Malam ini, Danisha nampak murung selama perjalanan menuju tempat tinggalnya. Ia terdiam, tidak mempedulikan apapun.Karena merasa tidak nyaman, akhirnya Wihaldy bertanya, "Ada apa?""Apa kau tidak suka kuajak makan bersama Jane?" tanyanya lagi karena wanita di sampingnya tidak menjawab.Danisha masih terdiam sambil memalingkan muka ke samping, melihat pemandangan yang ada di luar, tidak melihat Wihaldy yang sedang menyetir."Ya, maaf kalau kau tidak suka! Lain kali, aku akan memberitahumu lebih awal. Tidak akan melakukan apapun tanpa persetujuanmu! Sekarang, maafkan aku, ya!" bujuk Wihaldy sambil memegang tangan Danisha dengan satu tangan. Dan, satu tangannya lagi memegang roda kemudian sambil sesekali menatap ke depan, melihat jalanan yang mulai macet.Sebenarnya Danisha ingin marah, pipinya masih sakit karena ditampar oleh Jane. Tapi, melihat ketulusan dan kebalikan Wihaldy, Danisha menjadi tidak tega.Akhirnya ia menatap Wihaldy, lalu mengangguk. "Lain kali, jangan membawaku menemu
Suasana di ruangan itu terasa hening dan sepi. Semua orang terdiam beberapa detik, lalu saling tatap, setelah itu Wihaldy berdiri, mempersilahkan Jane untuk duduk."Hemmm!" Jane mengiyakan ucapan Wihaldy dengan enggan. Dia pun langsung duduk di kursi depan Danisha."Sayang! Perkenalkan, ini Jane, mantan tunanganku! Eh, ya! Waktu itu kalian sudah pernah bertemu di rumahku," ucap Wihaldy tanpa ragu sedikitpun.Danisha tergagap sejenak. Namun kemudian ia membungkukkan badan dan menyapa.Di depannya Jane menatap Danisha dengan sinis. Ia ingin berkata kasar, namun diurungkan karena Wihaldy ada di depannya.Tadi siang Wihaldy sudah berbicara serius dengan Jane. Ia pun sudah menjelaskan alasan dirinya tidak bisa kembali pada wanita itu. Awalnya Jane tidak setuju. Ia tetap ingin mempertahankan pernikahan itu dan ingin Wihaldy menikah dengannya sesuai dengan apa yang telah dibicarakan oleh kedua keluarga. Namun Jane pun tersadar, keputusan Wihaldy sudah bulat, ia menyetujui keputusan Wihaldy,
Di jam pulang kerja, Danisha keluar dari gedung kantornya dengan lesu. Ia pun memikirkan banyak hal, termasuk ucapan teman baiknya tentang Bian, Fandy dan juga Lingga yang menghilang dari Kota A ini. "Apa benar Haldy yang membuat mereka pergi?" "Tapi kenapa?" Tiddd! Ketika Danisha sedang berjalan di trotoar jalan, tiba-tiba sebuah mobil hitam mewah berhenti di depannya, lalu sang sopir membuka pintu belakang untuknya. "Nona, masuklah!" ucap Fay dengan senyum ramahnya pada Danisha. Sedangkan wanita itu hanya terdiam sambil mengerutkan kening. Dari dalam mobil, Wihaldy melihatnya, lalu menyuruh Danisha untuk masuk. "Mau masuk sendiri atau mau digendong olehku?" canda Wihaldy karena wanita itu tidak kunjung merespon. Danisha yang mendengarnya jelas saja sangat malu. Ia bergegas masuk ke dalam mobil karena khawatir pria itu benar-benar akan melakukannya. Bruk! Pintu mobil pun sudah ditutup. Fay segera mengemudikan mobilnya dan melaju di jalanan yang lumayan padat. D
Di pagi hari, Danisha terbangun karena dering alarm dari ponsel yang ada di dalam tasnya. Ia pun mengulurkan tangan, mengambil tasnya yang ada di lantai samping tempat tidur karena arah suara itu muncul dari sana."Jam berapa ini?" Danisha menggeliat, membuka mata sedikit demi sedikit dan melihat jam di ponselnya."Jam 5! Aku harus segera bersiap pergi ke kantor!"Ini hari Senin, Danisha harus segera bangun, mandi dan pergi ke kantor sebelum kesiangan."Aishhh! Sakit ...." Danisha merasakan sekujur tubuhnya sakit, seperti habis lari maraton berpuluh-puluh mil. Selain itu, kepalanya berdenyut dan pusing."Eh...." Ketika membuka mata, Danisha terkejut, mendapati dirinya ada di kamar asing tanpa berpakaian. "Apa yang terjadi?" tanyanya sambil memeluk selimutnya dengan erat. Ia pun menoleh ke samping, melihat seorang pria tertidur pulas sambil memunggunginya. Yang terlihat hanya punggung polo dengan luka cakar di beberapa bagian. "Opsss ...." Danisha segera menutup mulutnya dengan tang
Seketika di kamar yang luas dan mewah itu menjadi hening dan dingin. Baik Danisha maupun Wihaldy, keduanya terdiam tanpa bergerak. Tidak terdengar sepatah katapun sampai akhirnya Danisha mengulurkan tangan, menarik pegangan pintu dan berniat membukanya. "Eh!" Semakin ditarik, pintu itu semakin sulit untuk dibuka. Wihaldy yang ada di belakangnya hanya terdiam sambil melihat Danisha yang terus berusaha keluar dari kamar itu. "Kau tidak lupa, kan! Ini kamarku! Kau tidak bisa keluar dari kamar ini tanpa seijin dariku!""Hah?" Danisha berbalik badan, mendongak, menatap pria di depannya dengan heran."Atas dasar apa kau menahanku di sini?" tanya Danisha dengan lantang.Ia tidak mempedulikan ekspresi wajah pria di depannya yang sudah sangat buruk."Jangan terlalu egois kalau jadi pria! Aku terus kau ganggu, tapi di belakang, kau menikahi mantan tunanganmu! Lebih baik lepaskan aku, menjauh dari hidupku, aku tidak mau bersama dengan pria sepertimu!"Bruk!Baru selesai berbicara, tiba-tiba
"Danisha!" panggil Wihaldy sambil menahan emosinya. Dia menekan Danisha ke pintu, lalu menekan kedua pundak polos itu dengan tatapan tajam. Danisha pun tidak bisa bergerak dan tidak bisa melepaskan diri karena cengkeramannya begitu kuat.Di ruangan yang luas itu seketika menjadi hening dan dingin. Baik Danisha maupun Wihaldy, keduanya terdiam tanpa bergerak. Tidak terdengar sepatah katapun sampai akhirnya Danisha mengulurkan tangan, menarik pegangan pintu dan berniat membukanya. "Eh!" Semakin ditarik, pintu itu semakin sulit untuk dibuka. Wihaldy yang di belakangnya hanya terdiam sambil melihat Danisha yang terus berusaha keluar dari kamar itu. "Kau tidak lupa, kan! Ini kamarku! Kau tidak bisa keluar dari kamar ini tanpa ijin dariku!" Sudah lebih dari empat jam Wihaldy duduk di tempat karaoke itu melihat Danisha dan Lingga bermesraan sambil bernyanyi dan berjoged. Mereka pun mengobrol dengan asyiknya, tertawa sambil minum-minum tanpa mempedulikan Wihaldy yang ada di sana. Suda
Ruangan yang sangat mewah dan luas itu nampak redup dan gelap. Lampu warna-warni menghiasi ruangan itu dengan suara musik dan nyanyian yang terdengar sangat keras. Dari arah dalam, Lingga melihat Stefia dan Danisha datang, dia langsung melambaikan tangan, menyuruhnya untuk duduk. "Via! Sasha! Kemari!" "Eh???" Wihaldy yang duduk di sampingnya mengerutkan kening. Waktu itu Danisha menolak dipanggil Sasha oleh Wihaldy karena nama itu hanya untuk kedua orang tua dan sahabatnya. Tapi sekarang, oleh Lingga dia dipanggil "Sasha" tapi tidak menolak. 'Dari mana dia tahu nama itu?' Dipikirnya panggilan itu Danisha sendiri yang menginginkannya, padahal itu dari Stefia. Wanita itu memperkenalkan Danisha dengan nama "Sasha" kepada semua orang. "Eh, ka-kami mau ngambil barang dulu di bawah!" Stefia beralasan. Danisha dan Stefia berpegangan tangan, lalu mundur ke belakang hingga punggungnya nempel ke pintu. Sepertinya mereka bersiap untuk keluar dari sana. Sebelum mereka benar-b
Di ruangan yang nampak berantakan karena dari kemarin belum dibersihkan, Danisha mempersilahkan keempat tamu itu masuk dan duduk. Dia pun tanpa mengganti pakaian dan menyisir rambut duduk di sana dan mendengar salah satunya berbicara. Satu orang lagi mengeluarkan berkas dari tas kerja, lalu diletakan di atas meja. "Kami dari Bank xxx ingin memberitahukan bahwa seseorang telah melunasi cicilan Anda sampai selesai. Sekarang, kami membutuhkan tanda tangan Anda untuk pengesahan surat-surat," ucap salah seorang dengan manis dan sopannya. Dia menyerahkan beberapa berkas yang harus ditandatangani, lalu memberikan bolpoin pada Danisha. "Silahkan, Nona! Di sini, di sini dan di sini," tunjuknya pada beberapa kolom yang harus diisi. Antara sadar dan tidak, Danisha terdiam sambil membuka mulutnya. Ia mendengar orang itu berbicara, juga melihat nama HH Luxury Residences di lembar berkas tersebut. "Apa iniiii???" Danisha menarik ujung kata akhirnya, bertanya masih dengan terkejut. "Ya! Ini pe
"Bian? Mana kutahu!" jawab Danisha sambil mengangkat bahu.Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba kakak tirinya datang ke apartemen dan mencari Bian. Rachel pun tanpa ragu duduk di sofa setelah puas mencari orang itu yang nampaknya tidak ada di manapun."Oh, iya! Dari mana kau tahu aku tinggal di sini?" tanya Danisha penasaran.Ia pun ikut duduk di sofa depan Rachel, menatap raut wajah cemas dan kesal kakaknya dengan tampang yang tidak sebaik biasanya. Rachel terlihat berantakan dengan rambut yang dibiarkan terurai tanpa disisir."Aku? Tahu dari mana kau tinggal di sini?" Rachel mengulangi ucapan Danisha dengan nada menyindir. Detik berikutnya dia menjelaskan dengan penuh rasa bangga, "Ya dari Bian, lah! Mau dari siapa lagi?""Danish, gini-gini juga aku tahu semuanya! Apartemen ini punya Bian yang awalnya untuk ditinggali bersama setelah kalian menikah. Tapi sekarang, setelah kalian bercerai, kau malah menempatinya sendiri, padahal kau tidak ada hak apapun atas apartemen ini!" je