Tangisku tak bisa lagi ditahan. Rasanya begitu sakit. Bukan lagi soal fisik tapi sayatan luka di hatiku kian bertambah, luka kemarin saja belum sembuh kini ditambah lagi luka baru.
Allah ….Kenapa sesakit ini?Apa aku benar-benar tidak berarti lagi bagimu, Mas? Kau bahkan lebih memilih wanita yang baru satu bulan dikenal daripada aku yang sepuluh tahun menemanimu dalam duka dan kejamnya dunia.Mas Tito pergi begitu saja menggunakan mobilnya, entah kemana dia akan pergi. Sebelum dia kembali lebih dulu aku membawa tas yang berisi surat-surat penting, tanpa ini aku tidak akan bisa menggugatnya karena dia pergi tanpa talak yang terucap. Tidak lupa juga membawa keperluan anak-anakApalah artinya uang banyak jika batinku tersiksa, neraka bagi seorang istri itu memiliki suami yang tidak berperasaan, egois dan juga kasar dan tak setia. Padahal dulu Mas Tito tidak seperti ini, dia juga begitu menyayangi anak-anakku meski mereka bukan darah daging Mas Tito.Dia diuji dengan harta tapi ternyata gagal, namun saat diuji oleh ekonomi sulit dia malah menjadi sosok pemimpin yang tangguh. Kecewaku tak bisa lagi terlukiskan. Dia yang begitu aku percayai menghancurkan hatiku sampai tak bersisa.Cincin yang menjadi pengikat turut kulepaskan. Mulai sekarang aku akan mencoba menghilangkan semua bayang dan kenangannya dan memulai hidup baru bersama dengan anak-anak.Tidak ada satu lembar baju pun yang kubawa.Untuk sementara aku akan tinggal di rumah bibi, sebelum pergi kesana lebih dulu kujemput Devan dan Davin di sekolah. Mereka pasti akan bertanya nantinya tapi aku yakin mereka sudah bisa mengerti. Anak kembarku itu begitu cerdas, mereka pasti tidak akan banyak bertanya jika sudah sekali kujelaskan.Devan dan Davin adalah anak yang terlahir sebelum aku menikah dengan Mas Tito. Benih dari lelaki bajing*n yang sama sekali tidak kukenal. Mengingat kembali kejadian itu selalu sukses membuat dadaku sesak. Malam itu menghancurkan segalanya, menghancurkan hidupku. Tapi aku tidak lagi menyesali kehadiran anak-anak karena mereka tidak berdosa.“Mila, kenapa jalan kaki? Suamimu mana?”Langkahku terhenti saat berpapasan dengan Bu RT.“Suami saya sedang pergi Bu RT. Mari.” Tidak ingin memperpanjang obrolan, aku ingin cepat-cepat menemui anak-anak.Saat ini hanya mereka yang bisa membuatku kuat, mereka yang membuatku bertahan sejauh ini. Entah seperti apa hidupku tanpa mereka setelah sikap Mas Tito berubah total, tepatnya setelah ia bertemu dengan wanita yang namanya saja enggan kusebut.Jarak rumah ke sekolah anak-anak tidak terlalu jauh, sekarang aku menunggu di depan gerbang. Ini sudah jam mereka pulang.“Ibu!” Dengan senyum merekah Davin berlari menghampiri.“Devan mana, Nak?” tanyaku sambil mengusap lembut wajahnya.“Masih di dalam, Bu. Aku tidak sabar untuk pulang dan memberitahu Ayah jika aku dapat nilai 100 di ulangan harian matematika. Ayah bilang akan membelikan sepeda baru kalau aku berhasil.”Mataku langsung memanas, dengan cepat kuseka air mata yang merembes. Apa yang dikatakannya hal yang biasa tapi itu sukses membuat hatiku seperti disayat sembilu, perih.“Hari ini … kita menginap di rumah nenek ya.”Davin terlihat kecewa, “kenapa, Bu? Aku sudah tidak sabar memberitahu Ayah.”Air mataku berjatuhan tak sanggup lagi kubendung. Kenapa aku selemah ini.“Ibu kenapa menangis?”Bagaimana cara ibu mengatakannya kepada kalian jika ayah kalian sudah tidak menginginkan kehadiran kita lagi.“Ibu kelilipan, Nak. Di sini banyak debu,” sangkalku. Aku tidak pernah berbohong di depan anak-anak dan sekarang aku melakukan itu untuk pertama kalinya.“Sini, biar aku tiup, Bu.”“Tidak apa, Nak.” Dengan cepat kuseka air mata menggunakan ujung jilbab.Aku harus bisa menahannya, setidaknya jangan sampai menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat apalagi disini banyak anak-anak sekolah.“Ibu!” Devan memanggil sambil berjalan santai.“Kita pulang sekarang ya. Sudah mendung takutnya hujan.”Mereka sudah besar jadi tidak mau dituntun, kubiarkan mereka berjalan di depan.“Ibu tumben menjemput?” tanya Devan sambi melirik sekilas sebelum kembali fokus menatap jalan.“Kita malam ini menginap di rumah nenek ya.”Tidak seperti Davin yang bertanya-tanya, Devan hanya mengangguk singkat.Pergi ke rumah bibi memakan waktu lebih lama, kasihan juga pada anak-anak yang harus berjalan setelah lelah sekolah. Biasanya Mas Tito yang akan menjemput saat ada waktu luang atau mereka pulang sendiri. Mereka sudah kelas enam sekolah dasar dan sebentar lagi ujian nasional.Aku jadi bimbang untuk mengatakan semuanya karena takut mengganggu pikiran mereka. Meski masih anak-anak tapi pasti mereka juga akan kepikiran melihat ayah dan ibunya tinggal terpisah.“Tumben cucu nenek main kesini pulang sekolah?” Bi Hesti merangkul si kembar masuk ke dalam.“Ibu bilang kita akan menginap disini, Nek.”Bi Hesti langsung melempar pandang padaku, aku hanya diam. Bibi pasti mengerti jika hal yang kukatakan tidak boleh didengar anak-anak.“Wah, bagus itu. Kakek kalian juga sedang tidak ada di rumah jadi nenek ada teman. Ayo makan dulu nenek barusan masak.”Tubuhku luruh ke lantai saat mereka sudah beranjak ke dapur dan tak terlihat lagi.Aku menekan dada yang terasa sakit. Air mata kembali berderai, sekuat apapun aku menahan aku hanya manusia biasa yang bisa terpuruk saat merasakan titik terendah hidupku. Tapi aku yakin semua ini tidak akan berlarutKalian mungkin tidak akan lagi mendapatkan kasih sayang ayah tapi ibu akan mencurahkan seluruh kasih sayang ibu pada kalian. Kalian adalah harta paling berharga untuk ibu.Aku bangkit dengan langkah terayun menuju kamar mandi. Tidak seharusnya seperti ini, jangan sampai anak-anak melihat ibu mereka yang begitu rapuh.“Mil, Mila.”Suara bibi membuatku tersentak.“Iya, Bi.”“Ayo keluar, kita harus bicara. Mumpung anak-anak sedang makan.”Setelah membasuh wajah untuk menghapus jejak air mata, aku keluar menemui bibi yang sudah menunggu, menatap penuh tanya.“Ayo, bicara di kamar bibi.”Kutarik nafas dalam-dalam sebelum mengekori bibi. Orang tuaku sudah tidak ada, hanya bibi keluargaku satu-satunya di kota ini sedangkan keluarga dari ibu beda pulau bahkan sama sekali tidak pernah bertemu.“Ada masalah?”“Aku dan Mas Tito … akan berpisah,” ungkapku sambil menunduk tak berani menatap manik matanya.“Kenapa? Selama ini bibi melihat kalian baik-baik saja.”Aku tidak pernah memperlihatkan masalah rumah tanggaku pada siapapun termasuk pada bibi. Tidak ada rasa ingin berjuang untuk mempertahankan pernikahan karena rasanya pasti akan semakin sakit. Lebih baik aku mundur, biarlah dia bahagia dengan pilihannya dan aku akan mencari kebahagiaanku sendiri bersama dengan anak-anak.“Mungkin … kami sudah tidak berjodoh.”“Tidak berjodoh atau dia yang selingkuh?”Aku menggigit bibir untuk menahan isak tangis.“Maaf … aku mengecewakan Bibi. Aku … aku tidak bisa mempertahankan pernikahan ini, Bi.”Tanpa menjawab bibi menarikku ke dalam pelukannya.“Bibi yakin ini bukan salahmu, Mil.” Tangannya mengelus punggungku yang bergetar karena tangisan, “menangislah, jangan ditahan. Hanya kali ini saja kau boleh menangis, setelah ini bibi tidak mau lagi melihat air matamu. Bibi tahu kau kuat.”Aku tergugu dalam pelukan bibi, menumpahkan rasa sesak dan sakit yang dirasakan.“Sakit, Bi ….”“Tito akan hancur, bahkan lebih hancur darimu yang sudah disakitinya. Bibi tidak ridho kau disakiti seperti ini. Lihat saja nanti, Allah tidak tidur, Mil.”Sudah satu bulan aku tinggal di rumah bibi, aku memberi pengertian pada anak-anak soal kami yang sementara tinggal di sini. Setelah ujian sekolah mereka selesai baru aku akan mengatakan semuanya.Dengan bantuan bibi pula aku mengajukan gugatan ke pengadilan. Sengaja aku tidak membawa apapun dari rumah karena memaksa pu
Mataku terbelalak saat lelaki yang tiba-tiba datang itu mengatakan hal yang membuat semua mata tertuju padaku. “Jangan buat orang lain semakin salah paham, Ki!”Lelaki itu malah tertawa.Dia Hengki, rekan bisnis Mas Tito. Dia dan Mas Tito bekerja sama dari bawah jadi aku juga kenal baik dengannya dan juga istrinya."Itu masalah mereka kalau salah paham, Mil.""Dasar!" Aku menggeleng."Oh ya, selesai ini aku mampir ke rumahmu ya. Aku ingin membicarakan soal bisnis."Keningku mengernyit. "Ki, sepertinya aku tidak memiliki bisnis apapun denganmu.""Sebelumnya memang tidak. Apa kau tidak berniat memulai bisnis? Penghasilan Tito tidak lagi masuk dalam dompetmu 'kan? Jadi, kau harus berdiri sendiri."Apa yang dikatakan Hengki memang benar. Aku harus berdiri di atas kakiku sendiri, sekarang tanah yang kubeli masih banyak yang kosong dan separuhnya sudah ditanami padi. Tapi aku tidak bisa mengandalkan dari itu saja. Harus memiliki pemasukan lain karena kebutuhan yang kupikirkan bukan hanya u
Ya ampun, kasar sekali dia. Kalau orang yang kukenal sudah kulempar dengan tutup termos. Kurang ajar sekali."Di sini tidak ada yang namanya coffee shop adanya sayur sop, Pak," jawabku dengan santai.Dia menanyakan coffee shop seperti pertama kali Andre kesini. Biasanya juga Andre yang akan membeli tapi ini ... apa lelaki ini bos yang Andre katakan? Kalau dari perawakannya sepertinya iya karena terlihat sangat menyeramkan.Usianya terlihat kisaran tiga puluhan.Dia berdecak. Meneliti pada gantungan kopi, jelas tidak akan ada kopi yang dicarinya tapi kalau kopi yang sering dia minum ada di toples."Ibu!"Aku tersentak saat melihat Devan berdiri di ambang pintu warung yang memang tidak dikunci."Kenapa, Nak. Berbaring dulu di sini, sebentar ya." Aku membantunya untuk berbaring di kasur lantai, wajahnya terlihat masih pucat bahkan panasnya belum turun. Devan menolak diajak ke dokter karena takut disuntik.Aku kembali berdiri namun tertegun karena melihat lelaki itu memperhatikan Devan de
Bodoh sekali kau, Mila!Aku merutuki diri sendiri, kenapa bisa sampai berkata seperti itu. Salah Mas Tito karena dia membuat emosiku memuncak, seharusnya dia sudah pergi bersama dengan istri barunya itu kenapa malah kembali ke sini.“Ibu ... pulang.”“Iya, kita pulang.”Tanpa memperdulikan Mas Tito, aku mendorong punggung lelaki itu agar berjalan keluar. Sebelum dia mempermalukanku di depan Mas Tito lebih baik langsung pergi saja. Bahaya kalau dia menyangkal, bisa malu tujuh turunan aku.“Mil, Mila!” Mas Tito malah mengejarku.“Apa sih, Mas? Urus saja istrimu itu, jangan pedulikan anakku!” Kutepis dengan kasar tangan Mas Tito yang mencekal tanganku.Saat berbalik, aku melihat Deva sudah masuk ke dalam mobil pria tidak dikenal itu. Buru-buru aku menyusul, jangan sampai pria itu berniat menculik Devan. Kalau saja tidak ada Mas Tito dan mulutku tadi bisa dijaga aku tidak akan sudi masuk ke dalam mobil mewah ini.“Turunkan saja di depan.”Dia menoleh padaku yang duduk di belakang sambil m
Ada-ada saja, dia pikir dia siapa. Hanya mantan juga berani mengaturku seperti ini.Jangan-jangan dia cemburu? Baguslah, jadi dia bisa merasakan apa yang aku rasakan dulu.“Bu.” Suara Davin memanggil.Aku beranjak untuk membukakan pintu.“Ibu pulang dari tadi?”“Tidak, Ibu baru saja pulang. Ayo mandi dulu, setelah itu makan.”“Devan mana, Bu?”“Tidur. Jangan ganggu, dia masih sakit.” Aku meninggalkan Davin dan menuju ke dapur untuk memasak.Tiga hari sudah Devan tidak sekolah tapi sekarang kondisinya sudah membaik, sebenarnya demamnya cepat turun tapi dia masih merasa lemas, mungkin besok baru akan sekolah. Aku juga tidak akan memaksakan.Selama tiga hari pula warung tidak kubuka, akan repot jika harus bolak-balik ke rumah jika Devan membutuhkan sesuatu.“Bu, aku mau sekolah.”“Yakin? Sudah tidak lemas lagi?” tanyaku memastikan.“Iya, Bu. Aku bosan di rumah terus.”“Ya sudah. Siap-siap, biar nanti kamu diantar pakai ojek. Davin juga sudah pergi dari tadi.”Beberapa menit lalu Davin su
Rasanya aku ingin tutup saja warung ini tapi tidak mungkin sampai melakukan itu hanya karena dua lelaki di hadapanku yang kehadirannya sukses membuat emosi.Apa salahku sampai harus terlibat bersama dengan mereka.Setelah membalutkan plester luka di jari, aku lanjut memasak mie pesanan Mas Tito agar dia segera pergi.“Ada perlu apa kesini?” Aku beralih pada lelaki yang tidak kutahu namanya itu.“Aku mau bertemu Devan.”“Devan sekolah jadi pergi saja. At-”“Aku akan tunggu sampai dia pulang.”Tanpa diminta dia langsung duduk begitu saja. Ini orang kenapa sebenarnya? Kalau saja tidak ada Mas Tito pasti aku sudah mengusirnya."Di sini bukan tempat tunggu," ujarku ketus."Kalau begitu aku akan menunggu di rumahmu.""Eh, enak saja. Duduk disitu!""Kau jangan kurang ajar ya!" Mas Tito melayangkan tatapan tajam pada lelaki itu."Kurang ajar sebelah mananya? Dia calon istriku, salah kalau aku ada di sini atau bertamu ke rumahnya?" balasnya dengan enteng.Brak!Dengan kesal aku menggebrak meja
“Mbak Mila tidak tahu kalau Pak Zayn itu pemilik pabrik ini?”Mila menggelengkan kepalanya, “Tidak tahu dan tidak ingin tahu. Kelakuannya bahkan tidak seperti pemilik pabrik yang seharusnya itu sopan ini malah sebaliknya.”“Memang banyak yang tidak tahu kalau Pak Zayn itu pemilik pabrik, Pak Zayn tidak suka dikenal orang-orang. Aku tahu juga karena tidak sengaja.”“Syukurlah,” gumam Mila sambil mengusap dadanya.“Syukur kenapa, Mbak?”“Berarti memang bukan penculik, aku kira dia penculik karena penampilannya itu sangar.”“Mbak Mila, masa lelaki setampan pak Zayn dibilang penculik, ada-ada saja.”Mila memang tidak peduli pada sesuatu yang tidak ada urusan dengannya. Ia tidak lagi menyahuti wanita yang membocorkan rahasia pabrik itu, Mila malah fokus melayani para pembelinya.Mungkin jika orang lain yang ada di posisi Mila pasti akan berpikir untuk bisa mendekati Zayn bahkan jadi simpanan pun tak apa yang penting bisa mendapat gandengan setampan dan sekaya Zayn Niskala Hartanto.***“Bo
“Devan sudah benar-benar sembuh ‘kan?” Mila menyentuh kening Devan dengan punggung tangannya.“Sudah, Bu. Tidak panas, tidak pusing juga,” jawab Devan meyakinkan sang ibu.“Devan terus yang Ibu perhatikan,” celetuk Davin sambil mengunyah keripik kentang, matanya fokus pada layar televisi tapi ia curi-curi pandang juga ke arah ibu dan juga saudaranya.Mila terkekeh geli, “Ya ampun, anak Ibu ini cemburu?” Ia mengacak gemas rambut Davin.“Aku bukan anak kecil, Bu. Tidak usah begitu,” tolaknya.“Iya, iya.” Mila geleng-geleng kepala, “anak-anak Ibu sekarang sudah besar sekarang tapi masih seperti anak kecil, masa saling cemburu begitu. Devan sedang sakit, Ibu juga tetap perhatian pada Davin kok.”Waktu begitu cepat berlalu, bayi yang dulu ada di dalam rahim Mila kini sudah tumbuh menuju remaja. Mila membesarkan mereka penuh perjuangan bercucur keringat dan juga air mata, mengingat ia dulunya menjadi ibu tunggal dan Tito hanya hadir untuk sepuluh tahun saja mengambil peran sebagai suami Mil