Bara tersenyum memperhatikan Indah lahap menyantap makanannya. Lelah yang dirasanya ketika harus bersusah payah mencari belut di sawah seketika lenyap. "Nak Bara juga makan, jangan dilihatin terus istrinya. Indah nggak kemana-mana kok."Celetukan Wati membuat Indah sontak menghentikan suapannya, tatapannya dan Bara saling beradu ketika lelaki itu juga kedapatan tengah melihat ke arahnya. "Ayo habiskan, kalau kurang nanti aku sama paman nyari lagi di sawah," ujar Bara sambil mengusap pucuk kepala istrinya. Hadi, Wati dan suaminya saling pandang. Senyum yang merekah di bibir menjadi pertanda mereka ikut bahagia melihat keharmonisan rumah tangga Bara dan Indah. Tanpa tahu badai apa yang sedang berkecamuk hingga membuat Indah memutuskan untuk kembali ke kampung halaman menghindari suaminya. "Nanti Mas mau ke rumah ibu sebentar buat kasih tau sementara waktu kita nginap di sini setidaknya sampai kondisimu membaik. Takutnya ibu nungguin.""Biar Paman saja yang ke sana sekalian ngantar s
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Selamat Bu, berdasarkan hasil pemeriksaan, Bu Chava dinyatakan mengandung. Usianya baru delapan minggu," ucap pria bersnelli itu seraya menjabat tangan Chava. Perempuan bernama Chava itu bergeming, sungguh, berita menggembirakan ini tak pernah terlintas dalam benaknya akan dapat dia dengar setelah setahun pernikahannya. Binar di wajahnya cukup mewakili perasaannya saat ini, Chava sangat bahagia. Tak sabar rasanya segera membagi kabar menggembirakan itu pada suaminya. "Saya sungguh hamil, Dok?" Chava yang merasa dirinya seperti sedang bermimpi pun mengajukan pertanyaan. Dokter lelaki berkacamata itu kemudian mengangguk mantap. "Ini hasil foto USG yang baru saja kita ambil, bulatan kecil ini adalah janin Bu Chava." Menunjukkan titik hitam pada lembar hitam putih ndi tangannya. Setitik butir bening luruh tanpa permisi, Chava sangat bahagia. Akhirnya harapannya untuk bisa memiliki anak bisa terwujud, begitu juga impian ibu mertuanya yang selama setahun ini bersabar menantikan kehadir
Bibir itu terkunci rapat, matanya memanas digenangi embun tipis nan rapuh yang mudah retak dalam sekali kedip. Sekuat hati Chava menahan diri, tangisnya hanya akan menunjukkan kelemahannya di hadapan dua sejoli itu. Melihat bagaimana suaminya menatap penuh cinta pada wanita lain, tatapan yang tak pernah Chava dapatkan selama setahun pernikahannya. Ah, lagi-lagi kenyataan menamparnya. Bukan Chava tak tahu bahwa bukan dirinya yang menempati ruang istimewa di hati Azzam. Selama ini dia hanya menjalankan baktinya sebagai istri, berharap seiring berjalannya waktu lelaki yang tepat setahun lalu mengucap janji suci pernikahan itu akan memberinya cinta walaupun hanya secuil. Namun, jangankan cinta, melihat ke arahnya sedikit pun, tidak pernah Azzam lakukan. Bagaimana Chava dan Azzam menjalani pernikahan selama ini, bagaimana benih Azzam tumbuh di rahim Chava, semua itu hanya bagian dari kewajiban suami istri. Saling memberi dan menerima, tanpa ada hati, tanpa perasaan apalagi melibatkan cin
Tak ada yang berubah sejak hari itu, suasana dalam rumah tetaplah sama. Kopi masih tersedia, makanan, begitu juga dengan kebutuhan Azzam lainnya. Tak hanya memastikan rumah selalu dalam keadaan rapi dan bersih, Chava juga memastikan untuk selalu memenuhi kebutuhan suaminya.Kebekuan yang biasa terjadi di meja makan, Azzam sibuk melahap makanannya tanpa mengeluarkan sepatah kata, pun dengan Chava. Sudah biasa. Memang begitulah kondisi rumah tangga yang mereka jalani. Tak ada gelak tawa apalagi canda. Jangankan duduk bersama sambil berbagi cerita di penghujung senja, atau ketika akhir pekan tiba. Chava dan Azzam hanya akan bicara seperlunya saja.Apa itu jalan-jalan, pergi berbelanja bersama sekadar menghabiskan waktu berdua. Chava belum pernah merasakan hal itu sejak pertama kali memasuki rumah itu sebagai istri Azzam. Tiap akhir pekan dihabiskan Azzam di luaran sana dengan berkumpul bersama teman-temannya, terkadang juga untuk urusan pekerjaan.Namun, belakangan Chava tahu kalau terny
Mengenakan masker untuk menutupi hidungnya, Chava bergelut dengan rasa mual ketika harum bawang putih yang ditumis menyeruak. Perutnya serasa diaduk, sensasi tak nyaman menjalar naik membuat kepalanya ikut pening. Akan tetapi semua itu berusaha ia tahan demi membuatkan sarapan untuk lelaki yang menjadi ayah dari jabang bayi yang tengah dikandungnya.Semenjak mengetahui hubungan istimewa yang terjalin antara Azzam dan Hana, wanita itu memang sengaja menyiapkan dua kotak bekal makan siang untuk mereka. Biarlah, orang akan beranggapan dirinya bodoh. Chava justru melakukan itu dengan harapan agar sepasang sejoli itu sedikit memikirkan perasaannya. Mungkin dengan begitu, dapat menarik perhatian Azzam lalu pria itu akan memberikan ruang hatinya untuk Chava meski hanya setitik.Chava buru-buru melepas masker dan membuangnya ke tempat sampah begitu melihat kedatangan sang suami."Tehnya sudah aku taruh di meja, atau mau aku buatkan kopi?" Wanita itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dar
"Zam."Azzam tersentak ketika Hana menyikut lengannya. Pria itu tersenyum ramah menyambut uluran tangan para tamu yang datang memberikan do'a restu. Lelaki yang telah sah menjadikan Hana sebagai istri keduanya itu tampak sumringah. Akan tetapi tatapannya berubah sendu tiap kali bayangan Chava berkelindan di benak.Punggung yang selalu bergetar halus ketika Azzam melihatnya dari belakang, pun terlihat sama hari ini. Dari tempatnya berdiri Azzam sempat melihat kepergian istri pertamanya. Lelaki itu tak henti menyorot hingga tubuh mungil itu lenyap dari pandangan.'Dia pasti sedang menangis.' Azzam masih tenggelam dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan. Dia memang merasa bahagia telah menikahi gadis pujaan hatinya, gadis yang amat sangat dia cintai. Azzam sangat bahagia.Namun, entah mengapa hatinya basah manakala teringat akan Chava. Apalagi jika ingat tatapan mata wanita yang telah setahun membersamainya meniti hidup hingga Azzam berada di puncak tertinggi karirnya saat ini. Telaga ma