Aku menggigit bibir untuk menahan isak tangis.
“Maaf … aku mengecewakan Bibi. Aku … aku tidak bisa mempertahankan pernikahan ini, Bi.”Tanpa menjawab bibi menarikku ke dalam pelukannya.“Bibi yakin ini bukan salahmu, Mil.” Tangannya mengelus punggungku yang bergetar karena tangisan, “menangislah, jangan ditahan. Hanya kali ini saja kau boleh menangis, setelah ini bibi tidak mau lagi melihat air matamu. Bibi tahu kau kuat.”Aku tergugu dalam pelukan bibi, menumpahkan rasa sesak dan sakit yang dirasakan.“Sakit, Bi ….”“Tito akan hancur, bahkan lebih hancur darimu yang sudah disakitinya. Bibi tidak ridho kau disakiti seperti ini. Lihat saja nanti, Allah tidak tidur, Mil.”Sudah satu bulan aku tinggal di rumah bibi, aku memberi pengertian pada anak-anak soal kami yang sementara tinggal di sini. Setelah ujian sekolah mereka selesai baru aku akan mengatakan semuanya.Dengan bantuan bibi pula aku mengajukan gugatan ke pengadilan. Sengaja aku tidak membawa apapun dari rumah karena memaksa pun Mas Tito nantinya malah melayangkan hinaan lagi. Jadi aku akan sabar menunggu karena di pengadilan nanti akan ada pembagian harta bersama. Mas Tito tidak akan bisa menolak karena apa yang dimilikinya hasil kami bersama meski dia memang yang bekerja secara fisik.Tanpa kuduga ternyata perceraian ini berjalan begitu lancar bahkan Mas Tito tidak mempermasalahkan harta gono-gini. Aneh juga tapi aku tahu Mas Tito tidak akan mungkin setega itu, ia memiliki sedikit hati nurani meski semua itu tidak akan mengubah apapun.Kami hanya bertemu di ruang sidang saja, selain di sana berpapasan saja bahkan tidak pernah. Tanpa dicari tahu, aku mendengar jika Mas Tito sudah menikahi wanita itu bahkan sebelum ketuk palu dan minggu depan adalah resepsi pernikahannya. Sekarang itu bukan lagi urusanku.“Mil, ajak anak-anakmu belanja keperluan sekolah mereka.”“Iya, Bi. Nanti agak sore baru pergi, panas-panas begini mereka juga pasti malas berangkat.”“Oh ya. Bagaimana soal rencanamu untuk ambil paket C?”“Aku akan tetap melakukannya, Bi. Sekalian kuliah juga, aku tidak mau menjadi Ibu yang bodoh untuk anak-anak.”Entah kenapa aku tidak kepikiran dari dulu untuk melanjutkan pendidikan mungkin karena merasa hidup sudah nyaman dan tidak membutuhkan pendidikan tapi sekarang pemikiranku sudah berbeda. Pendidikan itu sangat penting apalagi aku seorang ibu yang dituntut untuk bisa mengajar anak-anak. Jika bukan padaku, siapa tempat mereka bertanya.Setelah kujelaskan, anak-anak tidak pernah menanyakan lagi soal Mas Tito dan aku bersyukur meski tidak bisa dipungkiri anak-anak tidak seceria sebelumnya.“Baguslah. Lebih baik seperti itu, buat si Tito itu menyesal karena sudah mencampakkanmu.”“Waktuku terlalu berharga jika dipakai untuk membuatnya menyesal, Bi. Lebih baik fokus pada diriku sendiri dan anak-anak.”Bi Hesti tertawa. “Bibi suka gayamu. Jadi perempuan itu memang harus kuat, Bibi yakin setelah ini jodohmu akan lebih segalanya dari Tito.”Memikirkan soal jodoh, rasanya aku tidak berniat untuk menikah lagi karena hubungan sebelumnya malah membuatku trauma dan takut memulai hubungan baru. Meski tidak semua lelaki banjing*n tapi kalau sudah trauma akan sulit dihilangkan.Uang yang kudapat dari harta bersama langsung dipakai untuk membeli lahan yang nantinya dijadikan sawah dan kebun. Untuk saat ini hanya itu yang ada dalam benak, daripada hanya disimpan uang akan langsung habis dan tidak ada pemasukan. Aku akan percayakan pada Bi Hesti.“Aku kedepan dulu ya, beli bakso siang-siang gini enak sepertinya. Bibi juga mau?”“Tidak, Bibi masih kenyang. Kau saja beli.”Aku mengangguk lalu beranjak keluar. Penjual bakso jaraknya lumayan jauh tapi tidak membuat lelah juga jika hanya berjalan kesana.Belum sampai tujuan, mobil yang kukenal berhenti tepat di dekatku. Kacanya terbuka, kulihat Mas Tito tersenyum sinis.“Bagaimana? Enak hidup tanpaku? Sekarang masih mampu tapi nanti akan memohon-mohon untuk kembali. Begitu memang kalau wanita yang hanya bermodalkan cantik, hanya bisa meminta dan tidak bisa berusaha sendiri.”“Kau tidak sepenting itu hingga aku tidak bisa hidup tanpamu! Jika benci jangan terlalu diperlihatkan biar nanti kalau jatuh cinta lagi tidak terlalu malu.”“Berani sekali kau bicara begitu, kau tidak tahu aku siapa?”“Tentu saja tahu. Kau itu orang dari masa lalu yang sebenarnya tidak penting untuk kuingat.” Dengan santai kuayunkan langkah masuk ke dalam warung baksoMasih bisa kudengar Mas Tito menggeram.Aku memang sudah benar-benar tidak peduli lagi padanya. Rasa cinta yang sebelumnya begitu besar kini menguap tergantikan kekecewaan yang mendalam. Terlarut dalam sebuah luka hanya akan membuat hidupku semakin hancur, aku memiliki dua orang buah hati yang harus kujaga. Hanya mereka yang bisa membuatku setegar ini.Saat sampai di rumah, aku dikagetkan Bi Hesti yang memberikan kartu undangan dari Mas Tito.“Padahal tadi aku dan dia tidak sengaja bertemu di jalan, Bi.”“Benarkah? Tapi yang tadi kesini itu bukan si Tito.”“Baguslah. Kalau Mas Tito yang kesini, anak-anak yang melihatnya pasti akan sedih.”“Kau akan datang?”“Tentu saja. Kalau diundang harus datang bukan.”Datangnya aku ke pernikahan Mas Tito pasti tidak akan disangka olehnya. Aku yang dulu memang menangis saat dengan kejamnya dia mencampakkanku tapi sekarang air mataku tidak akan terjatuh lagi hanya untuknya yang sama sekali tidak pernah bisa menghargai keberadaanku.Aku sama sekali tidak menyimpan dendam padanya karena apa yang dia pilih, kehidupan yang dia jalani itu haknya. Tapi aku tidak akan bisa dengan mudah melupakan apa yang sudah dilakukannya. Luka ini terlalu dalam untuk kulupakan.“Bu, Ibu.”“Ibu di sini, Nak.”Davin yang baru saja bangun tidur kini berjalan mendekat, menjatuhkan tubuhnya di sampingku.“Katanya mau beli baju dan tas. Kapan?”“Iya, sebentar lagi. Ini tadi Ibu belikan bakso. Devan mana?”“Devan 'kan main ke rumah Rangga, Bu.”“Oh iya. Ibu lupa. Sebentar ya, Ibu ambilkan dulu mangkoknya.” Aku beranjak ke dapur.Semoga saja Davin tadi tidak mendengar apa yang aku obrolkan dengan Bi Hesti. Davin dan Devan belum tahu soal Mas Tito yang akan menikah lagi, mereka hanya tahu aku dan Mas Tito berpisah dan tidak bisa tinggal satu rumah.Pukul setengah empat sore, terasa lebih teduh. Aku dan anak-anak pergi untuk membeli perlengkapan sekolah. Tidak seperti sebelumnya yang selalu dibebaskan Mas Tito untuk membeli apapun, sekarang aku harus bisa mengatur pengeluaran karena belum ada pendapatan yang masuk. Saat ini aku fokus untuk kejar paket C dan berharap bisa lanjut kuliah juga nantinya.Setidaknya ada dari penghasilan dari sawah dan kebun, meski tidak akan didapat setiap bulan tapi tetap bisa menghasilkan.Tidak lupa aku juga membeli baju untukku sendiri yang nanti akan kupakai ke acara resepsi pernikahan Mas Tito.“Bu, beli es krim yang di sana.” Davin mengarahkan telunjuk pada cafe di seberang.“Ya sudah, tunggu di sini ya. Biar Ibu yang belikan, Devan juga mau?”“Rasa vanilla ya, Bu,” ujar Devan.“Iya. Davin coklat?”“Iya.”Sengaja aku menyuruh mereka menunggu karena malas jika harus menyeberang bersama-sama apalagi banyak belanjaan yang dibeli. Lagi pula hanya menyeberang saja, anak-anak sudah besar tidak mungkin berkeliaran.Mereka menunggu di penjual mie ayam yang tadi kami sambangi.Membutuhkan waktu lama karena banyak yang mengantri, ini hari libur jadi kebanyakan anak-anak remaja ada di cafe. Biasa jika aku ke pasar memang anak-anak ingin dibelikan es krim di sini. Tapi Mas Tito yang membeli. Kenapa juga harus mengingat dia. Menyebalkan!Kakiku sampai pegal menunggu lumayan lama sampai kini giliranku. Dan akhirnya aku mendapatkannya, amak-anak pasti tidak sabar. Langkahku terayun keluar dari cafe hendak menyeberang.TIT!“Argh!” Refleks aku menjerit, es krim di tanganku sudah melayang dan berakhir di aspal.Jantungku hampir copot. Aku sudah hati-hati melihat kanan-kiri, tapi orang ini yang tidak benar. Bisa-bisanya hampir menabrakku.Tidak bisa dibiarkan.Tok! Tok! Tok!“Hey. Keluar!”Kalau sedikit saja mobil ini maju mungkin tubuhku akan terpelanting.Orang di dalam mobil itu tidak keluar juga. Kaca mobilnya gelap jadi aku tidak bisa melihat dari luar.Kaca mobil itu terbuka.“Hey, Om. Anda harusnya bisa hati-hati, jangan-jangan tidak punya SIM lagi. Lihat gara-gara Anda es kirmku jadi jatuh. Kalau me-”Pluk!Dia melemparkan segepok uang padaku.“Modusmu sudah basi. Pakai beli es krim satu truk.”Aku masih melongo, tidak sempat mencegahnya yang kini sudah pergi dengan mobilnya itu. Dia pikir aku butuh uangnya? Aku hanya malas untuk membeli es krim dan mengantri lagi.Sebaiknya uang ini aku sumbangkan saja, aku tidak mau kalau memakai uang yang tidak jelas ini.***Waktu begitu cepat berlalu dan hari ini, aku sudah menyiapkan mental bertemu langsung untuk kedua kalinya dengan wanita yang dengan tidak tahu malunya sudah merebut Mas Tito dariku.Aku bahkan sengaja pergi ke salon untuk tampil lebih istimewa, bukan untuk tebar pesona tapi sebagai penghargaan untuk diriku sendiri karena selama ini fokusku hanya pada keluarga sedangkan pada diriku sendiri abai.Aku akan berangkat sendiri kesana menjadi pilihan karena tidak akan mungkin jika membawa anak-anak. Sebelum pergi, kembali aku mematut diri di depan cermin memastikan tidak ada yang kurang. Sentuhan make up tipis menyempurnakan penampilan, aku lebih suka make up natural daripada memakai warna-warna yang terlalu cerah.“Mil, mau ke kondangan?” Baru saja keluar rumah, Nita langsung menyapa.“Iya, Nit.”“Jangan bilang ke pernikahannya Bang Tito?”Aku tersenyum tipis. “Mau kesana juga?”“Iya. Mau barengan?”“Boleh.” Daripada hanya sendiri 'kan tidak ada teman ngobrol lebih baik bersama Nita. Dia juga salah satu kenalan Mas Tito yang aku kenal juga.“Kau benar-benar hebat, Mil. Berani ya datang ke pernikahan mantan suamimu sendiri.”“Kenapa tidak. Kalau diundang harus datang bukan?”Kami berangkat menggunakan motor milik Nita. Sampai di sana, semua mata tertuju padaku. Aku merasa risih tahu apa yang mereka pikirkan. Sudah pasti mengasihani aku yang diceraikan begitu saja tapi aku sama sekali tidak butuh untuk dikasihani karena aku tidak merasa menjadi wanita malang.“Si Tito itu memang bodoh. Istrinya itu kurang apa sampai memilih wanita lain? Mila itu sudah baik, rajin, cantik pula.”“Bemper depan belakangnya juga kelihatan palsu. Mana bibirnya dower lagi.” Ibu itu mencibir wanita yang duduk berdampingan dengan Mas Tito.“Bukan dower tapi itu memang make up yang sedang trend.”“Paling kalau dapat lagi yang lebih gatal itu istri barunya ditinggal.”Aku hanya diam saat ibu-ibu di depanku dengan santainya membicarakan Mas Tito dan juga istri barunya. Aku tidak akan berpendapat apapun, tidak ada hakku juga untuk bicara.“Dengar, Mil. Kau dibicarakan kebaikanmu sedangkan Bang Tito disebutkan keburukannya. Aku juga sebenarnya gatal sekali, lelaki tidak tahu diri seperti dia itu tinggal nunggu bangkrut saja nanti tahu rasa. Aku yang bukan mengalami saja rasanya sekesal ini apalagi kau yang mengalaminya.”Aku tersenyum menanggapi perkataan Nita.“Mbak Mila, mantan suaminya sudah menikah. Mbak tidak ada nikah barengan, saya siap kok jadi mempelai prianya.”Mataku terbelalak saat lelaki yang tiba-tiba datang itu mengatakan hal yang membuat semua mata tertuju padaku. “Jangan buat orang lain semakin salah paham, Ki!”Lelaki itu malah tertawa.Dia Hengki, rekan bisnis Mas Tito. Dia dan Mas Tito bekerja sama dari bawah jadi aku juga kenal baik dengannya dan juga istrinya."Itu masalah mereka kalau salah paham, Mil.""Dasar!" Aku menggeleng."Oh ya, selesai ini aku mampir ke rumahmu ya. Aku ingin membicarakan soal bisnis."Keningku mengernyit. "Ki, sepertinya aku tidak memiliki bisnis apapun denganmu.""Sebelumnya memang tidak. Apa kau tidak berniat memulai bisnis? Penghasilan Tito tidak lagi masuk dalam dompetmu 'kan? Jadi, kau harus berdiri sendiri."Apa yang dikatakan Hengki memang benar. Aku harus berdiri di atas kakiku sendiri, sekarang tanah yang kubeli masih banyak yang kosong dan separuhnya sudah ditanami padi. Tapi aku tidak bisa mengandalkan dari itu saja. Harus memiliki pemasukan lain karena kebutuhan yang kupikirkan bukan hanya u
Ya ampun, kasar sekali dia. Kalau orang yang kukenal sudah kulempar dengan tutup termos. Kurang ajar sekali."Di sini tidak ada yang namanya coffee shop adanya sayur sop, Pak," jawabku dengan santai.Dia menanyakan coffee shop seperti pertama kali Andre kesini. Biasanya juga Andre yang akan membeli tapi ini ... apa lelaki ini bos yang Andre katakan? Kalau dari perawakannya sepertinya iya karena terlihat sangat menyeramkan.Usianya terlihat kisaran tiga puluhan.Dia berdecak. Meneliti pada gantungan kopi, jelas tidak akan ada kopi yang dicarinya tapi kalau kopi yang sering dia minum ada di toples."Ibu!"Aku tersentak saat melihat Devan berdiri di ambang pintu warung yang memang tidak dikunci."Kenapa, Nak. Berbaring dulu di sini, sebentar ya." Aku membantunya untuk berbaring di kasur lantai, wajahnya terlihat masih pucat bahkan panasnya belum turun. Devan menolak diajak ke dokter karena takut disuntik.Aku kembali berdiri namun tertegun karena melihat lelaki itu memperhatikan Devan de
Bodoh sekali kau, Mila!Aku merutuki diri sendiri, kenapa bisa sampai berkata seperti itu. Salah Mas Tito karena dia membuat emosiku memuncak, seharusnya dia sudah pergi bersama dengan istri barunya itu kenapa malah kembali ke sini.“Ibu ... pulang.”“Iya, kita pulang.”Tanpa memperdulikan Mas Tito, aku mendorong punggung lelaki itu agar berjalan keluar. Sebelum dia mempermalukanku di depan Mas Tito lebih baik langsung pergi saja. Bahaya kalau dia menyangkal, bisa malu tujuh turunan aku.“Mil, Mila!” Mas Tito malah mengejarku.“Apa sih, Mas? Urus saja istrimu itu, jangan pedulikan anakku!” Kutepis dengan kasar tangan Mas Tito yang mencekal tanganku.Saat berbalik, aku melihat Deva sudah masuk ke dalam mobil pria tidak dikenal itu. Buru-buru aku menyusul, jangan sampai pria itu berniat menculik Devan. Kalau saja tidak ada Mas Tito dan mulutku tadi bisa dijaga aku tidak akan sudi masuk ke dalam mobil mewah ini.“Turunkan saja di depan.”Dia menoleh padaku yang duduk di belakang sambil m
Ada-ada saja, dia pikir dia siapa. Hanya mantan juga berani mengaturku seperti ini.Jangan-jangan dia cemburu? Baguslah, jadi dia bisa merasakan apa yang aku rasakan dulu.“Bu.” Suara Davin memanggil.Aku beranjak untuk membukakan pintu.“Ibu pulang dari tadi?”“Tidak, Ibu baru saja pulang. Ayo mandi dulu, setelah itu makan.”“Devan mana, Bu?”“Tidur. Jangan ganggu, dia masih sakit.” Aku meninggalkan Davin dan menuju ke dapur untuk memasak.Tiga hari sudah Devan tidak sekolah tapi sekarang kondisinya sudah membaik, sebenarnya demamnya cepat turun tapi dia masih merasa lemas, mungkin besok baru akan sekolah. Aku juga tidak akan memaksakan.Selama tiga hari pula warung tidak kubuka, akan repot jika harus bolak-balik ke rumah jika Devan membutuhkan sesuatu.“Bu, aku mau sekolah.”“Yakin? Sudah tidak lemas lagi?” tanyaku memastikan.“Iya, Bu. Aku bosan di rumah terus.”“Ya sudah. Siap-siap, biar nanti kamu diantar pakai ojek. Davin juga sudah pergi dari tadi.”Beberapa menit lalu Davin su
Rasanya aku ingin tutup saja warung ini tapi tidak mungkin sampai melakukan itu hanya karena dua lelaki di hadapanku yang kehadirannya sukses membuat emosi.Apa salahku sampai harus terlibat bersama dengan mereka.Setelah membalutkan plester luka di jari, aku lanjut memasak mie pesanan Mas Tito agar dia segera pergi.“Ada perlu apa kesini?” Aku beralih pada lelaki yang tidak kutahu namanya itu.“Aku mau bertemu Devan.”“Devan sekolah jadi pergi saja. At-”“Aku akan tunggu sampai dia pulang.”Tanpa diminta dia langsung duduk begitu saja. Ini orang kenapa sebenarnya? Kalau saja tidak ada Mas Tito pasti aku sudah mengusirnya."Di sini bukan tempat tunggu," ujarku ketus."Kalau begitu aku akan menunggu di rumahmu.""Eh, enak saja. Duduk disitu!""Kau jangan kurang ajar ya!" Mas Tito melayangkan tatapan tajam pada lelaki itu."Kurang ajar sebelah mananya? Dia calon istriku, salah kalau aku ada di sini atau bertamu ke rumahnya?" balasnya dengan enteng.Brak!Dengan kesal aku menggebrak meja
“Mbak Mila tidak tahu kalau Pak Zayn itu pemilik pabrik ini?”Mila menggelengkan kepalanya, “Tidak tahu dan tidak ingin tahu. Kelakuannya bahkan tidak seperti pemilik pabrik yang seharusnya itu sopan ini malah sebaliknya.”“Memang banyak yang tidak tahu kalau Pak Zayn itu pemilik pabrik, Pak Zayn tidak suka dikenal orang-orang. Aku tahu juga karena tidak sengaja.”“Syukurlah,” gumam Mila sambil mengusap dadanya.“Syukur kenapa, Mbak?”“Berarti memang bukan penculik, aku kira dia penculik karena penampilannya itu sangar.”“Mbak Mila, masa lelaki setampan pak Zayn dibilang penculik, ada-ada saja.”Mila memang tidak peduli pada sesuatu yang tidak ada urusan dengannya. Ia tidak lagi menyahuti wanita yang membocorkan rahasia pabrik itu, Mila malah fokus melayani para pembelinya.Mungkin jika orang lain yang ada di posisi Mila pasti akan berpikir untuk bisa mendekati Zayn bahkan jadi simpanan pun tak apa yang penting bisa mendapat gandengan setampan dan sekaya Zayn Niskala Hartanto.***“Bo
“Devan sudah benar-benar sembuh ‘kan?” Mila menyentuh kening Devan dengan punggung tangannya.“Sudah, Bu. Tidak panas, tidak pusing juga,” jawab Devan meyakinkan sang ibu.“Devan terus yang Ibu perhatikan,” celetuk Davin sambil mengunyah keripik kentang, matanya fokus pada layar televisi tapi ia curi-curi pandang juga ke arah ibu dan juga saudaranya.Mila terkekeh geli, “Ya ampun, anak Ibu ini cemburu?” Ia mengacak gemas rambut Davin.“Aku bukan anak kecil, Bu. Tidak usah begitu,” tolaknya.“Iya, iya.” Mila geleng-geleng kepala, “anak-anak Ibu sekarang sudah besar sekarang tapi masih seperti anak kecil, masa saling cemburu begitu. Devan sedang sakit, Ibu juga tetap perhatian pada Davin kok.”Waktu begitu cepat berlalu, bayi yang dulu ada di dalam rahim Mila kini sudah tumbuh menuju remaja. Mila membesarkan mereka penuh perjuangan bercucur keringat dan juga air mata, mengingat ia dulunya menjadi ibu tunggal dan Tito hanya hadir untuk sepuluh tahun saja mengambil peran sebagai suami Mil
Zayn menoleh, melihat Mila yang berjalan menjauh dengan sebelah sandal jepit yang dipakainya karena sebelahnya lagi sukses menghantam kepala Zayn.“Untuk wanita kalau bukan, aku akan balik melemparnya dengan granat,” gumam Zayn.Lelaki itu meraih celana yang tergeletak di ranjang dan memakainya, tadi malam Zayn merasa sangat kegerahan jadi sampai membuka semua pakaiannya kecuali segitiga pengaman. Baginya dilihat seperti itu sudah biasa jadi ia tidak merasa malu.Zayn lupa jika sekarang ia berada di kampung, bukan di kota apalagi luar negeri yang bisa bebas melakukan apapun. Di sini ada norma-norma yang harus diikuti.“Andre! Kenapa kamar mandinya seperti ini?”Andre yang sudah rapi itu buru-buru menghampiri Zayn yang kini masih berdiri di ambang pintu.“Seperti ini bagaimana?” Kening Andre berkerut.“Bagaimana carannya aku mandi? Tidak ada shower!”“Lah, ini ada ember, ada gayung. Airnya tinggal dibuka dari sini.” Andre memutar kran air agar ember menjadi penuh.Zayn meringis, “Mandi