Pagi itu, Alma duduk di tepi tempat tidur dengan kaki kecilnya menggantung. Dia sudah rapi, tinggal menunggu Sus Liana memasangkan kaus kaki putih berenda.
Sambil memperhatikan gerakan susternya yang mulai memakaikan kaus kakinya, Alma tiba-tiba bertanya, “Sus ... Suster punya suami, enggak?”Suster Liana terkejut. Tangannya yang sedang merapikan kaus kaki Alma sedikit terhenti. Ia mendongak, menatap gadis kecil itu dengan dahi berkerut.Anak sekecil Alma, mengapa menanyakan hal semacam itu?“Suami Sus sudah meninggal karena kecelakaan,” jawabnya pelan. “Memangnya kenapa Alma nanya begitu?”Alma mengayun-ayunkan kakinya sebentar sebelum akhirnya menopang wajah dengan tangan kecilnya. “Bukan apa-apa, Sus. Memangnya suami dan istri itu tinggalnya pisah-pisah, ya?”Suster Liana terdiam. Mencoba mencerna arah pembicaraan Alma.“Kok, Bunda sama Papa tinggalnya pisah-pisah?” lanjut Alma dengan nada polos, kepalanya menoleh kHalo, Teman-Teman.Apa kabar semuanya? Semoga sehat dan bahagia selalu, ya. Sebelumnya, selamat berakhir pekan bersama orang tercinta. Bagi yang kecintaannya mencintai orang lain, harap sadar diri.Oh, iya. Masih pada nungguin buku ini update nggak, ya? Sekadar info, mulai besok akan kembali rutin update setiap hari. Waktunya seperti biasa, pukul 22.00 - 23.00 WITA (Waktu bisa disesuaikan dengan satuan waktu daerah masing-masing). Untuk malam ini, masih libur update, nggak apa-apa, ya? Hehe. Soalnya, saya masih menata hati. Ups!By the way, udah pada baca bab 145 belum? Kalau menurut pendapat Teman-Teman GoodReaders, Damian bakal nolongin Selena nggak ya? Terus ... terus, kalian tim Inara - Damian atau Inara - Daffa? Kalau saya tim Alma saja, deh. Hehe.Coba, sampaikan pendapat kalian di kolom komentar. Kuy ....
Berbeda dengan Inara yang sibuk bertanya-tanya, di ruang kerja Daffa yang luas itu justru terasa sesak saat ini. Terlihat sang pemilik berdiri kaku di depan layar besar yang menampilkan siaran ulang konferensi pers Damian. Kata-kata terakhir pria itu masih menggema di benaknya. Kalimat yang berisi sindiran halus—yang terasa seperti tamparan keras baginya. Tak terima. Merasa posisinya sedang terancam. Tiba-tiba tangannya menyambar paperweight kristal di meja dan membantingnya ke lantai. Kegaduhan terdengar saat pecahannya berserakan, membuat sang asisten pribadi, sedikit tersentak kaget. “Sialan!” pekik Daffa dengan suara napasnya yang memburu. Matanya membelalak marah, tetapi juga penuh kecemasan, bahkan dahi dan pelipisnya mulai dipenuhi peluh meski AC masih menyala. Reynald menunduk, tubuhnya sedikit bergetar. Ketakutan. Ia sudah lama bekerja dengan Daffa, jadi tahu betul bagaimana pria itu kalau sedang marah. Ya, seperti sekarang, bisa menghancurkan barang yang tak bersalah.
Paham tujuan perkataan atasannya, Andrew pun segera keluar ruangan untuk melaksanakan perintah, yakni melakukan negoisasi dengan Selena. Hanya saja, tak lama kemudian, dia kembali masuk, ekspresinya tampak penuh tekanan.“Pak Damian,” ucapnya pelan, “saya sudah sampaikan semua sesuai instruksi, tapi … Selena tetap menolak. Dia bilang, ancaman pihak kita hanyalah ancaman kosong belaka. Dia tetap kekeh, ingin Bapak menikahinya.”Benar, Selena memang mengatakan hal tersebut pada Andrew beberapa saat lalu, tetapi jauh di sana, sebenarnya ia cukup cemas dengan ancaman tersebut. Apalagi sudah membawa nama Daffa. Entah dari mana Damian bisa punya pikiran menudingnya memiliki hubungan dengan pria itu?Satu hal yang pasti, Selena tidak mau mengalah. Tujuannya adalah tetap menguasai fasilitas yang diberikan Daffa dan membuat Damian menikahinya. Rencana itu belum berhasil, jadi ia tidak akan berhenti.Sementara itu, Damian mengangkat alisnya sediki
Dalam perjalanan, Inara hanya duduk diam di sebelah adiknya sambil melirik ponsel. Notifikasi media sosial masih ramai soal Damian yang tidak bisa dipungkiri ikut menyeret namanya juga sebagai mantan istri dari pria tersebut. Namun, Inara tak begitu ambil pusing, pikirannya justru tak berhenti tertumbuk pada struk-tagihan aneh yang dilihatnya tadi di rumah. Rafa yang juga sibuk mengutak-atik layar iPad seketika mengangkat alis ketika menyadari raut murung sang kakak. “Kak Inara dari tadi diam saja. Mikir apa?” Rafa memulai pembicaraan. Inara mengangkat kepala, menoleh sekilas, lantas menggeleng pelan. “Bukan apa-apa. Hanya kepikiran Ibu.” “Ibu? Memangnya apa yang terjadi padanya?” “Sebelum berangkat tadi, aku melihatnya ... dia kayak lagi stres banget.” “Sepertinya, Ibu memang agak sensitif akhir-akhir ini. Kemarin, bahkan sempat marahin pelayan cuma karena salah susun bunga meja.” Rafa berujar pelan. “Mungkin, lagi banyak kerjaan di kantor pusat kali.” Inara menggeleng r
Video yang diunggah Selena ke media sosial dengan cepat menyebar. Akan tetapi, baru disadari Damian ketika pagi hari akan berangkat kerja. Itu pun saat adiknya tiba-tiba mendatanginya yang sedang sarapan.“Astaga, Mas Damian! Kamu beneran ngehamilin mantanmu itu?” Suara Rani yang cempreng memenuhi ruang makan itu. Damian tidak ambil pusing, justru tetap santai menikmati sarapannya. “Apaan? Pagi-pagi udah ngelantur?”“Ngelantur apaan? Jelas-jelas di video viral ini Mas janji buat nikahin, tapi Mas lari dari tanggung jawab. Kok, bisa Mas hamilin wanita modelan si Sumala itu?”Damian terdiam. Langsung merebut ponsel Rani. Tubuhnya beku ketika melihat beranda ponsel itu penuh dengan pemberitaan dirinya yang lari dari tanggung jawab. Semua itu bermula dari video yang diunggah Selena menyebar. Tentu, Damian tidak ingin mengelak. Ia memang mengatakan akan menikahi Selena, tetapi itu dilakukan semata-mata agar putrinya selamat sambil ia mencari
Inara membuka matanya perlahan. Tak tidur, hanya sekadar menutup mata. Lampu tidur masih menyala, menerangi sebagian kamar dengan cahaya lembut kekuningan. Di sampingnya, Alma sudah terlelap dengan napas beraturan. Ekspresinya damai, setelah tadi memelas minta tidur bareng sang bunda. Senyum tipis terbit di bibir Inara ketika dengan penuh kasih ia menyentuh pipi putrinya pelan. Perlahan, ia bangkit dari ranjang, menyelimuti tubuh kecil Alma hingga dada, lalu menunduk mencium kening bocah itu. Dia melangkah ringan menuju sudut kamarnya yang luas itu. Sebuah meja kerja kecil berada di sana. Sambil mengusap tengkuk yang terasa sedikit pegal, ia beralih duduk Ia duduk di kursi ergonomisnya. Hari ini cukup melelahkan. Meeting sepanjang siang, revisi desain untuk klien besar, dan laporan strategi branding yang belum sempat ia review tadi di kantor karena harus meluangkan waktu menemani Alma jalan-jalan dan jajan.