"Apa yang kamu lakukan pada anakku?" tanya Oxel dingin.
Yah. Oxel adalah ayah Arsene. Setelah menghilangnya sang putra di pusat perbelanjaan, dia melihat banyak perubahan pada diri putranya. Selain berkali-kali meminta supir mengantar ke toko es krim, Arsene juga mendadak sakit dan tak kunjung sembuh meski sudah menemui dokter yang berbeda-beda.
"Apa maksudmu?" Sofie mengerutkan kening bingung.
"Arsene ... apa yang sudah kamu lakukan padanya?" Oxel terlihat menggertakkan gigi.
"Oh, Arsene."
Sofie terlihat mengembuskan napas lega. Dia pikir telah diculik penjahat, ternyata hanya ayah dari anak yang kebetulan bertabrakan dengannya saja.
"Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya membelikan dia es krim karena aku menjatuhkan es krimnya. Itu saja dan tidak lebih," imbuhnya menjelaskan.
"Jangan bohong!" bentak Oxel menggebrak meja.
"Untuk apa aku berbohong?" Sofie kembali mengerutkan keningnya.
Kalau diperhatikan, pria yang ada di hadapan Sofie ini sangat tampan. Rahangnya tegas dengan aura yang sangat mendominasi.
"Jawab jujur, apa yang sudah kamu lakukan pada anakku?" Oxel beranjak mendekat dan berjongkok, lalu menyentuh dagu Sofie, "Kalau tidak, kamu akan menyesal," sambungnya sambil mengempaskan tangan hingga kepala Sofie terdorong ke samping.
Jika benar Sofie hanya membelikan Arsene es krim, lalu kenapa putranya itu bisa bersikap aneh. Merengek setiap hari agar bisa bertemu dengan Sofie, bahkan ketika sakit pun nama wanita itu yang dipanggil.
"Apa kamu memasukan sesuatu ke dalam es krim anakku?" tanya Oxel. Dia berdiri dan bersiap kembali ke kursinya.
"Sumpah demi Tuhan, aku tidak meletakkan apa pun di es krim anakmu. Aku hanya mengganti es krimnya yang jatuh," jelas Sofie menggebu.
Apa Oxel tidak akan pernah mempercayai Sofie meski mulutnya berbusa? Kenapa hanya menculiknya saja dan tidak bertanya pada anaknya?
"Tunggu!" Sofie baru teringat pada Arsene. "Apa yang terjadi pada Arsene? Dia baik-baik saja, kan?"
Tepat di samping meja, Oxel berhenti. Dia tersenyum menyeringai setelah mendengar ucapan Sofie. Ayah satu anak ini langsung berbalik dan kembali mencengkeram dagu wanita itu.
"Jadi, apa yang sudah kamu masukkan ke dalam es krim Arsene?" Cengkeraman tangan Oxel lebih keras.
"Aww! Aku tanya, apa Arsene baik-baik saja?" Sofie tidak peduli dan terus bertanya.
"Tidak mungkin Arsene baik-baik saja ketika kamu ada di sini, brengsek!" Oxel semakin kuat mencengkeram dagu Sofie.
Jika Arsene dalam keadaan baik-baik saja, tidak mungkin Oxel akan menculik dan menginterogasi Sofie. Mungkin hari-hari akan berlalu tanpa melewati kejadian penculikan ini.
"Papa! Apa yang Papa lakukan?!" Arsene berlari mendekat. Entah bagaimana anak laki-laki itu sampai di ruang rahasia. "Minggir!"
Arsene mendorong tubuh ayahnya agar menjauh dari Sofie. Terlihat, guratan kekhawatiran di wajah pucat anak laki-laki tampan itu.
"Tante Sofie, Tante baik-baik saja, kan?" tanya Arsene khawatir. Sorot matanya tertuju pada tangan Sofie yang diikat hingga memerah. "Kenapa Papa ikat tangan Tante Sofie?" tanyanya dengan sorot mata tajam.
Oxel hanya mengernyitkan dahi. Sebenarnya ada apa dengan putranya? Kenapa terlihat marah sekali? Apa karena wanita itu?
"Kamu baik-baik saja 'kan, Arsene?" tanya Sofie khawatir. Sejak tadi dia diam karena memperhatikan wajah pucat Arsene.
"Aku baik-baik saja, Tante." Arsene tersenyum senang. "Aku bantu lepas ikatannya, ya."
"Apa-apaan ini? Kenapa Arsene terlihat lebih sehat dari sebelumnya?" batin Oxel bertanya-tanya.
Bukankah seharusnya oxel senang melihat kondisi Arsene membaik? Akan tetapi, aneh rasanya melihat sang putra banyak bicara padahal sejak kemarin hanya berbaring tak berdaya. Bahkan saat ini terlihat seperti sedang memusuhinya.
"Ayo, Tante, kita tinggalkan pria jahat ini." Arsene berdiri dan mengulurkan tangan. Tidak lupa melirik ayahnya sinis.
"I-iya." Sofie mengangguk dengan linglung dan meraih tangan mungil Arsene.
"Apa? Pria jahat?" Oxel menganga tidak percaya mendengar sebutan yang putranya sematkan.
Pria dengan gaya rambut pomade itu tertawa canggung. Dia menyugar rambutnya ke belakang sambil menatap kepergian Arsene dan Sofie. Bagaimana bisa sebutan pria jahat disematkan oleh sang putra untuknya?
"Pasti ada yang tidak beres. Aku yakin wanita itu sudah memasukkan racun di es krim Arsene," bisik Oxel yakin.
Tanpa pikir panjang, Oxel langsung keluar ruangan itu menuju ruang kerja. Dia meraih laptop dan duduk di sofa. Setelah tangan cekatannya mengutak-atik keyboard, terpampanglah sosok Arsene dan Sofie di sebuah kamar.
"Apa yang sedang mereka bicarakan?" Oxel bergegas menaikkan volume suara.
"Tante Sofie baik-baik saja, kan? Tidak ada yang terluka, kan?" tanya Arsene sambil meneliti tubuh Sofie.
"Tante baik-baik saja, kok," sahut Sofie menggerak-gerakkan tubuhnya agar Arsene tidak khawatir.
"Syukurlah." Arsene mengembuskan napas lega.
Anak laki-laki itu tahu betul seperti apa ayahnya. Dia tahu sang ayah tidak jahat, tetapi tidak bisa diusik. Jika Sofie sampai dibawa ke ruang rahasia, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya.
Sofie mendadak berjongkok dan menyentuh jari-jemari mungil Arsene. "Kamu sakit? Apa karena es krim yang aku belikan waktu itu?" tanyanya khawatir.
Ucapan Oxel terngiang di kepala Sofie. Tidak mungkin pria itu akan menculiknya jika Arsene dalam keadaan baik-baik saja.
"Ya, tapi bukan karena itu." Arsene mengangguk, tetapi menggeleng.
"Lalu, kenapa?" tanya Sofie mengerutkan keningnya penasaran.
"Karena aku penasaran," jawab Arsene dengan raut serius.
"Apa? Penasaran?"
Sofie cukup terkejut. Bagaimana bisa penasaran bisa membuat seseorang sakit? Lalu, hal apa yang membuat anak sekecil itu penasaran?
"Apa yang membuatmu penasaran?" lanjut Sofie bertanya.
"Tante Sofie sudah punya pacar belum?" Pertanyaan Arsene belum mendapat jawaban kala itu. Jadi, dia utarakan lagi berharap akan mendapat jawaban.
"Astaga! Jadi ini yang membuatmu sakit?"
Tidak hanya Sofie, bahkan Oxel yang sedang menonton mereka di layar pun ikut terkejut. Jadi, dia telah salah menculik dan menuduh Sofie?
"Ya Tuhan, Arsene!" Oxel meraup wajahnya kasar. "Benar-benar ini anak."
Oxel masih sibuk menatap layar laptop.
Selang beberapa waktu, tidak ada hal yang mencurigakan dan semuanya terlihat normal, bahkan setelah Sofie pergi. Jadi, ini saatnya bagi pria itu untuk menginterogasi anaknya.***
Kini, Oxel sudah ada di kamar putranya. Dia berdiri di dekat pintu dan bersandar pada dinding sambil melipat kedua tangan di dada.
"Maksud kamu apa panggil papa pria jahat?" tanya Oxel dingin.
"Papa memang jahat. Bisa-bisanya Papa menculik Tante Sofie-ku," balas Arsene melirik ayahnya sinis.
Baru saja mengenal Sofie dan Arsene sudah mengklaim wanita itu miliknya. Sepertinya dia benar-benar menyukai Sofie.
"Apa kamu bilang?" Lagi-lagi Oxel dibuat tercengang oleh sang anak. "Lalu, apa maksudmu bertanya tentang dia punya pacar atau tidak?"
Jujur, jantung Oxel berdebar kencang mendengar pertanyaan itu. Bukan karena takut anaknya jatuh cinta pada Sofie di usianya yang masih kecil, melainkan hal lain.
"Papa menguping pembicaraan kami?" Arsene menatap tajam ayahnya.
"Jangan mengalihkan pembicaraan! Jawab pertanyaan papa, Arsene Raharjda Aditama!" seru Oxel geram.
"Aku ingin Tante Sofie jadi mamaku," jelas Arsene dengan raut serius.
Anggara memang bajingan yang memanfaatkan Sofie selagi Yura tidak ada. Meskipun demikian, Yura tetap tidak terima orang yang paling dicinta direndahkan seperti itu."Akan ku bunuh kamu, jalang!" Yura bersiap menghabisi Sofie, tetapi seruan Lily menghentikannya."Yura, cukup!" bentak Lily murka. Dia berdiri secara tiba-tiba dan menatap tajam temannya.Sejak awal, Lily tahu kalau Yura yang sengaja mencari masalah dengan Sofie. Meski dikalahkan berkali-kali, temannya itu tidak menyerah dan terus-menerus membuat masalah. Sikapnya ini menunjukkan betapa rendah Yura."Lily ...." Yura menatap kecewa temannya. Sudah berteman sejak SMA, tetapi Lily lebih memilih membela Sofie alih-alih membela Yura. Apa harta lebih penting dari pertemanan? Akan tetapi, harta pula yang membawa Yura ke club itu. Jadi, bukankah mereka berdua sama saja?"Tolong berhenti membuat keributan!" ujar Lily dengan raut memohon."Astaga! Kalung berlian sebagus ini kamu dan suamimu jadikan sebagai hadiah?" celetuk Jessica
Yura tidak menyangka Sofie akan seberani itu. Sudah disudutkan bukannya melemah, tetapi wanita itu justru semakin kuat."Benarkah?" Sofie berdiri. Dia melangkah mendekat ke arah Yura sambil melipat kedua tangan di perut. "Lalu apa yang kamu lakukan di hari satu tahun pernikahanku dan Mas Anggara?""Apa yang akan kamu lakukan, Sofie?!" bentak Yura dengan raut ketakutan.Sebisa mungkin, Yura harus memutarbalikkan keadaan. Jangan sampai semua orang tahu kebenarannya. Apalagi tujuannya datang ke sana demi mendapat teman baru dari kalangan atas."Aku tidak akan melakukan apa-apa. Aku hanya akan mengungkap kebenaran di sini," sahut Sofie santai."Diam!" bentak Yura murka."Kalian tahu?" Sofie mengedar pandang menatap satu per satu penghuni ruangan itu. "Gara-gara Yura yang datang di pernikahan kami dan di hari satu tahun pernikahan kami, aku diceraikan suamiku."Sofie tidak terburu-buru. Dia hanya ingin melihat Yura hancur dengan cara mengungkap kebenaran secara perlahan. Andai wanita itu s
"Bukan itu maksudku, Oxel. Bahkan kartu itu belum aku pakai sama sekali," ucap Sofie berusaha menjelaskan.Kartu yang Oxel berikan pada Sofie belum pernah sekali pun digunakan. Tentu saja karena semua kebutuhan sudah pria itu penuhi. Baik sandang maupun pangan, tanpa kurang suatu apa pun."Lalu?" Oxel ingin Sofie menjelaskan lebih detail."Aku ingin menemani Arsene pergi ke ulang tahun temannya. Dengar-dengar ini bukan perayaan ulang tahun biasa. Jadi, aku ingin kamu menyiapkan gaun edisi terbatas dan hadiah mahal. Kamu tahu maksudku, bukan?" jelas Sofie panjang kali lebar.Jika Oxel belum pernah menemani Arsene ke acara seperti itu, Sofie ingin Memon ini menjadi momen terbaik bagi anak tiri kontraknya. Apalagi mimik sedih yang ditunjukkan ketika mengajaknya. Apa pun yang terjadi, Sofie akan melakukan yang terbaik."Aku mengerti. Aku akan menyiapkan segalanya untukmu juga Arsene," sahut Oxel mantap."Baik, terima kasih." Sofie mengakhiri panggilan dan menatap ke arah samping.Hidup me
"Aaaa!" Yura berteriak cukup keras dengan manik mata terbuka.Dalam hati, Yura menyesali kebodohannya yang mengabaikan peringatan Anggara untuk tidak mengejar Sofie. Andai dia menurut, mungkin dia akan aman dan sedang memilih perlengkapan bayi."A-aku ... aku tidak jatuh?" batin Yura bertanya-tanya. Dia mencium aroma parfum yang terasa sangat lembut di indera penciumannya."Apa kamu baik-baik saja?""Kok aku seperti kenal suara ini?" bisik Yura dalam hati.Sepersekian detik kemudian, Yura membuka mata dan mendapati dirinya berada dalam dekapan seseorang. Sayangnya, seseorang itu adalah Sofie."Lepas, lepaskan aku!" seru Yura ketus.Bertepatan dengan ucapan Yura, Sofie sudah merasa tidak kuat lagi. Tangannya kebas karena menahan tubuh wanita itu yang tengah berbadan dua."Oke." Sofie mengangkat kedua tangan dengan raut santai."Awww! Brengsek kamu, ya!" Yura memekik kesakitan dan mengumpat.Posisi jatuh Yura tidak terlalu tinggi dan cukup aman. Namun karena orang itu Sofie, jadi dia ti
Hanya menatap Sofie sebentar saja sudah membuat Yura mengamuk. Apalagi kalau sampai saling sapa seperti ini. Anggara tidak yakin kejadian di perusahaan tadi tidak akan terulang lagi."Kalau begitu aku permisi, Mas. Kasihan Arsene sudah kelelahan dari pulang sekolah belum istirahat," pamit Sofie mengulas senyum lembut.Untuk apa terus berada di sana sedangkan target sudah melihat. Sofie hanya perlu memberi umpan dan melihat hasilnya nanti. Lagi pula, dia masih ingin bermain-main dan berjanji akan membuat mereka menyesal."Kamu mau ke mana, Sofie?!" teriak Yura dengan langkah besar."Aku mau temani anakku belanja, Yura," sahut Sofie santai.Wanita cantik itu menghentikan langkahnya membuat Arsene pun mengikuti. Dia mengedar pandang menatap orang-orang yang memusatkan atensinya pada Yura. Setelah itu, menoleh ke belakang dan mengedipkan sebelah mata. "Kenapa berhenti, Ma?" tanya Arsene menengadahkan kepala."Tidak apa-apa, Sayang." Sofie membalas, lalu mengusap puncak kepala anak tiri k
Yura berjalan santai sambil bersiul. Suaranya terdengar mengerikan karena diikuti siulan yang memantul. Tatapan matanya terus tertuju pada Sofie yang masih setia berdiri di depan lift. "Ayolah! Kali ini aku tidak akan hanya mencabik-cabik wajahmu, tapi menghabisimu sekaligus," bisik Yura tersenyum jahat. "Mama!" teriak Arsene memanggil. Sontak, Yura langsung menghentikan langkahnya tepat di samping mobil yang baru saja berhenti. "Ah, sial!" Yura mengumpat dalam hati. Selain ada Arsene, Oxel pun baru saja keluar dari lift. Ternyata mereka berdua sengaja ingin menjemput Arsene di sana. Lalu, bagaimana dengan penglihatan Yura yang melihat Sofie tertawa? "Sialan!" Yura mundur perlahan dan sembunyi di balik mobil yang terparkir. Dia menjulurkan kepalanya sedikit dan mulai memperhatikan. "Halo, Sayang." Sofie berjongkok sambil merentangkan tangan membiarkan Arsene masuk ke dalam pelukan. "Bagaimana kegiatan di sekolah hari ini? Apa menyenangkan?" Harusnya Sofie pergi menjempu