Share

05. Menerima Fakta

     Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap.

     Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada.

     Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain.

      Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut.

     Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok.

     Jun menelan salivanya. Berusaha untuk melenyapkan rasa takut yang sempat menguasainya.

     “Jadi,” pemuda itu memungkas ucapannya sendiri. Ia menyerongkan tubuhnya yang duduk di sofa hingga menatap lurus pria tua yang tidak dia ketahui identitasnya itu.

     “Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa aku bisa ada di rumahmu?”

     Pria itu terkekeh dalam sesaat sebelum mengangkat wajahnya. Nampak bibirnya menyunggingkan seulas senyum culas.

     Bulu halus Jun berdiri. Merinding. Sumpah, dia tidak bohong, pria itu barusan terlihat seperti pembunuh kejam yang sering dilihatnya di drama atau film thriller.

     Sebenarnya siapa pak tua ini, sih? Pria itu gregetan sendiri. Dia terus melihat sekelilingnya dengan waspada. Mencoba mencari letak kamera yang mungkin saja disembunyikan entah dimana.

     Ya, ini pasti prank! Sudah pasti. Tidak mungkin ini kenyataan. Bagaimana bisa? Dia datang kesini untuk mengadakan fanmeeting, untuk bertemu penggemar-penggemarnya.

     Jadi, bagaimana bisa dia malah berakhir di tempat asing begini jika bukan karena ulah agensinya yang sengaja mengatur ini semua?

     “Apa yang kau cari?” Pria itu bertanya dengan nada yang sama sekali tidak ramah.

     “Apalagi? Tentu saja kamera! Pak, jujur aja, ini adalah sebuah prank, kan?”

     Jun masih sibuk menoleh kesana kemari, sebelum akhirnya berteriak keras.

      “Kalian semua, keluarlah! Sudah ketahuan. Kalian gagal membodohiku! Ayo, berhenti bercada. Ini tidak lucu. Penggemarku akan marah jika melihatku dipermainkan lebih dari ini!”

      “Berisik! Diamlah. Apa kau sudah gila?!”

      “Gi-gila katamu? Hah. Kau pasti bisa mati jika salah seorang pengemarku mendengar ucapanmu barusan!”

      Pria tua yang tidak dia ketahui namanya tersenyum mengejek. “Penggemar apanya? Disini tidak ada penggemarmu, jadi tidak usah berandai-andai yang tidak-tidak!!”

      Jun memandangi wajah pria itu yang kemudian tiba-tiba berubah termenung. “Ya, secara teknis memang ada. Tapi, itu tidak akan berlangsung lama.”

      Ia kemudian menancapkan padangannya kepada Jun yang bahkan tak mau repot-repot memikirkan apa maksud ucapan lelaki itu barusan.

      “Sudah cukup omong kosongnya. Sekarang, dengarkan aku baik-baik!”

      Lelaki tua itu kembali memasang wajah garangnya yang membuat Jun bergidik. Apa pria ini berkepribadian ganda? Dia mudah sekali mengubah ekspresi wajahnya dalam waktu singkat.

      “Siapa yang duluan beromong kosong? Mohon maaf tapi aku sudah bertanya tadi, sebenarnya anda ini siapa, Pak Tua?!”

      Jun menggertakan giginya kesal. Meski merasa sedikit takut, ia masih percaya pada feeling-nya yang mengatakan kalau ini semua hanya prank dan pria ini adalah seorang aktor yang dibayar untuk mengelabuinya.

      Apa ini tujuan sebenarnya dia dibawa ke Indonesia? Untuk shooting acara variety show?

      “Seperti yang sudah kau duga. Aku adalah penculikmu dan kau adalah sanderaku untuk saat ini!”

      Jun tidak terkejut mendengarnya. Ekspresi wajahnya bahkan tidak berubah. Bola matanya tetap berada di tempat yang sama. Datar.

      “Oh, ya?” dia bertanya malas.

      “Kau masih belum mempercayaiku?”

      Lelaki berusia dua puluh empat itu menarik senyum pesimis dan menggeleng teratur.

     Lagipula ia tidak memiliki alasan untuk percaya. Ini sama sekali jauh berbeda dari skenario penculikan yang diketahuinya. Tidak ada tali, tidak ada penutup mulut, ia dibiarkan bergerak bebas. Apa itu masuk akal?

     Jika ia memang diculik kenapa harus ada dokter yang memeriksa kondisinya? Akan lebih masuk akal jika ia disiksa dan diancam—bukannya diperlakukan selayaknya tamu. Bahkan sekarang ia malah diajak duduk dan berbicara. Bukankah sudah jelas ini tipuan?

      “Baiklah, terserah kalau begitu,” ucap pria itu dengan nada acuh yang sialnya terdengar serius.

      Jun jadi mengernyitkan kening.

      Bukan seperti ini harusnya! Bukan begini acara variety show bekerja. Seharusnya, lelaki ini meyakinkan dia bukannya malah pasrah.

      “Apanya yang terserah?!” Jun mulai menghardik panik.

      Sekali lagi ia meraba-raba sekitarnya dengan kedua mata yang terbuka lebar. Dia masih berusaha keras mencari kamera yang diyakininya tersembunyi di suatu tempat.

      “Astaga, aku masih tidak percaya kalau putriku tergila-gila dengan pria bodoh sepertimu. Kau masih belum mengerti? Kau benar-benar sudah diculik.”

      “Tidak mungkin!!”

      “Itu sudah terjadi. Lagipula apa ada yang tidak mungkin di dunia ini?”

      “Tidak! Jangan bohong! Aku tidak mungkin diculik!!”

      Jun berdiri dan mulai mengelilingi ruangan dengan tangan yang mengobrak-abrik benda di sekelilingnya. Sementara pria tua si pemilik ruangan itu hanya duduk manis dan tersenyum memandanginya.

      “Lihat, kan? Sekarang sudah percaya?”

      Jun tercengang. Dia sama sekali tidak menemukan satu benda elektronik pun di ruangan itu. Bahkan gadget-pun tidak ada.

      Realita terasa menghantamnya dengan keras. Tubuhnya perlahan luruh ke lantai dengan lunglai.

     Kepalanya kembali mereka ulang adegan demi adegan ketika ia sampai di tempat ini.

      Langit-langit yang tinggi dan berwarna putih seperti kubah. Kamar seorang gadis yang rapih dan luas. Seorang anak perempuan aneh. Lorong-lorong bercabang yang memusingkan kepala. Sampai ke  kemunculan seorang dokter yang berbicara dengan bahasa yang tidak dipahaminya dan lelaki di hadapannya ini.

      Lelaki yang dipanggil ‘ayah’ oleh gadis yang mencuri ciumannya di pertemuan pertama mereka.

      Ah, gadis aneh itu … ya! Sepertinya ini ada hubungannya dengan dia.

       “Apa kau menculikku karena perempuan itu? Dia …” Jun menelan ludah sebentar.

      Suara gadis itu yang memanggilnya “suami” dengan penuh semangat kembali terdengar di telinganya. Ia menelan ludah  merasa ngeri.

      Jun cukup yakin kalau ia tidak pernah bertemu gadis itu sebelumnya dan ia pun percaya kalau mereka tidak pernah menjalani upacara pernikahan di kehidupan yang ini. Jadi, hanya ada satu alasan kenapa gadis itu berbicara seperti itu.

       “…dia itu putrimu, dan dia salah satu penggemarku, apa benar begitu?” Jun menuntaskan perkataannya sembari berharap lelaki ini akan menepis hipotesisnya itu.

      Bukan bantahan, malah suara kekehan berat dan panjang yang menyambut pertanyaan Jun. Pria muda itu seketika makin merinding.

      Menurutnya, tawa itu tidak bisa diterjemahkan sebagai sesuatu yang positif. Sebaliknya, ia merasa seolah harus mempersiapkan untuk jawaban terburuk yang bisa didapatnya.

      “Ternyata kau tidak sebodoh itu, ya. Wajahmu juga lumayan tampan. Pantas saja Sharon sangat menyukaimu,” pria tua itu tampak menelusuri fitur wajah Jun dengan teliti. Terlihat tidak terusik meski wajah Jun sudah pucat dan tanpa senyum sama sekali.

      “A-apa yang kalian inginkan dariku?”

      “Nah, akhirnya kau bertanya juga. Sekarang waktunya kita berbisnis.”

      Pria berpostur tinggi besar itu mengulum bibir. Jun menyadari tatapannya tidak sedang mengarah padanya lagi. Melainkan menatap ke arah pintu yang sedari tadi tertutup.

      Begitu ia selesai bicara, pintu itu langsung terbuka dari luar.

      Jun menutup kedua wajahnya frustasi, jika ia bisa memilih, ia berharap bisa pingsan lagi untuk ketiga kalinya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status