Share

4. Iri

Mengenakan masker untuk menutupi hidungnya, Chava bergelut dengan rasa mual ketika harum bawang putih yang ditumis menyeruak. Perutnya serasa diaduk, sensasi tak nyaman menjalar naik membuat kepalanya ikut pening. Akan tetapi semua itu berusaha ia tahan demi membuatkan sarapan untuk lelaki yang menjadi ayah dari jabang bayi yang tengah dikandungnya.

Semenjak mengetahui hubungan istimewa yang terjalin antara Azzam dan Hana, wanita itu memang sengaja menyiapkan dua kotak bekal makan siang untuk mereka. Biarlah, orang akan beranggapan dirinya bodoh. Chava justru melakukan itu dengan harapan agar sepasang sejoli itu sedikit memikirkan perasaannya. Mungkin dengan begitu, dapat menarik perhatian Azzam lalu pria itu akan memberikan ruang hatinya untuk Chava meski hanya setitik.

Chava buru-buru melepas masker dan membuangnya ke tempat sampah begitu melihat kedatangan sang suami.

"Tehnya sudah aku taruh di meja, atau mau aku buatkan kopi?" Wanita itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan. Teringat kejadian semalam membuat Chava enggan.

Tak ada sahutan, tetapi kemudian pria itu menarik kursi dan menyesap teh buatan Chava. Azzam sendiri masih dibuat bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Menyadari kesalahannya semalam walau masih belum mengingat jika bibirnya telah lancang menyebut nama Hana dengan fasihnya saat kegiatan panas itu tengah berlangsung. Azzam jelas tahu istrinya terluka, tetapi berat untuk sekadar berkata, apalagi meminta maaf.

"Tidak usah siapkan bekal, Va. Kebetulan aku ada tugas ke luar."

Kata-kata Azzam menghentikan gerakan tangan Chava seketika. Dilihatnya masakan yang sudah hampir matang di wajan, helaan napasnya terdengar kasar kemudian tak lama berselang Chava mematikan kompor.

'Aku bawa ke tempat ibu saja daripada mubazir.' Chava tersenyum getir. Memangnya dia bisa apa selain diam menerima, bicara pun percuma karena tak pernah sekali pun Azzam mau mendengar perkataannya.

"Tadi ibu telepon," kata Azzam lagi.

Hening. Masing-masing mereka sibuk dengan isi kepalanya.

"Aku akan usahakan ke rumah ibu nanti." Chava memindahkan gulai ayam yang baru saja dimasaknya ke dalam rantang untuk dia berikan pada ibu mertuanya.

"Va ..."

"Aku tau, aku tidak akan cerita apa-apa sama ibu, nggak ada yang perlu kamu cemaskan," timpal Chava yang paham dengan apa yang sedang dipikirkan suaminya. Lelaki itu pasti takut dirinya akan menceritakan perihal pernikahan keduanya.

Azzam menatap punggung perempuan yang tampak sibuk dengan kegiatannya, Chava berdiri membelakanginya, menjawab singkat pertanyaannya dan terlihat enggan menatap wajahnya. Wanita itu begitu dingin. Baru saja Azzam hendak membuka mulut, tapi bersamaan Chava berlalu dari sana.

Bahkan ketika Azzam berpamitan, Chava mencium punggung tangannya tanpa melirik pria itu sedikit pun.

"Enggak apa-apa keberadaanmu masih Mama sembunyikan ya, Nak? Maaf ... menurut Mama ini yang terbaik untuk sekarang."

Chava membelai lembut perutnya. Ia sibuk menata hati pasca kedatangan Hana sampai dia melupakan niatnya membeli keperluan penunjang kehamilannya.

Wanita cantik itu telah rapi dengan tunik warna peach, tangannya menenteng rantang dengan senyum terkembang. Rencananya Chava akan membeli keperluan kehamilannya sepulang dari rumah ibu mertua. Telah lama dia tak berkunjung, ada kerinduan yang tak terlukiskan. Halimah, ibu mertuanya adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Chava saat ini. Dari wanita berusia senja itu, Chava menuntaskan dahaganya atas kerinduan pada seorang ibu.

Selepas kepulangan Chava dari rumah mertuanya, ia hanya sempat mengambil jeda sejenak sebelum Chava kembali disibukkan dengan kegiatannya membersihkan rumah. Ruang laundry menjadi tujuannya. Chava memeriksa satu per satu kantong pakaian suaminya sebelum ia masukan ke dalam mesin cuci.

"Nota." Wanita itu menggumam lirih usai mengeluarkan secarik kertas dari saku celana Azzam.

Senyum getir terbit di bibir Chava, mendadak dia mengasihani dirinya sendiri. Nota pembayaran seuntai kalung lengkap dengan liontin bertahtakan baru permata tertulis di sana. Logam mulia yang harganya lima kali lipat dari total perhiasan yang diterimanya dulu saat menikah dengan Azzam. Akan tetapi, ini bukan perihal nominal.

Malam harinya. Azzam mengerutkan kening mendapati istrinya tak menyambut kepulangannya seperti biasa. Rumah tampak sepi, lampu utama bahkan telah dimatikan dan digantikan dengan cahaya temaram, padahal jarum jam baru menyentuh angka delapan.

"Tak biasanya."

Lelaki itu gegas menuju kamar utama. Sesosok tubuh yang tengah tergolek di atas pembaringan menyambut penglihatan Azzam.

"Va, sudah tidur?" Pria itu melangkah pelan. "Aku bawakan nasi bebek."

Chava mengucek matanya lalu dengan segera bangkit dari ranjang. Baru setengah jam yang lalu ia merebahkan diri di sana.

"Sudah pulang? Biar aku siapkan air buat mandi?" Chava mengikat rambutnya asal dan bersiap untuk pergi ke kamar mandi.

"Tidak usah!"

Namun Chava tetap melanjutkan niatnya. Di kamar, Azzam masih menantikan wanita itu keluar.

"Tadi aku sekalian mampir makan," ucap Azzam mengangsurkan bungkusan plastik pada Chava.

"Terima kasih."

Chava menerimanya, membawanya turun ke dapur sekalian membuatkan suaminya minuman. Tepat di depan pintu, langkah Chava tertahan manakala dia teringat sesuatu. Wanita itu kembali menghampiri suaminya yang baru saja duduk di tepian ranjang sambil memegangi ponsel.

"Ini, tadi nggak sengaja aku temukan di saku celana. Perhiasan akan dihargai murah tanpa adanya surat bukti pembelian."

Tatapan Azzam masih terpaku pada wajah Chava. Helaian kertas di tangan wanita itu melambai hendak jatuh karena tak kunjung Azzam terima.

Sudah hampir sepuluh menit berlalu, Azzam masih membatu di tempat memperhatikan lembaran kertas di tangannya dengan seksama. Pembawaan Chava yang tenang ketika berhadapan dengan Azzam membuat pria itu bertanya-tanya. Sejauh apa pun Azzam berusaha menelaah, dia tak bisa meraba isi hati sang istri.

'Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan umatNya.' Chava berusaha menghibur diri sendiri.

Hormon kehamilan membuatnya kesulitan menerima makanan beberapa hari belakangan ini. Chava menarik kursi begitu selesai menyeduh secangkir kopi untuk Azzam. Niatnya ingin makan, barangkali saja nasi bebek yang dibelikan suaminya dapat diterima perutnya.

"Kenapa rasanya enak sekali? Atau hanya perasaanku saja?"

Setitik kristal bening luruh tanpa permisi. Sepanjang pernikahannya dengan Azzam, ini adalah kali pertama lelaki itu membelikan makanan untuknya.

"Padahal hanya seporsi nasi bebek dengan sambal biasa, aku pun bisa membelinya sendiri meski dengan uang pemberian Mas Azzam, tapi kenapa rasanya benar-benar sangat nikmat."

Chava kembali menyuap. Setiap kunyahan sejalan dengan bulir bening yang terus berjatuhan. Ada rasa haru bercampur nelangsa yang menggerogoti hati. Haruskah dia bersyukur melihat perubahan Azzam yang mulai menunjukkan sedikit perhatian padanya, di saat wanita lain yang menjadi alasan perubahan dalam diri suaminya?

"Oh, aku baru saja mau naik."

Buru-buru Chava menyeka wajahnya begitu melihat kedatangan Azzam, ia bergerak cepat membereskan meja demi menghindari tatapan lelaki itu.

"Tidak usah, aku mau minum kopi di sini saja." Azzam menyahut. Pria itu menghempaskan bobotnya di kursi, menunggu Chava selesai mencuci piring kotor yang baru saja dipakainya makan.

"Aku mau bicara."

Gerakan tangan Chava terhenti, tanpa menoleh dia menjawab, "Kebetulan aku sudah ngantuk. Maaf."

Lagi, Azzam terdiam melihat langkah demi langkah membawa Chava lenyap dari pandangannya. Melalui ekor matanya, Azzam dapat melihat dengan jelas sisa tangis di wajah Chava. Chava menghindari bertatap muka langsung, tapi Azzam sempat melihatnya sebelum Chava membuang muka begitu ia menapakkan kaki di ruangan itu.

Chava masih setia dalam keterdiamannya hingga hari yang paling membahagiakan bagi Azzam dan Hana tiba. Wanita itu terus meremas kedua tangannya di pangkuan. Kebaya cantik dengan sentuhan modern warna biru melekat pas di tubuhnya. Sepanjang perjalanan menuju gedung tempat dilaksanakannya pernikahan Azzam, dalam taksi yang membawanya itu Chava terus merenung. Tak pernah sekali pun terlintas dalam benaknya hari itu akan tiba.

Pernikahan kedua Azzam dengan Hana sudah cukup membuktikan segalanya. Bukti bahwa sejak awal Chava telah kalah.

Tepat ketika kata 'sah' terdengar menggema memenuhi ruangan, gerimis di wajah Chava kian deras. Dengan cepat ia menyekanya, tak mau merusak hari paling membahagiakan bagi sang suami. Akad nikah digelar sekaligus resepsi di salah satu gedung hotel ternama.

"Aku tau, Mas. Bukan aku pemilik hatimu, tapi setidaknya hargai aku sebagai istrimu."

Dengan berderai air mata Chava berlalu dari resepsi pernikahan kedua suaminya, bahkan secuil kata maaf pun tak dia dapatkan dari pria yang terlihat sumringah berdiri di atas pelaminan.

Sesaat, Chava mengedarkan pandangannya meneliti setiap sudut bangunan. Dekorasi yang tampak mewah dan megah, aneka hidangan dari katering ternama. Belum lagi hantaran dengan kualitas terbaik, juga mahar yang diberikan Azzam untuk wanita yang dicintainya. Pernikahan itu digelar dengan sangat meriah, Azzam rela merogoh kocek dalam-dalam menguras tabungannya demi mewujudkan pernikahan impian kekasih hatinya. Dan setiap kali Chava ingat seperti apa antusias Azzam merencanakan pernikahan keduanya, seakan ada belati tak kasat mata yang menembus hati hingga jantungnya.

Berbanding terbalik ketika menikah dengannya. Tak ada pesta di gedung karena hanya akad di kantor dilanjutkan acara syukuran kecil-kecilan di rumah. Hidangan ala kadarnya, hantaran sederhana. Seperangkat alat sholat dan cincin dua gram sebagai mahar. Hati Chava serasa diremas. Sakit. Sebagai wanita biasa, rasa iri mendadak muncul di rongga dada.

Bukan pernikahan megah, bukan riasan mahal yang membuat Hana terlihat begitu cantik di hari bahagianya. Bukan mahar, hantaran dan semua keindahan dalam resepsi pernikahan itu. Bukan.

Chava hanya iri saat Azzam tertawa lepas memperlihatkan betapa dia dipenuhi kebahagiaan ketika bersanding dengan Hana di depan sana.

'Sadar diri, Va. Sadar!' Chava melanjutkan langkah meninggalkan gedung tersebut.

Sembari mengelus perutnya yang masih rata, sesekali tangannya sibuk menyeka cairan terkutuk di wajahnya. Bulir bening memalukan yang tak kunjung berhenti mengalir sekali pun telah berusaha Chava bendung mati-matian.

'Maafin mama, nak. Maaf jika nantinya kehadiranmu tidak bisa diterima oleh ayahmu. Maaf jika kehadiranmu akan dianggap sebelah mata karena kamu tak mungkin menang melawan anak yang akan dilahirkan istri kedua ayahmu. Kamu mungkin akan kurang kasih sayang, tapi mama pastikan kamu akan bahagia meski hanya memiliki mama.'

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
chava, hatimu bagai malaikat tak bersayap yg di sakiti sedemikian rupa oleh Azzam dan hana masih bertahan dan rela di madu klo aq di posisimu gk kuat va karena ini terlalu menyakitkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status