Hari ini, adalah hari pertama Richalle bekerja. Ia sudah tiba di perusahaan Bagaskara. Ketika melangkah masuk ke dalam gedung megah itu, rasa kagum langsung memenuhi pikirannya. Aroma harum yang memenuhi ruangan, kebersihan yang nyaris tanpa cela, serta karyawan yang terlihat begitu rapi membuat tempat ini terasa sempurna.
"Luar biasa, bahkan tata ruangannya pun terlihat sangat teratur. Gue nggak salah memilih tempat ini," batinnya sambil terus mengamati sekeliling. Sebelum ia sempat larut dalam kekagumannya, seorang wanita mendekat dengan senyum ramah. "Nona Richalle ya?" tanyanya, mengonfirmasi identitasnya. Richalle menoleh dengan sopan dan mengangguk sambil membalas, "Iya, itu saya." Senyumnya tak lupa ia sisipkan, mencoba mencerminkan kepribadiannya yang hangat. Ia harus memberikan kesan yang baik di hari pertama kerja bukan? "Mari nona, saya antar ke ruang kerja Anda," ucapnya sambil memberikan senyum kecil. Tanpa perlu banyak bicara, ia mengikuti langkahnya dengan percaya diri. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan tentang perusahaan ini, tetapi mungkin lebih baik ia menunggu dan melihat bagaimana semuanya berjalan nanti. Sesampainya di ruangan, ia diminta duduk terlebih dahulu. "Silakan duduk dulu, nona," katanya lembut. Richalle mengangguk sambil merendahkan diri ke sofa yang empuk. Matanya mulai menjelajahi ruangan ini, berusaha menilai setiap sudut. Lagi-lagi, kesan rapi, bersih, dan wangi menyambutnya. "Luar biasa, tempat ini benar-benar memperhatikan detail. Tak ada satu pun yang terlihat berantakan," pikirnya. "Nona, tunggu sebentar di sini ya, sebentar lagi Pak Bos selesai meeting," ucap wanita itu sambil berlalu. "Terima kasih ya, Mbak." jawab Richalle dengan ramah. Ia mencoba menenangkan pikirannya sembari tetap menjaga senyuman. Hari ini adalah awal yang baru, dan ia harus memastikan bahwa kesan pertama ini akan membekas di ingatan mereka, sama seperti kesan mendalam yang diberikan tempat ini padanya. Richalle bangun dari duduknya, ia melihat-lihat ruangan itu. Namun, salah satu ruangan disebelah nya mencuri perhatiannya. Ia melangkah masuk dan yap...ia terpaku melihat penghargaan yang begitu banyak berjejer disana. "Wah....gila sih, keren banget. Hampir semua tender dimenangkan. Sesuai dengan namanya, Bagaskara grup." Gumamnya. Richalle tak menyadari seseorang memasuki ruang itu, "Siapa kamu?" Suara dingin itu mengejutkan nya, reflek ia membalikkan tubuhnya. "Aaaaa!" Suara itu membuatnya terkejut, hampir saja tubuhnya menghantam lantai jika saja pria itu tidak sigap menahannya. Namun, aksi heroiknya berujung kacau: berkas-berkas yang di Pria itu berhamburan di lantai. "S-sorry," gumamya, matanya tertuju ke wajahnya. Tapi begitu ia melihat siapa dia, matanya langsung membesar. "ELO!" Karel memandangnya dengan tatapan dingin yang begitu familiar. Tatapan itu hanya mengingatkan betapa menyebalkannya dia. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia malah melepaskan pegangannya darinya, membuatnya jatuh terduduk di lantai. "Aw..." Richalle merengut, mengusap punggungnya yang kini terasa nyeri. Rasa sakit itu hanyalah tambahan dari gelombang marah yang mulai mendidih dalam dirinya. Richalle menatap tajam ke arahnya, mencoba menyusun kata di tengah kekesalannya. "Kenapa Lo ada di sini? Lo ngikuti gue?" Richalle melontarkan pertanyaan dengan kesal. Tapi justru sikap pria itu semakin memicu geramnya. Karel, dengan sikap arogan yang tiada tanding, membalasnya dengan cara yang sama menjengkelkan. "Aku mengikuti mu? Mengapa kau begitu percaya diri sekali? Apa dirumah mu tidak ada cermin? Jika benar, maka pergilah beli cermin." Richalle berdiri, memaksakan tubuhnya tegap meski rasanya masih nyeri. "Lalu, Kenapa kau bisa muncul disini?" Tanyanya dengan nada nyolot. "Aku yang seharusnya bertanya padamu, mengapa kau bisa berada diruangan ku!" Karel menahan geramnya. Richalle tertawa lucu, "Ruangan Lo? Ini? Haha Lo pasti bercanda." Katanya merasa konyol dengan ucapan pria itu. Karel menggertakkan giginya, gadis ini benar-benar menguji kesabarannya. "Gue ngak percaya," Serunya sinis. Namun matanya tak Sengaja melihat nama papan CEO yang terpampang jelas dimeja kerja. Richalle menelan slivarnya dengan susah payah. Nama yang tertulis disana adalah nama pria yang kini sedang beradu argument dengannya. Karel memijat pelipisnya yang berdenyut, Dia sepertinya tidak tahu bahwa resume yang ada di tangannya adalah milik Richalle. Resume milik seorang gadis yang dalam kekeliruan takdir beberapa hari lalu, kebetulan berbagi cerita yang memalukan dengannya. Ah, betapa ironinya hidup ini! Richalle menatapnya dengan ramah, ia memperlihatkan senyuman manisnya sambil tertawa kikuk. "Jangan lihat aku, sekarang juga kamu urus pengunduran diri dan tinggalkan perusahaan ini selama nya! Jangan biarkan aku melihatmu lagi. Bila perlu tinggakan negara ini!" Ucapnya dengan nada dingin. Richelle menatapnya kesal, pria ini benar-benar menyebalkan. "Mengundurkan diri mengapa harus meninggalkan negara Segala!" Karel mengangkat tangannya mulai menghitung kesalahannya. "Pertama, kau menjebakku tidur denganmu! Kedua, kau menamparku! Ketiga kau berani mengikuti ku sampai ke perusahaan ku! Aku bisa saja melaporkan mu atas tuduhan menguntitku." Richalle tertawa sambil melipat kedua tangannya di dada, menatap Karel tajam. Ia sudah habis kesabaran mengahadapi pria menyebalkan ini. "Yaaa! Siapa yang menjebak Lo dan siapa pula yang menguntit Lo? Apa dirumah Lo nggak ada cermin? Jika tidak ada maka pergilah ke lobby, disana gue lihat ada kaca yang cukup besar untuk Lo berkaca!" Richalle membalikkan kata-kata itu padanya. Tangan Richalle reflek menempel di bibir Karel saat ia hendak berbicara lagi. "Baiklah! Untuk berhenti tidak masalah. Biar gue perjelas lagi, gue tidak tahu bahwa gue bakal bertemu sama Lo disini! Jika gue tahu dari awal perusahaan ini milik Lo, gue ngak akan pernah mau melamar kerja disini!" Richalle berbalik merasa belum selesai berbicara. "Satu lagi, gue tidak akan mengambil apapun dari Lo! Tapi, kalau Lo nyuruh gue meninggalkan negara ini, maka bermimpilah! Lo tidak berhak atas itu!" Karel mendekatkan wajahnya ke wajah Richalle, "Aku punya seribu cara untuk membuat mu tidak bisa tinggal di negara ini," Ancamnya. Namun, ancaman itu tidak berarti apa-apa terhadap seorang Richalle. Ia menegakkan tubuhnya dengan mantap, "Lakukanlah, gue menantinya!" Richalle menabrak bahunya dengan kasar sambil berjalan keluar dari ruangannya. Karel tertawa, tawa itu terdengar menyeramkan. "Sungguh menarik," gumamnya merasa tertantang. Baru kali ini ada yang berani berkat seperti itu dengannya. Tanpa mereka sadari, wanita yang diutus neneknya Fiona, langsung memberi kabar ini padanya. "Halo nyonya, saya melihat gadis itu berada di perusahaan Tuan muda. Dan sekarang mereka sedang bersama." Disebrang sana, Fiona yang asik menonton televisi seketika berdiri dari duduknya. "Apa? Saat ini dia menyembunyikan pacarnya di kantor?" "Seharusnya bukan pacar, mereka tidak seperti sepasangan kekasih." Balas wanita itu melihat bagaimana Karel memperlakukan gadis itu. "Bagaimana mungkin bukan kekasih? Mereka sudah tidur bersama. Bocah tengil ini!" Geram Fiona diseberang sana. "Terus awasi, dan jangan memberitahu nya. saya akan segera kesana." Panggilan itu pun terputus.Pagi itu cerah, sama cerahnya dengan perasaan Karel yang sedang berbunga-bunga. Karel bangun lebih awal dari Richalle, sengaja memanfaatkan waktu sunyi ini untuk membuatkan sarapan spesial untuk Richalle. Rasanya aneh, bahkan para pembantu rumah pun tampak heran melihatnya berkutat dengan peralatan dapur—sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Karel tahu ini momen langka, tapi ia ingin melakukan ini untuk wanitanya, menunjukkan betapa dia peduli dan tulus tanpa harus hanya berkata-kata. Ketika karel memerintahkan para maid untuk tidak masuk ke dapur, ia merasa seperti membuka pintu baru dalam hubungan kami. “Kenapa aku tidak pernah melakukannya lebih dulu?” batinnya "Jika sejak awal aku menyadari perasaan ini. Pasti sekarang kami sudah memiliki bayi yang lucu sesuai permintaan nenek." Gumamnya Tekekeh kecil. Ini mungkin hal kecil, tapi aku ingin Richalle tahu bahwa aku ingin berusaha, meski harus belajar dari nol. Dikamar yang remang, Richelle perlahan membuka mata
Sejak hari itu, Richalle begitu dingin padanya. Biasanya dia cerewet, bahkan tak pernah berhenti mengoceh tentang hal-hal sepele.Tapi sekarang, kata-katanya hanya sepatah dua saja, dan itu membuat Karel tidak tenang.Apa yang terjadi dengannya? Kenapa sikapnya berubah begitu drastis? Ia bertanya-tanya, namun tak berani menanyakannya langsung.Karel masih duduk di meja kerjanya, berkutat dengan laptop. Walaupun matanya sulit lepas dari layar yang sebenarnya sudah tak ia simak lagi.Richalle baru saja selesai mandi, aroma sabun dan hangatnya udara membuat suasana kamar terasa kaku.Beberapa hari ini, mereka sudah tidur dalam satu kamar, tapi rasanya seperti ada tembok tebal yang membentang di antara kami.Saat Richalle selesai dengan ritual skincare-nya, dia berjalan pelan menuju tempat tidur, bersiap untuk tidur.Richalle memunggungi Karel tanpa sepatah kata pun. Karel meliriknya lalu menutup laptopnya perlahan, melangkah mendekat dan duduk di sampingnya.Richalle tetap diam, punggung
Di sinilah Richalle sekarang, di sebuah kafe yang cukup menenangkan pikirannya. Richalle duduk terpaku, memandangi secangkir kopi yang mulai dingin. Namun, pikirannya sama sekali tak tenang. Bayangan Grecia yang menggandeng tangan Karel berulang kali melintas di depan matanya, seperti pengkhianatan yang terus mengoyak hatinya. Tangannya tanpa sadar menggenggam gelas itu dengan erat, wajahnya pun terkunci dalam kemarahan yang pekat. "Sialan! Kenapa gue terus-terusan mikirin mereka? Apa urusannya sama gue? Mau Om kulkas itu gandengan kayak perangko sama tu cewek juga, apa perdulinya sama gue?" batinnya penuh kebencian, berusaha menepis rasa sakit yang menggerogoti.D Dadanya terasa sesak, napas pun berat, dan ada bisikan kecil di kepala yang membuatnya tercengang sendiri. "Apa gue... mulai suka sama si Om rese itu?"Richalle mengguncangkan kepala sekuat tenaga, menolak kenyataan itu. "Gak! Gak mungkin gue jatuh cinta sama cowok kasar kaya dia! Jangan percaya pikiran itu Richalle!" g
Setelah memastikan Karel pergi barulah Richalle keluar dari kamarnya. Ia menghela nafas lega, "huh.... akhirnya dia pergi juga," gumamnya. Richalle berjalan ke meja makan untuk mengisi perutnya, ia melihat beberapa menu kesukaan nya ada di atas meja. "Wah.... Bibik, bagaimana bibik tahu makanan kesukaannya aku?" Tanya Richalle kepada bik izah. Bik izah Tersenyum sambil meletakkan susus nya dimeja. "Bukan bibik non, tapi tuan muda," katanya setengah berbisik. Richalle menatap bibik Izah dengan rasa bingung yang mulai mengusik pikirannya. “Maksud bibik, Om Karel?" tanyanya, mencoba mencari kepastian. Bibik Izah mengangguk pelan, senyum kecil terukir di bibirnya. "Benar Non, sebelum berangkat kerja, Tuan Muda menyempatkan menyiapkan sarapan untuk Non. Betapa romantisnya, Tuan Muda begitu mencintai Non," katanya dengan penuh rasa bangga. Richalle tersenyum tipis, ia bergumam dalam hati. Mencintai? Haha, itu terlalu jauh untuk mereka. Pernikahan kami hanya sandiwara sem
Richalle bangun dari tidurnya, saat ini jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Ia berjalan dengan lunglai, seolah nyawanya belum terkumpul."Pagi, Om." Suaranya melemah saat melihat Karel berdiri di balkon, sosoknya tampak dingin dan tak bergerak.Richalle menghembuskan napas berat, lalu menjatuhkan tubuhnya kembali ke sofa, berharap tidur bisa mengusir rasa sakit yang masih menggunung di kepala."Ah... kepala gue sakit banget," gumamya sambil memegangi pelipis, rasa pusing seolah tak mau pergi begitu saja.Matanya menatap Karel yang tetap membelakanginya tanpa kata.Ia mencoba mengingat kembali malam tadi. "Om, tadi malam om yang bawa gue pulang?" tanyanya suara serak karena bingung.Ia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi setelah club bersama Flora. Bagaimana dia bisa sampai di rumah? Richalle sama sekali tidak mengingat apapun.Kenapa ingatannya terasa kosong begitu?Karel membalikkan tubuhnya, menaikkan satu alis, menatapnya dengan tatapan dingin."Dia tidak menging
Adam membisikkan sesuatu padanya, Karel mendengar informasi apa yang disampaikan Adam pun langsung bangkit dari kursi kerjanya."Siapkan mobil," Ujarnya dengan nada rendah.Adam mengangguk, keduanya turun ke lobby. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Setelah mengantar Richalle pulang kerumah, Karel pergi lagi karna ada urusan perkejaan yang harus segera ia bereskan.Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit, Mobil Karel berhenti di salah satu club malam.Karel turun dari mobil, menatap bangunan tempat hiburan malam itu. "Tunggu disini," ujar Karel.Adam mengangguk kan kepalanya, Adam mendapatkan informasi dari bodyguard yang diam-diam di utus oleh Karel untuk menjaga Richalle. Ia mengetahui bahwa Nona Richalle sedang berada di club malam. Dan tanpa ragu ia memberitahukan hal ini kepada karel.Karel sudah berada di dalam club, dentuman musik terdengar ditelinga. Karel mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Richalle.Setelah berdesakan mencari-cari, akhirnya Ka