Part 6
“Mommy!” teriak Alvaro. Dia langsung menghambur ke arahku. Entah kenapa bocah kecil imut ini memanggilku Mommy.Ia baru saja bangun tidur, tapi matanya sungguh indah. Rambutnya agak panjang untuk anak kecil seukuran dia, karena katanya dia susah untuk dibujuk.Aku tersenyum lantas menggendongnya. “Sayang, ayo kita mandi dulu. Air hangat sudah disiapkan loh,” sahutku sambil tersenyum.Aku senang sekali, di sini ada Alvaro, anak yang sangat lucu dan menggemaskan, jadi aku tak terlalu jenuh mengerjakan pekerjaan rumah yang melelahkan untuk ukuran rumah sebesar dan semewah ini. Ada pelipur lara hati saat melihat tingkahnya yang polos.Tapi, entah kenapa rasanya para keluarga mengucilkan anak ini, hanya ayahnya saja yang sangat protektif.Katanya sih, dia nakal banget hingga susah diatur. Barang apa saja yang dipegangnya akan dirusaknya, membuat para anggota keluarga gemas. Bocah kecil itupun sering kabur keluar rumah membuat para pengasuhnya kewalahan karena sikapnya yang sangat aktif, tidak bisa diam.Tak jarang, kalau ada acara keluarga bersama, Alvaro akan dikunci di kamarnya, agar tak mengacau. Mereka tak peduli biarpun menangis, dikunci hanya bersama pengasuhnya.Sementara sang ayah tak bisa berbuat banyak dan memilih mengalah, apalagi katanya Tuan Putra sangat work aholic. Terlebih Tuan Putra seringnya pulang malam.Alvaro ditinggal oleh ibunya sejak kecil. Istri Tuan Putra pergi dari rumah karena sering cekcok dengan anggota keluarga. Sejak kepergian istrinya itulah, Tuan Putra jadi pribadi yang dingin. Semua cerita-cerita itu aku dengar dari Isna.Ya, dua hari bekerja di sini, aku sudah punya teman. Isna lebih welcome dari pada yang lain. Dia sering cerita apa yang terjadi. Aku juga diberi tahu tugas-tugas lain yang belum aku tahu. Pun dengan tata cara untuk memandikan Alvaro, dari menyiapkan air hangatnya, sabun, sikat gigi serta nanti makannya pun secara terpisah, karena Alvaro memiliki alergi pada satu bahan makanan, yaitu seafood.“Mommy!” Bocah kecil itu menarik tanganku. Aku mengikutinya masuk ke kamar mandi. Kumandikan dia dengan telaten seraya mengajaknya bercanda. Alvaro menyemprotkan air ke wajahku menggunakan pistol airnya. Lalu dia tertawa terbahak melihatku ikut basah.“Mommy, jangan peygi ya?” ujarnya serius, tapi matanya masih tertuju pada pistol air, dia mengisinya lagi dengan air yang ada di bak.“Memangnya kenapa, Sayang?”“Aku gak punya temen. Semua mayah-mayah.”“Terus kenapa Varo manggil Mbak, Mommy?”“Kayena mommy cantik, baik teyuuus ...” jawabnya polos. Aku tersenyum lagi seraya mengeramasi rambutnya. Busa shampo itu sudah memenuhi kepalanya.“Varo, ada permainan seru loh!”Dia menatapku heran. “Apa Mommy?”“Lihatin ya, Mbak bisa buat gelembung dari ini,” ujarku. Lalu mengambil busa dan meniupkannya, hingga terbentuk gelembung balon dari shampo.“Hoyee, hoyeee ...” teriak bocah kecil itu dengan histeris.Ah dari sini aku tahu, sesungguhnya Alvaro hanya butuh perhatian seorang ibu. Seorang ibu yang bisa menemaninya dan mengajak bercanda. Ia melakukan kekacauan karena butuh perhatian. Butuh perhatian dari orang-orang sekitar.“Sudah yuk, waktu mandi sudah habis, sekarang saatnya pakai baju!” ajakku. Sebisa mungkin aku bersikap manis padanya agar dia tidak takut.“Iyah!” sahutnya sambil mengangguk cepat. Aku menggendongnya keluar kamar mandi. Agak terkejut saat Tuan Putra sudah menunggunya di sana.“Daddy!” panggilnya dengan riang. Lelaki itu tersenyum manis padanya, lalu menatapku. “Lanjutkan saja tugasmu, aku hanya ingin melihatnya sebelum berangkat kerja,” ucap lelaki itu.“Baik, Tuan.” Aku mengangguk sambil terus mengeringkan tubuh Alvaro dengan handuk.“Varo pakai baju dulu ya,” bujukku.Alvaro mengangguk dan menurutinya. Aku memakaikan kaos dan celananya, hingga Alvaro terlihat rapi dan tampan. Akupun menyisir rambutnya. Memandangnya membuatku tersenyum sendiri.Bocah laki-laki kecil ini sangat tampan, cocok bila ikut audisi iklan untuk sponsor di televisi.“Daddy mau berangkat kerja dulu ya, Varo jangan nakal sama Mbak Hana ya!” tukas lelaki itu. Alvaro hanya mengangguk, ia seolah tak peduli karena lebih asyik memegang mainannya.“Emmh, Alvaro sayang, salim dulu sama daddy,” ujarku sebelum Tuan Putra benar-benar pergi.Bocah kecil itu mendongak, menoleh ke arahku, lalu mengulurkan tangannya ke arah sang ayah. Dia menyalami tangan pria itu. Kulihat Tuan Putra terteggun sejenak, lantas mencium kening Alvaro dengan lembut.“Iya, daddy berangkat dulu ya Varo. Hari ini daddy pulang malem, jadi Alvaro jangan nakal ya, jadi anak baik.”Alvaro hanya menganggukkan kepalanya lalu lompat-lompat di atas tempat tidurnya.“Tolong jaga anak saya ya, jangan sampai dia terlepas dari pengawasanmu.”“Baik, Tuan.”Tuan Putra sudah pergi dari kamar, aku pun segera membujuknya untuk sarapan lebih dulu. Tapi Alvaro ingin makan di teras rumah, akupun menyetujuinya asalkan dia tidak lari-lari. Kuajak dia ke teras samping rumah, makan di taman yang dipenuhi aneka tanaman hias.Ada kolam ikan juga dan dibuat pancuran di sana, hingga terdengar gemericik air yang syahdu. Kami duduk di bangku kayu panjang, lalu menyuapi Alvaro makan sambil berdongeng.***Hari ini kami dikumpulkan sejenak, katanya Ny Mariana akan memberikan bingkisan pada kami para pembantunya.“Kalian tau gak, ini loh oleh-oleh dari luar negeri. Oleh –oleh bulan madu kami,” ungkap Mariana seraya menceritakan pengalaman bulan madunya yang katanya manis, lebih manis dari madu. Saat mengatakan hal itupun ada Mas Bambang di sampingnya.Tanpa rasa malu pada kami para pekerjanya, mereka memperlihatkan kemesraannya, terlebih Mariana terlihat begitu posesif padanya. Selalu menggamit lengan, lalu menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu.Sedari tadi aku menunduk, menghindari tatapan Mas Bambang yang seringkali melirik ke arahku.“Ini buat kamu.”“Ini buat kamu.”“Dan ini buat kamu,” kata wanita cantik itu lagi seraya menyerahkan bingkisan kotak kecil padaku.”“Makasih, Nyonya.”“Doakan aja ya biar pernikahanku dengan Mas Jaya langgeng selamanya. Kalian hari ini harus masak lebih banyak ya, hari ini ada tamu spesial yang akan datang.”“Baik, Nyah.”Kami kembali ke pekerjaan masing-masing, hingga jam makan malam itu datang. Menu makan malam bersama sekaligus istimewa sudah selesai dihidangkan. Tamu itu datang, mereka langsung menyambutnya. Terdengar gelegak tawa sampai ke dapur. Aku tengah membersihkan botol bekas susu Alvaro.Tiba-tiba bruuk ... aku bertubrukkan dengan seseorang.“Maaf, saya tidak sengaja,” ujarku seraya membungkukkan badan karena merasa bersalah, dan lagi barang yang kubawa terjatuh di lantai.“Kamu?”Deg! Jantungku berdegup kencang mendengar suara yang kukenali. Benar saja saat mendongak kulihat wajah sinisnya. Mantan ibu mertua.Dia langsung menarik tanganku hingga ke sudut, lalu menatapku dari atas ke bawah.“Hana, kenapa kau ada di sini? Apa kau sengaja mengejar Bambang sampai sini? Kau sungguh tidak tahu malu ya, kamu itu sudah diceraikan olehnya! Apa kau berniat menghancurkan rumah tangga putraku ‘hah?” ucapnya lirih dengan nada penekanan.“Ma ..., Mama kenal dia?” Belum juga kujawab, Mariana sudah datang menatapku dengan curiga.Part 7"Mama kenal?" tanya Mariana lagi. Ia melangkah mendekat, membuat Bu Samira tampak tergagap lantas tersenyum."Emhh ya, Mama kenal dia," jawab Bu Samira. "Dia pembantu di rumah Mama dulu," sambungnya lagi sambil tertawa kecil.Aku menoleh ke arahnya, hatiku seakan tercubit dengan perkataannya itu. Jadi dia hanya menganggapku sebagai pembantu.“Kamu harus hati-hati, Sayang. Dia pembantu tapi tidak jujur. Maka dari itu dulu mama memecatnya. Makanya mama sangat terkejut, saat dia ada di sini. Awas saja, barang-barang kalian, takutnya ada yang hilang. Terlebih kamu, kamu harus lebih hati-hati.”“Oh ya? Jadi dia pencuri?” Mata Mariana membulat lalu menatapku tajam. “Kau pencuri?” tanyanya lagi penuh selidik.“Tidak, Nyonya. Saya berani bersumpah, saya bukan pencuri. Bu Samira berbohong, saya itu is—““Sekalinya pencuri tetaplah pencuri, pasti dia tidak akan mau ngaku ‘kan? Kamu pasti lebih percaya Mama kan dari pada si pembantu ini?” sela Bu Samira. Ah, dia tega sekali memfitnahku de
Part 8“Hana, kuperingatkan kau, jangan cari muka di sini apalagi berusaha menggoda majikanmu sendiri atau—“"Atau apa, Mas? Lebih baik kamu tidak usah pedulikan aku lagi. Anggap saja kita tidak saling mengenal satu sama lain di sini. Apa kau tidak takut sikapmu ini ketahuan istri barumu?" Kukibaskan cekalan tangannya dengan kasar.Dia terhenyak dan menatapku beberapa jeda. Sorot matanya sangat berbeda, tak nampak kehangatan seperti dulu lagi. Dia bukanlah Bambang Wijaya yang pernah kukenal dulu.Aku tersenyum masam, lantas melirik ke arah kamar Tuan Putra. Rupanya pria itu tengah memperhatikan kami dengan tatapan bertanya-tanya.Gegas aku pergi dari sana, tak ingin terjadi salah paham apapun lagi. Terlalu sakit hati ini bila terus mendapatkan penghinaan oleh orang-orang kaya.Aku kembali melewati mereka semua. Tatapan Bu Samira padaku begitu tajam hingga membuatku bergidik.***Rutinitasku sehari-hari seperti biasanya, mengasuh Alvaro, dari mulai memandikan, menyuapinya makan, lalu
Part 9"Hah?""Kenapa bengong?""Eh, i-iya, Tuan. Saya akan buatkan kopi.""Kopi hitam ya, jangan terlalu manis.""Baik, Tuan."Aku segera beranjak keluar dari ruang kerja majikanku. Aneh sekali, katanya mau dihukum, ternyata cuma disuruh bikin kopi?Gegas aku menuju ke dapur, menyiapkan cangkir dan tatakannya. Dua sendok kopi, dan satu sendok gula pasir lalu kutuangkan air panas dari termos. Tidak terlalu manis sesuai permintaannya."Hana, kamu buat kopi buat siapa?" tanya Isna."Tuan Putra.""Tumben Tuan Putra minta dibikinin kopi."Aku hanya mengendikkan bahu. "Tapi kata Mbak Rasni, Tuan Putra gak boleh kebanyakan minum kopi, karena punya sakit lambung."Aku mengangguk. "Isna, kamu tahu gak kenapa semua anak-anak Tuan Mahesa pada kumpul di sini? Padahal sudah pada berkeluarga. Kenapa gak misah gitu?" tanyaku penasaran. Ya memang sih, rumah ini sangat besar jadi muat menampung mereka."Kenapa nanya gitu?""Ya cuma pengin tau aja, Isna. Biasanya kan orang udah berkeluarga pada misah
Part 10Aku mengangguk dan masuk ke ruang kerja Tuan Putra. Sebelumnya kudengar Mariana melangkah pergi dengan menghentakkan kakinya seraya menggerutu.“Ya, Tuan?”“Saya ingin memasukkan Alvaro ke PAUD tahun ini, apa kau bersedia mengantar dan menungguinya selama jam pelajaran berlangsung?”“I-iya, Tuan.”“Bagus. Kalau begitu kau list semua kebutuhannya untuk sekolah nanti, lalu berikan pada saya.”“Baik, Tuan.”“Jangan sampai seperti tahun kemarin, saya tidak ingin kegagalan terulang lagi.”“Maaf, maksudnya gimana, Tuan?”“Alvaro gagal bersekolah tahun lalu.” “Baik, Tuan, saya akan berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjaga Den Alvaro.”“Ya, sudah, kau boleh pergi.”Aku mengangguk.“Maaf Tuan ...”“Ya, ada apa, Hana?”“Soal guci yang pecah itu apa nantinya akan dipotong dari gaji?”“Oh, kamu masih memikirkan hal itu?”“I-iya, Tuan. Saya merasa bersalah."“Tidak. Kau jangan khawatir, gajimu tetap utuh.”"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Tuan."Senyumku mengembang mendengar jawab
Part 11“Aku akan laporkan hal ini ke kakek. Beliau pasti shock, ada wanita yang dekat dengan anaknya tapi cuma seorang pembantu!”Setelah mengatakan hal itu, Mariana langsung pergi. Aku segera bangkit. “Tuan maafkan saya, gara-gara saya, Tuan jadi kena masalah.”Aku langsung mengejar Mariana. “Nyonya, tolong jangan laporkan hal ini pada Tuan Besar. Saya yang salah.”“Ya, memang kamu yang salah, harusnya kamu tahu diri!” tandas Mariana seraya tersenyum sinis.“Nyonya--"“Sudah, biarkan saja, Hana. Terserah kamu mau laporkan ini ke siapapun, aku tak peduli!” Tuan Putra datang menghampiri. Mata lentik Mariana makin melebar mendengar ucapan pamannya. Ia lantas pergi seraya menarik tangan Mas Bambang.“Tapi, Tuan—““Duduklah kembali dan habiskan makananmu.”Aku tertunduk dan hanya menunduk. Alvaro menatapku bingung. “Mommy kenapa?”“Gak apa-apa, Sayang,” jawabku seraya tersenyum.Tuan Putra kembali duduk di hadapanku. “Kenapa diam saja? Ayo dimakan, jangan cuma dilihatin terus.”“Tuan—“
Part 12Tanpa sengaja, Bambang melihat kedakatan mereka berdua di dapur. Putra dan Hana, semakin hari semakin akrab saja. Ditambah si Alvaro yang memanggil Hana mommy. Memang benar-benar aneh. Putra, paman istrinya sekaligus bosnya di kantor terlihat lebih santai ketika bersama mantan istrinya itu. Tak seperti perangainya di kantor yang kaku dan dingin, serta keras kepala.Dadanya bergemuruh, terasa panas dan cemburu. Meski Hana hanya mantan istrinya tapi perasaan cinta itu belum pudar. Ia terpaksa menceraikan Hana karena permintaan orang tua. Ia pun terpaksa menikahi Mariana atas perjodohan itu, pernikahan bisnis agar bisnis ayahnya makin berkembang.Beberapa bulan yang lalu ...“Pulanglah dulu, Bambang, Papamu sakit,” ucap Bu Samira di seberang telepon. Bambang melirik arloji yang melingkar di tangan, waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. “Tapi aku masih bekerja, Ma,” jawab Bambang.“Jadi kau lebih memilih pekerjaan dari pada papamu? Kau sudah lama tidak berkunjung kesini sejak men
Part 13"Asalkan apa, Tuan?" Tok tok tok ... Tetiba terdengar suara ketukan pintu. Tak lama Mariana masuk ke dalam."Om Putra?! Masih belum selesai juga? Itu ada Tante Sasya nungguin di ruang tamu!" seru Mariana. Ia melirik ke arahku dengan tatapan sinis."Mau apa dia datang? Bilang saja aku sedang sibuk.""Itu tidak mungkin, Om. Kayak gak tahu tante aja.""Oh iya, Hana, kamu boleh pergi!" pungkas Tuan Putra lagi. "Baik, Tuan, saya permisi."Aku keluar dari ruang kerja Tuan Putra. Terdengar suara langkah kaki mendekat."Eh, eh tunggu Hana! Buatkan minuman untuk tamu spesial yang datang hari ini!" "Baik, Nyonya." "Dia adalah mamanya Alvaro. Di sini biar kamu sadar diri, kamu itu tidak selevel dengan Om Putra!" bisiknya penuh penekanan, lalu pergi begitu saja.Aku menghela napas. Segera menuju ke dapur, membuatkan minuman untuk tamu. Di ruang tamu kulihat wanita cantik yang tempo hari bertemu di mall. Ia sedang berbincang dan tertawa dengan Mariana."Silakan diminum tehnya, Nyonya.
Part 14"I-iya, baik, Tuan. Den Alvaro bagaimana?""Kamu berapa hari di kampung?""Maaf Tuan, kalau saya izin dua hari apakah boleh?""Ya, tentu."Aku merasa sangat senang, ternyata majikanku yang satu ini sangatlah baik, berbeda dengan yang lainnya, mereka tak menyukaiku di sini. Entahlah ..."Kalau begitu, Alvaro diajak. Saya gak percaya dengan orang rumah.""Baik, saya akan siapkan Den Alvaro juga.""Saya akan menginap juga dua hari.""Hah? Menginap?" Sungguh aku tak percaya ucapannya. Masa sih Tuan Putra ingin menginap? "Ya, kenapa? Ada yang salah?""Ti-tidak, tapi--""Hal yang wajar bukan, seorang majikan silaturahmi pada pembantunya? Apalagi keluargamu sedang terkena musibah.""I-iya sih, tapi saya takut mengecewakan Tuan.""Kenapa?""Rumah saya kecil dan jelek, Tuan. Saya takut Tuan dan Den Alvaro tidak kerasan di sana. Karena gak ada springbed ataupun AC.""Kau tenang saja, saya bisa pesan hotel.""Tapi--""Hana, saya ini bermaksud baik lho, tapi secara halus kamu menolak say