Share

3. Sangat Menyakitkan

Tak ada yang berubah sejak hari itu, suasana dalam rumah tetaplah sama. Kopi masih tersedia, makanan, begitu juga dengan kebutuhan Azzam lainnya. Tak hanya memastikan rumah selalu dalam keadaan rapi dan bersih, Chava juga memastikan untuk selalu memenuhi kebutuhan suaminya.

Kebekuan yang biasa terjadi di meja makan, Azzam sibuk melahap makanannya tanpa mengeluarkan sepatah kata, pun dengan Chava. Sudah biasa. Memang begitulah kondisi rumah tangga yang mereka jalani. Tak ada gelak tawa apalagi canda. Jangankan duduk bersama sambil berbagi cerita di penghujung senja, atau ketika akhir pekan tiba. Chava dan Azzam hanya akan bicara seperlunya saja.

Apa itu jalan-jalan, pergi berbelanja bersama sekadar menghabiskan waktu berdua. Chava belum pernah merasakan hal itu sejak pertama kali memasuki rumah itu sebagai istri Azzam. Tiap akhir pekan dihabiskan Azzam di luaran sana dengan berkumpul bersama teman-temannya, terkadang juga untuk urusan pekerjaan.

Namun, belakangan Chava tahu kalau ternyata sang suami sibuk menghabiskan akhir pekannya bersama sang kekasih hati. Ah, batin Chava kembali menganga. Berkali-kali dia menegaskan dalam hati, tak seharusnya Chava bersedih dengan apa yang terjadi. Apalah artinya bagi Azzam, dirinya hanyalah wanita yang dipilihkan ibu dari lelaki itu dan bukannya wanita yang dicintai Azzam. Seharusnya Chava sadar diri dengan posisinya yang memang tak sebanding dengan Hana.

Wanita yang didatangkan suaminya kemarin malam begitu cantik, terpelajar, wanita karir dan dengan segudang keistimewaan yang tak dimiliki Chava. Jikapun bersaing, Chava tentu kalah sebelum berperang.

"Kemungkinan nanti aku pulang malam, masih ada banyak hal yang harus aku urus mengingat pernikahanku dan Hana yang tinggal menghitung hari. Jangan menungguku dan pergilah makan malam lebih dulu."

Chava mengangguk tanpa berniat menyahut. Bukan kali pertama Azzam pulang hingga larut malam, pernah waktu itu Chava sampai ketiduran di sofa ruang tamu demi menunggui pria itu.

Bodoh!

Chava akui itu, semua dia lakukan atas nama bakti seorang istri padahal seharusnya Chava tahu kalau suaminya sedang sibuk menyiapkan keperluan pernikahan keduanya sehingga pria itu lupa untuk mengabarinya. Tak seharusnya Chava membuang waktu percuma.

Azzam meraih gelas dan meneguknya hingga tandas kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kerjanya.

"Gajiku bulan ini. Sementara masih kuberikan utuh padamu, tapi setelahnya aku mau kamu mulai membiasakan diri berbagi dengan Hana karena dia juga akan menjadi istriku," ucap pria itu mendorong amplop cokelat tebal di hadapan Chava.

Posisinya di perusahaan cukup penting dengan gaji yang tentunya bisa dibilang fantastis. Chava menerima sebagian gaji Azzam, sebagiannya lagi pria itu pegang sendiri untuk berjaga-jaga dan juga ia berikan untuk ibunya yang seorang janda.

Chava mengerti, baginya cukuplah uang pemberian Azzam untuk menafkahi dirinya dan menutup semua kebutuhan rumah tangga. Seringkali Sisa dari uang itu Chava sisihkan untuk ditabung meski tak banyak.

"Mas Azzam sedang banyak kebutuhan, kebetulan uang jatah bulan lalu masih tersisa. Lumayan." Chava mendorong kembali amplop itu. "Ambil saja, Mas. Jangan sampai ada kekurangan pada acara pentingmu nanti," imbuhnya melihat sang suami masih bergeming menatapnya penuh tanya.

"Ini hak kamu, ambil saja. Aku masih punya tabungan."

Chava tak diberikan kesempatan untuk bicara karena setelahnya Azzam berpamitan pergi. Dipandanginya amplop cokelat yang masih tergeletak di meja, bergantian dengan punggung pria berkemeja biru muda yang kemudian lenyap di balik lorong.

Chava tak pernah absen mencium punggung tangan lelaki itu setiap kali Azzam pergi ataupun kembali ke rumah, tapi tak ada kecupan di kening yang biasa seorang istri dapatkan dari suaminya sebagai timbal balik.

Oh, hati. Kenapa serapuh ini?

Tak ingin berlama-lama menekuri kegetiran hidupnya, Chava gegas beranjak membersihkan piring kotor. Menyelesaikan sisa pekerjaan rumah tangga yang menjadi makanannya sehari-hari.

"Sudah hampir dua minggu aku nggak ke rumah ibu." Chava bergumam lirih meletakkan sapu di tempatnya, mendaratkan bokong di sofa sembari mengusap perutnya yang masih rata.

"Dalam keadaan seperti ini, tak mungkin aku mengabarkan berita gembira ini pada ibu. Ibu juga bisa curiga kalau bertanya tentang Mas Azzam sedangkan aku takut keceplosan mengatakan perihal pernikahan kedua suamiku dengan perempuan lain."

Berbagai macam ketakutan merambati hati Chava. Alih-alih takut memikirkan nasib dirinya juga bayi dalam kandungannya, Chava jauh lebih khawatir dengan kondisi kesehatan ibu mertuanya. Apa jadinya jika wanita berhati malaikat itu mengetahui kalau anak kebanggaannya menikah lagi tanpa restu darinya. Bahkan Azzam melakukannya diam-diam lantaran tak ingin ibunya mengetahui pernikahan keduanya.

"Apa yang harus aku lakukan Tuhan ...." Tetiba sebulir kristal bening runtuh mengaliri pipi Chava.

Meskipun menjalani perjodohan dengan Azzam, tak pernah terlintas di benaknya hal ini akan terjadi. Perpisahan. Sebuah hal yang Chava takutkan. Cinta akan datang karena terbiasa, hal itu yang sering dikatakan orang, begitu juga dengan pemikiran Chava.

Namun, rupanya pengabdiannya selama setahun ini seolah tak ada artinya di mata Azzam. Pria itu hanyut dalam dunianya, sementara di satu sisi Chava harus tertatih menahan luka akibat mencinta seorang diri. Berdiri di bahtera yang terombang-ambing sampai kemudian suaminya menemukan rumah yang sesungguhnya untuk kembali.

Ya, rasa itu perlahan tumbuh di hati Chava, tetapi tidak dengan Azzam. Perasaan yang selama ini hanya dapat Chava pendam sendirian, nyatanya tak pernah bersambut. Kesabarannya menanti selama ini, berbuah madu yang merupakan sosok perempuan yang Chava tahu tak akan pernah sanggup baginya untuk bersaing.

"Eungh!" Chava melenguh, tubuhnya menggeliat hingga selimut yang menutupi sebagian tubuhnya lolos sepenuhnya.

Seingatnya, Chava baru saja tidur setelah memastikan suaminya memang terlambat pulang malam ini. Sampai kemudian hawa dingin terasa membelai kulitnya yang telanjang. Sensasi geli bercampur nikmat sedikit nyeri Chava rasakan, dan betapa perempuan itu terkejut manakala melihat Azzam sedang menenggelamkan wajah di dadanya.

"Hm, Mas!" pekik Chava tertahan. Ekor matanya bergerak melirik ke arah mesin penunjuk waktu. Jarum jam menyentuh angka dua belas malam.

"Aku sedang sangat menginginkannya." Lelaki itu berujar sekilas sebelum kembali membabat habis apa yang tersaji dalam diri Chava.

Begitu datar suara Azzam, tetapi matanya memancarkan kabut gairah yang menyala. Tak ada kata maaf sebagai tanda tak enak hati telah mengusik tidur si pemberi kenikmatan, lelaki itu terus bergerak liar menjajah tubuh Chava. Menyesap manis madu di setiap bagian wanita itu tanpa ada yang terlewat.

Chava memalingkan wajahnya. Tak mungkin dia menolak sementara tubuhnya telah sepenuhnya berada di bawah kendali Azzam. Hanya, hatinya melara. Setahun menjadi istri lelaki itu, puluhan malam terlewati dengan saling berbagi raga, tapi tak pernah sekalipun kata cinta terucap. Tak pernah sekalipun namanya digaungkan di akhir penyatuan itu. Tak pernah terlontar kata terima kasih, dan Chava tahu alasan Azzam melakukannya tak lain semata karena demi memenuhi kewajibannya memberikan nafkah batin untuk istrinya saja.

Hambar. Itu yang Chava rasakan. Tentu saja penyatuan itu berbeda dengan yang dirasakan pasangan menikah pada umumnya yang dilakukan dengan penuh cinta. Mereka hanya sebatas menjalani peran masing-masing. Azzam memberi, Chava menerima. Tak pernah lebih dari itu.

Hentakan yang semakin kuat hingga tubuhnya bergerak liar menyadarkan Chava dari lamunannya. Sebentar lagi Azzam akan tiba pada puncaknya, Chava dapat merasakannya. Lalu, titik bening menyeruak begitu saja ketika Chava mendengar dengan jelas suaminya mendesahkan satu nama.

Hal yang selama ini Chava nantikan, hal yang seharusnya membahagiakan seandainya saja bibir pria yang tengah merangsak di atas tubuhnya itu mendesahkan namanya. Akan tetapi sayang, karena faktanya bibir pria itu menyebut nama calon istri keduanya.

"Hana, oh ..."

Lolongan suaminya disertai hujaman yang kuat seketika terhenti, Azzam selesai memindahkan ribuan bibit terbaiknya ke tempat yang semestinya. Telinga Chava masih berfungsi dengan baik hingga dia dapat mendengar dengan jelas. Baru saja, suaminya menyebut nama calon adik madunya di saat lelaki itu berhasil mendapatkan madu cinta darinya. Tubuh Chava yang dinikmati, tetapi nama wanita lain yang digaungkan. Bukan mustahil Azzam melakukannya dengan membayangkan Hana barusan.

***

"Yaah ... hujan, Zam." Hana meletakkan gelas jus jeruknya usai menandaskan cairan kekuningan itu. Ditatapnya titik air yang mulai luruh dengan deras dari langit, membuat dinding kaca di sampingnya mengembun.

Sepasang sejoli yang tengah dimabuk cinta itu baru saja menghabiskan makan malam bersama usai berakhirnya kegiatan mengecek keperluan pernikahan. Persiapannya sudah rampung mengingat mereka diburu waktu. Baik Azzam maupun Hana ingin memiliki hari tenang sebelum prosesi pernikahan digelar.

"Tunggu reda," sahut Azzam.

Biarpun mereka naik mobil, tetap saja untuk keluar dari restoran tempat mereka menghabiskan makan malam kali ini cukup jauh dengan lahan parkir, hujan deras yang melanda bisa membuat mereka basah kuyup.

"Tapi sudah malam, Zam. Aku takut papa nungguin."

"Kan sudah pamitan. Kamu bilang kan sama papa sepulang kerja mau langsung cek persiapan pernikahan kita?"

"Iya, tapi kan nggak sampai malam begini juga, Zam. Sudah jam sepuluh. Sebaiknya kita pulang saja, lagi pula basah sedikit kan nggak apa-apa."

Tak tahan melihat wanitanya merajuk, Azzam pun menuruti permintaan Hana. Lelaki itu meminta bill pada pelayan kemudian keduanya berlari kecil menuju tempat parkir.

Azzam yang baru saja menyelinapkan tubuhnya di depan kemudi mobil tertegun melihat Hana tengah mengibaskan atasannya. Baju berwarna putih tulang yang dikenakan wanita itu basah, memperlihatkan kain penyangga warna hitam yang tak mampu membendung bongkahan padat di dalamnya. Sebagian isinya meronta seolah melambai pada Azzam untuk dijamah.

Lelaki itu kepayahan meneguk salivanya. Azzam lelaki normal, melihat keindahan di depan mata tentu membuatnya dikuasai gairah. Apalagi sudah lama lelaki itu tak mendapatkan pelepasan.

Cup.

Hana tersentak saat tiba-tiba Azzam meraup bibirnya. Semula hanya kecupan ringan, tapi kemudian berubah menjadi liar diiringi gerakan tangan lelaki itu yang mulai merambah bagian tubuh tertentu Hana.

"Eumh! Zam!" Hana mendorong kekasihnya tatkala remasan tangan Azzam terasa begitu kuat di dadanya.

"Kita sudah sepakat untuk melakukannya setelah menikah. Hanya tinggal beberapa hari," lirih wanita itu dengan napas tersengal.

Perlahan, dua raga yang sempat saling menghimpit itu terlerai. Sejujurnya, Hana pun sempat terbakar gairah ketika Azzam memancingnya dengan sentuhan-sentuhannya yang memabukkan.

Namun, akal sehat wanita itu masih bertahan hingga Hana cepat-cepat menyudahi kegiatan itu sebelum keduanya benar-benar kelewat batas.

"Ma-maafkan aku, Han. Aku terbawa suasana." Azzam mengalihkan pandangannya, menarik diri hingga dia dan Hana kembali berjarak.

Seketika rasa canggung menyelimuti keduanya. Azzam sendiri tak tahu mengapa dia begitu berani melakukan hal tadi. Selama ini, keduanya memang sudah sering berciuman, tetapi baru kali ini Azzam berani melabuhkan sentuhannya di beberapa titik sensitif Hana.

Azzam meraih jaket yang selalu dia tinggalkan dia mobil kemudian membalutkan di tubuh Hana begitu ia dapat menguasai diri. Hampir saja.

Setelah memastikan Hana tiba di rumah, Azzam buru-buru berpamitan pada calon mertuanya dan melajukan kereta besinya dengan kecepatan tinggi. Gairah yang sempat terbakar nyatanya masih berada di ujung dan menuntut untuk dilepaskan. Dan Azzam tahu kepada siapa dia bisa mendapatkan itu.

Azzam membeku menatap punggung polos wanita yang kini tengah berbaring membelakanginya. Getaran samar yang dilihatnya membuat Azzam tahu Chava tengah menangis dalam diam. Pikirannya kosong, tetiba ada rasa yang sulit dia jelaskan setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Kejadian di mobil bersama Hana membuat tubuhnya panas dingin, Azzam tersiksa jika harus menahannya. Jadilah dia menindih Chava yang tengah terlelap tidur.

Azzam tahu betul apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Bagaimana dia tergoda pada Hana, tetapi memintanya pada Chava. Terlebih saat teringat bagaimana beringas dan liar aksinya tadi demi memenuhi hasratnya yang terlanjur naik ke ubun-ubun. Sementara dilihatnya Chava hanya pasrah dengan tatapan entah. Lelaki itu bahkan tak menyadari tindakannya barusan begitu melukai Chava. Meremukkan harga diri wanita itu sebagai seorang istri.

'Ingat baik-baik, Va. Kamu cuma istri yang dipilihkan ibu untuknya. Istri di atas kertas.' Chava membatin. Tangan mungilnya meremas selimut yang membungkus tubuh polosnya.

Ibu hamil itu menggigit ujung selimut demi meredam agar suara tangisannya tak sampai terdengar telinga Azzam. Sementara bulir bening masih menganak sungai.

Sakit.

Sangat menyakitkan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
bener2 km suami jaht zam, tega sekali km main sm chava tp yg km agungkan si hana. va, klo gk kuat lepaskan suami yg gk tau dri seperti Azzam karena dia bukan sumber kebahagiaanmu melainkan racun di hatimu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status