Di depan pintu kamarnya, Inara berdiri mematung. Tangannya gemetar saat menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya.
Ia menarik napas panjang, mencoba menahan isakan yang hampir meluncur dari bibirnya. Hatinya hancur oleh sikap suaminya sendiri yang seakan-akan tak bisa menentukan pilihan. “Bunda ....” Inara terkejut. Cepat-cepat berbalik dan melihat Alma sudah berdiri di hadapannya, memeluk boneka kelinci barunya dengan tatapan bingung. “Kenapa Bunda menangis? Bunda bertengkar sama Papa?” tanya Alma dengan raut polos, matanya menatap langsung ke arah ibunya. Inara tergagap, mencoba mencari alasan tepat. Dia menggeleng, kemudian berjongkok agar sejajar dengan Alma. Sambil tersenyum sedikit terpaksa, Inara menjawab, “Enggak, kok, Sayang. Bunda cuma kelilipan aja, tadi ada hewan kecil yang masuk mata Bunda.” Alma terlihat ragu dengan jawaban Inara sebelum akhirnya berkata, “Bunda ... Alma enggak apa-apa, kok, kalau Papa belum punya waktu buat main sama Alma.” Kata-kata itu seakan-akan menembus hingga ke dasar hati Inara seperti ribuan belati tajam yang menghantam. Dia tak lagi mampu membendung air mata yang tiba-tiba kembali jatuh. Tanpa berpikir panjang, Inara memeluk Alma erat-erat. “Bunda sayang banget sama kamu, Sayang,” bisiknya dengan suara bergetar di telinga Alma. Gadis kecil itu mengangguk dalam pelukan ibunya, meskipun sejatinya ia masih belum sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi? “Alma juga sayang sama Bunda.” Sementara itu, di dalam kamar, Damian berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka. Dia mendengar setiap kata yang diucapkan putrinya. Suara lembut Alma tadi seakan-akan mengguncang dunianya. Dia mulai berpikir, kalau sudah terlalu jauh mengabaikan keluarga kecilnya. *** Keesokan paginya. Di meja makan, Alma sedang fokus menyendokkan sereal ke mulutnya, Inara duduk di sampingnya dengan secangkir teh di depannya. Kedua wanita itu langsung menoleh begitu Damian menarik kursi dan duduk di seberang mereka. “Alma, hari ini Papa yang antar kamu ke sekolah, ya,” ujar Damian sambil tersenyum hangat pada putrinya. Dia bertekad untuk memperbaiki hubungan dengan anak istrinya karena tak ingin Inara benar-benar meninggalkannya. Alma langsung meletakkan sendok, menatap Damian dengan mata berbinar. Itu saat yang ditunggu-tunggu sedari kemarin. “Beneran, Pa? Papa mau antar Alma?” tanyanya penuh semangat, nyaris tak percaya. Damian tersenyum tipis, lalu mengangguk cepat. “Iya, beneran. Papa enggak sibuk, kok. Lagi pula, kaki Bunda masih sakit. Harus istirahat dulu. Jadi, Alma biar berangkat sama Papa aja.” Tanpa pikir panjang, Alma tiba-tiba meloncat dari kursinya, berlari ke arah Damian, dan memeluknya erat. “Alma senang banget Papa yang antar aku hari ini.” Melihat reaksi Alma, senyum Inara merekah. Hatinya menghangat saat melihat putrinya bahagia, meskipun sebenarnya ia sedikit bingung dengan sikap Damian yang mendadak ingin mengantar Alma ke sekolah pagi ini. Biasanya, dia selalu beralasan sudah telat atau ada meeting pagi-pagi. Hanya saja, meskipun tersenyum yang tampak tulus, Inara masih menyimpan keraguan di balik senyumnya itu, apakah kebahagiaan kecil ini akan bertahan lama atau hanya sekadar omong kosong Damian? “Alma, ayo cepat habiskan sarapanmu. Jangan sampai Papa jadi telat ke kantor karena nunggu kamu,” titah Inara lembut. “Iya, Bunda.” Alma kembali ke kursinya dengan antusias. Selesai sarapan, Inara mengantar suami dan putrinya hingga ke depan. Bocah berseragam TK itu, jelas terlihat bahagia akan diantar oleh papanya. Setelah Alma duduk nyaman. Damian menutup pintu mobil dengan lembut. Kemudian, menghampiri Inara yang masih berdiri di teras rumah memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ra, istirahatlah dulu di rumah, ya. Kaki kamu masih perlu pemulihan,” ujarnya dengan suara lembut dan penuh perhatian, “biar aku yang jemput Alma ketika ia pulang nanti.” Tatapan Inara pada Damian jelas menyiratkan keraguan. Dia sedikit trauma jika mengingat kejadian kemarin, di mana Damian tak menjemput putri mereka. Bagaimana kalau dia mengulanginya lagi hari ini? “Aku ... aku enggak yakin padamu, Mas,” ucapnya pelan, tetapi berhasil membuat dada Damian terasa sesak. “Aku takut kamu tidak menjemput Alma lagi seperti kemarin.” Kepercayaan Inara setidaknya sudah terkikis, sehingga kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Damian menelan ludah, menatap istrinya penuh rasa bersalah. Namun, semua ini terjadi juga karenanya. Penolakan halus dari sang istri itu tak membuat Damian menyerah. Ia meraih tangan Inara dan menggenggamnya dengan lembut, berusaha meyakinkan. “Ra, aku minta maaf,” lirihnya, suaranya terdengar berat. Aku sadar, dua bulan ini mengabaikan kamu dan Alma.” Dia menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan ucapan. “Tapi, kali ini, aku benar-benar akan menepati janjiku, Ra. Kamu tenang saja karena aku sudah berjanji akan memperbaiki semuanya, tapi aku mohon ... jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa kehilangan kamu dan Alma.” Inara tertegun mendengar kata-kata Damian yang terdengar penuh penyesalan. Hatinya memang masih sedikit ragu, tetapi ia juga dapat merasakan kesungguhan sang suami. “Aku ingat janjimu.” Berharap, ini adalah secercah harapan untuk kebahagiaan keluarga kecil mereka ke depannya. Hari itu berlalu dengan Damian yang berusaha memperbaiki hubungan dengan keluarga kecilnya. Dia menepati janji menjemput putri mereka tepat waktu, bahkan sepulang dari kantor, dia menghabiskan waktu bersama Alma. Begitu malam sudah larut, keheningan menyelimuti kamar saat Inara terbangun tiba-tiba. Begitu berbalik, tangannya tak sengaja menyapu kasur membuatnya seketika menyadari kalau Damian tidak ada di sebelahnya. Inara mengangkat kepala, menatap ke arah sisi tempat tidur yang kosong. Jantungnya berdegup kencang. “Mas?” panggilnya pelan, tetapi hanya kesunyian yang menjawab. Dia mencoba menghalau pikiran-pikiran buruk yang mulai memenuhi kepalanya, meskipun hatinya terlanjur gelisah. Perlahan, ia bangkit dari ranjang, mengenakan sandal rumah, lalu melangkah keluar kamar untuk mencari Damian. Matanya menelusuri setiap sudut rumah yang gelap dan sepi. Namun, suaminya tetap tak terlihat. “Apa dia pergi menemui Selena lagi?” gumam Inara dalam hati. Air matanya tiba-tiba saja terjatuh.Inara membuka matanya perlahan. Tak tidur, hanya sekadar menutup mata. Lampu tidur masih menyala, menerangi sebagian kamar dengan cahaya lembut kekuningan. Di sampingnya, Alma sudah terlelap dengan napas beraturan. Ekspresinya damai, setelah tadi memelas minta tidur bareng sang bunda. Senyum tipis terbit di bibir Inara ketika dengan penuh kasih ia menyentuh pipi putrinya pelan. Perlahan, ia bangkit dari ranjang, menyelimuti tubuh kecil Alma hingga dada, lalu menunduk mencium kening bocah itu. Dia melangkah ringan menuju sudut kamarnya yang luas itu. Sebuah meja kerja kecil berada di sana. Sambil mengusap tengkuk yang terasa sedikit pegal, ia beralih duduk Ia duduk di kursi ergonomisnya. Hari ini cukup melelahkan. Meeting sepanjang siang, revisi desain untuk klien besar, dan laporan strategi branding yang belum sempat ia review tadi di kantor karena harus meluangkan waktu menemani Alma jalan-jalan dan jajan.
Cukup lama Selena menunggu. Namun, tak kunjung ada balasan dari Daffa, padahal pesannya sudah terbaca. Ia mulai panik, terlebih jam bergulir cepat, hingga hari berganti Daffa masih tak kunjung memberikan reaksi. Pria itu seolah memilih menghilang dan tak mau tahu.Tak ingin menunggu dalam diam dan marah yang makin menumpuk, akhirnya Selena memutuskan untuk mendatangi langsung rumah Daffa. Ia tak tahan lagi menanggung semua itu sendirian. Hidupnya jadi apes juga karena kebejatan Daffa.Hanya saja, sebelum keluar rumah, ia disambut putranya yang berada di ruang tamu. Tengah duduk di kantai sambil makan buah yang dipotong rapi oleh pengasuhnya. Tentunya, pengasuh Vano itu juga Daffa yang menyiapkan.“Ma, mau ke mana?” tanya Vano polos, matanya menatap Selena yang baru keluar dari kamar sambil menentang kunci mobil.Selena tersenyum tipis, mencoba menahan gundah yang membuncah di dadanya. “Mama mau keluar sebentar, Sayang. Ada sedikit urusan
Pertemuan tanpa sengaja itu ternyata menjadi pemantik. Dua orang yang punya misi sama tersebut mulai lebih sering saling berkomunikasi, seolah tanpa sadar telah menjadi rekan dalam senyawa racun. Selang beberapa lama, hingga keduanya memutuskan untuk kembali bertemu, kali ini dengan maksud untuk menyusun rencana dimulainya kehancuran Damian dan Inara yang sebenarnya sudah hancur ulah Selena sebelumnya.Mereka bertemu di salah satu club malam ternama yang ada di Jakarta. Keduanya dudu berdampingan di sofa VIP yang agak tersembunyi dari keramaian.Dari kejauhan, keduanya tampak seperti pasangan biasa yang tengah menikmati malam membahagiakan, tetapi jika dilihat dari dekat, sorot mata mereka menyiratkan hal yang jauh lebih dalam dari sekadar menikmati malam.Lampu warna-warni menari liar. Irama musik menghentak pelan. Aroma alkohol bercampur parfum mahal menguar bercampur udara pada malam itu.Di atas meja, dua gelas koktail dengan warna m
Dicengkeramnya jemarinya gugup. Wajah wanita itu mulai pucat pasi. Ia bisa merasakan tatapan Daffa menusuk dari ujung kepala hingga kaki, seolah menguliti apa yang ada pada dirinya itu, termasuk kebohongannya.Tak lama, Daffa berdiri dari duduknya dan mulai mengitari ibu dan anak itu, tubuh Selena sontak menegang dibuatnya. Ia sangat takut, pria-pria itu akan membawanya pada polisi.Dengan cepat, ia menunduk dan memeluk Vano. “Maaf, Pak ...,” ucapnya dengan suara bergetar. “Kalau Bapak keberatan kami ada di sini, kami akan segera pergi.”Jelas, Selena mengatakan itu karena buru-buru ingin menghindar. Salahnya, karena minta tolong pada orang yang tak dikenal.Ia menggandeng tangan Vano berbalik. Langkah mereka terburu-buru, seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan di meja makan.Hanya saja, belum sampai mereka keluar dari pintu, suara Daffa menggema lantang di seluruh ruangan.“Berhenti di situ!”Suara itu bukan
Beberapa bulan yang lalu ....“Cepat, Vano! Ayo lari!” Dengan menggandeng tangan kecil Vano, Selena terus berlari. Napasnya tersengal dan wajahnya panik.Sementara itu, suara langkah kaki terus mengejarnya. “Berhenti! Jangan mempersulit keadaan!”Langkah dua pria berseragam polisi itu makin dekat. Namun, Selena tidak boleh lengah. Kalau sampai tertangkap, maka dia akan dipenjara karena dengan sengaja membakar rumah Damian dan Inara.Tiba di jalan besar, pandangan Selena menyapu sekeliling, mencari tempat yang aman ketika tatapannya menangkap sebuah mobil hitam yang berhenti di seberang jalan.Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju mobil itu dengan Vano yang masih dalam gandengannya. Cepat, membuka pintu belakang dan membantu Vano masuk lebih dulu. Setelah itu, barulah ia menyusul tanpa memedulikan pemilik mobil yang tengah menelepon di samping mobilnya.Pria yang mengenakan masker dan topi hitam itu tersentak mendengar
“Apa yang kamu lakukan sampai Damian bisa tau semuanya, hah?!” Suara Daffa melengking tajam, memantul memenuhi ruangan megah nan luas itu. Selena terkejut dengan pertanyaan yang dilayangkan Daffa. Jelas-jelas ia tidak melakukan apa pun. Dan, ia sendiri tidak tahu mengapa Damian bisa mengetahuinya. “Aku? Aku tidak ngapa-ngapain! Damian tiba-tiba aja membatalkan pernikahan kami dan bilang kalau mengetahui ayah dari janin dalam kandunganku. Aku juga tidak mengerti semuanya, Daffa.” Selena mencoba berkata jujur. Namun, sepertinya kejujurannya seperti tak ada gunanya bagi Daffa. Pria yang berdiri di dekat jendela besar yang memperlihatkan gemerlap kota itu perlahan berbalik. Matanya menyala marah seperti kucing yang hendak membunuh mangsa. “Jangan bohong!” bentaknya, mendekat dengan rahang mengeras. “Kamu itu terlalu ceroboh, Selena! Selalu aja blunder! Ngomong tidak mikir, gerak tidak hati-hati! Seperti kemarin, kamu menculik Alma tanpa mikir
Setelah pertemuan dengan Damian dan Selena tadi, Inara langsung mengajak Alma pulang, karena bocah itu mengaku sudah lelah berkeliling sambil menunjukkan tubuhnya yang lemes.Kini, mereka berada dalam perjalanan pulang. Mobil melaju pelan di antara lalu lintas malam yang cukup padat. Alma duduk di jok tengah bersama sang bunda. Memeluk tangan bundanya. Bibirnya kadang monyong. Sesekali pipinya mengembang.“Bunda .…” panggil Alma tiba-tiba. Memecah keheningan perjalanan pulang itu.Inara menoleh, berdehem pelan. “Hm?”“Kira-kira nanti pas lomba di sekolah Alma, Papa bisa ikut enggak, ya?”Pertanyaan itu seketika membuat dada Inara sedikit sesak. Ia tak langsung menjawab, hanya menarik napas pelan, mencoba tetap tenang dan berusaha mencari kata-kata yang tidak menyakiti perasaan putrinya. “Mm. Bunda belum sempat bicarain soal itu pada Papa, Sayang, tapi nanti Bunda coba cari waktu, ya? Soalnya Alma tau sendiri kalau Papa juga sang
Suasana mendadak hening. Mereka sontak menoleh ke arah sumber suara. Selena muncul dan melangkah percaya diri, mendekat dengan suara hak tinggi berdetak pelan dari arah lorong. Tatapannya tajam dan dingin. Langsung menggamit lengan Damian seolah-olah pria itu sepenuhnya miliknya begitu tiba. Raut wajah Alma yang masih berada di gendongan sang papa sontak berubah. Mata bulatnya menatap Selena, dan hanya dalam hitungan detik, ia meringkuk, lalu turun dari gendongan Damian. Tanpa sepatah kata, bocah itu melangkah kecil menghampiri Inara dan langsung memeluk erat pinggang sang bunda, wajahnya menunjukkan ketakutan. Masih terbayang jelas di benak bocah itu bagaimana dulu Selena nyaris mendorongnya dari ketinggian. Inara menunduk, mengelus rambut putrinya dengan maksud memberikan perlindungan agar gadis kecil itu merasa aman di sisinya. Ia tahu betul ekspresi Alma saat ini sedang merasa tidak nyaman. Tak hanya Alma, dada Inara pun sebenarnya ikut sesak melihat pemandangan d
Damian mengusap wajahnya dengan gusar. Rahangnya terlihat menegang, menahan gejolak emosi di dada yang tiba-tiba ingin meledak. Dia menarik napas, kemudian dengan perasaan geram, dia bertanya lirih. “Apa tidak ada satu pun keluarga Inara yang mengetahui soal ini?” Andrew menggeleng pelan. “Tidak ada, Pak. Tuan Wardhana menyimpan rahasia ini sangat rapi. Ia tutup rapat-rapat dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sehingga tidak ada yang menaruh curiga padanya, sekalipun Nyonya Wardhana. Sebab itu, dia mencoba melindungi nama baiknya agar rahasia itu tetap tersimpan rapi dengan menggandeng Daffa, satu-satunya orang yang memegang bukti perselingkuhan Tuan Wardhana.” Damian terdiam. Sorot matanya menukik tajam, tetapi kosong. Tangannya mengepal di atas meja, menunjukkan kalau ia sedang sangat marah. “Tega sekali,” gumam Damian, nyaris tak terdengar, “bahkan putri sendiri dijadikan alat untuk menutupi aib ayahnya.”