Part 3
Clara menatapnya, berusaha menahan diri. "Oke. Tapi, jangan salahkan aku kalau semuanya akan bocor ke publik. Termasuk hubungan kita, alasan kamu mencampakkan istrimu, tentang bayimu dan semua hal yang kamu coba sembunyikan selama ini.” Leo menghela napas berat. Matanya menatap tajam ke arah Clara, lalu perlahan melembut. “Oke … aku akan nikahi kamu,” ucapnya singkat, suara rendah tapi penuh kepastian. Clara terdiam, terkejut, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Kapan?” Leo menghela napas panjang, memandang ke luar jendela yang basah hujan. “Secepatnya. Kamu sabar ya, sebentar lagi semuanya akan beres.” *** Klinik Medika Berlian sudah dibaringkan di ranjang kecil, tubuhnya diselimuti handuk hangat oleh perawat. Dokter perempuan paruh baya memeriksa kondisinya dengan telaten. “Luka operasi sesarnya terbuka sebagian karena aktivitas fisik yang terlalu berat dan kondisi emosional tidak stabil. Dia kehilangan cukup banyak darah, tapi untungnya kamu cepat membawanya ke sini,” ujar sang dokter pada Anggun. Anggun mengangguk, sorot matanya tampak begitu khawatir. Beberapa saat kemudian, Berlian sadar. Matanya perlahan terbuka. Pandangannya buram, tapi begitu melihat Anggun di sampingnya, ia menangis. Tangis lirih, pelan, nyaris tanpa suara. “Gun … aku … capek banget …” Anggun menggenggam tangannya erat. “Ssst … aku di sini. Ceritain aja, Li. Pelan-pelan …” Suassna hening beberapa detik, hingga akhirnya Berlian berbicara diselingi isak tangis. “Aku kehilangan bayiku, Gun. Mas Leo, dia nggak jemput aku pulang dari Rumah Sakit. Aku pulang sendiri, kehujanan, pas aku sampai rumah, dia malah usir aku. Dan ada perempuan lain di rumah kami, Gun … Mas Leo selingkuh dengan sekretarisnya sendiri.” Berlian menangis di pelukan Anggun. Tangis yang selama ini ia tahan. Tangis seorang ibu yang kehilangan, seorang istri yang dikhianati. Anggun memeluknya erat-erat, menahan air matanya sendiri. “Ya Allah, Li … kamu nggak sendiri, ya. Mulai sekarang, kamu tinggal sama aku dulu. Kamu nggak harus kuat sendirian.” *** Keesokan harinya di sebuah kontrakan sederhana. Sinar matahari sore menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang catnya sudah mengelupas. Di sudut ruangan berukuran tiga kali empat meter itu, sebuah kasur busa dengan sprei lusuh terbentang seadanya. Berlian terbaring dalam diam, selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya masih pucat, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Matanya sembab dan sayu. Anggun datang dari dapur membawa semangkuk bubur hangat. Ia duduk di pinggir tempat tidur. “Pelan-pelan, ya. Aku masak bubur ayam pakai kaldu, biar kamu kuat dulu,” katanya lembut. Berlian tersenyum samar. Ia menerima mangkok bubur itu dari tangan Anggun, lalu makan perlahan. Tiba-tiba air matanya jatuh lagi. “Maaf aku ngrepotin kamu kayak gini, Nggun. Aku gak tau harus kemana. Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Bapak, ibu, udah meninggal. Bang Eris udah jual rumah warisan tanpa sepengetahuanku. Bagaimana bentuk uangnya pun aku tidak tahu. Dan sekarang Mas Leo … dia buang aku kayak sampah. Bayiku … bahkan aku nggak tahu dimana makam bayiku. Hiks hiks ..." Suasana hening sejenak, hanya terdengar isak tangis Berlian. "Hidup gak adil banget buat aku. Rasanya aku ingin menyerah saja. Toh buat apa aku hidup, aku---" Anggun langsung memeluk sahabatnya berusaha menenangkan. “Ssstttt … jangan bilang seperti itu, Li … jangan pernah bilang hidupmu nggak berharga,” bisiknya, suaranya bergetar menahan emosi. Berlian hanya terisak, tubuhnya gemetar. Napasnya tersengal. “Aku tahu kamu capek. Kamu disakiti sama orang yang paling kamu percaya. Kamu kehilangan bayi yang kamu nanti-nantikan. Tapi Li, dengar aku ya … kamu tetap hidup. Itu artinya Allah percaya padamu.” Berlian menggigit bibir, menahan tangisnya. “Kamu pikir kamu nggak punya apa-apa? Tapi kamu punya hati yang kuat, kamu punya keberanian buat bertahan sejauh ini. Kamu punya luka yang akan jadi kekuatanmu nanti. Kamu nggak sendirian, Li. Selama aku masih bisa berdiri, aku akan berdiri di sampingmu.” “Anggun … tapi aku takut. Takut gak bisa bangkit. Takut hidupku cuma berakhir sia-sia kayak gini.” Anggun melepaskan pelukannya, menatap matanya dalam-dalam. “Takut itu wajar. Tapi jangan biarkan rasa takut memenjarakan kamu. Lihat aku, Li … kamu bisa melewati ini. Kamu kuat. Karena Allah nggak akan menguji makhluk-Nya melebihi batas kemampuannya.” Berlian menatap Anggun, matanya berkaca-kaca. “Percaya ya, Li. Kamu bisa melewati ujian ini. Allah tahu kamu mampu. Kalau nggak, kamu nggak akan dibawa sejauh ini.” Berlian kembali menunduk, air matanya jatuh satu per satu, tapi kali ini ia merasa sedikit lebih kuat. "Kamu akan lihat, semesta pun nggak akan tega membiarkanmu terus menangis. Akan ada pelangi setelah hujan." Berlian mengangguk pelan, menghapus air matanya sendiri. *** Rumah Utama Keluarga Leo Meja makan panjang penuh hidangan hangat. Daging panggang, sup, salad segar, semuanya tertata rapi di atas taplak mewah. Lilin-lilin kecil menyala lembut di tengah meja. Leo duduk di samping Clara, sementara di seberang mereka, duduk sang ibunda dengan riasan rapi dan senyum kecil menghiasi wajahnya. Clara menyendok sedikit sup dan mencicipinya pelan. Sesekali, ia melirik Leo yang lebih banyak diam. Suasana sedikit kaku. “Mama benar-benar bersyukur, Leo akhirnya bisa bahagia lagi,” ucapnya sambil menatap keduanya bergantian. “Dan kamu, Clara, Mama sangat senang Leo memilihmu.” Clara nyaris tersedak karena tak menyangka. “Mama serius?” “Tentu saja.” Bu Rahayu tersenyum lebar. “Dari awal Mama tahu kamu bukan hanya cantik, tapi juga cerdas, penuh perhatian. Mama sudah merasa cocok sejak pertama kita bicara.” Clara memandang Leo sebentar, lalu menatap Rahayu dengan mata berkaca. “Terima kasih, Ma. Saya nggak tahu harus bilang apa. Restu Mama sangat berarti buat saya.” “Mama sudah anggap kamu seperti anak sendiri, Clara. Kalian cocok. Kalian pasangan yang serasi. Mama yakin, kamu bisa jadi istri yang jauh lebih baik dari sebelumnya …” Leo memejamkan mata sejenak, lalu meraih tangan Clara dan menggenggamnya. “Mama udah kasih restu. Sekarang tinggal kalian yang tentukan tanggalnya,” lanjut Bu Rahayu sambil menyeruput teh hangat. “Nggak usah nunggu lama-lama, ya? Biar semua cepat selesai.” Leo mengangguk pelan. Clara tersenyum penuh kemenangan, lalu menyandarkan kepala pelan di bahu Leo. Tiba-tiba ponsel Leo bergetar. Ia melihat layar, ada pesan masuk dari Berlian. [Mas, tolong beri tahu aku, dimana makam bayi kita? Aku ingin mengunjunginya.]Part 6“Kamu tahu, bayi ini tidak bisa menunggu. Dia bisa lapar kapan saja, jam berapa saja. Karena itu, saya ingin tahu apakah kamu bersedia tinggal di sini? 24 jam. Agar kapan pun dia butuh, kamu siap menyusuinya.”Berlian menelan ludah. Ia melirik Anggun, lalu kembali memandang Kaivan. “Kalau memang itu yang terbaik untuk bayi ini, saya bersedia.”Kaivan mengangguk pelan. “Terima kasih. Saya hanya ingin memastikan bayi ini mendapat perawatan terbaik. Dia sudah kehilangan ibunya sejak hari ketujuh kelahirannya. Saya tidak ingin dia merasa kekurangan kasih sayang.”Mata Berlian mulai berkaca-kaca lagi, perasaannya campur aduk jadi satu.Tak lama setelah Berlian menyatakan kesediaannya, seorang perempuan paruh baya berpakaian rapi masuk ke ruang tamu. Wajahnya ramah namun berwibawa, dengan stetoskop menggantung di lehernya.“Selamat siang,” sapanya hangat. “Saya Dokter Nirmala. Dokter pribadi keluarga Tuan Kaivan.”Berlian dan Anggun berdiri spontan, memberi salam sopan.“Dokter Nirma
Part 5"Ayo siap-siap!" ajak Anggun yang udah berganti baju."Sekarang?""Iya dong, Li! Kasihan bayi itu, pasti kelaperan," tukasnya sambil memoles wajahnya dengan bedak.Berlian mengangguk dan segera bangkit .Dengan langkah tergesa, Ia masuk ke kamar kecil dan berganti pakaian seadanya. Tangannya sempat bergetar saat merapikan kerudung. Sesekali ia menghela napas, menenangkan degup jantung yang berdetak cepat.Di ruang depan, Anggun sudah siap dengan tas kecil berisi perlengkapan penting."Ayo, kita naik ojek online aja biar cepet. Aku udah catat alamatnya!"***Rumah mewah berarsitektur Eropa itu berdiri megah di ujung jalan kompleks elite. Pilar-pilar putih tinggi menjulang di depan bangunan berlantai dua, dikelilingi taman luas yang tertata rapi. Anggun dan Berlian berdiri terpaku di depan gerbang besi hitam yang menjulang, mulut keduanya sama-sama sedikit terbuka.“Ya ampun, Nggun, ini rumah apa istana ya?” bisik Berlian kagum, matanya menyapu setiap sudut taman dan jendela kaca
Part 4[Mas, tolong beri tahu aku, dimana makam bayi kita? Aku ingin mengunjunginya.]Pesan terkirim. Berlian menatapnya cukup lama, berharap ada balasan dari sang suami.Tidak ada.Ia menunggu hingga sepuluh menit. Lalu mencoba mengirim pesan lagi.[Mas, aku mohon … Setidaknya izinkan aku mendoakan anak kita. Aku ibunya.]Masih tidak ada balasan. Dan tiba-tiba …Pesan-pesan sebelumnya berubah status menjadi tidak terkirim. Matanya membulat. Ia coba buka profil Leo, tapi sudah tidak ada. Dan yang muncul hanyalah satu kalimat menyakitkan;'Anda tidak dapat mengirim pesan ke kontak ini.'Leo memblokirnya.Berlian menggertakkan gigi, menghela napas panjang kesal sekaligus sedih. Anggun yang sedang menyeduh teh di dapur, mendengar isakan lirih itu. Ia melangkah cepat, lalu duduk di samping Berlian.“Kamu kenapa, Li? Leo jawab pesanmu?”Berlian menggeleng pelan, lalu menyerahkan ponselnya. “Nggak. Dia blokir aku. Dia bahkan nggak izinkan aku tahu di mana makam anakku sendiri, Nggun.” Mat
Part 3Clara menatapnya, berusaha menahan diri. "Oke. Tapi, jangan salahkan aku kalau semuanya akan bocor ke publik. Termasuk hubungan kita, alasan kamu mencampakkan istrimu, tentang bayimu dan semua hal yang kamu coba sembunyikan selama ini.”Leo menghela napas berat. Matanya menatap tajam ke arah Clara, lalu perlahan melembut.“Oke … aku akan nikahi kamu,” ucapnya singkat, suara rendah tapi penuh kepastian.Clara terdiam, terkejut, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Kapan?”Leo menghela napas panjang, memandang ke luar jendela yang basah hujan. “Secepatnya. Kamu sabar ya, sebentar lagi semuanya akan beres.”***Klinik Medika Berlian sudah dibaringkan di ranjang kecil, tubuhnya diselimuti handuk hangat oleh perawat. Dokter perempuan paruh baya memeriksa kondisinya dengan telaten.“Luka operasi sesarnya terbuka sebagian karena aktivitas fisik yang terlalu berat dan kondisi emosional tidak stabil. Dia kehilangan cukup banyak darah, tapi untungnya kamu cepat membawanya ke sini,” uj
Part 2“Kalau kamu mau tinggal di rumah orang tuamu lagi, silakan. Tapi jangan pernah datang ke sini lagi," katanya dengan nada menghina. “Aku sudah capek, Berlian! Hidupku penuh drama sejak kamu datang!”Berlian memejamkan mata, menahan isak. “Aku cuma butuh kamu, Mas, satu-satunya orang yang kupunya…”Leo mengibaskan tangan, geram. “Masih untung aku gak nuntut kamu bayar biaya rumah sakit! Kamu pikir melahirkan itu murah? Puluhan juta, Berlian! Dari kamar perawatan sampai ruang operasi! Itu semua aku yang tanggung!”Ia tertawa hambar, sinis, menusuk. “Dan lihat hasilnya? Bayinya mati. Sia-sia.”“Aku … aku gak pernah minta kejadian ini, aku gak pengin bayi kita pergi …” lirihnya. “Tapi kamu suamiku, Mas. Kamu tempat aku pulang.”“Salah!” Leo mendesis. “Mulai hari ini, kamu bukan siapa-siapa. Dan aku akan urus perceraian kita secepatnya.”Deg.Ucapan itu seperti palu besar yang menghantam jantungnya. Berlian terisak, dan kali ini ia tak sanggup berdiri. Lututnya lemas, tubuhnya jatuh
Part 1“Bayi Anda meninggal dunia, Bu. Kami sudah melakukan yang terbaik …”Ucapan itu terasa seperti palu godam yang menghantam dada Berlian. Tubuhnya masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, mata sayu dan sembab karena belum sempat tidur sejak kontraksi semalam. Dia menoleh pelan, seolah berharap mendengar kalimat lanjutan yang menenangkan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Tapi tidak ada. Hanya tatapan dingin dari Leo, suaminya, yang berdiri kaku di samping ranjang.“A-apa?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Tidak mungkin … tidak … Aku, aku dengar tangisnya tadi … aku dengar ...”Perawat yang berdiri di sampingnya menunduk dalam. “Itu tangisan sesaat, Bu. Bayinya lahir prematur. Parunya belum sempurna. Kami mohon maaf …”Air mata jatuh begitu saja, membasahi pipi pucatnya. Tangan Berlian menggenggam selimut rumah sakit erat-erat, gemetar hebat. Dia bahkan belum sempat menyentuh anaknya. Belum sempat memberi nama. Belum sempat membisikkan doa. "Aku ingin memeluk