggak jemput aku?] Jari-jarinya gemetar saat menekan tanda kirim. Ia menunggu. Menunggu lebih dari sepuluh menit. Hingga dua puluh menit. Dan akhirnya, ponselnya bergetar. Satu balasan dari sang suami. [Aku sibuk. Ada meeting sama klien. Kamu bisa pulang sendiri, pesan taksi. Tagihan rumah sakit udah aku bayar.] Berlian menatap pesan itu lama sekali. Detik demi detik, huruf-huruf itu terasa seperti jarum yang menusuk hatinya. 'Kamu bisa pulang sendiri.' Tangannya perlahan turun, memeluk perut kosong yang dulu pernah menampung kehidupan. Air matanya jatuh lagi. Ia menggigit bibirnya berusaha menahan isak. “Aku bahkan kehilangan anak kita, Mas … Tapi kamu selalu sibuk …” Dengan langkah limbung, Berlian bangkit dari bed pasien. Ia membereskan barangnya sendiri. Memanggil perawat untuk sedikit membantunya. Tak ada pelukan, tak ada jemputan, tak ada tangan yang menguatkan. Seolah alam pun ikut bersedih. Langit mendung menumpahkan hujan sejak Berlian keluar dari Rumah Sakit. Derasnya air membasahi kaca taksi yang membawanya pulang. Berlian berdiri di ambang pintu rumah besar yang ia tinggali. Tangannya gemetar menggenggam plastik obat dan map berisi dokumen rumah sakit. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena basah kuyup tapi karena luka operasi sesar yang masih perih, setiap ia bergerak. Dengan napas berat, ia menekan bel. Ding dong. Ia menunggu beberapa saat. Hujan masih deras. Kakinya mulai dingin dan berat. Namun matanya berbinar ketika akhirnya pintu terbuka. Sosok Leo muncul di ambang pintu. Tapi tak ada pelukan. Tak ada sambutan yang hangat. Wajah Leo begitu dingin. “Kamu ngapain datang ke sini?” tanya Leo singkat. Berlian terdiam tak mengerti. “Mas ..." Leo menghela napas kasar. “Kamu harusnya tahu diri. Jangan bawa sial kamu ke sini. Ini bukan rumahmu lagi.” Petir menyambar, membuat suara Leo terdengar makin menggema di telinga Berlian. Dia terdiam sejenak, menatap wajah suaminya, mencari sisa kasih yang pernah membuatnya jatuh cinta. Tapi yang dia lihat hanya kebencian yang tak pernah ia mengerti dari mana asalnya. “Mas, kenapa tega?” tanyanya pelan. “Jangan menyalahkan aku atas semua ini. Kamu udah gagal jadi istri. Dan juga gagal jadi ibu,” balas Leo tajam. Ucapan itu menohoknya begitu keras. Berlian nyaris tak bisa berdiri. Tapi belum sempat ia membalas, sebuah suara lain terdengar dari dalam rumah. “Ada siapa sih, Mas…?” Sebuah langkah ringan terdengar menghampiri, lalu muncullah seorang perempuan cantik, rambutnya dikuncir asal-asalan, tubuhnya hanya dibalut baju tidur tipis transparan berwarna peach. Berlian membeku. Matanya membelalak. Napasnya tercekat. Perempuan itu berdiri di belakang Leo, menggelayut di lengannya, menyandarkan dagu manja ke bahu pria itu. “Oh …” Perempuan itu terkekeh kecil saat melihat Berlian. Leo tak berkata apa-apa. Tapi diamnya sudah cukup jadi jawaban. Berlian mematung. Setetes air hujan jatuh dari ujung hijabnya yang basah, menyatu dengan air mata yang kini tak bisa lagi ia bendung. Tubuhnya bergetar hebat. Luka sesar terasa makin ngilu, tapi lebih menyakitkan lagi adalah luka yang barusan diiris tajam oleh suaminya sendiri. “Mas …” Suaranya bergetar. “Aku baru kehilangan anak kita. Dan sekarang kamu--” “Cukup!” potong Leo. “Kalau kamu mau tinggal di rumah orang tuamu lagi, silakan. Tapi jangan pernah datang ke sini lagi. Aku sudah capek. Kita pisah saja!”Part 6“Kamu tahu, bayi ini tidak bisa menunggu. Dia bisa lapar kapan saja, jam berapa saja. Karena itu, saya ingin tahu apakah kamu bersedia tinggal di sini? 24 jam. Agar kapan pun dia butuh, kamu siap menyusuinya.”Berlian menelan ludah. Ia melirik Anggun, lalu kembali memandang Kaivan. “Kalau memang itu yang terbaik untuk bayi ini, saya bersedia.”Kaivan mengangguk pelan. “Terima kasih. Saya hanya ingin memastikan bayi ini mendapat perawatan terbaik. Dia sudah kehilangan ibunya sejak hari ketujuh kelahirannya. Saya tidak ingin dia merasa kekurangan kasih sayang.”Mata Berlian mulai berkaca-kaca lagi, perasaannya campur aduk jadi satu.Tak lama setelah Berlian menyatakan kesediaannya, seorang perempuan paruh baya berpakaian rapi masuk ke ruang tamu. Wajahnya ramah namun berwibawa, dengan stetoskop menggantung di lehernya.“Selamat siang,” sapanya hangat. “Saya Dokter Nirmala. Dokter pribadi keluarga Tuan Kaivan.”Berlian dan Anggun berdiri spontan, memberi salam sopan.“Dokter Nirma
Part 5"Ayo siap-siap!" ajak Anggun yang udah berganti baju."Sekarang?""Iya dong, Li! Kasihan bayi itu, pasti kelaperan," tukasnya sambil memoles wajahnya dengan bedak.Berlian mengangguk dan segera bangkit .Dengan langkah tergesa, Ia masuk ke kamar kecil dan berganti pakaian seadanya. Tangannya sempat bergetar saat merapikan kerudung. Sesekali ia menghela napas, menenangkan degup jantung yang berdetak cepat.Di ruang depan, Anggun sudah siap dengan tas kecil berisi perlengkapan penting."Ayo, kita naik ojek online aja biar cepet. Aku udah catat alamatnya!"***Rumah mewah berarsitektur Eropa itu berdiri megah di ujung jalan kompleks elite. Pilar-pilar putih tinggi menjulang di depan bangunan berlantai dua, dikelilingi taman luas yang tertata rapi. Anggun dan Berlian berdiri terpaku di depan gerbang besi hitam yang menjulang, mulut keduanya sama-sama sedikit terbuka.“Ya ampun, Nggun, ini rumah apa istana ya?” bisik Berlian kagum, matanya menyapu setiap sudut taman dan jendela kaca
Part 4[Mas, tolong beri tahu aku, dimana makam bayi kita? Aku ingin mengunjunginya.]Pesan terkirim. Berlian menatapnya cukup lama, berharap ada balasan dari sang suami.Tidak ada.Ia menunggu hingga sepuluh menit. Lalu mencoba mengirim pesan lagi.[Mas, aku mohon … Setidaknya izinkan aku mendoakan anak kita. Aku ibunya.]Masih tidak ada balasan. Dan tiba-tiba …Pesan-pesan sebelumnya berubah status menjadi tidak terkirim. Matanya membulat. Ia coba buka profil Leo, tapi sudah tidak ada. Dan yang muncul hanyalah satu kalimat menyakitkan;'Anda tidak dapat mengirim pesan ke kontak ini.'Leo memblokirnya.Berlian menggertakkan gigi, menghela napas panjang kesal sekaligus sedih. Anggun yang sedang menyeduh teh di dapur, mendengar isakan lirih itu. Ia melangkah cepat, lalu duduk di samping Berlian.“Kamu kenapa, Li? Leo jawab pesanmu?”Berlian menggeleng pelan, lalu menyerahkan ponselnya. “Nggak. Dia blokir aku. Dia bahkan nggak izinkan aku tahu di mana makam anakku sendiri, Nggun.” Mat
Part 3Clara menatapnya, berusaha menahan diri. "Oke. Tapi, jangan salahkan aku kalau semuanya akan bocor ke publik. Termasuk hubungan kita, alasan kamu mencampakkan istrimu, tentang bayimu dan semua hal yang kamu coba sembunyikan selama ini.”Leo menghela napas berat. Matanya menatap tajam ke arah Clara, lalu perlahan melembut.“Oke … aku akan nikahi kamu,” ucapnya singkat, suara rendah tapi penuh kepastian.Clara terdiam, terkejut, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Kapan?”Leo menghela napas panjang, memandang ke luar jendela yang basah hujan. “Secepatnya. Kamu sabar ya, sebentar lagi semuanya akan beres.”***Klinik Medika Berlian sudah dibaringkan di ranjang kecil, tubuhnya diselimuti handuk hangat oleh perawat. Dokter perempuan paruh baya memeriksa kondisinya dengan telaten.“Luka operasi sesarnya terbuka sebagian karena aktivitas fisik yang terlalu berat dan kondisi emosional tidak stabil. Dia kehilangan cukup banyak darah, tapi untungnya kamu cepat membawanya ke sini,” uj
Part 2“Kalau kamu mau tinggal di rumah orang tuamu lagi, silakan. Tapi jangan pernah datang ke sini lagi," katanya dengan nada menghina. “Aku sudah capek, Berlian! Hidupku penuh drama sejak kamu datang!”Berlian memejamkan mata, menahan isak. “Aku cuma butuh kamu, Mas, satu-satunya orang yang kupunya…”Leo mengibaskan tangan, geram. “Masih untung aku gak nuntut kamu bayar biaya rumah sakit! Kamu pikir melahirkan itu murah? Puluhan juta, Berlian! Dari kamar perawatan sampai ruang operasi! Itu semua aku yang tanggung!”Ia tertawa hambar, sinis, menusuk. “Dan lihat hasilnya? Bayinya mati. Sia-sia.”“Aku … aku gak pernah minta kejadian ini, aku gak pengin bayi kita pergi …” lirihnya. “Tapi kamu suamiku, Mas. Kamu tempat aku pulang.”“Salah!” Leo mendesis. “Mulai hari ini, kamu bukan siapa-siapa. Dan aku akan urus perceraian kita secepatnya.”Deg.Ucapan itu seperti palu besar yang menghantam jantungnya. Berlian terisak, dan kali ini ia tak sanggup berdiri. Lututnya lemas, tubuhnya jatuh
Part 1“Bayi Anda meninggal dunia, Bu. Kami sudah melakukan yang terbaik …”Ucapan itu terasa seperti palu godam yang menghantam dada Berlian. Tubuhnya masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, mata sayu dan sembab karena belum sempat tidur sejak kontraksi semalam. Dia menoleh pelan, seolah berharap mendengar kalimat lanjutan yang menenangkan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Tapi tidak ada. Hanya tatapan dingin dari Leo, suaminya, yang berdiri kaku di samping ranjang.“A-apa?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Tidak mungkin … tidak … Aku, aku dengar tangisnya tadi … aku dengar ...”Perawat yang berdiri di sampingnya menunduk dalam. “Itu tangisan sesaat, Bu. Bayinya lahir prematur. Parunya belum sempurna. Kami mohon maaf …”Air mata jatuh begitu saja, membasahi pipi pucatnya. Tangan Berlian menggenggam selimut rumah sakit erat-erat, gemetar hebat. Dia bahkan belum sempat menyentuh anaknya. Belum sempat memberi nama. Belum sempat membisikkan doa. "Aku ingin memeluk