Sepanjang perjalan menuju lobby, Richalle tak henti-hentinya mengoceh. "Hidup gue benar-benar sial! Baru saja dapat pekerjaan kenapa harus bertemu dengannya!" Ia benar-benar sebal.
"Dasar pria yang kasar dan narsis! Dia fikir dia Siapa sehingga gue harus mengikutinya?" Ia terus menggerutu, bejalan sambil menghentakkan kakinya sangking kesalnya. "Aaaaa mengapa hidup gue begitu sulit!" Tanpa sadar ia berteriak sehingga menyita perhatian orang-orang disana. Richalle menyadari tatapan semua orang pun hanya tersenyum ke arah mereka semua. Ia menghentikan langkahnya, mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk mengontrol emosinya. Lalu, membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. Seorang wanita paruh baya turun dari mobil mewah, dengan wajah yang Tegas ia melangkah memasuki perusahaan itu dan langsung mendapat sambutan dari orang-orang disana. "Nyonya besar, silahkan lewat sini." Dengan sigap para pengaman perusahaan mengawal perjalanan nya. "Terimakasih," Ucap Fiona dengan ramah. Akibat terlalu cepat bejalan membuat jantungnya berpacu cepat sehingga membuat dadanya sesak, tubuhnya hampir terjatuh jika tidak segera ditangakp oleh Richalle. "Nenek, apakah anda baik-baik saja?" Tanya Richalle langsung membantunya untuk berdiri. Melihat wanita paruh baya itu kesusahan membuka tasnya, Richelle segera membantunya. Ia mengambil alat kecil itu dan meletakkan nya di tangannya. "Nenek, ini...." Richalle mengusap lembut punggung wanita itu, ia begitu cemas melihat wanita paruh baya itu menghirup udara dari alat tersebut. "Bagaimana? Apakah anda merasa lebih baik, nenek? Saya akan melakukan panggilan darurat." Richalle Hendak menghubungi pihak rumah sakit namun segera Fiona menghentikan nya. Fiona Mencoba mengatur nafasnya, "Tidak perlu nak, aku tidak sakit apapaun. Aku hanya terlalu bersemangat. sekarang sudah baik-baik saja," balasnya masih dengan nada yang lemah. "Tapi.....Benarkah sudah baik-baik saja? Kenapa nenek berjalan sendirian?" Kekhawatiran terpancar jelas diwajahnya sambil membantunya berdiri. "Saya disini untuk bertemu dengan cucuku," "Siapa nama cucu nenek? Biar saya bantu mencarinya." Hati kecilnya merasa tidak tega jika harus membiarkan nya sendiri. Fiona Tersenyum mendengar keperduliannya. "Tidak perlu, saya sudah tahu dimana dia berada. Gadis, Terimakasih karna sudah menolong saya.” Ucap Fiona tulus. "Oh ya, berikan saya nomor ponselmu agar saya bisa membalas Budi kamu hari ini." Ucap Fiona. Richalle yang mendengar itu langsung menolaknya secara halus. "Tidak apa-apa nenek, anda tidak perlu melakukan nya. Anda baik-baik saja itu sudah cukup." Richalle terseyum tulus. "Kalau begitu saya pergi dulu, Nenek hati-hati, jangan terburu-buru. Sampai jumpa," Seru Richalle sambil melambaikan tangannya. Fiona terseyum melihat keramahan gadis itu, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Kini Fiona sudah berada di ruangan Karel, ia mulai mengintrogasi pemuda itu. "Kamu baru saja menyembunyikan cucu menantu perempuanku di kantor. Apa maksudmu?" Karel menyanggah kepalanya dengan tangannya, sikapnya seolah tidak mendengar ucapan Fiona. Hembusan nafas terdengar dari bibirnya. "Kenapa dia menjadi cucu perempuanmu? Aku sudah memberitahu nenek, sangat mustahil untuk bersamanya." Ucap Karel dengan nada malas. Fiona menatap dengan sorot mata tajam penuh gemas. "Kamu sudah... kamu sudah berhubungan badan dengannya! Pria keluarga Bagaskara kami tidak pernah diajarkan untuk tidak bertanggung jawab! Kapan kamu belajar melakukan cinta satu malam?" "Nenek... ini tidak seperti yang nenek pikirkan," ujarnya sambil memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Karel mencoba meredakan keresahan yang terasa menyesakkan di dalam dadanya, tetapi tatapan nenek sama sekali tidak melunak. "Kamu... dasar bocah nakal!" katanya lagi, dengan ekspresi yang hampir membuatnya terlihat siap menjewer Telinganya kapan saja. "Kalian keluar dari kamar hotel bersama—bagaimana bisa tidak seperti yang nenek pikirkan? Wanita dan pria berada di satu kamar, apalagi yang bisa terjadi?" Karel menarik napas panjang, berusaha menahan emosi yang mulai meluap, sekaligus merasa frustasi karena tidak tahu bagaimana cara menghentikan neneknya yang selalu berpikiran liar ini. Apa perlu menjelaskan setiap detail kejadian agar dia percaya padaku? Tapi dia tahu betul, menjelaskan hanya akan membuka ruang lebih besar untuk nenek menyerangnya dengan argumen-argumennya yang tak terbantahkan. "Setidaknya," nenek melanjutkan dengan tatapan menusuk, "aku tidak perlu khawatir lagi kalau kamu tidak tertarik pada wanita!" karel menghela nafas panjang, rasa prustasi semakin besar. Lagi-lagi nenek membawa kepercayaan lamanya tentang dirinya yang tidak ingin menikah karena dianggap tidak memiliki ketertarikan pada wanita. Karna berita palsu itu membuat nya begitu obsesi menjodohkan nya ke sana ke mari demi ‘meluruskan’ keyakinannya sendiri. Entah kapan aku akan benar-benar bisa lepas dari pengawasan ketatnya ini. "Karna sudah memiliki pacar, maka segera saja menikah." Sebelum Karel memotong ucapan nya, Fiona melanjutkan ucapannya dengan tegas. "Ini peringatan terakhir! Jika kamu tidak membawanya bertemu dengan nenek, maka kamu harus menerima perjodohan dengan sahabat lama nenek." "Nenek!" Karel semakin prustasi dengan desakan itu. "Kami belum merencanakan pernikahan, dan aku juga belum mau menikah!" "Aku tidak ingin mendengar apapun, besok nenek harus sudah melihat buku nikah kalian! Jika tidak, maka bersiaplah untuk menerima perjodohan ini!" Ucap Fiona tanpa ingin di bantah. Fiona kembali menatap tajam cucunya itu, dia sangat tahu jelas watak cucu laki-lakinya ini. "Ingat! Jangan menindas cucu menantuku. Pernikahan bulan sebuah permainan, kamu harus menjadi laki-laki yang bertanggung jawab!" Ucapnya tegas memperingati cucunya itu. "Nenek, Anda harus mengurangi menonton drama percintaan," ucapnya dengan nada penuh sarkasme, mencoba mengalihkan perhatian dari percakapan yang semakin menyudutkannya. Fiona bangkit dari kursinya dengan ekspresi penuh tekad. Matanya menatapnya tajam, memberikan peringatan yang lebih menyerupai ancaman. "Ini adalah peringatan! Kali ini aku tidak main-main!" katanya dengan nada serius. Karel mencoba menahan diri agar tidak membalas dengan komentar apapun, tetapi sebelum pergi, ia mendekatkan wajahnya untuk berbisik, "Menikahlah cepat, aku pergi dulu, hah." Senyumnya menghiasi wajahnya, senyum kemenangan yang membuatnya merasa kalah dalam percakapan ini. Dengan langkah anggun namun penuh otoritas, Fiona meninggalkan ruangan tanpa sedikit pun keraguan. "Nenek, apa perlu diantar?" tanyanya lemah, berharap setidaknya pertanyaan ini bisa mengakhiri dialog yang melelahkan ini. Namun, seperti biasa, jawabannya malah semakin membuatnya terpojok. "Tidak perlu. Ingat? Bawakan cucu perempuanku malam ini," katanya tegas. Lagi-lagi, ia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat untuk membantahnya. "Nenek...." Karel merengek, merasa semakin terjebak dalam rencana yang jelas-jelas tidak ia setujui. "Jangan panggil aku nenek, sebelum kamu membawa cucu menantuku ke rumah." Nada suaranya yang dingin menusuk telinganya, membuat kepalanya terasa semakin berat. Karel hanya bisa menghela napas panjang, mencoba mencari ketenangan di tengah tekanan yang tak pernah berhenti. Dengan tubuh lelah, ia menjatuhkan diri ke kursi dan memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Akhirnya, ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Suaranya terdengar serius saat memberi instruksi, "Periksa identitas Richalle untukku, semakin detail semakin baik." Sebelum orang itu sempat menjawab, ia sudah memutuskan panggilan. Perasaan frustrasi menyelimuti dirinya. Neneknya memang selalu punya caranya sendiri untuk membuatnya tidak memiliki alasan untuk membantahnya. Ia memejamkan matanya, berharap bisa mengosongkan pikiran dan menemukan jalan keluar dari tuntutan absurd ini.Di tengah perjalanan setelah keluar dari perusahaan Karel, Richalle melihat beberapa pria berjas hitam turun dari mobil mewah. Detik itu juga, dadanya berdegup keras, dan nafasnya serasa berhenti. Matanya membulat sempurna, lalu tanpa sadar ia menelan slivarnya dengan susah payah. "Astaga, ini nggak beres. Kenapa mereka muncul di sini?" pikirnya panik. Dengan cepat, ia memalingkan wajah menutup, dengan tasnya, berharap mereka tidak menyadari keberadaanku. Namun, harapannya hanya angan belaka. "Nona muda!" Suara mereka menggema, memecahkan harapannya untuk menghilang tanpa jejak. Richalle menoleh pelan ke arah mereka, memaksakan senyuman yang lebih terasa seperti cengiran getir. "Tenang, Richalle, santai aja, mungkin mereka nggak akan nebak apa-apa," gumamya dalam hati, mencoba menenangkan diri. Tapi kenyataannya, seluruh tubuhnya ingin kabur sejauh mungkin dari tempat ini. Hanya dalam sepersekian detik setelah itu, kakinya refleks bergerak, berlari sekuat tenaga menjauh dari m
Sepanjang perjalan menuju lobby, Richalle tak henti-hentinya mengoceh. "Hidup gue benar-benar sial! Baru saja dapat pekerjaan kenapa harus bertemu dengannya!" Ia benar-benar sebal. "Dasar pria yang kasar dan narsis! Dia fikir dia Siapa sehingga gue harus mengikutinya?" Ia terus menggerutu, bejalan sambil menghentakkan kakinya sangking kesalnya. "Aaaaa mengapa hidup gue begitu sulit!" Tanpa sadar ia berteriak sehingga menyita perhatian orang-orang disana. Richalle menyadari tatapan semua orang pun hanya tersenyum ke arah mereka semua. Ia menghentikan langkahnya, mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk mengontrol emosinya. Lalu, membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. Seorang wanita paruh baya turun dari mobil mewah, dengan wajah yang Tegas ia melangkah memasuki perusahaan itu dan langsung mendapat sambutan dari orang-orang disana. "Nyonya besar, silahkan lewat sini." Dengan sigap para pengaman perusahaan mengawal perjalanan nya. "Terimakasih," Ucap Fiona dengan ramah. Aki
Hari ini, adalah hari pertama Richalle bekerja. Ia sudah tiba di perusahaan Bagaskara. Ketika melangkah masuk ke dalam gedung megah itu, rasa kagum langsung memenuhi pikirannya. Aroma harum yang memenuhi ruangan, kebersihan yang nyaris tanpa cela, serta karyawan yang terlihat begitu rapi membuat tempat ini terasa sempurna. "Luar biasa, bahkan tata ruangannya pun terlihat sangat teratur. Gue nggak salah memilih tempat ini," batinnya sambil terus mengamati sekeliling. Sebelum ia sempat larut dalam kekagumannya, seorang wanita mendekat dengan senyum ramah. "Nona Richalle ya?" tanyanya, mengonfirmasi identitasnya. Richalle menoleh dengan sopan dan mengangguk sambil membalas, "Iya, itu saya." Senyumnya tak lupa ia sisipkan, mencoba mencerminkan kepribadiannya yang hangat. Ia harus memberikan kesan yang baik di hari pertama kerja bukan? "Mari nona, saya antar ke ruang kerja Anda," ucapnya sambil memberikan senyum kecil. Tanpa perlu banyak bicara, ia mengikuti langkahnya dengan percaya
Di apartemen, lantai sudah dipenuhi lembaran tisu yang berceceran tanpa aturan. Suara teriakan membahana membuat dinding seakan bergetar. "Aaaa, brengsek!!" Richalle meluapkan emosinya dengan cara yang tidak lagi bisa ia tahan. Flora, hanya bisa menutup telinga, mencoba membendung ketidaknyamanan yang terus menerpa telinganya. Merasa kesabaran sudah di ujung tanduk. Sejak tadi ia hanya diam, menunggu penjelasan dari Richalle yang tampaknya terbenam dalam pusaran perasaannya sendiri. Tapi sekarang Flora tak bisa lagi tinggal diam. "Richalle, STOP!" Seketika tangisnya terhenti mendengar teriakkan sahabatnya itu. "Lo kenapa sih pulang-pulang kayak orang kerasukan? Dan lagi... tadi malam lo kemana? Gue cari-cari lo, tapi lo nggak ada," Ucapnya akhirnya, dengan suara sedikit gemetar karena mencoba menyamarkan rasa frustrasi. Tatapan Richalle langsung berubah. Mata tajamnya menusuk seperti pisau ke arahnya, membuat tubuhnya kaku. Tenggorokannya terasa kering, sampai ia harus menelan
Pagi hari disebuah kamar hotel. Seorang gadis baru saja terbangun dari tidurnya sambil meraba-raba samping tempat tidurnya dengan mata yang masih terpejam. "Flo, Lo dimana?" "Aww... kepala gue," Richalle memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Richalle membuka matanya saat tak mendapati Flora, sahabatnya disampingnya. alisnya berkedut kemudian mendudukkan tubuhnya menyandar di samping tempat tidur tak lupa menutupi separuh tubuhnya menggunakan selimut. Ia melihat samar-samar siluet seseorang berdiri di depan balkon, "Kenapa tubuh Flora jadi berotot begitu?" Gumamya yang memang masih belum bisa melihat dunia dengan jelas. "Flora," panggilnya lirih sambil mengucek matanya. Ketika seseorang itu membalikkan tubuhnya, seketika matanya membulat sempurna. penglihatan yang awalnya samar-samar seketika cerah. "S-siapa Lo?" teriaknya sambil menarik selimut menutupi tubuhnya. Pria yang memiliki postur tubuh tinggi tegap itu melontarkan kata-kata tajam. "Benar-benar pandai berak
Richalle menggila, ia mengambil satu botol wine yang cukup mahal di atas meja lalu menuangkannya diatas kepala Bima "Karna ini alkohol yang terlalu mahal untuk disiramkan ketubuh Lo. jadi, berterima kasihlah sama gue." Richelle Tersenyum miring"Hentikan, Richelle! Apa kau sudah gila? apa yang sedang kau lakukan." bentak Bima.Richalle menatapnya datar, "Apa Lo ingin melihat kegilaan gue yang sebenarnya? saat ini gue Masih cukup tenang." wajahnya tanpa ekspresi apapun."Ya.......Richalle!" suara Bima naik dua Oktaf."Jangan berani memanggil nama gue dengan mulut Lo yang kotor itu!" Potong Richalle dengan suara menggelegar menyita perhatian para karyawan yang tersisa disana."Gue ngak pernah sekalipun merasa menyesal telah menghabiskan uang gue. tapi untuk pertama kalinya gue menyesal sudah menghabiskan uang untuk lelaki brengsek kaya Lo!" Richelle menatapnya tanpa belas kasih. "Lepaskan," bima menatapnya bingung."lepaskan semua barang yang gue berikan buat Lo selama ini, kalau Lo