Mataku terbelalak saat lelaki yang tiba-tiba datang itu mengatakan hal yang membuat semua mata tertuju padaku.
“Jangan buat orang lain semakin salah paham, Ki!”Lelaki itu malah tertawa.Dia Hengki, rekan bisnis Mas Tito. Dia dan Mas Tito bekerja sama dari bawah jadi aku juga kenal baik dengannya dan juga istrinya."Itu masalah mereka kalau salah paham, Mil.""Dasar!" Aku menggeleng."Oh ya, selesai ini aku mampir ke rumahmu ya. Aku ingin membicarakan soal bisnis."Keningku mengernyit. "Ki, sepertinya aku tidak memiliki bisnis apapun denganmu.""Sebelumnya memang tidak. Apa kau tidak berniat memulai bisnis? Penghasilan Tito tidak lagi masuk dalam dompetmu 'kan? Jadi, kau harus berdiri sendiri."Apa yang dikatakan Hengki memang benar. Aku harus berdiri di atas kakiku sendiri, sekarang tanah yang kubeli masih banyak yang kosong dan separuhnya sudah ditanami padi. Tapi aku tidak bisa mengandalkan dari itu saja. Harus memiliki pemasukan lain karena kebutuhan yang kupikirkan bukan hanya untuk satu dua tahun ke depan saja tapi untuk biaya anak-anak sampai nanti mereka mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi.Aku tidak bisa lagi hanya ongkang-ongkang kaki di rumah dan menerima uang setiap bulannya. Aku harus berusaha sendiri agar bisa membahagiakan anak-anak dan diriku sendiri tentunya."Heh! Malah melamun!"Tepukan Hengki di pundak membuatku langsung tersentak. "Apa?"Hengki menggeleng. "Makanya tidak usah melamun begitu. Masih meratapi melihat mantan suamimu menikah lagi?"Tawaku pecah. "Aku tidak segila itu, Ki!"Meninggalkan Hengki, aku dan Nita langsung beranjak untuk menghampiri kedua mempelai yang sedang bahagia itu. Sama sekali tidak ada kurasakan perih seperti saat pertama kali Mas Tito berkhianat, hatiku terlalu berharga jika dibiarkan hancur hanya karena dia."Selamat ya, Mas. Semoga selalu bahagia." Aku menyatukan kedua tangan di depan dada tanpa ada niat untuk bersentuhan dengannya.Mas Tito malah menatapku dengan lekat membuatku ingin tertawa melihat binar matanya, seperti orang terpesona jangan lupakan mulutnya yang menganga.“Baru sadar kalau wanita yang pernah menjadi istrimu ini sebenarnya sangat cantik!” ujarku sedikit berbisik sambil menahan tawa."Mas! Jangan melihatnya seperti itu." Mawar berbisik sambil mencubit pinggang Mas Tito membuat lelaki itu mengaduh, aku hanya menahan tawa.Aku bergeser untuk bersalaman dengan Mawar, namun dia menyambut dengan dingin tapi menarikku ke dalam pelukannya. "Berterima kasihlah padaku, kalau bukan karenaku pasti Mas Tito tidak akan membagi hartanya untukmu.""Tanpa kau melakukan itu, Mas Tito memang harus merelakan setengah hartanya itu. Kami bekerja bersama untuk mendapatkan semua itu dan kau tidak tahu malunya malah menikmati hasil jerih payah orang lain. Mungkin urat malumu sudah putus," balasku sebelum mendorong tubuhnya menjauh dan turun diikuti Nita dari belakang."Ya ampun, ya ampun. Mila ... Tadi kau lihat bagaimana wajah Bang Tito? Dia pasti terpesona melihat kecantikanmu, kau bahkan lebih cantik daripada si lont* itu!" Nita terus berceloteh sedangkan aku hanya mendengar tanpa ada niat menyahut perkataannya.Orang-orang yang kami lewati pasti mendengar celotehan Nita, sudah pasti akan menjadi bahan gosip nantinya. Terserahlah, yang penting jangan aku dan anak-anakku yang mereka jadikan bahan gosip.Memang baru kali ini aku mempercantik diriku sendiri di saat suami eh mantan suamiku menikah lagi. Bukan ingin membuatnya menyesal tapi aku berdandan untuk menghargai diriku sendiri yang selama ini selalu ku abaikan karena terlalu fokus pada kebutuhan suami dan anak-anakku."Aku sangat yakin, setelah ini banyak laki-laki yang mengantri untuk membawamu bersanding di pelaminan.""Jangan berlebihan begitu, Nit!""Kenapa? Memang benar, kau tidak memperhatikan tadi banyak yang curi-curi pandang padamu.""Kalau ada yang mau padaku harus siap juga membiayai kedua anakku, memang mereka bersedia?"Sebenarnya aku tidak berniat untuk menikah. Daripada mengurus kehidupan asmaraku lebih baik mengurus anak-anak dan membangun bisnis saja. Takut asmara akan mengecewakanku lagi, mungkin hatiku juga mati rasa setelah dihancurkan tanpa perasaan oleh penghuni sebelumnya."Makanya jangan mau terima kalau bukan duda kaya eh maksudnya bujang kaya. Jangan mau kalah dengan Bang Tito, dia mendapat perawan bekas kau harus mendapat bujang ting ting.""Sudah ya, ayo pulang. Aku sangat gerah memakai baju seperti ini, ingin cepat ganti baju." Langsung kualihkan pembicaraan, jika tidak seperti ini maka dia akan terus berceloteh mungkin sampai acara ini selesai.Sengaja aku dan Nita tidak makan, Nita diet sedangkan aku sendiri merasa masih kenyang. Daripada nanti makanannya terbuang lebih baik tidak makan saja bukan.***Waktu begitu cepat berlalu, sekarang aku sudah selesai dengan paket C yang kuambil dan akan lanjut untuk kuliah tapi karena anak-anak belum bisa ditinggal dan Bi Hesti ikut suaminya merantau, jika ada di dekat-dekat sini dan tidak harus ke kota maka aku akan mengambilnya. Mungkin kualitasnya tidak sama dengan kampus di kota tapi setidaknya aku mendapatkan ilmunya.Soal bisnis yang akan kujalani dengan Hengki belum dimulai karena aku sendiri mengatakan ingin fokus dulu dengan urusanku. Mungkin akan dimulai beberapa bulan kedepan.Dan untuk pemasukan sehari-hari, aku baru satu minggu ini membuka warung kopi apalagi dekat rumah ada pabrik makanan yang baru saja dibuka. Aku tidak berniat bekerja di sana karena anak-anak tidak akan terurus nantinya."Permisi."Aku yang baru saja duduk lesehan langsung bangkit saat ada yang datang."Iya, mau beli apa, Mas?""Mbak pesen espresso satu."Aku mengernyit heran, baru mendengar kopi seperti itu. "Hah? Itu kopi?""Iya. Memang di sini tidak ada ya?""Tidak ada, Mas. Hanya ada ini saja." Aku mengarahkan telunjuk pada kopi yang digantung.Lelaki itu nampak berpikir.Aku seperti baru melihatnya apalagi dengan pakaian seperti orang kantoran begini, sangat rapi. Pasti bukan orang sini, mungkin saja orang lewat."Di sini ada coffee shop tidak?""Coffee shop? Apalagi itu?""Tempat jualan kopi.""Ya ini, Mas.""Ya sudah, buatkan kopi yang pahit saja."Kenapa tidak dari tadi saja bilang kopi hitam, malah bicara kesana-kemari yang membuatku tidak mengerti. Aku malah jadi mengomel dalam hati, habisnya orang ini aneh sekali. Mungkin karena orang kota yang baru pertama kali ke kampung makanya gelagatnya juga berbeda."Ini, Mas.""Berapa, Mbak?""Tiga ribu."Lelaki itu menyodorkan uang seratus ribu lalu pergi begitu saja."Mas kembaliannya.""Ambil!"Kutatap uang merah itu. Kalau begini caranya bisa beli satu dus kopi. Dari sini kulihat dia masuk melewati gerbang pabrik.Uang itu kusimpan siapa tahu orangnya datang lagi, aku tidak bisa menerima jika kopi seharga tiga ribu itu dibayar berkali-kali lipat."Bu, Ibu!""Ibu di warung, Nak!"Davin berdiri di luar warung dengan nafas memburu. Aku langsung mengambil kunci rumah di dalam tas."Kenapa sudah pulang?""Katanya ada rapat makanya semua siswa dipulangkan.""Terus Devan mana?""Ketinggalan soalnya aku pulang sambil lari karena kebelet.""Kenapa tidak bilang. Cepat masuk!" Kuserahkan kunci pada Davin yang langsung kembali berlari ke rumah.Satu bulan sudah lelaki yang berpakaian rapi itu setiap pagi membeli kopi di warungku. Lelaki yang bernama Andre itu ternyata bekerja sebagai sekretaris pemilik pabrik ini, tanpa aku bertanya dia malah bicara sendiri. Bisa kutebak jika Andre ini memang orangnya suka bicara. Sampai-sampai curhat soal bosnya yang pemarah dan mengerikan.Andre bahkan mengatakan padaku jika dia tidak bicara pada bosnya jika sering membeli kopi di warungku. Ya, mungkin akan murka kalau tahu membeli dari warung kecil begini. Orang kaya pasti terbiasa membeli di tempat-tempat mahal.Jam sembilan seperti ini sudah mulai sepi karena kebanyakan yang membeli kopi itu pagi sebelum masuk kerja. Andre juga yang biasanya datang malah tidak muncul. Aku jadi merasa mengantuk karena tadi malam tidak tidur, Devan demam setelah bermain hujan-hujanan. Mereka sudah besar tapi tetap saja masih seperti anak-anak, untung hanya Devan, Davin imunnya masih kuat jadi tidak ikut demam."Permisi!"Suara bariton itu mengagetkanku yang baru saja akan terlelap."Iya." Buru-buru aku bangun dan bangkit. Mataku terbelalak menatap lelaki yang baru pertama kali kulihat.Tubuhnya tinggi tegap, tato sayap di kedua sisi leher dan juga tindik di telinganya membuatku jadi merinding. Rasanya seperti melihat preman apalagi sorot matanya yang begitu tajam."Mbak, coffee shop terdekat dimana?""Hah?""Anda mengerti bahasa manusia?"Ya ampun, kasar sekali dia. Kalau orang yang kukenal sudah kulempar dengan tutup termos. Kurang ajar sekali."Di sini tidak ada yang namanya coffee shop adanya sayur sop, Pak," jawabku dengan santai.Dia menanyakan coffee shop seperti pertama kali Andre kesini. Biasanya juga Andre yang akan membeli tapi ini ... apa lelaki ini bos yang Andre katakan? Kalau dari perawakannya sepertinya iya karena terlihat sangat menyeramkan.Usianya terlihat kisaran tiga puluhan.Dia berdecak. Meneliti pada gantungan kopi, jelas tidak akan ada kopi yang dicarinya tapi kalau kopi yang sering dia minum ada di toples."Ibu!"Aku tersentak saat melihat Devan berdiri di ambang pintu warung yang memang tidak dikunci."Kenapa, Nak. Berbaring dulu di sini, sebentar ya." Aku membantunya untuk berbaring di kasur lantai, wajahnya terlihat masih pucat bahkan panasnya belum turun. Devan menolak diajak ke dokter karena takut disuntik.Aku kembali berdiri namun tertegun karena melihat lelaki itu memperhatikan Devan de
Bodoh sekali kau, Mila!Aku merutuki diri sendiri, kenapa bisa sampai berkata seperti itu. Salah Mas Tito karena dia membuat emosiku memuncak, seharusnya dia sudah pergi bersama dengan istri barunya itu kenapa malah kembali ke sini.“Ibu ... pulang.”“Iya, kita pulang.”Tanpa memperdulikan Mas Tito, aku mendorong punggung lelaki itu agar berjalan keluar. Sebelum dia mempermalukanku di depan Mas Tito lebih baik langsung pergi saja. Bahaya kalau dia menyangkal, bisa malu tujuh turunan aku.“Mil, Mila!” Mas Tito malah mengejarku.“Apa sih, Mas? Urus saja istrimu itu, jangan pedulikan anakku!” Kutepis dengan kasar tangan Mas Tito yang mencekal tanganku.Saat berbalik, aku melihat Deva sudah masuk ke dalam mobil pria tidak dikenal itu. Buru-buru aku menyusul, jangan sampai pria itu berniat menculik Devan. Kalau saja tidak ada Mas Tito dan mulutku tadi bisa dijaga aku tidak akan sudi masuk ke dalam mobil mewah ini.“Turunkan saja di depan.”Dia menoleh padaku yang duduk di belakang sambil m
Ada-ada saja, dia pikir dia siapa. Hanya mantan juga berani mengaturku seperti ini.Jangan-jangan dia cemburu? Baguslah, jadi dia bisa merasakan apa yang aku rasakan dulu.“Bu.” Suara Davin memanggil.Aku beranjak untuk membukakan pintu.“Ibu pulang dari tadi?”“Tidak, Ibu baru saja pulang. Ayo mandi dulu, setelah itu makan.”“Devan mana, Bu?”“Tidur. Jangan ganggu, dia masih sakit.” Aku meninggalkan Davin dan menuju ke dapur untuk memasak.Tiga hari sudah Devan tidak sekolah tapi sekarang kondisinya sudah membaik, sebenarnya demamnya cepat turun tapi dia masih merasa lemas, mungkin besok baru akan sekolah. Aku juga tidak akan memaksakan.Selama tiga hari pula warung tidak kubuka, akan repot jika harus bolak-balik ke rumah jika Devan membutuhkan sesuatu.“Bu, aku mau sekolah.”“Yakin? Sudah tidak lemas lagi?” tanyaku memastikan.“Iya, Bu. Aku bosan di rumah terus.”“Ya sudah. Siap-siap, biar nanti kamu diantar pakai ojek. Davin juga sudah pergi dari tadi.”Beberapa menit lalu Davin su
Rasanya aku ingin tutup saja warung ini tapi tidak mungkin sampai melakukan itu hanya karena dua lelaki di hadapanku yang kehadirannya sukses membuat emosi.Apa salahku sampai harus terlibat bersama dengan mereka.Setelah membalutkan plester luka di jari, aku lanjut memasak mie pesanan Mas Tito agar dia segera pergi.“Ada perlu apa kesini?” Aku beralih pada lelaki yang tidak kutahu namanya itu.“Aku mau bertemu Devan.”“Devan sekolah jadi pergi saja. At-”“Aku akan tunggu sampai dia pulang.”Tanpa diminta dia langsung duduk begitu saja. Ini orang kenapa sebenarnya? Kalau saja tidak ada Mas Tito pasti aku sudah mengusirnya."Di sini bukan tempat tunggu," ujarku ketus."Kalau begitu aku akan menunggu di rumahmu.""Eh, enak saja. Duduk disitu!""Kau jangan kurang ajar ya!" Mas Tito melayangkan tatapan tajam pada lelaki itu."Kurang ajar sebelah mananya? Dia calon istriku, salah kalau aku ada di sini atau bertamu ke rumahnya?" balasnya dengan enteng.Brak!Dengan kesal aku menggebrak meja
“Mbak Mila tidak tahu kalau Pak Zayn itu pemilik pabrik ini?”Mila menggelengkan kepalanya, “Tidak tahu dan tidak ingin tahu. Kelakuannya bahkan tidak seperti pemilik pabrik yang seharusnya itu sopan ini malah sebaliknya.”“Memang banyak yang tidak tahu kalau Pak Zayn itu pemilik pabrik, Pak Zayn tidak suka dikenal orang-orang. Aku tahu juga karena tidak sengaja.”“Syukurlah,” gumam Mila sambil mengusap dadanya.“Syukur kenapa, Mbak?”“Berarti memang bukan penculik, aku kira dia penculik karena penampilannya itu sangar.”“Mbak Mila, masa lelaki setampan pak Zayn dibilang penculik, ada-ada saja.”Mila memang tidak peduli pada sesuatu yang tidak ada urusan dengannya. Ia tidak lagi menyahuti wanita yang membocorkan rahasia pabrik itu, Mila malah fokus melayani para pembelinya.Mungkin jika orang lain yang ada di posisi Mila pasti akan berpikir untuk bisa mendekati Zayn bahkan jadi simpanan pun tak apa yang penting bisa mendapat gandengan setampan dan sekaya Zayn Niskala Hartanto.***“Bo
“Devan sudah benar-benar sembuh ‘kan?” Mila menyentuh kening Devan dengan punggung tangannya.“Sudah, Bu. Tidak panas, tidak pusing juga,” jawab Devan meyakinkan sang ibu.“Devan terus yang Ibu perhatikan,” celetuk Davin sambil mengunyah keripik kentang, matanya fokus pada layar televisi tapi ia curi-curi pandang juga ke arah ibu dan juga saudaranya.Mila terkekeh geli, “Ya ampun, anak Ibu ini cemburu?” Ia mengacak gemas rambut Davin.“Aku bukan anak kecil, Bu. Tidak usah begitu,” tolaknya.“Iya, iya.” Mila geleng-geleng kepala, “anak-anak Ibu sekarang sudah besar sekarang tapi masih seperti anak kecil, masa saling cemburu begitu. Devan sedang sakit, Ibu juga tetap perhatian pada Davin kok.”Waktu begitu cepat berlalu, bayi yang dulu ada di dalam rahim Mila kini sudah tumbuh menuju remaja. Mila membesarkan mereka penuh perjuangan bercucur keringat dan juga air mata, mengingat ia dulunya menjadi ibu tunggal dan Tito hanya hadir untuk sepuluh tahun saja mengambil peran sebagai suami Mil
Zayn menoleh, melihat Mila yang berjalan menjauh dengan sebelah sandal jepit yang dipakainya karena sebelahnya lagi sukses menghantam kepala Zayn.“Untuk wanita kalau bukan, aku akan balik melemparnya dengan granat,” gumam Zayn.Lelaki itu meraih celana yang tergeletak di ranjang dan memakainya, tadi malam Zayn merasa sangat kegerahan jadi sampai membuka semua pakaiannya kecuali segitiga pengaman. Baginya dilihat seperti itu sudah biasa jadi ia tidak merasa malu.Zayn lupa jika sekarang ia berada di kampung, bukan di kota apalagi luar negeri yang bisa bebas melakukan apapun. Di sini ada norma-norma yang harus diikuti.“Andre! Kenapa kamar mandinya seperti ini?”Andre yang sudah rapi itu buru-buru menghampiri Zayn yang kini masih berdiri di ambang pintu.“Seperti ini bagaimana?” Kening Andre berkerut.“Bagaimana carannya aku mandi? Tidak ada shower!”“Lah, ini ada ember, ada gayung. Airnya tinggal dibuka dari sini.” Andre memutar kran air agar ember menjadi penuh.Zayn meringis, “Mandi
Zayn tidak main-main dengan ucapannya. Bahkan sebelum hasil tes itu keluar, ia berencana melancarkan aksinya. Tanpa tes DNA pun , Zayn sangat yakin jika Devan dan Davin itu adalah anak kandungnya meski sampai detik ini ia gagal mengingat di mana dan bagaimana ia bisa bertemu dengan Mila dan berakhir menanam benih dalam rahim wanita itu.“Apa yang disukai Mila, Dre?”Kening Andre berkerut, “Apanya, Bos?”“Pentium berapa otakmu itu, Dre!”“Sesuatu yang disukai itu ‘kan mencakup banyak hal, seperti makanan, minuman, pak-”“Katakan semuanya tapi yang paling penting, laki-laki seperti apa yang dia sukai?” potong Zayn.Ia akan menjadi idaman Mila. Dari awal bertemu dengan wanita itu, sebenarnya Zayn bisa membaca jika Mila bukan wanita biasa, bukan wanita yang kebanyakan ditemui Zayn. Kebanyakan wanita akan mepet dan bersedia dijadikan teman tidur oleh lelaki ini, meski bukan karena uang, karena tampang pun jadi.“Pasti seperti mantan suaminya.”“Hah? Laki-laki buruk rupa itu?”“Astaga, Bos.