Tok ... tok ... tok!Damian sontak menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara ketukan dari luar. Senyumnya mengambang, sangat senang. Inara pasti sudah datang. Itu yang ada di pikirannya sekarang. Buru-buru ia bangkit dari duduknya, melangkah ke pintu, lantas membukanya.Senyum manisnya memancar menyambut Inara yang berdiri di depan pintu. Namun, hanya beberapa saat senyum itu langsung memudar ketika tak sengaja berserobok pandang dengan seorang pria yang berdiri di belakang Inara.Daffa.Alis Damian sedikit berkerut. Sangat kesal melihat pria itu bersama sang mantan. Agaknya ke mana-mana ia memang sengaja membuntuti Inara.Dia kesal karena tak jadi reuni keluarga, rupanya ada tamu tak diundang. Namun, dengan ekspresi datar, tetap mempersilakan mereka masuk.“Masuklah,” ucapnya, bergeser ke samping, memberikan jalan untuk tamunya.Inara melangkah lebih dulu, tetapi saat giliran Daffa hendak menyusul, Damian m
Damian menggandeng tangan mungil Alma menuju lift. Hendak mengantarnya pulang, meski hanya sampai di parkiran.Inara berjalan di sisinya, membawa tas Alma. Di belakang mereka, Daffa seperti bodyguard. Lebih mirip nyamuk di mata Damian. “Papa, inget kan janji Papa?” Tiba-tiba Alma bertanya. Dia mengangkat kepala, menatap Damian dengan mata penuh harap.Damian menoleh, lantas tersenyum kecil. “Janji yang mana, Sayang?”“Papa janji mau ajak Alma main di hari libur nanti.” Alma menyengir, menggoyang-goyangkan tangan Damian.Damian tertawa kecil, lalu mengangguk mantap. “Tentu saja. Papa pasti temani Alma. Memangnya Alma mau liburan ke mana?”Alma mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagu menunjukkan kalau ia sedang berpikir. Detik berikutnya, matanya berbinar. “Taman bermain, tapi pengen ke kebun binatang juga. Terus kita makan es krim. Beli kembang gula yang gede banget. Bunda juga ikut, ya?”Mendengar itu, Damian dan Inara
Ibu menghela napas panjang, seolah sedang menggali kenangan yang sudah lama terkubur pada suatu tempat di sudut hati. Ia menatap sang putra dengan tatapan sendu sebelum akhirnya mulai bercerita.“Dulu, Ibu juga pernah salah paham pada Ayahmu. Sama seperti Inara ke kamu. Bedanya, kamu dan Inara sudah sampai di meja hijau, sedangkan Ibu dan ayahmu hanya pisah rumah. Belum sempat ke meja hijau.”Ibu menarik napas pelan, sebelum melanjutkan, “Itu terjadi, saat kamu masih kecil. Lebih kecil dari Alma.”Mata Damian melotot. Sedikit tak percaya cerita Ibu. Melihat orang tua yang selalu terlihat mesra meski sudah berumur, membuat Damian berpikir kalau mereka mungkin tak pernah menghadapi badai rumah tangga yang sangat besar, sepertinya.“Pisah rumah? Serius, Bu?” Damian memperbaiki posisi duduknya. Mulai tertarik mendengarkan cerita ibunya.Ibu mengangguk. “Iya. Waktu itu, Ibu mengira Ayah sudah tidak mencintai Ibu lagi karena dia selalu menemui
Daffa tak pernah menyangka kalau takdir mempertemukannya kembali dengan Inara setelah 6 tahun lamanya pergi dari mansion keluarga Wardhana.6 tahun lalu, wanita itu memutuskan pergi saat Ayah menentangnya menikah dengan Damian karena keluarga mereka beda kasta, meski begitu sang ayah tetap menjadi wali nikahnya walau pada akhirnya melarang Inara kembali ke rumah.Keluarga Inara saat itu masih mengedepankan budaya pernikahan bisnis agar dua kubu bisnis dapat saling menguatkan. Namun, Inara yang notabene agak keras langsung menolak mentah-mentah karena ingin mempertahankan hubungannya dengan Damian, meskipun tahu risikonya sangat besar.Daffa yang tengah duduk manis di kursi kebesarannya, memutar kursinya menghadap dinding kaca kantor. Matanya terpaku pada ponsel yang menampilkan satu foto di galerinya—foto Inara yang tersenyum manis pada kamera.Foto itu, sengaja ia ambil diam-diam saat mereka SMA.Bibir Daffa tersenyum tipis, ke
Entah apa yang terjadi di mansion sana hingga Rafa meneleponnya dengan suara yang terdengar sangat emosi begitu. Selama ini, dia tahu Rafa sangat menyayangi putrinya. Aneh saja, jika tiba-tiba marah dan mengancam akan melempar ke kolam. Takut terjadi apa-apa pada sang putri, Inara langsung mengajak Daffa pulang, meninggalkan acara yang belum selesai. Tak butuh waktu lama, hingga mereka tiba di mansion. Setelah Inara turun dari mobil, Daffa langsung pulang, tak ikut masuk. Gegas, Inara melangkah cepat. Pintu dibukakan oleh pelayan. Langsung saja masuk ke ruang tengah, di mana di sana sudah ada Ibu yang tengah memeluk Alma, Kak Rafiq yang menunduk menutup mulut, menahan senyum. Suster Liana juga tampak menahan diri agar tidak tertawa. Inara masih mencerna apa yang terjadi, hingga putrinya turun dari sofa dan berlari ke arahnya. “Bunda!” Dia berteriak, memeluk kakinya erat-erat, terlihat sangat ketakutan. Inara panik. “Kenapa, Sayang?” Alma menggeleng, tubuh kecilnya
Meskipun sangat kesal dengan perbuatan keponakannya, Rafa tak benar-benar marah, walau sempat mengancam akan melemparnya ke kolam. Nyatanya, ia sangat menyayangi putri kakaknya itu dan tak berani menyakiti keponakan satu-satunya.Bocah itu, datang ke mansion tak sekadar membuat jadi rame dan lebih berwarna, tetapi sekaligus menjadi pemegang tahta tertinggi di rumah. Tuan Besar saja sampai takluk pada Alma. Sangat dimanja. Maklum, cucu pertama.Seperti pagi itu, hujan turun cukup deras. Alma masih berselimut di sofa hanya menggelung tubuhnya malas-malasan sambil nonton kartun.Sang bunda tak henti membujuknya agar bersiap ke sekolah, tetapi gadis kecil itu langsung menggeleng keras.“Tidak mau! Hari ini hujan, Bunda. Nanti Alma basah!” teriaknya.“Ke sekolah pakai mobil, terus Alma diantar ke kelas pakai payung. Jadi, tidak basah, Sayang. Ayo, siap-siap, Alma harus sekolah.” Inara masih mencoba bernegosiasi.Namun, Alma
Setelah mendapatkan izin masuk ke ruangan Inara, Damian akhirnya muncul dengan setelan jasnya yang rapi. Aroma parfumnya yang familiar langsung memenuhi ruangan. Walau sudah berpisah, Inara tidak lupa, wangi parfum itu favoritnya, sampai-sampai tak segan gelendotan pada Damian. Suka sekali dengan wanginya.Hanya saja, sekarang situasinya sudah berbeda. Inara menggeleng pelan, tetap fokus pada laptopnya. Tanpa sadar kalau Damian sudah berdiri di depan mejanya, mengamati ruangan itu sebentar sebelum akhirnya menatap Inara.“Inara,” Suaranya berat, tetapi tetap lembut. Inara mengangkat kepala sebentar, ekspresinya tetap datar, lalu menunjuk kursi di depannya. “Silakan duduk.”Damian menghela napas pelan sebelum duduk. Matanya terus memerhatikan wajah yang selalu mencintainya, tetapi itu dulu.Saat Inara sibuk, lebih tepatnya pura-pura sibuk membuka beberapa dokumen, Damian memperhatikan sekeliling ruangan. Pandangannya k
Kesal, iya. Namun, Rafa tidak bisa marah dengan pertanyaan Alma yang baru saja menjungkirbalikkan harga dirinya. Keponakannya itu terlalu polos untuk dimarahi.Dia memijat pelipis begitu mereka tiba di ruangan. Mau menyesal karena membawa Alma ke kantornya, tetapi dari tadi dia tak mau bocah itu ikut. Alma yang ngotot sehingga membuatnya tak bisa menolak.Sekarang, hidupnya benar-benar tidak tenang dengan kehadiran Alma di sini.Rafa menarik napas panjang dan menunjuk kursinya yang besar. “Karena hari ini kamu jadi sekretarisnya Om, jadi kamu duduk di sini.”Mata Alma berbinar senang, lalu memanjat kursi dengan semangat. Begitu duduk, ia bersandar seperti bos besar.Rafa mencondongkan tubuh, berusaha memberikan arahan pada Alma. Jaga-jaga biar bocah itu tak melakukan hal-hal yang membuatnya seperti tidak ada wibawanya selayaknya bos.“Dengerin baik-baik. Alma jangan nakal. Jangan ganggu Om Afa kerja. Jangan lompat-lompat dari kur
Jauh di sana, Inara duduk di tepi ranjang, membantu Alma berbaring, lalu menarik selimut hingga menutupi hingga ke bahu sang putri. Dielusnya lembut rambut hitam Alma yang masih agak kusut karena kejadian hari ini. Hatinya mencelos tiap kali mengingat betapa nyaris ia kehilangan gadis kecil itu.“Alma, dengar Bunda ya, Sayang ...,” ucap Inara pelan, “Lain kali, kamu tidak boleh sembarangan ikut sama orang asing, apalagi kalau tidak bilang dulu ke Bunda. Bukannya Papa dan Bunda selalu peringati kalau mau ke mana-mana harus izin orang tua. Bunda bisa sangat sedih kalau kamu kenapa-kenapa, Sayang.”Alma mengangguk kecil, matanya memerah merasa bersalah pada sang bunda. “Maaf, Bunda ...,” gumamnya lirih.Inara menghela napas. “Memangnya kenapa kamu bisa ikut mereka, hm?”Alma menggigit bibirnya. “Soalnya … Om Dodi sama Om Jalu bilang disuruh Papa jemput Alma, makanya Alma percaya saja. Lagian, Suster Liana lama banget tidak datang. Jadi, Alm
Damian mematung dengan pandangan keluar jendela selama dalam perjalanan pulang. Meskipun begitu, gemerlap jalanan kota tak sedikit pun menarik perhatiannya. Di sebelahnya, suara riuh Selena yang sibuk menyusun daftar pernikahan terdengar seperti dengungan kosong baginya.“Dam, aku sudah hubungi bridal planner. Biar semuanya cepat. Aku mau semuanya sempurna, Mas. Sudah lama aku menantikan saat-saat ini,” ujarnya sambil memeluk tangan Damian dan meletakkan kepalanya di bahu pria itu.Namun, Damian tidak menjawab, tetap menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Dalam diam, rahangnya mengeras, begitu tangannya yang sontak mengepal kuat. Di pikirannya terbayang wajah kecewa Alma saat ia menolak ajakan putrinya tadi, karena Selena tiba-tiba menariknya seolah dia barang miliknya.Diamnya Damian, tak membuat Selena menyerah. Dia tetap antusias berbicara. “Mas, jangan diam terus, dong. Kamu juga harus memikirkan masa depan kita. Tiga hari lagi kita me
Tiba di mansion, Inara menggandeng tangan Alma yang baru bangun menaiki anak tangga kediaman megah keluarganya itu. Rafiq dan Rafa mengapit di sisi kanan dan kirinya. Di belakang mereka, tampak bodyguard dan Suster Liana mengikuti dengan raut yang tampak tegang seolah pasrah menerima nasib mereka setelah ini. Begitu pintu utama terbuka, mereka disambut oleh pemandangan para pelayan yang berdiri berjajar dengan kepala tertunduk. Di tengah ruang tamu megah itu, Pak Baskara duduk di kursi utama dengan sorot matanya yang tajam, sedangkan Bu Anastasia berdiri di sampingnya.Melihat Alma, ia langsung berlari menghampiri sang cucu. Mendekapnya erat seakan menunjukkan sikap takut kehilangan, lalu dengan suara parau berkata, “Alma ... ya Tuhan, kamu tidak apa-apa, Sayang? Apa ada yang terluka?”Alma menggeleng cepat. “Enggak, Oma. Alma baik-baik aja. Untungnya Papa, Bunda, dan semuanya cepat datang tolongin Alma.”“Syukurlah kalau begitu, Sayang
Inara menoleh pada Daffa yang berdiri tak jauh darinya. Kini, mereka sudah bersiap untuk pulang setelah misi penyelamatan Alma berhasil. Mata Inara masih sembab, tetapi kini perasaannya sudah lebih tenang karena Alma akhirnya berhasil ditemukan dengan selamat. “Kak Daffa ... terima kasih sudah menyelamatkan Alma tadi,” ucapnya lirih dan terdengar sangat tulus, meskipun enggan menatap wajah Daffa. Luka kemarin yang ditorehkan pria itu masih membekas di dasar hatinya dan cukup untuk mengusiknya. “Tidak masalah, Ra.” Daffa menyela sambil tersenyum percaya diri. “Aku tidak akan biarin siapa pun menyakiti Alma atau kamu.”Inara mengangguk pelan. “Aku tau masalah kita cukup rumit … rumit, tapi terlepas dari semua itu, aku berutang nyawa Alma padamu.”Daffa tertawa pelan, menyilangkan tangan di dada. “Kamu jangan berkata seperti itu, Inara. Aku cuma melakukan apa yang seharusnya kulakukan.”Ekspresi Daffa berubah menjadi se
“Jangan!” Semua orang berteriak panik. Inara sampai menutup mulut sambil menjerit, tubuhnya gemetar, lututnya nyaris rubuh. Tak akan pernah siap melihat Alma kenapa-kenapa. Matanya tak berkedip menatap anak semata wayangnya yang berdiri di ujung rooftop, di bawah cengkeraman seorang wanita tak waras yang dulu juga pernah menghancurkan keluarganya. Namun, ia tidak ada daya untuk melakukan sesuatu. Sementara itu, Damian, Rafiq, dan Rafa kompak bergerak maju. Naluri mereka sama, yakni menyelamatkan Alma, tetapi langkah mereka seketika terhenti ketika melihat tubuh Alma hanya tersentak sedikit. Tidak sampai jatuh. Selena hanya mendorong pelan, cukup sebagai peringatan dan ancaman, tetapi cukup untuk membuat jantung semua orang di sana hampir copot. Tangannya masih menggenggam erat lengan Alma. “Selena! Lepaskan Alma! Jangan main-main dengan nyawa keponakanku!” bentak Rafa, wajahnya merah padam karena marah juga panik. Akan tetapi, Selena hanya menyeringai. Sama sekali tak meras
Angin sore itu meniup lembut rambut Alma yang duduk di dekat pagar besi berkarat. Bukannya menangis atau ketakutan seperti anak seusianya ... Alma malah tampak kesal karena disuruh duduk di tempat berbahaya itu sejak tiba tadi.Mulanya, ia pikir akan dibawa ke restoran, rumah atau apa gitu yang elit-elit. Tahu-tahu dibawa ke tempat kayak gini. Entah apa yang menarik di sini? Bibir Alma mengerucut sebal. “Om, Alma mau turun! Anginnya kenceng, nanti Alma masuk angin. Kalau Alma sakit, Om harus tanggung jawab, loh!” gerutunya sambil menyilangkan tangan kecilnya di depan dada. Jalu menahan napas, melirik Dodi yang memegang ponsel setelah memotret Alma diam-diam, hanya bisa mengusap wajah penuh frustrasi.“Bocah ini … bisa-bisanya ngancem kita.”“Alma haus juga! Mau jus strawberry. Kalau enggak ada, biar Alma yang pergi cari sendiri!” Alma mengancam dengan nada lucu dan polosnya. Dodi langsung panik. Ia mendekat ke arah Alma dan Ja
Di dalam mobil yang terus melaju itu, Alma mulai gelisah. Ia celingak-celinguk melihat keluar jendela. Wajahnya manyun karena bosan sedari tadi naik mobil, tetapi tidak sampai-sampai ke tujuan. Malah, Alma ngerasa mobil hanya berputar-putar tidak jelas di jalan yang sama.“Om, ini jalannya muter-muter terus. Kapan sampainya kita, sih?” gerutunya sambil menopang dagu dengan kedua tangannya. “Pusing Alma naik mobil terus. Lama-lama, Alma muntahin, loh, mobil, Om.”Dodi dan Jalu langsung melotot, saling melempar pandang. “Eh, jangan! Jangan muntah di sini!” seru Dodi panik, sontak menoleh ke belakang. “Nanti muntah kamu bau amisnya kek ikan asin dicampur nasi basi!” “Iya, ih. Jangan jorok di sini!” Jalu mencebik. Betapa tak kuat ia membayangkan membersihkan mobil karena muntah Alma. Ah, baru membayangkan saja ia sudah jijik.Dodi buru-buru menurunkan kaca jendela, berharap angin bisa mendinginkan perut bocah lima tahun itu agar t
“Om! Berhenti! Berhenti!” Alma tiba-tiba berteriak dari jok belakang mobil.Sebab, teriakan nan melengking itu membuat Dodi yang menyetir langsung ngerem mendadak. Jidat Jalu sampai kejedot Dashboard dan kepala Alma bertabrakan dengan kursi Jalu.“Astaga, ini bocah! Kenapa, sih, pake teriak-teriak segala? Kamu pikir ini angkot, hah?!” serunya kesal, tetapi juga terlihat panik. Gara-gara Alma yang berteriak sembarangan, kendaraan lain di belakang membunyikan klakson, bahkan ada yang nyaris menabrak pantat mobil.Jalu mengusap jidat sambil menoleh pada Alma. “Ada apa lagi, Alma?”Alma menggigit bibir bawahnya, lalu menatap keduanya bergantian dengan wajah memelas. “Alma ... mau pipis,” katanya akhirnya.Dodi menepuk jidatnya keras-keras. “Astaga, bocah lukcnut! Dari tadi diem, giliran jauh dari rest area baru ngomong!” keluhnya. Entah berapa tingkat lagi stok kesabarannya menghadapi Alma.“Ya kan, tadi belum kerasa, Om. S
Deru mobil berhenti mendadak di depan gerbang sekolah. Andrew buru-buru turun dan membuka pintu untuk sang atasan. Damian turun lebih dulu, walau kakinya masih sedikit sakit, ia tetap siaga menyambut Inara turun dari mobilnya. Dia kasihan, wajah wanita itu pucat. Matanya sembap, bahkan tubuhnya sangat lemas seolah jiwanya ikut melayang bersama hilangnya sang putri.Mereka berganung dengan Arvin, Genta, Suster Liana, dan yang lainnya yang lebih dulu tiba.Melihat kedatangan Inara, guru Alma terlihat sangat gelisah. Wajahnya memdadak pucat.“Bu Inara, saya mohon maaf … saya benar-benar tidak menyangka kalau kejadiannya bakal seperti itu.” Suara wanita itu terdengar berat. “Orang itu bilang utusan papanya Alma, terus Alma percaya saja, dan saya pikir Alma mengenalnya. Tidak taunya malah seperti ini. Saya sangat bersalah dan menyesal, Bu. Saya tidak teliti.”Inara menunduk, tak bisa berkata-kata. Lututnya lemas. Damian refleks menopangnya, m