Share

BAB 9

BAB 9

Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier

Bertemu Mantan (2)

Aku mendorong troli dan melewati display susu di sebuah swalayan. Kuambil dua karton susu UHT untuk si kembar. Kualihkan langkah ke arah makanan bayi untuk Zoya. Beberapa dus pasta khusus untuk bayi kupindahkan ke troli di depanku. Aneka puff juga kuambil, mengingat gigi Zoya yang mulai tumbuh membuatnya sedang aktif-aktifnya menggigit sesuatu. 

Langkahku terhenti saat melihat sejoli mantan pasangan selingkuh itu tengah asyik bercanda sambil memilih snack ringan. Hatiku berdesir saat melihat barang belanjaan mereka yang kebanyakan bukan bahan makanan pokok. Hanya makanan-makanan ringan yang tentunya kalah penting dengan kebutuhan anak-anak. 

Kutegakkan tubuhku agar tak terlihat menyedihkan. Tak ada lagi duka yang harus diingat. Aku hanya butuh mental yang kuat agar tak terpancing emosi melihat ketidakadilan di sini. Aku berjalan dan pura-pura tak melihat mereka disini. 

"Wah… bisa belanja banyak juga ya?!" tanya Soraya dengan wajah meremehkan. Pakaian dan riasan yang dia kenakan terlalu 'niat' hanya dipakai untuk berbelanja. Suaranya yang kencang membuat beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami. Tak ada niat untuk membalas kalimatnya. Aku tetap sibuk dengan pilihan yang ada di depanku. 

"Jangan bilang minta uang ke suamiku!" imbuhnya dengan pongah. 

Uang suamiku? Aku menghembuskan napas dengan kasar. Aku jengah, apalagi mulai terdengar kasak kusuk di belakangku. 

"Uang suamimu? Memangnya cukup untuk membeli kebutuhan anak-anaknya? Bukankah selama ini dia bilang uang gajinya kamu kuasai hingga tak ada sisa?" Pertanyaanku membuat wajah Soraya pucat. Mas Galih terlihat menahan malu. Istrinya yang cantik masih kurang cerdas berhadapan denganku. Bahkan dengan mudahnya dia mempermalukan diri sendiri. 

"Apa kau bilang?" 

Wajah cantik itu menampilkan mata yang hampir mencolot keluar. Aku tak peduli jika kalimatku akan membuat banyak pasang mata tertuju pada kami. Lagi pula Soraya dulu yang memulainya. Aku hanya menanggapi apa yang wanita itu lakukan. 

"Tenang. Tak perlu kuminta nafkah anak-anak pada suamimu itu. Aku tahu berapa gaji pegawai negeri yang istrinya adalah pemuja kemewahan. Aku tak akan menjatuhkan harga diri demi uang tak seberapa itu. Bahkan uang penjualan rumah tak ada yang masuk ke rekeningku sama sekali. Kalau tidak salah… kau gunakan juga untuk membeli kado motor mewah untuk istri barumu. Atau...pergi berlibur satu keluarga ke Pulau Bali? Menginap di hotel mewah yang semakin menguatkan anggapan orang bahwa kalian adalah keluarga bahagia dengan harta berlimpah? Menghabiskan waktu di tepi pantai tanpa memikirkan uang apa yang kalian gunakan? Rumah yang kalian jual itu hasil kerja keras kami berdua. Dan kalian menolak memberi bagian untukku. Apakah seluruh keluarga terhormat memiliki tingkah seperti kalian?" Mas Galih membelalakkan mata. Mungkin dia tak percaya aku mengetahui semua itu. Bahkan dengan rinci menyebutkan agenda mereka di Pulau Dewata. 

"Jangan ngarang. Aku beli sendiri dari uang tunjangan sertifikasiku. Aku punya penghasilan yang cukup besar, tak perlu mengemis pada suamiku untuk membelikan sebuah motor. Memangnya kamu! Dan soal liburan kami ke Pulau Bali, itu adalah hadiah dari mertuaku. Ini adalah bentuk rasa syukurnya karena mendapatkan menantu yang selama ini mereka inginkan!" 

"Wah…Wah… Bagaimana kalau orang-orang tahu bahwa statusmu waktu itu hanya status palsu? Jadi kamu membeli motor itu sendiri menggunakan uangmu, tetapi kau katakan bahwa itu hadiah dari suamimu. Biar apa? Biar semua orang tau, kalau suami hasil malingmu itu perhatian dan sayang padamu? Menyedihkan sekali hidupmu. 

Dan soal kado dari mertuamu, coba telusuri dengan baik. Darimana uang yang dia gunakan itu. Apakah murni uang mereka, atau uang hak anak-anakku!" Soraya meremas troli di depannya. Mas Galih menatap nyalang, bersiap memuntahkan amarah jika tak ingat dimana dia sekarang. 

"Cukup, Vin!" Mas Galih akhirnya bersuara. Kutatap wajah yang selalu kukasihi beberapa waktu lalu. Rahangnya mengeras, menyiratkan kemarahan yang amat besar. Jika dulu aku begitu takut saat dia menampilkan emosi seperti ini, kini justru aku menyukainya. Aku ingin tahu sebesar apa nyalinya ribut denganku di depan umum. 

"Kau keterlaluan, Vinda!" teriak laki-laki itu. 

"Tak perlu berteriak. Tadinya aku tak ada niat untuk mengusik kalian. Bahkan dengan berbesar hati aku tak ingin membuat keributan karena pasti kalianlah yang akan berada di posisi memalukan. Hanya saja istri barumu ini tak bisa diam. Mulutnya tak bisa dikondisikan dengan benar. Rasanya dia tak punya malu barang secuil pun, hingga berniat mempermalukanku padahal sekujur tubuhnya penuh dengan b*rok menjijikkan." 

"Vinda. Aku minta maaf, tolong segera pergi dari sini!" Kalimat Mas Galih melemah. Ucapan permohonan maafnya membuat istrinya bereaksi keras. 

"Mas.Kok minta maaf, dia yang salah kok minta maaf!" ujar Soraya sambil merajuk. Menjijikkan sekali tingkahnya. 

"Lihatlah. Bagaimana wanita yang menyebut dirinya berkelas bahkan tak punya rasa malu sama sekali." Aku mendecih sinis. Kudorong troli hingga tepat persis di sampingnya. 

"Belum juga hamil, Soraya? Kukira kalian cepat-cepat mendepakku karena kamu sudah terlanjur hamil. Ternyata belum ya?" Pertanyaanku sukses membuat mereka terdiam. Makin banyak orang yang mendekati kami. Tak kubiarkan aku menjalani peran yang menyedihkan lagi sekarang. 

"Kudoakan lekas hamil, kudoakan pula kamu tak perlu merasakan sakitnya terusir sambil mendekap bayi tiga bulan di pelukanmu!" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ochinae Kinah
Vinda gitu dong tegas n berani buat bikin malu mantan + istri barunya , klu mmng kenyataannya sprt itu . Ttp semangat vinda smg usahamu maju n berkembang .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status