"Odyl, buruan bangun nanti kamu bisa terlambat!"
"Odyl!""Odyl!""ODYL!!!"Teriak Ayah keras yang tentunya langsung membuatku terduduk di atas kasur seketika.Sesaat, aku terdiam. Mengumpulkan nyawa ini yang masih berkelana, sembari menggaruk-garuk bagian kulit kepala yang gatal. Menguap sesekali, seraya menyeka cairan bening di sudut mata."Hoam!"Lagi-lagi aku menguap. Menaikan kedua tangan ke atas layaknya seekor kucing gendut yang sedang melakukan peregangan otot-otot sebelum jalan.Tapi sebelum ke kamar mandi, aku masih sempat-sempatnya berkaca melihat potret diri ini. Yang begitu acak-acakan, sekaligus dipenuhi lukisan di sudut bibir sebelah kiri. Iya, lukisan alam dari air liurku sendiri semalam.Bak orang dungu. Aku tersenyum lebar menampilkan deretan gigiku yang rapi. Menepuk kedua pipiku sekali, lantas menunjuk diri sendiri dengan pose menembak diri."Wahai cermin ajaib siapa yang paling cantik di tempat ini?""Odyl! Odyl! Odyl!" jawabku sendiri, antusias."Ya, kamu benar sekali! Aku adalah gadis tercantik di tempat ini sekarang," kekehku tanpa tahu malu. Yang rupanya sedang diintai makhluk menyebalkan."Sinting!"Nah, kan, apa aku bilang. Pasti si makhluk menyebalkan itu lagi-lagi muncul tanpa permisi, membuat aura kegelapan langsung menyelimuti seisi kamar.Sialnya, aku masih saja berpura-pura tidak tahu. Masih berdiri membelakangi Jay, yang kutahu tengah bersedekap di depan pintu, lewat pantulan cermin oval di depanku."Apa aku perlu memandikanmu, Adik?" ucapnya yang langsung membuatku mematung.Bukan tanpa alasan, aku terkaget begitu. Hanya saja, pikiran kotorku seketika berseluncur bebas kemana-mana karena ucapan Jay barusan."Kau bilang apa tadi?" tanyaku nyolot.Sengaja kuplototi Jay yang rupanya terkikik geli di dekat pintu kamar. Sepertinya pria jangkung itu menganggap ekspresi wajahku ini lucu, ketimbang galak."Memandikanmu," ucapnya polos.Sesaat kulihat dia membenarkan posisi kaos hitamnya, sebelum mengeluarkan handuk berwarna krem dari balik punggung."Kebetulan aku juga belum mandi. Bukankah ini takdir? Bagaimana jika kita mandi bersama, Adik?" tawarnya dengan senyum menggoda.Sungguh, melihat senyum menjijikkan itu membuatku ingin menjitak kepala Jay dengan sandal rumah detik ini juga."Takdir katamu!" teriakku.Habis sudah kesabaran ini melihat tampangnya pagi-pagi. Hampir saja aku yang pendiam lepas kendali. Hanya saja, Jay seperti belum puas menggodaku. Itu terlihat dari senyum setan yang kembali terbit menghiasi wajahnya itu."Aku hanya bercanda, lagi pula anak kecil sepertimu apanya yang bisa dilihat? Tubuh kurus, kering kerontang, seperti terkena busung lapar begitu!""Keparat kau Jay!" teriakku kesal setengah mati.Bahkan aku tak tanggung-tanggung melempari apa-apa saja yang bisa kuraih untuk mengusir Jay pergi.Hasilnya?Pria jangkung itu memang pergi. Hanya saja, dia terbahak-bahak sampai di depan pintu kamarnya sendiri. Tentunya, meninggalkan diriku yang kemudian merutuk serta terjatuh lemas di balik pintu."Huwa, Army bombku pecah!"©©©Lima belas menit setelah drama yang menguras emosi tadi pagi, akhirnya sekarang aku bisa berangkat ke sekolah juga.Entah sial atau memang Tuhan sedang mengerjaiku. Ayah mendadak ada rapat penting dengan Klein bersama Ibu. Jadi, mau tidak mau aku harus berangkat bersama Jay dengan motor KLX-nya yang berwarna kuning kecokelatan.Awalnya aku sempat menolak. Apalagi saat teringat kejadian tadi pagi, tentang Army bombku yang pecah. Ingin rasanya tiap detik aku mengutukki kakak tiriku itu."Woy! Kalo mau nebeng buruan, kita udah telat nih!"Kudengar Jay berteriak keras dari bawah. Tepatnya, di depan gerbang sudah siap menunggu di atas motor miliknya.Pria jangkung itu juga sengaja menggeber-geberkan motornya dengan menarik pedal gasnya kuat sekali. Sontak aku yang mendengarnya segera menutup kedua telinga seraya berlari menuruni anak tangga dari lantai dua."Bisa sabar nggak sih? Cewek itu banyak urusannya tau!" ucapku sesaat setelah sampai di depan Jay.Hanya saja Jay hanya mencebikan bibir ke depan, seolah-olah mencibir."Bilang aja ribet, susah amat! Buru naik atau mau kutinggal, huh?" ancam Jay galak yang tak bisa kubalas sama sekali.Mungkin kurang dari lima menit kami melaju membelah jalanan Ibu kota, serta terkena macet di lampu merah. Akhirnya aku dan Jay hampir sampai di depan gerbang sekolah.Karena sebelum sampai, Jay sudah terlebih dahulu mematikan mesin motornya membuat diriku kebingungan di belakang."Kok berhenti? Bukannya belum sampai parkiran, yah?" tanyaku.Jay hanya mendecih sebelum menyuruhku untuk turun dari atas motor miliknya."Nggak usah rewel. Buru turun!" titahnya.Aku mendelik."Belum juga nyampe masa disuruh turun. Abang itu niat nggak sih nganter aku?" elakku, Jay tertawa setan."Hhh, Abang katamu? Sejak kapan?!" ucapnya, datar."Dengar ya, mulai hari ini. Nggak usah sok kenal atau akrab, apalagi kalo di sekolah. Anggap aja kita nggak saling kenal, ngerti?" jelas Jay aku hanya bisa terdiam.Jujur, otakku rasanya sulit sekali mencerna kata-katanya barusan."Ah, satu lagi, jangan sampe ada yang tahu kalo kita ini Adek-Kakak, paham?"Setelah mengatakan itu, Jay langsung menggas motornya meninggalkan diriku yang masih membeo ditempat.Ketika kesadaranku kembali, lagi-lagi aku hanya bisa merutuk karena ditinggal sendirian. Membanting helm bogo retro berwarna kuning milikku ke atas aspal lantas berjongkok seperti anak hilang.Di saat kukira Tuhan dan semesta telah bekerjasama untuk membuat hariku sial. Nyatanya, aku keliru.Meskipun hariku sempat buruk karena si Jay iblis itu. Tanpa aku duga, Tuhan juga menghadirkan sesosok kesatria berkuda putihnya."Loh, Odyl? Lo ngapain di sini?"Suara ini, entah mengapa begitu familiar ditelinga, bahkan saat desakan tawanya mulai meluncur. Aku malah dibuat semakin terisak.Lalu tanpa ambil pusing, segera kutolehkan kepalaku ke arah samping. Yakni, ke arah cowok berseragam SMA yang berhenti tepat di kanan jalan."Na-Nares!" panggilku.Narestu--cowok yang masih berdiam diri di atas motor R15-nya itu hanya melambaikan tangannya. Meskipun, wajahnya masih diselimuti helm fullface hitam, tapi aku bisa melihat jika dia sedang tersenyum."Ini beneran?!"Hampir saja aku berteriak heboh saat melihat cowok itu. Namun, aku lebih memilih menutup mulutku sendiri dengan kedua tangan.Bangkit dari posisi jongkokku tadi, kemudian menunjuk Nares yang kini sudah berdiri tepat di depan tubuhku."Demi apa? Ini serius?!" tanyaku lagi-lagi memastikan. Aku bahkan lupa sempat terisak tadi.Terlihat Nares membuka helm fullface hitamnya, kemudian tersenyum lebar ke arahku yang masih terkaget-kaget di tempat."Demi Papa Zola yang nggak tua-tua. Gue beneran Narestu Palapa, sahabatnya Odylia Adeswara yang polosnya masih tetep sama.""Iih, bener!" jeritku kemudian."Kok Nares jadi lebih tinggi, sih dari Odyl? Perasaan dulu pendek, udah gitu suka ingusan. Sekarang masih suka mewek nggak?" kataku polos.Nares cuma tersenyum kikuk sembari menggaruk bagian pangkal hidungnya. Persis, seperti kebiasaannya sewaktu kecil dulu."Dyl, lo masih sama aja, ya, kayak dulu. Entah kelewat polos atau emang bego, tapi gue tetep aja sayang," bisik Nares pelan, yang masih bisa kudengar."Hah? Nares bilang apa tadi?""Kita terlambat, buruan naik!""Nares!" "Narestu, I love you! Jadi pacarku ya!""Res, cek DM! Aku chat kamu di sana!""NARESTU AKU SUKA KAMU!" "LO PAKE SKINCARE APA SI RES! GUE JUGA MAU GANTENG KEK LO COK!" "ANJINK! MESKIPUN EKSOTIS TAPI LO GANTENG BANGET NARES!" Itu teriakan yang kudengar setelah memasuki area SMA CEMPAKA. Tak hanya satu, bahkan beberapa anak cewek maupun cowok saling berebut untuk melihat Narestu membuka helm fullface hitamnya.Aku baru tahu jika pesona sahabatku itu begini dashyatnya. Atau, mungkin saja aku yang kurang gaul selama ini?Di tengah pikiranku yang mulai kacau, Nares segera memeluk bahuku. Menepuknya pelan, menyadarkan diriku yang sempat melamun karena terhanyut riuh teriakan para fans Nares yang menggila."Jangan ngelamun Odyl, masih pagi loh kalo lo kesambet, kan, nggak lucu!" peringat Nares padaku.Seolah-olah cowok itu tak mempedulikan seisi dunia yang tengah mengangumi dirinya bak seorang idol papan atas. Lihat saja, anak-anak yang saling menjerit histeris di samping kanan-
Tringg!'Teruntuk malaikat kecilku. Maaf karena kami berdua tidak bisa pulang nanti malam. Ayah ada penerbangan mendadak ke Busan bersama Ibu. Ini perjalanan bisnis yang penting, mungkin kami akan terlambat pulang selama 3 hari. Jangan lupa untuk makan malam yah, kami berdua mencintaimu.' ~Ervano My Sugar Dady. Sial!Aku mendesah, melempar benda pipih itu kesembarang arah lantas mengacak rambut kasar.Perjalanan bisnis apanya?Apa mereka pikir aku bodoh? Bilang saja jika itu bukan perjalanan bisnis, melainkan rencana bulan madu mendadak. Aish! Menyebalkan.Di saat emosiku hampir memuncak, kudengar pintu depan diketuk. Mau tak mau, aku segera berjalan ke arah ruang tamu. Lantas mengecek siapa yang berani bertamu malam-malam begini.Sebelum kubuka, terlebih dahulu kuintip sebentar dari balik korden. Antisipasi saja, jika yang bertamu bukanlah orang asing atau penjahat yang menyamar.Betapa terkejutnya aku saat mengintip dari balik korden. Apalagi saat melihat Jay yang berdiri di depan
Masih dengan air mata yang mengalir, aku menangisi Jay yang masih terkulai lemas di atas pangkuan. Menggoyangkan bahunya berulangkali, berharap jika ini hanya leluconnya belaka.Hanya saja, aku tak mendapat respon apapun juga. Apalagi saat kuberanikan diri untuk mendekatkan kepala ke arah dada bidang Jay. Aku dibuat semakin kalut sekali lagi. Tak ada detak apapun yang kudengar, bahkan denyut nadinya seakan-akan pudar beberapa detik yang lalu. Apa benar, Jay sudah tiada?Kepalaku tanpa sadar menggeleng keras. Menentang semua pemikiran negatif yang seketika memenuhi isi kepala.'Odyl bodoh!' batinku menjerit.'Hentikan tangisanmu dan segeralah meminta pertolongan, setidaknya kau masih berusaha untuk menyelamatkan nyawa si Jay iblis ini.' Ya, mungkin kata hatiku ada benarnya. Jika aku hanya duduk di sini sambil menangis seperti orang bodoh. Aku hanya akan mengulur waktu, bisa jadi juga aku malah semakin membahayakan nyawa Jay. Hanya saja, saat tubuhku hampir beranjak untuk segera mera
"Lo baik-baik aja, Ka?" tanyaku seraya berjongkok didepan cowok cupu bernama Juni itu. Entah mengapa, melihatnya yang diperlakukan seperti ini membuatku teringat dengan masa-masa kelam yang pernah kualami dulu sewaktu duduk di sekolah menengah tingkat pertama. Dan jujur saja, itu membuatku sedikit iba padanya. Hanya saja, saat tanganku terulur tulus untuk membantunya bangkit. Juni langsung menepisnya kasar hingga membuat tubuhku yang tak sigap, langsung jatuh terduduk di atas lantai koridor yang dingin."Nggak usah sok, deh. Toh, gue nggak butuh bantuan lo!" balasnya dingin, seraya bangkit berdiri. Sebelum akhirnya berjalan pergi, meninggalkan diriku yang masih menatap sosoknya itu dengan pemikiran penuh dikepala."Ada yah, orang macam gitu? Udah ditolong tapi nggak tau terima kasih." Setelah hampir dua jam menunggu diluar kelas. Akhirnya bel pulang sekolah pun berbunyi. Aku yang sudah buru-buru ingin sampai rumah. Segera berlari masuk, tanpa mengindahkan tatapan mata dari Bu Jasmin
"Apa kau secemas itu padaku?" Aku tertegun dengan mata membulat sempurna saat mendengar itu. Apalagi saat melihat sosok Jay yang sudah terduduk tegak dengan senyuman tipis yang tersungging dibibirnya saat menatapku tidak seperti biasanya. Sungguh itu terlihat begitu aneh sekali.Tapi, sentuhan lembut dari ibu jarinya yang masih menempel di atas permukaan pipiku. Membuatku seketika mengundurkan wajah, sampai membuat cowok itu terbahak di atas ranjang rumah sakit. "Kenapa ekspresi wajahmu kaget begitu? Kau tidak menganggap aku ini hantu 'kan, Adik?" tanyanya dengan senyumannya yang sangat menyebalkan. Membuatku mendengus sesaat seraya memutar bola mataku malas kebelakang. Dasar, iblis berparas malaikat! batinku sebal. "Bagus deh, kalau udah bangun. Odyl jadi bisa pulang ke rumah terus bobo cantik," balasku tanpa mengindahkan ucapannya barusan. Tampak dari ekor mataku, raut wajah Jay yang semula tersenyum berubah dingin. Selain itu, pandangannya selalu saja mengamati gerak-gerik tu
"Sejak kapan, lo deket sama Devan?" tanya Jay tiba-tiba, saat kami baru saja sampai di ruang tamu.Aku yang mendengar kata lo-gue lagi, Jay pakai. Buru-buru menolehkan kepala untuk menghadap ke arahnya dan memastikan."Abang bilang apa barusan, Lo-gue?" tanyaku balik yang tak cowok menyebalkan itu gubris. Terlihat jelas dari reaksinya yang hanya cuek saja, seolah-olah pertanyaanku barusan hanya angin lalu. Selain itu, alih-alih menjawabnya. Jay malah pergi begitu saja menaiki anak tangga, untuk pergi ke dalam kamarnya. Aku yang melihat tingkahnya berubah lagi menyebalkan begitu, hanya bisa geleng-geleng kepala. "Dasar labil!" seruku lirih, sengaja supaya tak Jay dengar. Tapi, entah bagaimana. Tiba-tiba langkah kaki Jay terhenti di anak tangga kelima, seperti saat pertama kali kami bertemu waktu itu. Lalu, sepersekian detik setelahnya. Kepala milik Jay menoleh sedikit ke arahku dengan senyuman tipis yang tak bisa kuartikan jelas itu apa.Malamnya, Ayah dan Roselin yang beberapa ha
"Udah Bu, udah. Biar Odyl aja yang pergi buat nenangin Bang Jay." "Kamu yakin? Dyl, Jay itu ..." Tampak Roselin menatapku lekat serta kurang percaya diri. Dia juga memegangi kedua bahuku ragu. Hanya saja ucapannya langsung tergantung, saat aku menyelanya dengan cepat."Percaya sama Odyl, oke. Toh, Odyl yakin kalau Bang Jay itu bukan orang yang jahat. Selain itu, dia juga Abang Odyl. Jadi, Odyl bakal berusaha buat nenangin Bang Jay dengan cara apapun," jelasku meyakinkan Roselin dan ayah. Untuk sesaat keduanya terlihat saling menatap satu sama lain, sebelum akhirnya menganggukkan kepala mereka kompak, menyetujui usulanku barusan."Oke, semoga berhasil yah." Tak berselang lama setelah itu, akupun membalikkan badan. Kemudian bergegas menaiki anak tangga untuk menuju kamar Jay di lantai 2.Sesampainya di depan pintu kamar milik kakak Tiriku. Aku sempat merasa resah. Seperti ada keraguan yang membuatku ingin mengurungkan niat hanya untuk mengetuk pintu berwarna biru itu. Apalagi mengin
"Sesuatu? Sesuatu seperti apa?" Aku bertanya spontan, tanpa tahu konsekuensi apa yang akan aku dapatkan pada beberapa menit berikutnya.Jay sendiri yang mendengar ucapanku barusan menyunggingkan sebuah seringaian mematikan. Yang dengan cekatan mendekatkan wajahnya ke arah mukaku hingga membuat tubuhku refleks mundur dan jatuh ke atas ranjang empuk miliknya."Bhaks!" Dia terkekeh ringan, dengan tangan kiri yang menutupi seluruh permukaan wajahnya. Lantas dari sela-sela jari tangannya, aku melihat iris matanya yang gelap menatapku kelaparan pada waktu yang sama."Padahal kalau kau bilang ingin tahu, aku tidak akan sungkan loh," lanjutnya yang membuatku tak bisa untuk mengernyitkan sebelah alisku, kebingungan. "Mak-maksud Abang apa?" tanyaku pada akhirnya. Sungguh aku benar-benar tidak tahu apa maksud dari perkataannya itu. Tapi sentuhan tangan Jay yang tiba-tiba menyentuh permukaan kulit leherku dengan perlahan. Kemudian menjalar kebelakang bahu, lalu dengan tiba-tiba menarikku untu