Rina memandang dirinya di cermin kamar, wajahnya tampak pucat dengan mata sembap karena kurang tidur. Sudah berhari-hari ia dihantui perasaan tidak tenang karena memikirkan pesan misterius yang ada di handphone sang suami, Namun pagi ini, firasat buruk itu terasa lebih kuat karena kedatangan Farida, ibu mertuanya yang dengan tiba-tiba mengajaknya pergi.
Rina memoleskan bedak tipis di wajahnya kemudian lipstik berwarna nude di bibirnya. Setelah melihat dia sudah tampil rapi, wanita itu pun keluar dari kamarnya sebelum sang mertua mengomel tidak jelas padanya. Begitu keluar dari kamar, ia sudah melihat Farida duduk di ruang tamu, wajahnya keras seperti biasa. Tanpa basa-basi, Farida melontarkan sindiran, "Kenapa lama sekali? Mau dandan setebal apa juga mukamu gitu-gitu aja! Sudah tidak bisa bikin anak, malah bikin kesel aja!" Rina menahan rasa sakit yang menyusup di hatinya. Perkataan seperti itu bukan hal baru baginya, tapi pagi ini, setiap kata terasa lebih tajam, lebih menyakitkan. Ia hanya mengangguk, tak ingin memperpanjang masalah. “Kita pergi sekarang,” ucap Farida singkat, memimpin jalan menuju mobil. Sepanjang perjalanan, Rina berusaha bertanya, "Ma, sebenarnya kita ini mau ke mana?" Namun bukan jawaban Farida yang dia dapat. mertuanya itu hanya diam membisu sambil meliriknya tajam. Setiap kali ia melirik ke arah mertuanya, jantungnya berdebar semakin cepat. Mereka tiba di sebuah klinik. Rina tertegun melihat tempat itu. "Kenapa ke sini, Ma?" tanyanya dengan nada ragu. Farida berhenti di depan pintu, berbalik menatap Rina dengan tatapan tajam. "Kamu pikir Arya akan terus bersabar dengan wanita yang tidak bisa memberinya keturunan seperti kamu?" Ucapan Farida berhasil menusuk hati Rina yang paling dalam. Rina merasa hatinya teriris. Apa yang diucapkan oleh mertuanya sangat menyakiti hatinya. Dadanya terasa sesak seperti ditimppa oleh batu ribuan ton. "Ma, aku ...." "Masuk saja, tidak usah banyak tanya!" potong Farida tak sabar. “Apa jamu bodoh hingga tidak tahu apa tujuan kita kesini?" Di dalam klinik, dengan berat hati, Rina menjalani berbagai pemeriksaan. Jantungnya berdetak kencang. Kata-kata Farida sang mertua terus saja menari-nari di kepalanya. "Apa benar, dia adalah wanita mandul?" Rina menghapus air matanya yang tak berhenti menetes selama menjalani pemeriksaan. Meski beberapa waktu lalu dokter mengatakan tidak ada masalah dalam rahimnya. Namun, tetap saja, dia khawatir hasil test yang dia lakukan ini tidak sesuai ekspektasinya. --- Sejak Farida mengajak Rina pergi ke klinik, sikap Arya dan Farida pun berubah. Lelaki itu semakin jarang pulang dengan alasan menginap di rumah orang tuanya. Dia hanya pulang jika ingin mengambil berkas yang ketinggalan di rumah. Farida pun tak lagi mengungkit-ungkit soal anak di hadapan Rina saat wanita itu main ke rumah sang mertua. Farida justru langsungpergi meninggalkannya saat seolah-olah merasa muak melihat wajah Rina. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua orang tiba-tiba berubah?" batin Rina bertanya-tanya. Sampai sore harinya, seorang wanita cantik memakai kacamata hitam dan juga pakaian elegan berdiri di depan rumah Rina. Dia pun memencet bel berulang kali seolah tak sabar ingin bertemu dengan yang punya rumah. Saat membuka pintu, Rina terkejut melihat wanita asing yang cantik dan seksi berdiri di hadapannya. “Maaf, Anda siapa ya? Ada yang bisa saya bantu?” Rina bertanya, merasa ada yang ganjil melihat wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu tersenyum tipis. "Perkenalkan, nama saya Hana. Saya ingin bertemu Arya," katanya tanpa basa-basi. Wajah Rina berubah bingung. Kenapa ada wanita lain yang mencari suaminya. "Maaf kalau boleh tahu, ada urusan apa, Anda mencari suami saya?" Wanita itu menatap Rina dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah memandang remeh Rina. "Saya datang kesini, ingin meminta pertanggungjawaban Arya. Saya hamil, anak Arya!" ucap wanita itu sambil mengibaskan rambutnya. "Apa? itu tidak mungkin!" pekik Rina sambil menutup mulutnya. "Kalau tidak percaya, kamu bisa lihat hasil lab ini. Atau, kamu bisa panggil Arya." Dengan tangan gemetar, Rina mengambil kertas itu. Air matanya pun luruh saat dia melihat kalimat positif disana. Namun sebelum ia sempat menanggapi, Arya dan Farida muncul dari ruang tamu. Arya langsung mendekati Hana, merangkulnya tanpa rasa malu sedikit pun, sementara Rina hanya bisa mengusap dada melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain. “Mas... apa maksud semua ini?” Rina bertanya dengan suara bergetar, matanya penuh air mata yang belum jatuh. Farida yang menjawab, "Ini Hana, calon istri baru Arya. Kalian sudah berkenalan bukan?" Nada bicaranya dingin, seolah tak ada yang salah dengan apa yang baru saja ia ucapkan. "Sini masuk sayang," ajak Farida mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah Rina sambil menggangdeng tangannya. Rina tak percaya dengan apa yang didengarnya. Apalagi, sang mertua yang tampak begitu akrab dengan wanita itu. Seolah mereka sudah lama saling mengenal. Tubuhnya lemas, jantungnya terasa seperti dihimpit ribuan beban. "Mas, katakan ini tidak benar...," suaranya serak, putus asa meminta penjelasan dari Arya, namun yang ia dapat hanyalah kebisuan. Arya menatap Rina dengan tatapan dingin, tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Rina, aku dan Hana sudah lama bersama. Kami saling mencintai. Kalau kamu tidak bisa menerima Hana, aku akan menceraikan kamu." Kalimat itu memecahkan pertahanan terakhir Rina. Air matanya tumpah, dan tubuhnya gemetar tak terkendali. "Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mengkhianatiku? Apa selama ini, aku tidak cukup baik buatmu?" isaknya, namun Arya tetap tak tergoyahkan. Farida, tanpa belas kasih, menyela, "Rina, kamu tidak bisa memberikan Arya anak. Lalu, sampai kapan kami harus menunggu? Sampai lebaran monyet juga kamu nggak akan hamil, karena kamu itu man-dul. Kamu harus sadar diri. Ini yang terbaik untuk semuanya." Hana melingkarkan tangannya di lengan Arya, seolah memperlihatkan kemenangan. "Arya akan menikahiku. Kami akan membangun keluarga yang seharusnya kamu berikan padanya," ucap Hana dengan nada sombong. Rina merasakan seluruh hidupnya hancur seketika. Suami dan mertuanya tanpa memperdulikan perasaannya mengatakan akan menikahi wanita lain yang saat ini tengah hamil. Rina merasa, tak ada lagi gunanya dia bertahan dalam pernikahan semu ini. Hanya dia yang menginginkan Arya. Sementara sang suami, tak pernah sedikitpun peduli padanya. Lelaki itu bahkan mengkhianatinya sampai membuat wanita itu hamil. Tidak, Rina tidak bisa memaafkan semua pengkhianatan ini. Jika memang Arya tidak menginginkannya, dia akan pergi. Dia tidak akan lagi mengemis-ngemis cinta seperti yang dia lakukan selama ini. "Baik, kalau memang kamu lebih memilih dia, talak aku sekarang. Aku tidak rela berbagi suami dengan wanita lain." Arya menatap Rina dengan dingin. "Baik, kalau itu maumu. Rina Tri Hapsari, aku talak kamu. Mulai hari ini, kita bukan lagi suami istri. Sekarang, pergilah dari rumah ini. Dan jangan bawa apapun selain baju yang menempel di tubuhmu." Rina hampir jatuh karena tubuhnya terasa begitu lemah. Begitu mudahnya sang suami mengucapkan kalimat talak padanya. Setidak pentingkah dirinya?Namun, Rina tidak boleh terlihat lemah. Dia tidak ingin pelakor dan juga ibu mertuanya itu terlihat menang. Dia pun menegakkan dirinya, menatap Farida dan Hana dengan mata berkilat.
"Baik, Aku akan pergi dari sini! Aku tidak akan membawa apa-apa, kecuali harga diriku. Tapi ingat, kalian tidak akan pernah merasakan kebahagiaan yang tercipta dari luka hati seorang istri." Ia berbalik, mengambil langkah menuju pintu keluar, meninggalkan rumah yang selama ini dianggapnya sebagai tempat penuh cinta, tapi ternyata hanya menjadi tempat penghianatan terburuk dalam hidupnya.Arfan terbangun, tangannya mencari sang istri yang biasanya tidur di sampingnya. Semalam, dia sedikit mabuk hingga tak peduli apapun saat pulang. "Kemana Nadin? Apa dia sudah bangun?" Arfan pun keluar kamar dan mendapati rumahnya begitu hening. "Kemana semua orang? Apa Nadin sudah pergi?" "Bibi!" panggilnya. Namun, yang datang bukan Bibi melainkan sang asisten yang datang dengan wajah panik. "Ada apa?" “Pak Arfan, maaf mengganggu, tapi… ini penting,” suara lelaki terdengar tegang. “Katakan saja!” kata Arfan santai. Lelaki itu tidak memiliki firasat apapun. Padahal, hal buruk telah terjadi. “Saya baru saja mendapat kabar dari pihak kepolisian. Istri Anda, Bu Nadin… dia mengalami kecelakaan bersama Bu Karina tadi malam. Dan… mereka tidak selamat.” Dunia Arfan seakan berhenti berputar. “Apa?” Suaranya bergetar. “Kau pasti bercanda, kan?” “Maaf, Pak… ini kenyataan.” Sendok makan yang dia pegang tiba-tiba terjatuh. Tangan dan kakinya melemas, dan dadanya terasa sesak. Dia tidak
"Mama," panggil Nadin saat melihat ibunya baru saja duduk di hadapannya. “Apa yang ingin kau bicarakan sampai memintaku bertemu di sini?” Karina bertanya sambil menyesap kopi yang telah dipesankan putrinya. Tatapannya tajam meneliti ekspresi Nadin. Nadin menarik napas panjang, menekan rasa frustasi yang sudah menumpuk sejak dirinya dan Arfan dipindahkan dari rumah utama keluarga Mahendra. “Aku butuh bantuan Mama,” katanya akhirnya. Karina menyeringai, meletakkan cangkirnya dengan perlahan. “Akhirnya, kau sadar juga kalau kamu butuh Mama.” Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja. “Keisha menghancurkan semua rencana kita. Aku sudah hampir membuat Arfan menjadi CEO, tapi dia malah menunjuk suaminya sendiri untuk menggantikannya. Lalu, dia menyingkirkanku dan Arfan dari rumah utama. Ini jelas penghinaan.” Karina tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. “Kau terlalu lambat, Nadin. Seharusnya kau sudah mengantisipasi langkahnya sejak awal. Keisha itu licik. Tapi kau masih punya kes
"Ma, Pa, menurut kalian gimana kalau Arfan dan Nadin tinggal di rumah sendiri," kata Keisha dengan suara tenang, tetapi tegas.Arfan mengernyit, jelas terkejut. "Apa maksudmu, Kak?"Keisha menyilangkan tangan di dadanya. "Aku sudah menyiapkan rumah untuk kalian. Rumah yang lebih besar, lebih nyaman, disana, kalian bisa bebas karena hanya tinggal berdua."Nadin langsung menegang di samping suaminya. Matanya menyipit, mencoba membaca maksud di balik keputusan Keisha. "Kenapa tiba-tiba ingin kami pindah?" tanyanya dengan senyum manis yang dipaksakan.Keisha menatapnya dingin. "Kau hamil, Nadine. Aku ingin kau lebih fokus merawat kandunganmu tanpa terlalu banyak gangguan. Rumah ini terlalu besar untukmu. Dan lagi, kamar kamu kan ada di lantai 2. Bahaya buat ibu hamil tua naik turun tangga."Arfan menghela napas. "Keisha, kalau ini karena masalah jabatan di perusahaan, aku—""Ini tidak ada hubungannya dengan perusahaan," potong Keisha cepat. "Aku hanya ingin memastikan kamu dan istri kamu
"Siapkan ruang meeting, beritahu semua petinggi perusahaan, kita akan mengadakan meeting dadakan satu jam kemudian," perintah Keisha pada aang sekretaris.Satu jam kemudian, semua sudah berkumpul di ruang meeting. Keisha baru saja masuk diikuti oleh Arfan, Rendy dan juga Nadin. Setelah memastikan semua duduk dengan tenang, Keisha pun mulai angkat bicara.“Maaf, jika saya mengadakan rapat secara mendadak. Hal ini berkaitan dengan peralihan sementara kursi kepemimpinan selama saya mengajukan cuti hamil."Arfan tersenyum tipis, sudah yakin bahwa Keisha akan mengumumkan namanya. Bahkan Nadin sudah bersiap untuk menampilkan ekspresi bangga, karena rencana mereka hampir berhasil.Namun, senyum mereka seketika memudar saat Keisha melanjutkan, “Mulai hari ini, suami saya, Rendy, yang akan menggantikan posisi saya sebagai CEO hingga saya kembali.”Ruangan langsung riuh dengan bisikan kaget. Arfan membeku di tempatnya, sementara Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja.“Apa?” bisik Nadin deng
Di ruang makan keluarga, suasana penuh kebahagiaan. Rina dan Arya duduk di kursi mereka, menanti kabar penting dari Keisha dan Rendy yang baru saja tiba. Arfan duduk di sebelahnya, sementara Nadin berada di samping suaminya, memasang wajah penasaran. Keisha mengambil napas dalam, lalu menatap semua orang dengan senyum bahagia. “Ma, Pa, aku hamil,” ucapnya pelan, tapi cukup jelas untuk semua mendengar. Rina langsung menutup mulutnya, matanya membesar karena terkejut. “Benarkah, sayang?” Ia segera berdiri dan memeluk putrinya erat. Arya ikut tersenyum lebar. “Ini kabar yang luar biasa, Keisha!” katanya dengan bangga. Arfan, yang duduk di samping Nadin, langsung mengalihkan pandangan ke saudara perempuannya. “Selamat, Keisha. Aku ikut bahagia untukmu dan Rendy.” Di sebelahnya, Nadin juga tersenyum. Sementara semua orang sibuk mengucapkan selamat, Nadin mencengkeram gelasnya erat. Ini dia saatnya. Aku hanya perlu sedikit memainkan peran agar semua berjalan seperti yang kuinginkan.
"Sayang, Mama dan Papa senang kalian mau tinggal disini," kata Rina sambil memeluk putrinya."Aku juga senang, Kak. Dan jika Kakak langsung hamil, aku nggak bisa bayangin, gimana repotnya aku dan Kak Rendy memenuhi ngidamnya dua ibu hamil," Arfan bicara sambil mengedipkan sebelah matanya pada sang kakak.Namun, ada satu orang yang tidak peduli dengan keberadaan Keisha disini, yaitu NadineWanita itu menatap sinis kedatangan kakak iparnya beserta suaminya. Tawa mereka semakin membuat hati Nadin sakit hati. Nadin mengepalkan tangannya. Keisha sekarang berada di rumah ini, lebih dekat dengan Arfan dan keluarganya. Itu berarti rencananya bisa saja berantakan. Jika Keisha menemukan sesuatu tentangnya, maka semuanya bisa hancur.Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.---Malam itu, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Keisha duduk di sebelah Rendy, sementara Arfan duduk berhadapan dengan mereka. Nadin duduk di samping Arfan, tapi perasaannya tidak tenang sama sekali.Ary