Share

04.  Bahasa Asing dan Orang Asing

     “Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.”

     Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar.

     “Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!”

     Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu.

     Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak.

     Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin.

     “Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau pasien ini adalah pasien darurat yang butuh pertolongan secepatnya?”

     Lagi-lagi, Kai hanya bisa mengelus dadanya, menahan emosinya sendiri. Melihat pandangan berkilat Sharon yang tampak ingin menerkamnya bulat-bulat, ia langsung memutar otaknya.

     “Ah, apa perlu saya menunggunya di luar, Nona? Agar saya bisa langsung mengantarnya kesini saat beliau sampai.”

     Sharon terdiam sebentar, lalu mengangguk.

     “Cepatlah!” desaknya, yang membuat Kai langsung mempercepat langkahnya ke pintu, setengah berlari.

     * * *

     Sharon menatap wajah menawan Jun yang tengah terpejam layaknya sleeping beauty. Mula-mula, perasaannya memang panik dan ketakutan. Dia benar-benar takut Jun akan kenapa-napa gara-gara dirinya.

     Namun, perlahan, dia justru menikmati momen itu. Saat dirinya kini hanya berduaan, dengan Jun, lelaki yang menjadi bintang nomor satu di dunia maupun di dalam hatinya.

     Netranya menyapu fitur menawan itu satu per satu. Mulai dari alisnya yang tebal dan hitam, tidak kalah membahana dari alis Syahrini. Bulu matanya yang panjang dan menggetarkan jiwa. Hidung mancungnya yang terlihat seperti silikon, tapi Sharon tau itu sungguhan.

     Juga... bibir merah darahnya yang terlihat seperti bulan sabit, versi over-sexy.

     Ah... indah. Sungguh indah! Ini terlalu indah. Bagaimana bisa ada manusia yang seindah ini? Sangat tidak adil. Sharon mau marah rasanya.

     “Buat apa kamu secakep ini kalau bukan jadi milik aku? Gak guna.”

     Cewek itu mengulurkan tangannya menyentuh lembut pipi putih Jun. Tangannya lalu bergerak turun ke arah rahang tegasnya. Mulutnya terbuka kecil, terkagum.

     Jemari kecilnya tanpa sadar merayap mengikuti garis jawline-nya yang maskulin. 

     Ia kembali ke atas, mengusap tiap inci wajah itu sambil masih terpesona. Saat tatapannya jatuh kepada bibir ranum itu, ia menyentuh bibirnya sendiri tanpa sadar. Menelan ludah.

     Dengan sedikit gemetar, ia mengusapkan ibu jarinya pada bibir bawah Jun. Kenyal dan basah. Pasti enak, begitu batinnya.

     ‘Ah! Mungkin, jika aku menciumnya dia akan bangun!’

     ‘Iya! Pasti begitu. Di cerita dongeng juga diceritakan seperti itu, kok.’

     Tanpa banyak berpikir lagi, dia pun mendekatkan wajahnya dengan wajah Jun. Ia mencium bibir lelaki yang tengah tidak sadarkan diri itu.

     Jantungnya berpacu cepat. Selama beberapa detik, ia membiarkan bibir mereka menempel karena tidak tahu harus berbuat apa lagi. Meski demikian, ia merasa sangat bahagia. Salah satu daftar impiannya telah terkabul! Sekarang...

     “HAH!”

     Kedua mata yang tertutup itu terbuka. Tubuh Sharon terdorong keras—bahkan ia nyaris terjengkang dari tempat duduknya.

     Lelaki itu menatap Sharon dengan tatapan shock. Sedangkan Sharon, gadis itu malah menyengir lebar tanpa dosa.

     “Akhirnya kamu bangun juga! Aku sudah membuktikan kalau cerita dongeng itu nyata!”

     Jun terperangah tak menjawab. Dia beringsut mundur meski tubuhnya terasa berat dan ngilu. Apa? Apa kata gadis mesum ini barusan?

     “K-kamu gapapa kan? Aku khawatir banget. Lagian, kenapa kamu tiba-tiba lari gitu? Badan kamu belum boleh banyak digerakin karena efek biusnya masih—”

     Pintu kamar itu dibuka, membuat ucapan Sharon terpotong disana.

     “Ayah?”

     Richard muncul di pintu. Dengan Kai dan Dokter James yang merupakan dokter pribadi keluarga Wang.

     “Sharon,” pria itu tersenyum hangat. “Kamu keluar dulu, ya, Sayang. Biar dia diperiksa dulu.”

     Sharon mengernyitkan jidat. Dia ingin protes, kenapa hanya dia yang harus menunggu diluar sedangkan ayahnya tidak? Tapi, Kai sudah lebih dulu menghampirinya dan menarik lengan gadis itu. Menuntunnya keluar dengan sedikit memaksa.

     Sharon melempar tatapan curiga sekaligus mengancam kepada Kai.

     “Ayah gak bakal ngapa-ngapain suamiku, kan?”

     * * *    

     Gadis yang tak dikenalnya keluar dari kamar itu. Pemuda itu terpaku beberapa detik, mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi disini. Anehnya, semakin ia mencoba berpikir dan mengingat, semakin ia clueless.

     Benar-benar aneh. Seakan ada bagian di kepalanya yang tidak bisa diaksesnya. Rasanya seperti ia telah dikendalikan dari dalam.

     “Kau sudah baikan? Kudengar kau mencoba kabur tadi.”

     Jun menatap wajah pria tua di depannya yang juga fasih menggunakan bahasa China. Pikirannya jadi semakin kalut. Sebenarnya dia ada dimana, sih, sekarang?

     Apa dia benar-benar ada di China ? Tapi, kapan dan bagaimana caranya?

     “Pasti ada banyak hal yang ingin kau tanyakan. Tapi, sebelum itu, biarkan dokter andalanku ini memeriksa kondisimu dulu. Kalau sampai ada sesuatu yang salah dengan tubuhmu, putriku pasti akan menangis histeris.”

     Meski kepalanya dipenuhi serapah dan protes tidak terima, mulutnya tidak bisa mengatakan apa-apa. Aura lelaki itu terlalu kuat sampai membuatnya tak mampu berkutik.

     Ia membiarkan dokter itu memeriksa jantungnya dengan stetoskop dan melihat kondisi matanya.

     Selanjutnya, dokter itu terlihat sedang menjabarkan panjang lebar kondisinya dengan bahasa yang asing di telinga Jun. Tidak ada satu kata pun yang ia pahami.

     Ia sepenuhnya mengabaikan Jun sebagai pasien yang diperiksanya dan hanya sibuk dengan pria tua menyeramkan itu.

     Hal ini membuat kepalanya yang masih sakit dipaksanya untuk bekerja keras menghasilkan hipotesa.

     Karena ingatan terakhirnya adalah dia sedang berada di kota Jakarta, di backstage, dua puluh menit sebelum ia naik panggung, maka besar kemungkinan dia masih berada di Indonesia saat ini. Bahasa aneh yang digunakan dokter itu bisa dijadikan bukti penguat dari dugaannya itu. Lalu... selebihnya, ia tidak tahu lagi.

     Dia tidak tahu apakah ia masih ada di Jakarta atau ia sudah di bawa ke kota lain? Sudah berapa jam semenjak ia diculik? Siapa penculiknya dan apa tujuannya menculik dia?

     Pertanyaan-pertanyaan yang terus berkelibat di kepalanya membuatnya merasa makin pusing. Perutnya ikut terasa sakit. Sepertinya, sudah lebih dari delapan jam perutnya kosong.

     Setelah beberapa saat bercakap-cakap, dokter itu pun nampak mengemas kembali alat-alatnya ke dalam tas kerjanya.

     Pria tua yang sepertinya pemilik mansion megah ini menatap Jun yang bengong, masih belum bisa menerima kenyataan dirinya diculik dengan lapang dada.

     “Kita masih harus bicara. Apa kau kuat berjalan?”

     Jun tidak menjawabnya. Ia membuang wajah acuh, berpura-pura tidak mendengar perkataan pria itu.

     “Kau tidak penasaran alasanmu bisa berada disini?”

     Pria muda itu langsung menoleh cepat. Ia menatap tajam orang asing di depannya.

     “Katakan padaku. Kenapa kau menculikku kemari?!”

     Lelaki itu tersenyum miring mengejek.

     “Jika kau benar-benar ingin tahu, ikuti aku!” katanya dengan suara  beratnya yang bernada tegas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status