Share

Part 3. Terpuruk

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2025-07-07 15:20:55

Part 3

Clara menatapnya, berusaha menahan diri. "Oke. Tapi, jangan salahkan aku kalau semuanya akan bocor ke publik. Termasuk hubungan kita, alasan kamu mencampakkan istrimu, tentang bayimu dan semua hal yang kamu coba sembunyikan selama ini.”

Leo menghela napas berat. Matanya menatap tajam ke arah Clara, lalu perlahan melembut.

“Oke … aku akan nikahi kamu,” ucapnya singkat, suara rendah tapi penuh kepastian.

Clara terdiam, terkejut, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Kapan?”

Leo menghela napas panjang, memandang ke luar jendela yang basah hujan. “Secepatnya. Kamu sabar ya, sebentar lagi semuanya akan beres.”

***

Klinik Medika

Berlian sudah dibaringkan di ranjang kecil, tubuhnya diselimuti handuk hangat oleh perawat. Dokter perempuan paruh baya memeriksa kondisinya dengan telaten.

“Luka operasi sesarnya terbuka sebagian karena aktivitas fisik yang terlalu berat dan kondisi emosional tidak stabil. Dia kehilangan cukup banyak darah, tapi untungnya kamu cepat membawanya ke sini,” ujar sang dokter pada Anggun.

Anggun mengangguk, sorot matanya tampak begitu khawatir.

Beberapa saat kemudian, Berlian sadar.

Matanya perlahan terbuka. Pandangannya buram, tapi begitu melihat Anggun di sampingnya, ia menangis.

Tangis lirih, pelan, nyaris tanpa suara.

“Gun … aku … capek banget …”

Anggun menggenggam tangannya erat. “Ssst … aku di sini. Ceritain aja, Li. Pelan-pelan …”

Suassna hening beberapa detik, hingga akhirnya Berlian berbicara diselingi isak tangis.

“Aku kehilangan bayiku, Gun. Mas

Leo, dia nggak jemput aku pulang dari Rumah Sakit. Aku pulang sendiri, kehujanan, pas aku sampai rumah, dia malah usir aku. Dan ada perempuan lain di rumah kami, Gun … Mas Leo selingkuh dengan sekretarisnya sendiri.”

Berlian menangis di pelukan Anggun.

Tangis yang selama ini ia tahan. Tangis seorang ibu yang kehilangan, seorang istri yang dikhianati.

Anggun memeluknya erat-erat, menahan air matanya sendiri.

“Ya Allah, Li … kamu nggak sendiri, ya. Mulai sekarang, kamu tinggal sama aku dulu. Kamu nggak harus kuat sendirian.”

***

Keesokan harinya di sebuah kontrakan sederhana.

Sinar matahari sore menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang catnya sudah mengelupas. Di sudut ruangan berukuran tiga kali empat meter itu, sebuah kasur busa dengan sprei lusuh terbentang seadanya. Berlian terbaring dalam diam, selimut menutupi tubuhnya.

Wajahnya masih pucat, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Matanya sembab dan sayu.

Anggun datang dari dapur membawa semangkuk bubur hangat. Ia duduk di pinggir tempat tidur.

“Pelan-pelan, ya. Aku masak bubur ayam pakai kaldu, biar kamu kuat dulu,” katanya lembut.

Berlian tersenyum samar. Ia menerima mangkok bubur itu dari tangan Anggun, lalu makan perlahan.

Tiba-tiba air matanya jatuh lagi.

“Maaf aku ngrepotin kamu kayak gini, Nggun. Aku gak tau harus kemana. Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Bapak, ibu, udah meninggal. Bang Eris udah jual rumah warisan tanpa sepengetahuanku. Bagaimana bentuk uangnya pun aku tidak tahu. Dan sekarang Mas Leo … dia buang aku kayak sampah. Bayiku … bahkan aku nggak tahu dimana makam bayiku. Hiks hiks ..."

Suasana hening sejenak, hanya terdengar isak tangis Berlian. "Hidup gak adil banget buat aku. Rasanya aku ingin menyerah saja. Toh buat apa aku hidup, aku---"

Anggun langsung memeluk sahabatnya berusaha menenangkan.

“Ssstttt … jangan bilang seperti itu, Li … jangan pernah bilang hidupmu nggak berharga,” bisiknya, suaranya bergetar menahan emosi.

Berlian hanya terisak, tubuhnya gemetar. Napasnya tersengal.

“Aku tahu kamu capek. Kamu disakiti sama orang yang paling kamu percaya. Kamu kehilangan bayi yang kamu nanti-nantikan. Tapi Li, dengar aku ya … kamu tetap hidup. Itu artinya Allah percaya padamu.”

Berlian menggigit bibir, menahan tangisnya.

“Kamu pikir kamu nggak punya apa-apa? Tapi kamu punya hati yang kuat, kamu punya keberanian buat bertahan sejauh ini. Kamu punya luka yang akan jadi kekuatanmu nanti. Kamu nggak sendirian, Li. Selama aku masih bisa berdiri, aku akan berdiri di sampingmu.”

“Anggun … tapi aku takut. Takut gak bisa bangkit. Takut hidupku cuma berakhir sia-sia kayak gini.”

Anggun melepaskan pelukannya, menatap matanya dalam-dalam. “Takut itu wajar. Tapi jangan biarkan rasa takut memenjarakan kamu. Lihat aku, Li … kamu bisa melewati ini. Kamu kuat. Karena Allah nggak akan menguji makhluk-Nya melebihi batas kemampuannya.”

Berlian menatap Anggun, matanya berkaca-kaca.

“Percaya ya, Li. Kamu bisa melewati ujian ini. Allah tahu kamu mampu. Kalau nggak, kamu nggak akan dibawa sejauh ini.”

Berlian kembali menunduk, air matanya jatuh satu per satu, tapi kali ini ia merasa sedikit lebih kuat.

"Kamu akan lihat, semesta pun nggak akan tega membiarkanmu terus menangis. Akan ada pelangi setelah hujan."

Berlian mengangguk pelan, menghapus air matanya sendiri.

***

Rumah Utama Keluarga Leo

Meja makan panjang penuh hidangan hangat. Daging panggang, sup, salad segar, semuanya tertata rapi di atas taplak mewah. Lilin-lilin kecil menyala lembut di tengah meja. Leo duduk di samping Clara, sementara di seberang mereka, duduk sang ibunda dengan riasan rapi dan senyum kecil menghiasi wajahnya.

Clara menyendok sedikit sup dan mencicipinya pelan. Sesekali, ia melirik Leo yang lebih banyak diam. Suasana sedikit kaku.

“Mama benar-benar bersyukur, Leo akhirnya bisa bahagia lagi,” ucapnya sambil menatap keduanya bergantian. “Dan kamu, Clara, Mama sangat senang Leo memilihmu.”

Clara nyaris tersedak karena tak menyangka. “Mama serius?”

“Tentu saja.” Bu Rahayu tersenyum lebar. “Dari awal Mama tahu kamu bukan hanya cantik, tapi juga cerdas, penuh perhatian. Mama sudah merasa cocok sejak pertama kita bicara.”

Clara memandang Leo sebentar, lalu menatap Rahayu dengan mata berkaca. “Terima kasih, Ma. Saya nggak tahu harus bilang apa. Restu Mama sangat berarti buat saya.”

“Mama sudah anggap kamu seperti anak sendiri, Clara. Kalian cocok. Kalian pasangan yang serasi. Mama yakin, kamu bisa jadi istri yang jauh lebih baik dari sebelumnya …”

Leo memejamkan mata sejenak, lalu meraih tangan Clara dan menggenggamnya.

“Mama udah kasih restu. Sekarang tinggal kalian yang tentukan tanggalnya,” lanjut Bu Rahayu sambil menyeruput teh hangat. “Nggak usah nunggu lama-lama, ya? Biar semua cepat selesai.”

Leo mengangguk pelan. Clara tersenyum penuh kemenangan, lalu menyandarkan kepala pelan di bahu Leo.

Tiba-tiba ponsel Leo bergetar. Ia melihat layar, ada pesan masuk dari Berlian.

[Mas, tolong beri tahu aku, dimana makam bayi kita? Aku ingin mengunjunginya.]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dicampakkan Suami, Dinikahi Konglomerat   Part 39B. Penyesalan (END)

    Lima Tahun KemudianSuasana mall siang itu cukup ramai. Musik lembut mengalun dari pengeras suara, anak-anak berlarian sambil memegang balon, dan aroma wangi dari kafe di lantai bawah tercium sampai eskalator.Alif, yang kini berusia enam tahun, berjalan riang sambil memegang cone es krim. Berlian berjalan sedikit di belakang sambil sesekali tersenyum melihat tingkah laku putranya.“Pelan-pelan, Sayang. Lantainya licin,” pesan Berlian. Wanita itu kini tengah mengandung. Perutnya membuncit tanda usia kehamilannya sudah menginjak tujuh bulan.“Baik, Bun!” jawab Alif sambil melambaikan tangan, tak sadar ia menginjak bagian lantai yang basah karena baru saja dipel.BRUK!Alif terpeleset, tubuhnya miring ke belakang. Namun sebelum punggungnya benar-benar membentur lantai, sepasang tangan besar menangkapnya dengan sigap.“Nak, hati-hati. Lantai licin,” tukas sebuah suara berat namun lembut.Alif mendongak, sedikit gug

  • Dicampakkan Suami, Dinikahi Konglomerat   Part 39A. Ulang Tahun Pertama

    Part 39 Ulang tahun Alif yang pertama Pagi itu, matahari bersinar lembut menembus tirai jendela kamar Berlian. Ia terbangun lebih awal dari biasanya, meski semalam sempat susah tidur karena memikirkan acara hari ini. Tangannya otomatis meraih Alif yang masih terlelap di ranjang bayi di sisi tempat tidurnya. Berlian tersenyum, hatinya hangat. “Selamat ulang tahun yang pertama, sayangku …” bisiknya lembut sambil mencium kening Alif. Tak lama, Kaivan masuk ke kamar sambil membawa nampan sarapan. Ada roti panggang, segelas susu hangat untuk Berlian, dan bubur lembut untuk Alif. “Selamat pagi, dua malaikatku,” sapanya ceria. Berlian terkekeh kecil. “Pagi, Mas. Kenapa repot-repot bawa sarapan ke sini?” “Karena hari ini spesial,” jawab Kaivan, duduk di tepi ranjang. Ia lalu menatap Alif dengan penuh kasih sayang. “Selamat ulang tahun, jagoan ayah. Satu tahun sudah k

  • Dicampakkan Suami, Dinikahi Konglomerat   Part 38B. 100 Juta

    "Kata siapa kami tidak memberitahumu? Kami datang memintamu untuk jadi wali Berlian tapi Anda justru menolak dan mengusir kami!" tukas Kaivan tegas."Aah bulshit! Dasar orang kaya tak punya adab!" Eris hampir saja melayangkan tangannya hendak menghajar Kaivan."Tunggu! Kamu harus lihat ini dulu!" sela Kaivan lalu menunjukkan video saat Berlian meminta jadi wali tapi dia menolaknya. Posisi saat itu Eris sedang mabuk. Eris terdiam sejenak, dalam hati kecilnya merasa malu. Tapi karena sudah kepalang tanggung akhirnya dia mengancam."Oke! Beri aku uang sekarang! Kalau tidak, Berlian dan anaknya akan--""Berapa yang kau inginkan?""100 juta."Berlian kaget mendengar penuturan kakaknya. "Bang, jangan ngaco! Uang sebanyak itu buat apa?!""Ah berisik! Cepat berikan! Kalau gak--""Oke. Aku akan memberikannya tapi setelah ini jangan pernah kembali dan ganggu kami!" ucap Kaivan. Eris manggut-manggut me

  • Dicampakkan Suami, Dinikahi Konglomerat   Part 38B. Rusuh

    Jalanan perumahan elit tampak sepi, hanya lampu-lampu taman yang berderet di sisi kiri-kanan. Mobil yang dikemudikan Kaivan melaju tenang.Di kursi belakang, Ny. Inara duduk dengan Alif di pangkuannya. Berlian di sebelahnya, sesekali membantu membetulkan selimut kecil untuk anak itu.“Bunda pasti capek ikut kita seharian,” ucap Berlian pelan, mencoba mencairkan suasana.Ny. Inara tersenyum tipis. “Capek sedikit tidak apa-apa. Bunda senang melihat Alif lebih ceria.”Berlian mengangguk pelan. Kaivan yang fokus menyetir hanya melirik lewat kaca spion. Wajahnya tetap datar, namun sesekali tatapannya bergeser pada Berlian.Mobil berhenti di depan rumah besar milik Ny. Inara. “Bunda hati-hati. Kalau butuh sesuatu, telepon saya,” kata Kaivan sambil keluar untuk membukakan pintu.Ny. Inara turun, lalu menepuk bahu putranya. “Kamu juga hati-hati di jalan, Van. Jangan terlalu keras pada diri sendiri dan juga pada Berlia

  • Dicampakkan Suami, Dinikahi Konglomerat   Part 37B. Kehilangan

    Leo menoleh, matanya merah dan basah, “Tapi, Ma, Alif itu anakku. Berlian juga ... Aaargh! Aku sudah kehilangan semuanya! Bisnis, rumah, sekarang dia pun hilang …” Bu Rahayu tak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya mengelus punggung anaknya. Ia tahu, luka ini tak akan sembuh dalam sehari. Dan ia pun sadar, mungkin anaknya sedang menjalani hukuman dari kesalahan masa lalunya. *** Beberapa hari berlalu ... Pagi itu, Leo terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya masih sembab, namun ada tekad baru yang perlahan tumbuh di dadanya. Ia mengambil wudhu, lalu memutuskan untuk pergi ke masjid dekat kontrakan. Suara adzan subuh berkumandang, menyatu dengan dinginnya udara pagi. Di masjid, Leo ikut shalat berjamaah. Saat sujud terakhir, bulir bening di matanya jatuh ke sajadah. "Ya Allah, ampuni aku. Aku sudah terlalu jauh tersesat. Aku tak mau kehilangan-Mu lagi," bisiknya lirih. Selesai dz

  • Dicampakkan Suami, Dinikahi Konglomerat   Part 37A. Terbongkar

    Part 37Malam itu, kamar terasa hening hanya ditemani suara detak jam di dinding. Berlian duduk di tepi ranjang, menunduk, raut wajahnya masih terlihat shock dan sedih usai pertemuan dengan Leo tadi.Pintu kamar terbuka pelan. Kaivan masuk, menutup pintu, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di samping Berlian, “Berlian …” panggilnya lirih.Berlian tak langsung menoleh, hanya mengangkat sedikit wajahnya. “Ya?” sahutnya nyaris berbisik.Kaivan menarik napas panjang, menatap kosong ke depan. “Aku ingin kau tahu tentang Alif. Waktu itu, aku sedang hancur karena Bayi kami meninggal tak lama setelah lahir. Dan setelah melahirkan Rania ia terus menanyai bayinya, saak kubilang bayinya meninggal dia tak percaya, depresi. Dan di saat yang bersamaan, Leo …” Kaivan menelan ludah, nada suaranya terdengar berat. "Leo mau membuang bayi yang baru saja lahir darimu. Aku tak tega. Jadi, aku memutuskan mengadopsinya. Aku membayar sejumla

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status