Rina berjalan menuju mobilnya dengan langkah gemetar. Tangannya seolah tak memiliki tenaga untuk membuka pintu mobil. Dia pun menjatuhkan tubuhnya di kursi mobil dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Dia teringat kata-kata Arya yang begitu dingin. Seolah tak ada beban saat mengucapkan kalimat talak itu. Dia mencoba menyeka air matanya, tetapi tak kuasa menghentikan tangisannya.
"Semoga kamu tidak menyesali keputusanmu, Arya. Dan jika saat itu tiba, aku tidak akan mau memberikan maafku!" lirihnya. Setelah menghela napas panjang, Rina menyalakan mesin mobil. Namun, isak tangisnya tak kunjung reda, yang ada hatinya semakin perih mengingat semua perlakuan Arya tadi. Jalanan di depannya terlihat kabur akibat air mata yang terus mengalir. Berulang kali, dia hampir menabrak pengendara motor di depannya. "Hei, kalau tidak bisa menyetir jangan bawa mobil!" teriak pengendara motor yang hampir dia tabrak. "Maaf-maaf, lain kali saya akan hati-hati." ucap Rina sambil menakupkan tangannya di dada. Meskipun begitu, Rina tetap saja melanjutkan perjalanannya. Rina kembali meratapi nasibnya. Sambil melaju di jalanan, pikirannya terus dipenuhi oleh pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. "Kenapa Arya tega melakukan hal ini padaku? Apa salahku selama ini? Padahal, aku sudah mencoba menjadi istri yang baik. Dan sejak kapan mereka menjalin hubungan? Kenapa aku tidak tahu? Sejauh itukah hubungan mereka hingga wanita itu sampai hamil? Kenapa semuanya harus berakhir dengan cara seperti ini?" Tangan Rina mencengkeram setir erat-erat. Air mata yang terus mengalir membuat pandangannya jadi kabur. Rina tak mampu mengemudikan mobilnya dengan benar. Suara klakson mobil lain terdengar bersautan. namun Rina yang terlalu larut dalam kesedihannya tak mempedulikan umpatan dan makian pengendara lain. Di perempatan jalan, lampu merah pun menyala. Rina yang tak memperhatiakn jalan kaget saat mobil yang ada di depannya itu tiba-tiba berhenti. Meskipun pedal rem sudah dia injak dengan cepat, namun tetap saja, mobil Rina menghantam bagian belakang mobil mewah itu hingga menimbulkan suara benturan yang cukup keras. Tubuh Rina terdorong ke depan, dadanya menghantam setir dengan keras. Sakit menjalar di sekujur tubuhnya, terutama di bagian dada. Dengan pandangan yang masih kabur dan bingung, Rina berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdegup kencang, panik karena ternyata, dia telah menabrak mobil orang. "Astaga! Kenapa aku tidak tahu mobil itu berhenti tiba-tiba? Ya Tuhan, bisa jadi masalah ini nanti," gumamnya dengan panik. Rina segera turun dari mobilnya, meskipun tubuhnya masih gemetar hebat. Dia berjalan menuju mobil mewah yang ditabraknya, berharap hanya dengan meminta maaf, semua masalah akan selesai. Namun, saat dia mendekat, seorang pria tampan dengan kacamata hitam sudah berdiri di samping mobilnya. Penampilannya rapi, dan ekspresinya tampak terkejut, namun sedetik kemudian berubah menjadi marah saat melihat bemper belakang mobilnya penyok. "Kamu harus ganti rugi, Nona!" katanya dengan nada tegas, tanpa memberi kesempatan pada Rina untuk menjelaskan. Rina, yang masih terguncang, merasa takut dan bingung sekaligus. "Ini bukan sepenuhnya salah saya! Kenapa kamu berhenti mendadak di sini?" jawabnya berusaha membela diri, meskipun dia tahu dialah yang salah. Pria itu menyipitkan matanya, melangkah lebih dekat ke arahnya. "Apa kamu buta? Ini lampu merah, tentu saja mobilku berhenti! Kamu saja yang melamun dan menabrakku. Sekarang, bagaimana? Mau kita selesaikan di sini, atau kita bawa masalah ini ke kantor polisi?" Mendengar nama kantor polisi membuat Rina menelan ludah kasar, merasa semakin terpojok. Dia tahu ini adalah kesalahannya karena tidak fokus saat berkendara.Namun, dia malas jika harus berurusan dengan polisi. Dan saat ini, dia tidak punya uang cash untuk membayar kerusakan mobil mewah di depannya. "Aku... aku akan mengganti kerugianmu, tapi aku tidak punya uang tunai sekarang. Ini kartu nama saya. Mungkin kita bisa selesaikan dengan cara lain di lain waktu?" tawarnya dengan putus asa.
Pria itu mengangkat alis, tampak penasaran dan sedikit curiga. "Cara lain? Maksudmu apa?" tanyanya dengan nada tajam. Rina tergagap, merasa semakin terpojok. "Mungkin... kita bisa berdiskusi di lain waktu. Aku benar-benar tidak bisa jika harus menyelesaikan semua ini sekarang." Pria itu merasa kesal. Dia pikir, wanita di hadapannya ini sengaja mengulur waktu supaya dia tidak bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan. Dan dia tahu trik murahan yang biasa digunakan oleh wanita seperti ini. Berpura-pura tidak bawa uang, ujung-ujungnya menawarkan tubuhnya sebagai gantinya. "Hah! Trik murahan!" Pria itu pun mendekat, dan Rina merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Tatapan pria itu berubah, menelisik wajah Rina dari atas hingga ke bawah. Kalau dilihat-lihat, wajah dan tubuh wanita ini boleh juga. Lumayanlah untuk penghilang penatnya. "Cara lain?" Pria itu tersenyum sinis, bibirnya terangkat membentuk smirk. "Apa kamu berniat menyelesaikan ini semua dengan... tubuhmu?" Rina terdiam, merasa tubuhnya membeku seketika. Kata-kata pria itu menusuk seperti duri. Dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu? Kamu pikir, aku wanita murahan yang dengan gampangnya mengobral tubuhku hanya untuk masalah seperti ini?" tanyanya dengan penuh emosi. "Dasar, semua lelaki memang sama berengseknya! Mereka pikir semua wanita itu murahan hingga bisa diajak tidur dengan mudah?!" Rina melampiaskan semua amarahnya pada lelaki di hadapannya ini. Namun anehnya, Pria itu tidak marah padanya. Dia justru tersenyum menyeringai seolah habis memenangkan lotere. Lelaki itu menatapnya tajam membuat Rina menjadi kikuk sendiri. "Baiklah, Nona. Kartu namamu akan aku pegang. Nanti malam, aku tunggu di Hotel X. Jika kamu tidak datang, jangan salahkan aku kalau besok aku akan datang ke kantormu dan memastikan kamu membayar dengan caraku. Selamat tinggal."Arfan terbangun, tangannya mencari sang istri yang biasanya tidur di sampingnya. Semalam, dia sedikit mabuk hingga tak peduli apapun saat pulang. "Kemana Nadin? Apa dia sudah bangun?" Arfan pun keluar kamar dan mendapati rumahnya begitu hening. "Kemana semua orang? Apa Nadin sudah pergi?" "Bibi!" panggilnya. Namun, yang datang bukan Bibi melainkan sang asisten yang datang dengan wajah panik. "Ada apa?" “Pak Arfan, maaf mengganggu, tapi… ini penting,” suara lelaki terdengar tegang. “Katakan saja!” kata Arfan santai. Lelaki itu tidak memiliki firasat apapun. Padahal, hal buruk telah terjadi. “Saya baru saja mendapat kabar dari pihak kepolisian. Istri Anda, Bu Nadin… dia mengalami kecelakaan bersama Bu Karina tadi malam. Dan… mereka tidak selamat.” Dunia Arfan seakan berhenti berputar. “Apa?” Suaranya bergetar. “Kau pasti bercanda, kan?” “Maaf, Pak… ini kenyataan.” Sendok makan yang dia pegang tiba-tiba terjatuh. Tangan dan kakinya melemas, dan dadanya terasa sesak. Dia tidak
"Mama," panggil Nadin saat melihat ibunya baru saja duduk di hadapannya. “Apa yang ingin kau bicarakan sampai memintaku bertemu di sini?” Karina bertanya sambil menyesap kopi yang telah dipesankan putrinya. Tatapannya tajam meneliti ekspresi Nadin. Nadin menarik napas panjang, menekan rasa frustasi yang sudah menumpuk sejak dirinya dan Arfan dipindahkan dari rumah utama keluarga Mahendra. “Aku butuh bantuan Mama,” katanya akhirnya. Karina menyeringai, meletakkan cangkirnya dengan perlahan. “Akhirnya, kau sadar juga kalau kamu butuh Mama.” Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja. “Keisha menghancurkan semua rencana kita. Aku sudah hampir membuat Arfan menjadi CEO, tapi dia malah menunjuk suaminya sendiri untuk menggantikannya. Lalu, dia menyingkirkanku dan Arfan dari rumah utama. Ini jelas penghinaan.” Karina tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. “Kau terlalu lambat, Nadin. Seharusnya kau sudah mengantisipasi langkahnya sejak awal. Keisha itu licik. Tapi kau masih punya kes
"Ma, Pa, menurut kalian gimana kalau Arfan dan Nadin tinggal di rumah sendiri," kata Keisha dengan suara tenang, tetapi tegas.Arfan mengernyit, jelas terkejut. "Apa maksudmu, Kak?"Keisha menyilangkan tangan di dadanya. "Aku sudah menyiapkan rumah untuk kalian. Rumah yang lebih besar, lebih nyaman, disana, kalian bisa bebas karena hanya tinggal berdua."Nadin langsung menegang di samping suaminya. Matanya menyipit, mencoba membaca maksud di balik keputusan Keisha. "Kenapa tiba-tiba ingin kami pindah?" tanyanya dengan senyum manis yang dipaksakan.Keisha menatapnya dingin. "Kau hamil, Nadine. Aku ingin kau lebih fokus merawat kandunganmu tanpa terlalu banyak gangguan. Rumah ini terlalu besar untukmu. Dan lagi, kamar kamu kan ada di lantai 2. Bahaya buat ibu hamil tua naik turun tangga."Arfan menghela napas. "Keisha, kalau ini karena masalah jabatan di perusahaan, aku—""Ini tidak ada hubungannya dengan perusahaan," potong Keisha cepat. "Aku hanya ingin memastikan kamu dan istri kamu
"Siapkan ruang meeting, beritahu semua petinggi perusahaan, kita akan mengadakan meeting dadakan satu jam kemudian," perintah Keisha pada aang sekretaris.Satu jam kemudian, semua sudah berkumpul di ruang meeting. Keisha baru saja masuk diikuti oleh Arfan, Rendy dan juga Nadin. Setelah memastikan semua duduk dengan tenang, Keisha pun mulai angkat bicara.“Maaf, jika saya mengadakan rapat secara mendadak. Hal ini berkaitan dengan peralihan sementara kursi kepemimpinan selama saya mengajukan cuti hamil."Arfan tersenyum tipis, sudah yakin bahwa Keisha akan mengumumkan namanya. Bahkan Nadin sudah bersiap untuk menampilkan ekspresi bangga, karena rencana mereka hampir berhasil.Namun, senyum mereka seketika memudar saat Keisha melanjutkan, “Mulai hari ini, suami saya, Rendy, yang akan menggantikan posisi saya sebagai CEO hingga saya kembali.”Ruangan langsung riuh dengan bisikan kaget. Arfan membeku di tempatnya, sementara Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja.“Apa?” bisik Nadin deng
Di ruang makan keluarga, suasana penuh kebahagiaan. Rina dan Arya duduk di kursi mereka, menanti kabar penting dari Keisha dan Rendy yang baru saja tiba. Arfan duduk di sebelahnya, sementara Nadin berada di samping suaminya, memasang wajah penasaran. Keisha mengambil napas dalam, lalu menatap semua orang dengan senyum bahagia. “Ma, Pa, aku hamil,” ucapnya pelan, tapi cukup jelas untuk semua mendengar. Rina langsung menutup mulutnya, matanya membesar karena terkejut. “Benarkah, sayang?” Ia segera berdiri dan memeluk putrinya erat. Arya ikut tersenyum lebar. “Ini kabar yang luar biasa, Keisha!” katanya dengan bangga. Arfan, yang duduk di samping Nadin, langsung mengalihkan pandangan ke saudara perempuannya. “Selamat, Keisha. Aku ikut bahagia untukmu dan Rendy.” Di sebelahnya, Nadin juga tersenyum. Sementara semua orang sibuk mengucapkan selamat, Nadin mencengkeram gelasnya erat. Ini dia saatnya. Aku hanya perlu sedikit memainkan peran agar semua berjalan seperti yang kuinginkan.
"Sayang, Mama dan Papa senang kalian mau tinggal disini," kata Rina sambil memeluk putrinya."Aku juga senang, Kak. Dan jika Kakak langsung hamil, aku nggak bisa bayangin, gimana repotnya aku dan Kak Rendy memenuhi ngidamnya dua ibu hamil," Arfan bicara sambil mengedipkan sebelah matanya pada sang kakak.Namun, ada satu orang yang tidak peduli dengan keberadaan Keisha disini, yaitu NadineWanita itu menatap sinis kedatangan kakak iparnya beserta suaminya. Tawa mereka semakin membuat hati Nadin sakit hati. Nadin mengepalkan tangannya. Keisha sekarang berada di rumah ini, lebih dekat dengan Arfan dan keluarganya. Itu berarti rencananya bisa saja berantakan. Jika Keisha menemukan sesuatu tentangnya, maka semuanya bisa hancur.Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.---Malam itu, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Keisha duduk di sebelah Rendy, sementara Arfan duduk berhadapan dengan mereka. Nadin duduk di samping Arfan, tapi perasaannya tidak tenang sama sekali.Ary