Andin teringat kembali pada kejadian itu, ketika dia memandang sekeliling kamar hotel dengan pandangan yang kosong, tetapi pikirannya berlomba-lomba memutar kembali kejadian beberapa jam yang lalu. Dia dan Siska telah berhasil lolos dari para penculik yang mengejarnya tanpa henti. Sekarang, dalam ketenangan kamar hotel, mereka berusaha memulihkan diri dari rasa takut.Suaranya yang lembut menyela keheningan. "Siska, apa kamu baik-baik saja?"Siska, yang duduk di tepi tempat tidur dengan rambut yang berantakan, mengangguk pelan. "Iya, Andin. Aku hanya masih merasa gemetar."Andin tersenyum lembut. Dia juga merasakan getaran kecil itu di dalam dirinya. Namun, dia tahu bahwa keadaan akan membaik seiring waktu. Sementara dia baru saja akan mengatakan sesuatu, sebuah suara tiba-tiba menggema dari luar kamar."Tok! Tok!"Mereka berdua menatap pintu, pandangan cemas saling bertukar. Mereka tidak mengharapkan kunjungan apa pun, apalagi di tengah-tengah suasana seperti ini. Namun, ketukan it
Andin menatap lelaki itu dengan tatapan yang penuh harap. Setiap detik terasa berat di dadanya, menunggu untuk mendengar suara lelaki itu."Saya mengenal lelaki semalam," ujar lelaki itu dengan suara yang berat.Andin merasa dunianya berputar cepat. Hatinya terasa terhenti sejenak, mencerna informasi yang baru saja dia terima. "Siapa dia?" tanyanya dengan suara yang hampir tercekat di tenggorokannya, kebingungannya begitu mencuat.Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, matanya menatap jauh. "Dia adalah salah satu teman saya yang terlibat dalam bisnis yang gelap. Dia sering menjadi orang bayaran untuk melakukan pekerjaan kotor."Andin merasa detak jantungnya semakin cepat, bagai sebuah drum yang berdentum di dalam dadanya. Pikirannya dipenuhi dengan ribuan pertanyaan, dan dia merasa kebingungan serta terkejut dengan kompleksitas.Bagaimana segalanya bisa terkait? Apa motif di balik tindakan tersebut? Dan mengapa pria itu melakukan hal itu? Pertanyaan-pertanyaan itu be
Di dalam kafe yang teduh, cahaya remang-remang dari lampu gantung yang tergantung rendah menciptakan suasana yang hangat dan mengundang. Dinding-dinding yang dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak memberi sentuhan artistik pada ruangan, sementara aroma harum kopi yang menyengat menari-nari di udara. Meja-meja kayu dengan kursi-kursi yang nyaman tersebar di sekitar ruangan, menciptakan kesan kesederhanaan namun tetap elegan. Suara gemericik air dari mesin kopi yang sedang bekerja mengisi ruangan dengan ritme yang menenangkan, seakan menjadi musik latar yang sempurna bagi pikiran-pikiran yang tengah berputar. Meskipun kafe tampak sepi, tetapi pikiran yang ada di dalam diri Lukman memberi kontras yang menarik. Bersamaan dengan suara gemericik kopi yang mengalir dan aroma harum yang mengisi udara, Lukman duduk termenung di sudut kafe yang tenang, dikelilingi oleh suasana yang mempesona. Matanya terfokus pada sebuah titik kosong di depannya, mencoba dengan penuh konsentrasi untuk memahami
Hari itu berlalu seperti biasa, tak ada awan yang tampak di cakrawala dan sinar mentari yang hangat menyambut pagi. Namun, keindahan pagi itu terasa pudar saat Andin duduk di depan televisi, matanya terbelalak kaget dan tak percaya. Meskipun suasana luar biasa tenang, namun rasa aneh mulai menyusup begitu ia menyaksikan tayangan yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya, mengubah kedamaian pagi itu. Wajahnya yang tadinya cerah, kini diliputi oleh bayang-bayang gelisah, menandakan bahwa apa yang diputar di layar telah mengguncang dunianya secara mendadak."Apa ini?" gumam Andin sambil memegang remote control, mencoba menahan denyutan yang melanda dadanya.Lukman, yang berada di dapur, segera mendengar suara Andin yang cemas. Tanpa ragu, ia bergegas keluar dan terkejut melihat apa yang ditonton Andin di televisi. Dalam sekejap, wajahnya yang semula tenang berubah menjadi khawatir, mencerminkan betapa terlalu tiba-tiba situasi yang mereka hadapi. "Andin, apa yang terjadi?" tanya Lukman
Hari-hari berlalu tanpa memberikan sedikit rasa lega bagi Lukman dan Andin. Meskipun mereka berusaha menjelaskan kepada teman-teman dan keluarga bahwa kabar tentang Andin adalah bohong belaka, namun berita itu masih terus beredar dengan cepat seperti virus yang tidak bisa dikendalikan. Seolah ada yang memegang kendali atas penyebaran berita palsu tersebut. Andin, yang terjebak dalam pusaran fitnah, dia semakin terperangkap dalam ketakutan yang melingkupi dirinya. Setiap hari yang berlalu membawa gelombang ketidakpastian yang semakin memuncak, mengoyak kedamaian dan kepercayaannya pada dirinya sendiri. Rasa takut akan masa depan yang tidak pasti membuatnya merasa terkurung dalam labirin pikiran yang gelap, di mana setiap langkah yang diambilnya terasa seperti langkah menuju kehancuran. Meskipun berusaha keras untuk tetap kuat, Andin merasa seperti tenggelam dalam keputusasaan yang tak terkendali, terjebak dalam jeratan keadaan yang tak terduga. Dalam kegelapan yang menyelimuti, sat
Udara di ruang kerja Lukman terasa kaku saat ia dan sang detektif duduk berhadapan, hening yang menggantung di antara mereka mengisyaratkan ketegangan yang tak terucap. Kertas-kertas berserakan di atas meja, mencerminkan kekacauan dalam pikiran Lukman yang tidak bisa dibendung.Detektif berdeham, memecah keheningan yang terjadi di antara mereka. Suaranya terdengar lembut, seolah-olah mencoba meredakan gelombang tak pasti yang menghantui ruangan itu. Dalam situasi yang tegang ini, detektif bertindak sebagai pemandu, membuka jalur komunikasi yang penting dalam upaya mereka untuk mengungkap kebenaran di balik semua kejadian yang menimpa mereka."Kami belum mendapatkan kemajuan dalam memburu Dewi," akunya, suaranya terdengar frustrasi.Lukman bersandar di kursinya, mengusap-usap rambutnya dengan jengkel, gerakan itu mencerminkan frustrasi yang melingkupi pikirannya. Dalam keadaan yang tegang seperti ini, ia merasa seperti terjebak dalam labirin masalah yang tak kunjung selesai. Usaha-usa
Matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah gorden, memancarkan cahaya hangat yang menyebar di ruang tamu rumah Lukman saat ia melangkah dengan langkah-hati menuju kamar Andin. Cahaya pagi itu memberikan sentuhan kehangatan pada ruangan yang sebelumnya terasa hening dan sepi, menciptakan suasana yang menyambut di setiap sudutnya.Langkah Lukman terdengar tenang di lantai kayu yang bersih, langit-langit yang tinggi menyoroti kecantikan rumah yang sederhana namun penuh kehangatan. Di tengah cahaya pagi yang bersemi, Lukman memperhatikan setiap detail rumahnya, merasakan ketenangan sejenak. Dalam keindahan yang mengelilinginya, ia menyusuri lorong yang tenang menuju kamar Andin. Langkah kakinya bergema pelan di lorong, energi gugup berdenyut dalam dirinya saat ia mendekati pintu kamar Andin.Andin mendongak dari tempat ia duduk di meja kerjanya, alisnya berkerut kebingungan saat Lukman memasuki ruangan. "Apa semuanya baik-baik saja?"Lukman ragu-ragu, kata-katanya tersangkut di t
Sinar lembut matahari pagi menyusup di sela-sela gorden jendela kamar Andin. Menerangi ruangan yang temaram tanpa cahaya lampu. Di tempat duduknya di dekat jendela, dia berdiri. Andin menyingkap gorden menyaksikan kehidupan kota berkecamuk seperti koloni semut, bergerak dengan ritme yang berdenyut seperti nadi bumi. Dengung lalu lintas di kejauhan seperti orkestra kendaraan yang tak pernah berhenti, menari-nari di jalanan yang tak pernah tidur, sementara kicauan burung yang sesekali terdengar seperti melodi lembut, mengiringi setiap pikirannya yang melayang jauh. Di tengah gemuruh itu, Andin merasa seperti pelaut yang terhanyut gelombang ombak. Namun tetap merasa terlindungi oleh pelukan hangat alam semesta, memeluknya dalam ketenangan yang mengalir seperti sungai yang tak pernah kering.Hati Andin berdegup kencang tak terkendali, mengingat kembali saat-saat sebelum Lukman berangkat kerja. Seperti bayangan yang tak pernah pudar. Lukman telah menawarinya sebuah pernikahan kontrak, s