"Aku suka Tante Sofie dan aku ingin dia menjadi mamaku," jawab Arsene mantap.
Sejak pertama kali melihat Sofie, ada getaran aneh di dada. Arsene merasa aman dan nyaman. Perasaan semacam itu belum pernah dia rasakan sebelumnya pada wanita mana pun.
"Kita bicara lagi nanti." Oxel memilih menghentikan obrolan itu dan lekas berbalik bersiap pergi.
"Aku serius, Pa," ucap Arsene sendu.
Kenapa sang ayah tidak mempercayai ucapannya di saat-saat seperti ini? Padahal Arsene sudah terlihat sangat serius.
Tanpa menoleh, Oxel menjawab, "Kamu hanya sedang terbawa suasana saja. Kita bisa bicarakan hal ini nanti."
Oxel pikir, Arsene mengambil keputusan dengan tergesa. Hal itu terjadi karena sang putra tidak pernah mendapat kasih sayang dari ibunya. Jadi sekali mendapat perhatian, putranya akan langsung terharu.
"Tidak, Pa. Aku benar-benar ingin Tante Sofie jadi mamaku," ujar Arsene bersikeras.
Sayangnya, sang ayah tidak menghiraukan ucapannya dan melangkah pergi. Meski sekeras apa pun dia berteriak, itu hanya akan membuatnya kelelahan saja.
"Papa jahat! Papa sudah tidak sayang aku lagi!"
Arsene melempar barang yang ada di dekatnya seperti, bantal dan guling. Manik mata anak itu meneliti sekitar dan bergegas melompat dari tempat tidur. Dia raih miniatur-miniatur favoritnya di meja dan melemparnya ke arah pintu.
"Aku benci Papa! Aku benci Papa yang selalu sibuk! Aku benci selalu diabaikan!" teriak Arsene murka.
Selama ini, Oxel memang selalu memenuhi kebutuhan Arsene. Akan tetapi, kebutuhan batinnya hampir nol besar. Dia selalu sibuk dengan pekerjaan dan jarang sekali ada waktu untuk sang putra.
"Papa, dengarkan aku! Aku ingin punya mama!"
Selama ini, Arsene tidak pernah sekalipun bertanya atau sekedar mengungkit tentang keberadaan ibunya. Dia tahu hal itu hanya akan menyakiti hati sang ayah. Namun, tidak bisakah ayahnya memahami perasaannya juga?
"Aku ingin Tante Sofie jadi mamaku!" teriak Arsene lagi.
Di luar, Oxel hanya mendengar suara teriakan dan barang pecah bertubi-tubi. Dia tahu putranya serius, tetapi tidak bisa menerimanya dengan mudah. Tentu saja jika ingin Sofie menjadi ibu dari anaknya, dia harus menikahi wanita itu. Akan tetapi, dirinya sudah tidak percaya dengan yang namanya cinta.
"Pak, Den Arsene," ucap Bi Yuli, asisten rumah tangga.
"Biarkan saja. Nanti kalau sudah lelah juga berhenti sendiri," sahut Oxel malas.
Pria tinggi semampai itu ingin tahu sampai sejauh mana perilaku anaknya. Setelah itu, dia akan membuat keputusan dan bertindak sebagaimana mestinya.
"Baik, Pak." Bi Yuli kembali ke dapur dan melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu, Oxel meraih ponsel di saku jas, lalu menghubungi seseorang. "Cari tahu siapa Sofie. Aku ingin semua informasi tentangnya hari ini juga."
Setelah mengakhiri panggilan, Oxel berjalan menuju ruang kerja. Dia mengempaskan tubuhnya di kursi dan menyandarkan punggung sambil menatap langit-langit ruangan. Pria tampan itu terlihat kelelahan, terlebih dengan helaan napas beratnya yang terdengar cukup keras. Tidak ingin membuang waktu, Oxel memilih melanjutkan pekerjaan.
Beberapa jam kemudian, Oxel kembali menemui Arsene. Seperti sebelumnya, dia berdiri di dekat pintu sambil bersandar pada dinding.
"Kata Bibi, kamu tidak mau makan. Kenapa?" tanya Oxel dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
Arsene menarik selimut dan bergerak memunggungi sang ayah. Sepertinya dia masih marah atas kejadian tadi siang. Lagi pula, siapa juga yang mau diabaikan?
"Masih marah?" tanya Oxel lagi. Dia menatap putranya yang berusaha menghindar.
Lagi, Oxel diabaikan sang putra. Dia tahu tidak akan semudah itu. Apalagi Arsene bukan tipe anak yang suka merajuk. Paling hanya diam dan kembali seperti biasa.
"Mari kita bicara setelah makan malam," kata Oxel sambil menatap tubuh mungil putranya yang terbungkus selimut.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan!" sergah Arsene ketus.
"Kamu yakin? Papa bisa pertimbangkan keinginanmu untuk memiliki ibu. Jadi, cepat turun dan makan. Setelah itu, kita bisa bicara." Oxel terlihat penasaran menantikan reaksi sang putra.
Pria dengan hidung mancung itu tidak benar-benar ingin menjadikan Sofie ibu untuk anaknya. Baginya, hal yang paling penting sekarang adalah Arsene makan terlebih dahulu.
"Papa tidak bohong, kan?" tanya Arsene beranjak bangun.
"Bukankah papa sudah bilang akan mempertimbangkannya? Apa perlu papa batalkan saja?" ancam Oxel kesal.
Sore tadi, Oxel sudah mendapatkan informasi pribadi Sofie. Tidak ada hal baik dari wanita itu. Selain yatim piatu, Sofie juga seorang janda miskin. Tidak ada kelebihan yang dimiliki untuk bisa dia pertimbangkan.
"Aku mengerti." Arsene menyingkirkan selimut dan melompat turun. Kemudian, dia berjalan keluar kamar melewati ayahnya.
"Astaga!" Arsene tersenyum melihat sikap anaknya. "Sejak kapan anakku sebesar ini?"
Sibuk bekerja membuat Oxel melewatkan tumbuh kembang Arsene. Ada sedikit penyesalan di relung hati, tetapi dia tidak punya pilihan. Setiap kali menatap putranya, dia seperti sedang menatap Jennifer, sang mantan istri. Tentu saja karena bola mata mereka sangat mirip.
"Tunggu papa, Arsene!" teriak Oxel mempercepat langkahnya.
Mengetahui sang ayah mengejar, Arsene langsung lari. Pada akhirnya, mereka saling berkejaran menuju ruang makan sebelum akhirnya menikmati makan malam bersama.
***
"Apa hobimu memang menculik? Apa tidak bisa berbicara baik-baik jika ingin bertemu denganku?" tanya Sofie menatap Oxel heran.
Semula, Sofie sudah ketakutan karena tiba-tiba ada dua orang berpakaian serba hitam membawanya secara paksa. Terlebih, orang-orang itu berbeda dengan orang yang menculiknya sebelumnya.
"Jangan banyak bicara! Tujuanku membawamu ke sini hanya untuk ini." Oxel menyodorkan amplop coklat pada Sofie.
"A-apa itu?" tanya Sofie tergagap.
Melihat amplop coklat seolah membuat Sofie trauma. Kejadian di mana Anggara menceraikannya tiba-tiba terngiang di kepala.
"Buka saja. Aku yakin kamu akan senang," sahut Oxel santai. Dia menjatuhkan tubuhnya ke belakang dan bersandar pada kursi.
Sofie hanya orang biasa yang bekerja di toko bunga. Jadi, Oxel yakin tawaran yang akan dia berikan bisa diterima dengan mudah oleh wanita itu.
"Tidak, aku tidak mau," tolak Sofie sambil menyodorkan kembali amplop itu ke meja.
"Apa kamu bilang?" Oxel terlihat sangat terkejut. Untuk pertama kalinya ada orang yang berani membantah ucapannya. "Ini bukan tempatmu bisa seenaknya menolak perintahku!"
"Memangnya kamu pikir kamu siapa?" tanya Sofie geram.
Sejak tadi Sofie berusaha tenang. Namun, melihat sikap Oxel yang semakin keterlaluan membuatnya harus bersikap tegas. Kini, dia memilih berdiri dan bersiap keluar dari ruangan itu.
"Tunggu! Kamu mau ke mana?" seru Oxel beranjak berdiri, "Kembali atau kamu akan menyesal!" imbuhnya mengancam.
"Kamu tahu kalau aku bisa melakukan apa pun, termasuk mencabut nyawamu!" Dengan tangan terkepal, Oxel kembali mengancam. Tentu karena Sofie tidak menghiraukan ucapannya dan terus berjalan.
"Sial!" umpat Sofie pelan.
Wanita cantik itu tahu betul kalau Oxel mampu melakukan hal itu. Apalagi setelah menculiknya dua kali. Jadi, apa yang harus dia lakukan sekarang?
"Aku bilang kembali!" kata Oxel memerintah.
Jika bukan karena Arsene, Oxel tidak akan melakukan hal rendahan seperti ini. Dia terbiasa dipuja dan sekarang harus memohon pada seorang wanita.
Sofie yang sudah menyentuh gagang pintu langsung membantingnya cukup keras. Setelah itu, dia berbalik dan berjalan sambil menghentakkan kaki. Tidak lupa dengan wajah yang sudah memerah menahan emosi.
"Katakan, apa maumu?!" tanya Sofie dingin.
"Menikahlah denganku!" ujar Oxel tanpa ragu.
Anggara memang bajingan yang memanfaatkan Sofie selagi Yura tidak ada. Meskipun demikian, Yura tetap tidak terima orang yang paling dicinta direndahkan seperti itu."Akan ku bunuh kamu, jalang!" Yura bersiap menghabisi Sofie, tetapi seruan Lily menghentikannya."Yura, cukup!" bentak Lily murka. Dia berdiri secara tiba-tiba dan menatap tajam temannya.Sejak awal, Lily tahu kalau Yura yang sengaja mencari masalah dengan Sofie. Meski dikalahkan berkali-kali, temannya itu tidak menyerah dan terus-menerus membuat masalah. Sikapnya ini menunjukkan betapa rendah Yura."Lily ...." Yura menatap kecewa temannya. Sudah berteman sejak SMA, tetapi Lily lebih memilih membela Sofie alih-alih membela Yura. Apa harta lebih penting dari pertemanan? Akan tetapi, harta pula yang membawa Yura ke club itu. Jadi, bukankah mereka berdua sama saja?"Tolong berhenti membuat keributan!" ujar Lily dengan raut memohon."Astaga! Kalung berlian sebagus ini kamu dan suamimu jadikan sebagai hadiah?" celetuk Jessica
Yura tidak menyangka Sofie akan seberani itu. Sudah disudutkan bukannya melemah, tetapi wanita itu justru semakin kuat."Benarkah?" Sofie berdiri. Dia melangkah mendekat ke arah Yura sambil melipat kedua tangan di perut. "Lalu apa yang kamu lakukan di hari satu tahun pernikahanku dan Mas Anggara?""Apa yang akan kamu lakukan, Sofie?!" bentak Yura dengan raut ketakutan.Sebisa mungkin, Yura harus memutarbalikkan keadaan. Jangan sampai semua orang tahu kebenarannya. Apalagi tujuannya datang ke sana demi mendapat teman baru dari kalangan atas."Aku tidak akan melakukan apa-apa. Aku hanya akan mengungkap kebenaran di sini," sahut Sofie santai."Diam!" bentak Yura murka."Kalian tahu?" Sofie mengedar pandang menatap satu per satu penghuni ruangan itu. "Gara-gara Yura yang datang di pernikahan kami dan di hari satu tahun pernikahan kami, aku diceraikan suamiku."Sofie tidak terburu-buru. Dia hanya ingin melihat Yura hancur dengan cara mengungkap kebenaran secara perlahan. Andai wanita itu s
"Bukan itu maksudku, Oxel. Bahkan kartu itu belum aku pakai sama sekali," ucap Sofie berusaha menjelaskan.Kartu yang Oxel berikan pada Sofie belum pernah sekali pun digunakan. Tentu saja karena semua kebutuhan sudah pria itu penuhi. Baik sandang maupun pangan, tanpa kurang suatu apa pun."Lalu?" Oxel ingin Sofie menjelaskan lebih detail."Aku ingin menemani Arsene pergi ke ulang tahun temannya. Dengar-dengar ini bukan perayaan ulang tahun biasa. Jadi, aku ingin kamu menyiapkan gaun edisi terbatas dan hadiah mahal. Kamu tahu maksudku, bukan?" jelas Sofie panjang kali lebar.Jika Oxel belum pernah menemani Arsene ke acara seperti itu, Sofie ingin Memon ini menjadi momen terbaik bagi anak tiri kontraknya. Apalagi mimik sedih yang ditunjukkan ketika mengajaknya. Apa pun yang terjadi, Sofie akan melakukan yang terbaik."Aku mengerti. Aku akan menyiapkan segalanya untukmu juga Arsene," sahut Oxel mantap."Baik, terima kasih." Sofie mengakhiri panggilan dan menatap ke arah samping.Hidup me
"Aaaa!" Yura berteriak cukup keras dengan manik mata terbuka.Dalam hati, Yura menyesali kebodohannya yang mengabaikan peringatan Anggara untuk tidak mengejar Sofie. Andai dia menurut, mungkin dia akan aman dan sedang memilih perlengkapan bayi."A-aku ... aku tidak jatuh?" batin Yura bertanya-tanya. Dia mencium aroma parfum yang terasa sangat lembut di indera penciumannya."Apa kamu baik-baik saja?""Kok aku seperti kenal suara ini?" bisik Yura dalam hati.Sepersekian detik kemudian, Yura membuka mata dan mendapati dirinya berada dalam dekapan seseorang. Sayangnya, seseorang itu adalah Sofie."Lepas, lepaskan aku!" seru Yura ketus.Bertepatan dengan ucapan Yura, Sofie sudah merasa tidak kuat lagi. Tangannya kebas karena menahan tubuh wanita itu yang tengah berbadan dua."Oke." Sofie mengangkat kedua tangan dengan raut santai."Awww! Brengsek kamu, ya!" Yura memekik kesakitan dan mengumpat.Posisi jatuh Yura tidak terlalu tinggi dan cukup aman. Namun karena orang itu Sofie, jadi dia ti
Hanya menatap Sofie sebentar saja sudah membuat Yura mengamuk. Apalagi kalau sampai saling sapa seperti ini. Anggara tidak yakin kejadian di perusahaan tadi tidak akan terulang lagi."Kalau begitu aku permisi, Mas. Kasihan Arsene sudah kelelahan dari pulang sekolah belum istirahat," pamit Sofie mengulas senyum lembut.Untuk apa terus berada di sana sedangkan target sudah melihat. Sofie hanya perlu memberi umpan dan melihat hasilnya nanti. Lagi pula, dia masih ingin bermain-main dan berjanji akan membuat mereka menyesal."Kamu mau ke mana, Sofie?!" teriak Yura dengan langkah besar."Aku mau temani anakku belanja, Yura," sahut Sofie santai.Wanita cantik itu menghentikan langkahnya membuat Arsene pun mengikuti. Dia mengedar pandang menatap orang-orang yang memusatkan atensinya pada Yura. Setelah itu, menoleh ke belakang dan mengedipkan sebelah mata. "Kenapa berhenti, Ma?" tanya Arsene menengadahkan kepala."Tidak apa-apa, Sayang." Sofie membalas, lalu mengusap puncak kepala anak tiri k
Yura berjalan santai sambil bersiul. Suaranya terdengar mengerikan karena diikuti siulan yang memantul. Tatapan matanya terus tertuju pada Sofie yang masih setia berdiri di depan lift. "Ayolah! Kali ini aku tidak akan hanya mencabik-cabik wajahmu, tapi menghabisimu sekaligus," bisik Yura tersenyum jahat. "Mama!" teriak Arsene memanggil. Sontak, Yura langsung menghentikan langkahnya tepat di samping mobil yang baru saja berhenti. "Ah, sial!" Yura mengumpat dalam hati. Selain ada Arsene, Oxel pun baru saja keluar dari lift. Ternyata mereka berdua sengaja ingin menjemput Arsene di sana. Lalu, bagaimana dengan penglihatan Yura yang melihat Sofie tertawa? "Sialan!" Yura mundur perlahan dan sembunyi di balik mobil yang terparkir. Dia menjulurkan kepalanya sedikit dan mulai memperhatikan. "Halo, Sayang." Sofie berjongkok sambil merentangkan tangan membiarkan Arsene masuk ke dalam pelukan. "Bagaimana kegiatan di sekolah hari ini? Apa menyenangkan?" Harusnya Sofie pergi menjempu