Share

07. Fangirl Gila

     -Hari pertama-

     “JUN GĒ!”

     Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata.

     Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa.

     BRAK!

     Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya.

     Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri.

     “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris tidak bisa tidur sama sekali.

     Jun terpangu sebenta, ingin mengumpat. Namun, kepalanya membawa kembali baris tulisan dari perjanjian yang sudah kepalang ditandatanganinya.

     “Sebagai syarat untuk dibebaskan, pihak kedua akan menjadi suami yang baik selama satu bulan penuh.”

     “P-pagi…” pria itu memaksakan senyuman.

     “KYAAAAAA!!”

     Jun membulatkan matanya. Tentu saja ini bukan reaksi yang diharapkannya. Jantungnya hampir meloncat keluar.

     ‘Kenapa ini? Astaga, apa yang salah? Bukannya aku sudah menjawab sapaannya dengan baik…?’

     Menyusul teriakan Sharon itu, seorang pemuda berjas memasuki kamar dengan menodongkan pistol ke arahnya. Wang Jun yang tidak paham situasi itu seketika terlonjak ke belakang. Ia syok bukan main.

     “S-saya… maaf… maaf… tolong jangan bunuh saya!” Terbata, ia mengangkat kedua tangannya ke atas. Matanya tertutup. Senjata itu tidak mungkin bohongan, itu bukan pistol imitasi, bukan pula properti drama.

    Bagaimana dia bisa tahu? Tempat dan ekspresi serius orang itu membuatnya seketika yakin.

     Hanya dalam waktu dua detik, terdengar suara benturan lainnya. Seperti suara dua benda yang bertubrukan. Saat itu juga badan Jun terpelanting ke belakang, hampir terjatuh terbaring di ranjang. Matanya yang terpejam erat kembali terbuka.

     “Jun Gē menjawab sapaanku! Dia menjawab sapaaankuuu!! Huhu, astaga! Dia… dia menjawabku!!!”

      Sharon memeluk Wang Jun dengan posesif. Sementara Jun tercengang mendengar ocehan fangirl-nya itu. Masih dalam keadaan kedua tangannya terangkat di udara, dia perlahan melemaskan otot wajahnya.

     “Haha … aku kira kenapa… ternyata karena aku menjawab sapaanmu! Haha…”

     Pria itu menurunkan tangannya dan menepuk-nepuk punggung Sharon, menahan emosi. Entah sejak kapan gadis itu sudah duduk di atas pangkuannya. Ia  jengkel tapi sekaligus merasa lega karena semua itu hanya karena Sharon yang terlalu bersemangat.

    Ujung matanya melirik bodyguard Sharon. Ia melebarkan senyumnya sealami mungkin.

     “Apa kau sesenang itu? Sepertinya, kau sangat menyukaiku ya?”

     “Tetntu saja! Aku sangat menyukaimu, Ge! Sungguh! Sudah dua tahun aku menyukaimu dan berharap kita akan bertemu seperti sekarang!!”

     “Ah, begitu rupanya. Terimakasih sudah menjadi penggemarku.”

     Diam-diam Jun menghela napasnya lega setelah sadar pistol yang diarahkan kepadanya sudah diturunkan sepenuhnya. Sharon mempererat pelukannya dan merengek panjang dalam bahasa indonesia. Bahasa yang tidak bisa dimengerti Jun. 

     “Kenapa kau sangat manis? Sebenarnya… kau ini bukan manusia kan? Cepat mengaku saja! Aku sudah tau dari awal melihatmu di kamar ini.”

     “Malaikat!”

     “Huh?”

     Gadis itu menggigit bibir bawahnya sendiri dengan wajah yang sudah bersemu merah. “Kau itu malaikat bukan manusia. Iya kan? Kenapa kau menyembunyikan identitasmu yang sebenarnya?”

     Jun memandangi gadis yang nyaris tak berjarak dengannya itu. “Apa benar begitu?”

     “Kalau menurutmu seperti itu, maka aku pasti seorang malaikat.”

     Senyumnya semakin melebar. Ia bahkan menunjukan lesung pipitnya yang membuat Sharon semakin menggila. Gadis itu kembali menempelkan wajahnya di dada Jun dan merengek sendiri.

     Pria dengan pakaian rapih dan bersenjata api yang berdiri tak jauh dengan mereka terlihat membuang wajahnya.

     Jun mengernyitkan kening sebentar. Namun ia lalu sadar masih ada hal lain yang harus ia lakukan. Semua akting dan kalimat-kalimat manisnya itu memiliki maksud khusus…

     “Kalau boleh aku bertanya… siapa namamu, nona cantik? Aku belum pernah bertemu penggemar yang secantik dirimu sebelumnya.”

     “A-aku Sharon. Namaku Wang Sharon!”

     “Oh, namamu juga sangat cantik.”

     ‘Jadi namamu Sharon. Penggemar tidak tahu diri yang bisa-bisanya memiliki ide untuk menculikku. Dan lagi apa? Kau berharap bisa menjadi istriku? Cih. Bermimpi saja sana terus~’

     Jun mencoba menahan dirinya untuk berakting lebih lama lagi meski sudah cukup muak.

     “Kau sangat cantik. Bisa kau turun dari pangkuanku? Aku sangat ingin sarapan pagi bersama penggemarku yang cantik.”

     “Tentu saja bisa!”

     Gadis itu menjawab penuh semangat. Namun ia tidak langsung melepas pelukannya atau menyingkir. Ia kembali meracau bahagia kepada dirinya sendiri.

     Kali ini bukan bahasa indonesia, ia tidak sengaja mengatakannya dalam bahasa cina.

     “Sial! Aku sangat menyukaimu! Tidak, aku sangat cinta! Aku harus bagaimana? Aku tidak akan pernah melepaskanmu sampai mati!!”

     ‘Sa- sampai mati?’

     Jun mencoba mempertahankan senyumannya meski di dalam dia sudah sibuk menangis. Ia menyesali semua perkataan dan perbuatan manisnya.

     * * *

     Sudah dua jam Jun mendengarkan Sharon mengoceh kesana kemari membahas segala hal. Seperti yang sudah diduganya, gadis itu sangat mudah dipancing untuk bicara panjang lebar.

     Namun Jun telah keliru karena berpikir akan ada informasi berguna yang keluar dari mulut gadis itu dari sekian juta kata yang ia ucap hari ini. Nyatanya, delapan puluh persen pembahasan Sharon adalah obsesinya dan pengungkapan cinta tanpa batasnya kepada Jun. SIsanya adalah hal-hal random yang tidak bermanfaat.

     Jun sudah mencoba untuk menyela—namun itu tidak ada gunanya. Sharon hanya melakukan dan mengatakan semua yang dia mau. Satu yang Jun sadari, gadis ini tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi yang sewajarnya.

     Lama kelamaan pria itu mulai bosan dan telinganya seperti berasap mendengar Sharon yang tidak berhenti bicara.

     “Jun Gē, apa kau mau kuberi tahu sebuah rahasia?” Sharon tiba-tiba melempar pertanyaan di tengah dongengnya yang seperti tidak akan berakhir.

     Detik itu juga, atensi Jun yang sudah pecah kembali tertuju pada Sharon lagi. Mulutnya yang menguap lebar seketika kembali tertutup rapat. Pupil matanya membesar.

     “Rahasia? Rahasia apa?” Sahut lelaki itu mencoba tetap terlihat tenang. Padahal hatinya sudah melonjak senang dan penuh harap.

    Ia berharap kali ini Sharon akan memberikannya sesuatu yang berguna. Seperti alamat tempat mereka berada sekarang atau apa saja yang bisa membantunya kabur dari sini.

    “Apa kau penasaran?”

    Jun mengangguk. Sharon menarik sebuah senyum misterius, dia ikut mengangguk, lalu memberi isyarat agar Jun mendekat kepadanya.

     Pria itu menurut dan menghapus jarak mereka dan memasang ekspresi sungguh-sungguh ingin menyimak. Sharon menoleh ke kanan dan ke kiri sejenak.

     “Kau tahu, sebenarnya...”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status