Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 60 )Ibunda Pak Rafli (1)"Silahkan duduk, Mbak. Saya ibunya Rafli. Saya yang memaksa Rafli untuk membawaku kemari sepagi ini. Rasanya kesal sekali di PHP terus dari beberapa bulan yang lalu. Saya penasaran karena Fatma dan Dewi berkali-kali membicarakanmu." Kalimat itu meluncur dari bibir wanita yang masih terlihat menawan meski di usia lanjut. "Saya hanya ingin memastikan satu hal," lanjutnya. Aku menunggu kalimat selanjutnya yang akan dia ucapkan. "Kapan kalian meresmikan hubungan kalian? Anak saya sudah siap lahir batin, tunggu apa lagi? Saya bosan menunggu Rafli yang diam di tempat. Dia kira berapa usianya, bisa-bisanya maju mundur mendekati seorang wanita. Hingga rasanya gatal sekali ingin menanyakan langsung padamu. Jadi mau kapan?" Astaga. Aku menatap penuh selidik pada pria di samping wanita yang tengah memberondongku itu. Aku meminta kejelasan, perihal apa yang membuat ibunya bicara sejauh itu. Bisa-bisanya kami yang baru pertama ka
Ibunda Pak Rafli (2)"Su-sudah, Bu." "Bagus. Fatma sudah bekerja sesuai tugas yang Ibu berikan. Kamu tentu tahu, Rafli tak suka dibohongi. Apa yang Wita lakukan memang keterlaluan. Awalnya Ibu sangat menyukai Wita. Wanita cerdas dengan pendidikan yang tidak diragukan lagi. Karirnya sangat bagus. Bahkan dia juga sopan. Anggah-ungguhnya Ibu acungi jempol. Dari keluarga baik pula. Siapa yang menyangka dia tak satu pemikiran dengan anak saya. Dan membohongi Rafli seperti itu adalah sesuatu yang fatal. Ibu maklum saat Rafli memutuskan untuk menceraikannya." Ada rasa tak suka saat Ibu Pak Rafli menjelaskan kelebihan mantan istri anaknya. Tapi buru-buru aku menepis perasaan itu. Lebih baik aku fokus bagaimana caranya jujur pada wanita itu, bahwa apa yang kami bicarakan sudah melampaui jauh dari yang seharusnya. "Rafli sangat setia. Dia tidak akan mungkin melakukan hal seperti yang mantan suamimu lakukan. Ibu berani jamin. Kabari Ibu secepatnya, kapan kami bisa datang ke rumah orang tuamu.
Ada Apa Denganku? (1)[ Bagaimana ini, ibuku pengin hari ini ke rumah orang tuamu!] Aku hampir menjatuhkan ponselku saat membaca pesan dari Pak Rafli pagi ini. Mimpi apa semalam aku mendapat doorprize sepagi ini. [ Maaf, Pak. Itu masalah Anda. Silahkan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu Anda, Pak. Jangan biarkan kesalahpahaman ini berlanjut. Pernikahan bukan permainan yang hanya dimulai dengan suit lalu mulai!] Aku sedikit menggertak laki-laki itu. Bukankah semua ini juga karena penyebabnya? Dia yang memilih bungkam di depan ibunya, kok aku yang jadi kena getahnya? Enak saja! [ Sudah, tetapi aku kewalahan menjelaskan sendiri. Aku butuh bantuanmu!] [ Enak saja, Pak. Anda yang memulai, kok aku yang repot. Dia kan ibumu, jadi kamu yang lebih tahu bagaimana cara menghadapinya] [ Vinda! Kumohon] [ Heh?]Apa-apaan. Bahkan dia sudah menghapus sapaan Mbak untukku. [ Ayolah, kamu juga ikut berperan. Kemarin kenapa diam saja? Kenapa tak menjelaskan langsung padanya? Kamu diam
Aku sudah meminta ayah untuk tak ke toko hari ini. Biarlah sepupuku yang menjaga toko ayah sendirian. Kujelaskan bahwa ada tamu yang akan datang ke rumah. Apa tujuannya, biar nanti ibu Pak Rafli yang menjelaskan sendiri. Aku pasrah. Sungguh. Setelah kutimbang, mungkin benar ini satu-satunya jalan agar terbebas dari keluarga mantan suamiku. Dengan menikah, besar kemungkinan mereka mundur dan berhenti mengusikku. Mudah-mudahan keputusan yang terkesan terburu-buru ini baik untuk kami. Kulihat sosok Pak Rafli cukup baik dan sangat mudah dekat dengan anak-anak. Biar nanti orang tuaku yang menilai. Kuserahkan semua pada mereka. Tak lama, suara deru mobil masuk ke halaman rumah. Astaga, jantungku rasanya berdetak makin tak berirama. Keringat dingin keluar. Bahkan cangkir teh yang sedang kupegang terlihat sekali getarannya. Ibu yang lewat di depanku memicingkan mata. Dia berhenti dan menatapku agak lama. "Vin, kamu baik-baik saja?"Aku mengangguk. Kemudian meletakkan cangkir di meja dan
Kalimat Pak Tanu benar-benar membuatku mual. Mas Galih, hanya tertunduk mendengar ayahnya berbicara. Sepertinya dia tak punya nyali bahkan hanya sekedar menatap ayahku. Kulihat ayah menarik napasnya dalam. Siapa yang tak sesak napas mendapati keluarga itu kembali mengusik kami sepagi ini. "Pak Tanu, mengapa kalian sangat yakin aku akan memberikan izin pada Galih untuk menikahi kembali putriku? Dan lagi… tak baik menjodohkan anak kalian saat dia masih berstatus suami orang lain," jawab ayahku dengan tetap tenang. "Maaf, sepertinya anda salah sangka. Soraya akan tetap menjadi istri Galih… ." "Maksud Anda, anak saya akan menjadi istri kedua Galih?" Suara ayah meninggi. Pasti dia syok menerima penawaran gila itu. "Kami sangat yakin Galih tak akan membedakan mereka. Hanya saja memang pernikahan mereka tak bisa dicatat di negara, karena Galih seorang PNS. Tentu Anda tahu kalau PNS dilarang beristri lebih dari satu. Anda tenang saja Pak. Hak-hak yang akan diperoleh Vinda tak akan berbed
Air Mata Bahagia Air Mata Bahagia"Sepertinya sedang ada tamu?" tanya wanita itu lagi sambil memandang ketiga orang yang berdiri mematung di depan pintu keluar. "Tidak, Bu. Mereka sudah mau pulang. Silahkan masuk," ucap ayah dengan suara yang melunak. Kontras sekali dengan sikapnya pada keluarga Mas Galih. Dan Pak Rafli, dia masuk dengan menggunakan hem slimfit warna navy yang terlihat sangat cocok di tubuhnya. Tiba-tiba ada getaran yang menelusup di tubuhku, yang membuatku tak mampu memandangnya lebih lama. Apa yang terjadi denganku? Pak Tanu, Bu Mirna dan Mas Galih menatap bagaimana ayah memperlakukan Pak Rafli dan ibunya dengan sangat ramah. Kulihat Bu Mirna mencebik sinis. Mas Galih menatapku dengan raut penyesalan. Kenapa, Mas? Kau kira tak ada keluarga terpandang yang mau denganku? Matanya memancarkan kilatan kesedihan, dan justru aku sangat menyukainya. "Lho. Katanya sudah mau pulang? Kok masih berdiri di situ?!" Ucapan ibu Pak Rafli mengagetkan kami semua. Siapa yang me
Air Mata Bahagia Aku menggeleng cepat. Tanpa sadar aku melotot pada laki-laki di depanku agar mengklarifikasi pada orang tua kami berdua. Aku tak ingin kesalahpahaman ini berlanjut. "Vin?" Panggilan ayah membuatku berhenti menggigit bibirku. Pandangan matanya penuh selidik. "Sepertinya ada salah paham di sini, Bu." Akhirnya aku bisa mengeluarkan suara. "Ah sudahlah, Vin. Kami nggak masalah kalau memang kalian berdua sama-sama cocok. Hanya rasanya kalau kalian jalan di tempat seperti ini kok rasanya gemes banget. Kaya ABG baru belajar jatuh cinta saja. Pokoknya saya sebagai ibunya Rafli menginginkan pernikahan jangan menunggu waktu lama lagi. Saya sudah ingin punya hak juga terhadap Zoya. Eh… Ngomong-ngomong di mana anak itu? Dari tadi saya nggak lihat?" Ibu Pak Rafli mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan ini. "Vin? Nggak kamu umpetin 'kan anak kamu?" tanyanya dengan muka meledek. Astaga. Wanita ini begitu bar-bar. "Sebentar saya panggilkan," ujar ibuku sambil berla
Air Mata Bahagia Aku tergugu mendengar penuturan ayahku. Kasih sayang dan cintanya amat besar, meski tak pernah disampaikannya langsung. Aku baru tahu alasan sebenarnya saat ayah berucap belum mengantuk jika pekerjaanku belum selesai. Dia hanya ingin memastikan aku baik-baik saja. Betul sekali jika seorang ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Pak Rafli dan ibunya tertegun dengan penuturan ayahku. Bahkan hidung wanita itu memerah, kurasa cerita ayah membuatnya menitikkan air mata. "Pak… Saya janji. Saya orang pertama yang memasang tali di leher Rafli jika dia berani macam-macam dengan pernikahan mereka," ucap Ibu Pak Rafli dengan mimik wajah yang membuatku ingin tertawa. "Saya serius ingin menjadi imam untuk Vinda, Pak. InsyaAllah saya tidak akan mengecewakannya, saya janji." Ucapan Pak Rafli membuat kudukku meremang. Aku menatap kilat keseriusan yang terpancar di matanya. "Alhamdulillah…begini baru anakku! Akhirnya maju juga kamu, Raf! Masa mesti Ibu dulu yang maju baru k