Home / Romansa / Dihamili Suami Saudara Kembarku / Bab 1. Kesucian yang Direnggut

Share

Dihamili Suami Saudara Kembarku
Dihamili Suami Saudara Kembarku
Author: Nona Kim

Bab 1. Kesucian yang Direnggut

Author: Nona Kim
last update Last Updated: 2025-09-09 14:06:10

Bab 1. Kesucian yang Direnggut

“Panas …,” lirih Alea. Gadis itu naik ke pangkuan Reivan tanpa ragu. “To-tolong aku!” Tangannya meraih kerah kemeja Reivan, menariknya mendekat. Tatapannya sayu, bibirnya menggodanya dengan jarak yang begitu dekat.

“Alea, stop! Kamu kenapa?” Reivan, pacar Alea, mendorong bahunya. Gadis itu tak peduli. Alea malah menempelkan bibir ke lehernya, menciumi kulitnya dengan paksa. “Aku tidak mau menodaimu, kita belum menikah.”

Kejadian itu menjadi tontonan para pengunjung bar, tak terkecuali Javier, laki-laki berbadan tegap tinggi 180 centi, sudah menunggu momen ini terjadi.

“Alea, sadar!” Reivan mencoba menahan, suaranya penuh frustasi, tapi Alea semakin berontak, tangannya mulai meraba, dan bibirnya berhasil meraih bibir Reivan dengan paksa.

“Cukup!” Reivan kehilangan kesabaran. Ia mendorong Alea dengan lebih keras hingga gadis itu jatuh kembali ke sofa, terengah, wajahnya memerah karena panas yang bukan berasal dari alkohol semata.

Dengan napas kasar, Alea bangkit dan berlari ke arah toilet, seolah ingin kabur dari dirinya sendiri.

“Tidak!” suara melengking gadis itu membuat seorang lelaki reflek menahan tubuhnya agar tidak jatuh. “Terima ka- … Javier, apa yang kau lakukan?!”

“Bukannya aku yang harus bertanya, kenapa perempuan sepertimu bisa ada di klub malam?” Javier mengernyit heran. “Oh, mulutmu bau alkohol? Siapa yang memberimu obat, Alea?”

“Jangan macam-macam atau aku lapor ke petugas!” Alea coba menghindari Javier, tapi entah kenapa, pria itu coba menutup-nutupi.

“Sialan kau!” Alea mendorong Javier hingga tubuhnya menabrak pintu.

Javier yang kesal, tidak peduli lagi dengan Alea. Dia meraih tangan kanan gadis itu, kemudian membungkam mulutnya dengan tangan kiri. “Berani-beraninya kau kasar padaku!”

"Lepas! Aku bukan… Mmpphh."

“Bau ini, tidak salah lagi!” Javier menyeringai. “Aku bisa membantumu. Aku tahu, panas ini tidak akan bisa hilang begitu ada seseorang yang memuaskanmu, Alea.”

“Ti-tidak!” Alea coba berontak, tapi suaranya tiba-tiba hilang. Mulutnya dibekap kuat dan rapat oleh telapak tangan besar Javier.

“Saat kau ingin mencumbu Reivan tadi, kau sudah dipenuhi hasrat, kan?” Javier masih tidak peduli walau Alea hampir menangis. “Ini mutualisme, kan?”

Alea menggelengkan kepala sembari terus menggoyangkan tangannya kuat-kuat.

Laki-laki itu terus memaksa Alea karena tahu, pengaruh obat perangsang belum sepenuhnya bekerja. Sembari membekap Alea, Javier kemudian membisikkan sesuatu yang membuat Alea syok berat.

“Sudah dua tahun. Bukan. Hampir tiga tahun aku memulai karirku dari nol lagi. Kau pasti tahu, itu ulah siapa?” Javier kemudian menekan satu tombol yang ada di ponselnya hingga datang dua pengawal berbadan kekar.

Alea dibawa ke kamar VVIP lantai dua.

Lokasi tangga berada di dekat kamar mandi sehingga siapa pun yang naik ke atas, tidak akan terlihat oleh mereka yang ada di bar lantai satu, tak terkecuali Reivan yang tidak tahu Alea pergi ke mana.

Lima menit berselang, akal sehat Alea runtuh. Dia tidak kuat menahan rasa panas akibat obat perangsang Javier. Obat itu menelan habis kesadarannya.

“Kau pasti menginginkannya, bukan?” Javier melepas kancing bajunya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih membungkam mulut Alea. “Sekarang, aku akan memberikannya padamu!”

Tak hanya menerima, Alea bahkan mencoba mendominasi, menghisap, menggigit, seakan haus dan tak ingin berhenti.

“Mmhh … ahh ….” Suara Alea terputus-putus di sela ciuman, tubuhnya melengkung mengikuti ritme gila yang tak kunjung berhenti.

Jemarinya menekan kulit punggung lelaki itu, semakin kuat, senada dengan kecepatan Javier yang terus meningkat.

“Sedikit lagi, Alea ….” Bisikan itu lirih, nyaris seperti erangan.

Gerakannya makin cepat, makin dalam, seakan tak mau memberi jeda sedikit pun.

Hingga akhirnya—ia mencapai puncak, terhuyung dan tumbang, jatuh lelah di atas tubuh Alea. Javier sudah di puncak, tepat ketika Alea juga mengalami hal yang sama.

Seketika seringai miring tercipta di bibir lelaki itu.

Javier mendongak saat mendengar dering telepon dari tas kecil milik Alea di atas meja. Duduk dan memeriksa siapa yang menghubungi di tengah malam.

Nama Reivan tertera di layar.

Javier membukan ponsel itu, dan ternyata memakai kata sandi. Berpikir sejenak, dan memasukkan password lama yang ia ingat.

Terbuka.

Ternyata Alea tidak pernah mengganti sandi ponselnya.

Segera membuka ikon pesan dan mengirimnya.

[Maaf, Reivan. Aku pulang lebih awal. Kepalaku pusing dan perutku benar-benar mual.]

Seringai puas Javier terlihat jelas. Ia menikmati malamnya bukan hanya dari alkohol, tapi juga dari tubuh seksi Alea.

Sampai pagi tiba, Javier masih menunggu Alea. Dia sengaja tidak tidur sembari memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

“Javier, kau gila?!” teriak Alea saat terbangun dari tidurnya. Buru-buru mengeratkan selimut yang menempel di tubuh. Pandangannya liar, kepala pusing, rasa mual masih menekan lambungnya.

Namun yang paling membuatnya gemetar adalah kenyataan: lelaki yang ada di sampingnya—tanpa busana—adalah Javier.

Ia menggeleng, berulang kali. “Tidak … ini tidak mungkin. Tidak mungkin!”

Javier  terduduk di tepi ranjang, mengerjap. Ia terbangun karena teriakan Alea.

“Apa yang kau lakukan padaku?” Suara Alea pecah, histeris. Air matanya langsung mengalir begitu saja.

Javier mengusap wajahnya kasar. Tak ada penyesalan, hanya raut lelah dan sisa kantuk.

“Jangan diam saja!” Alea menjerit lagi, suaranya parau. “Katakan sesuatu, Javier! Katakan!”

Javier menghela napas, menoleh singkat. “Kau … tidak ingat?”

Pertanyaan itu membuat Alea terdiam kaku. Ia mencoba mengingat, tapi ingatannya kabur—hanya pecahan adegan samar: dentuman musik, gelas berisi alkohol, tubuhnya yang ringan dan kehilangan kendali. Ia menutup mata, mencoba memaksa otaknya bekerja, tetapi yang muncul hanya potongan tak jelas.

“Kenapa bisa begini?” Alea berbisik gemetar, menatap Javier yang kini sudah mengenakan kembali pakaiannya dengan tenang, seolah semua ini bukan bencana.

“Maaf,” kata Javier singkat.

Alea meremas selimutnya.

“Kau mabuk,” ucap Javier datar. “Kau sendiri yang datang padaku. Menggoda lalu memaksaku.”

Alea membeku, lalu menggeleng keras. “Tidak … aku tidak mungkin ….”

Tatapannya liar, berusaha menangkap kebohongan di wajah Javier. Namun, ekspresinya tetap sama—datar, susah ditebak.

“Kau bohong!” Suaranya meninggi.

“Aku tidak bohong,” Javier menimpali, tenang.

Alea memeluk lututnya. Tubuhnya bergetar hebat. “Kau menjebakku … ya kan? Katakan, Javier.”

“Tidak.” Javier mengacak rambutnya kasar, matanya kosong. “Aku tidak menjebakmu. Kau yang datang … dan aku—” bibirnya terangkat tipis, “—ibarat predator diberi mangsa, bagaimana aku menolak?”

Alea melempar bantal ke wajah Javier. “Laki-laki bejat!” Alea meraung. “Kau bajingan, Javier! Kau sudah merenggut kesucianku yang aku jaga selama ini!”

Javier tak memberi respon.

Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan. Ia hanya berdiri, menyambar jasnya, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.

Pintu kamar tertutup keras.

Alea memeluk dirinya erat, tangisnya semakin pecah tanpa henti. Rasa jijik, marah, dan hancur bercampur menjadi satu. Kehormatannya yang selama ini ia jaga, musnah dan lelaki itu pergi begitu saja. Kesedihan itu tak berlangsung lama sampai dia teringat sesuatu.

Dia sadar, hari ini Minggu pagi. Artinya, Zardan ada di rumah. Zardan adalah Papa Alea yang keras kepala dan kasar.

Sial!

Mengetahui Alea pulang pagi dan menginap, Zardan pasti marah besar.

Gadis itu berkemas dan meminta sopir taksi memacu mobilnya lebih cepat lagi.

Begitu sampai, Alea menarik napas panjang, tepat di depan pintu. Tangannya sedikit bergetar saat ia berusaha merapikan rambutnya.

Sekilas, ia menatap jam di pergelangan tangan—pukul sembilan pagi.

Ia menutup mata sebentar, lalu mendorong pintu masuk dengan raut setenang mungkin, seolah malam tadi bukan mimpi buruk yang menghantam hidupnya.

“Jam berapa ini? Kenapa baru pulang?” Suara dingin Zardan langsung memotong langkahnya.

Alea terhenti. Suara itu tajam, penuh penekanan. Ia memutar tubuh perlahan, mencoba menyiapkan alasan, tetapi apa yang dilihatnya membuat darahnya berhenti mengalir.

Rasa terkejutnya semakin bertambah ketika melihat seorang lelaki duduk santai di ruang tamu. Wajahnya tidak asing. Semakin Alea memfokuskan pandangan, semakin dia mengeraskan hentakan giginya.

“Ja—Javier …,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Lelaki yang telah merenggut segalanya darinya kini duduk di rumahnya, berbincang dengan papanya seperti keluarga sendiri.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 89

    Bab 89Bram mengangguk. Javier menggertakkan giginya. Dia sudah menduga itu. “Kau bilang tidak tau namanya. Tapi apa barusan?” Aldo menyudutkan Bram. “A-aku—”Javier menghampiri Bram dan dengan gilanya mengambil tang pemotong itu lalu mengapit mulut Bram agar lidahnya keluar. “Berani berbohong padaku!” “A-apa yang ka-kau lakukan?” Bram memberontak. Ia yakin, Javier akan melukai dirinya. Javier menyeringai. “Lidahmu itu menyebalkan.” Bram mengatupkan mulutnya, tapi Javier memaksa untuk membuka dan lidahnya terjulur. Dengan cepat Javier memotong sedikit, darah mengalir deras dari sana. “Aaaaaa!” Bram menjerit kesakitan. Untuk berbicara saja, ia sudah tak sanggup. “Astaga.” Sontak Billy berucap seperti saat melihat kekejaman bosnya. Walau dia sudah biasa, tetap saja, ia sedikit terkejut. Sementara Aldo meringis, bulu kuduknya merinding melihat darah menglir dari mulut Bram. Ia juga sudah biasa menangani hak seperti ini, tapi tetap saja, jika sang bos yang bertindak akan lebih b

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 88. Dalang di Balik Penculikan

    Bab 88Rumah tua itu berdiri seperti bayangan masa lalu yang menolak mati. Cat dindingnya longsor, jendelanya pecah, dan pohon liar merayap sampai ke atap. Ini adalah salah satu properti keluarga besar Javier—dulunya villa musim panas milik almarhum papanya, kini berubah menjadi tempat penyekapan gelap yang hanya diketahui orang-orang tertentu dalam lingkaran dalam Javier.Lampu-lampu kuning temaram menyala samar, menerangi lorong berbau lembap. Dari kejauhan terdengar suara logam beradu dan desahan tertahan seseorang.Javier berjalan di depan, langkahnya mantap, meskipun wajahnya menyimpan kemarahan yang belum padam sejak ia menemukan Alea tergeletak pingsan di gudang. Billy mengikutinya dari belakang, sementara Aldo sudah menunggu di ruang bawah tanah.Saat Javier membuka pintu besi itu, bau amis menyambutnya. Bram diikat pada kursi besi, kedua pergelangannya terikat ke belakang, wajahnya penuh lebam. Sebagian bajunya robek, dan napasnya terengah pendek. Namun meski begitu, ia masih

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 87. Hampir Keguguran

    Bab 87“Alea, bertahan,” gumam Javier saat ia membawa Alea keluar dari mobil setelah tiba di depan rumah sakit.Seketika lampu-lampu neon rumah sakit memantulkan cahaya putih pucat di sepanjang lorong ketika Javier berlari masuk sambil menggendong Alea di dadanya. Napasnya memburu, wajahnya penuh keringat bercampur debu dari gudang tadi. Pintu UGD terbuka lebar, dan beberapa perawat langsung menghampiri begitu melihat kondisi Alea yang lemas dan pingsan.“Pasien wanita, hamil! Ada pendarahan!” seru Juan dari belakang.“Bantu saya!” Javier nyaris berteriak, suaranya pecah di ujung kalimat. “Dia kesakitan. Tolong!”Perawat segera mendorong ranjang dorong ke arahnya. Javier menunduk, memeluk Alea untuk terakhir kalinya sebelum meletakkan tubuh ringan itu di atas ranjang.“Alea … aku di sini,” bisiknya dengan suara parau. “Jangan tidur terlalu lama. Kau harus bangun, dengar?”Alea tidak menjawab. Kelopak matanya tertutup rapat, wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru. Napasnya pendek, seola

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 86. Menemukan Alea

    Bab 86Pintu besi itu terhempas terbuka dengan suara nyaring yang memantul di seluruh ruangan besar dan kosong itu. Cahaya senter para lelaki itu menembus gelap dan langsung disambut oleh udara lembap yang dingin, bercampur bau karat, debu, dan entah apa lagi yang amis. Lantai beton retak-retak di beberapa titik, seperti sudah lama tidak disentuh siapa pun.Javier berdiri paling depan, pistol sudah dalam genggaman, rahangnya mengeras, tubuhnya kaku seperti busur yang siap dilepaskan.Billy dan Juan berada di sampingnya, masing-masing menyorotkan senter mereka ke setiap sudut gudang yang luas itu. Atap tinggi di atas kepala tampak gelap pekat, penuh sarang laba-laba dan besi berkarat yang berderit tertiup angin malam.Sesuatu bergerak di dalam. Sangat pelan. Seolah makhluk yang tidak ingin terlihat."Gerakan jam sembilan," bisik Billy dengan suara sangat rendah.Javier menoleh sedikit, matanya menyipit, mengikuti arah cahaya Billy. Cahaya diarahkan ke tumpukan kayu yang berserakan di u

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 85. Gudang Terbengkalai

    Bab 85Jam sudah menunjuk pukul satu dini hari. Udara di apartemen itu menegang seperti tali yang ditarik terlalu kencang—siap putus kapan saja. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, berpadu dengan langkah kaki berat yang terus mondar-mandir di ruang tamu. Javier tidak berhenti berjalan, bolak-balik di depan sofa, seperti singa yang kehilangan arah di kandangnya sendiri.Rambutnya acak-acakan, matanya merah, dan napasnya berat. Di tangannya, ponsel terus ia genggam erat—sesekali ia menatap layar yang masih kosong, berharap ada panggilan, pesan, atau apa pun yang bisa memberinya sedikit harapan. Akan tetapi nihil. Tidak ada kabar dari Aldo. Tidak ada dari Billy. Tidak ada tanda-tanda Alea telah ditemukan oleh anak-anak buahnya itu.“Di mana kau, Alea …?” gumamnya dengan suara serak, seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia menekan ponselnya lagi, membuka pesan terakhir yang dikirimkan Billy dua jam lalu—hanya berupa informasi singkat bahwa mereka masih melacak van putih yang te

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 84. Benarkah Javier Peduli?

    Bab 84Udara di ruangan itu berat, lembab, bercampur dengan bau karat dan oli mesin yang menyesakkan dada. Lampu neon di langit-langit terus berkedip, seperti akan mati setiap saat. Suara tetesan air di ujung ruangan memecah kesunyian, menimbulkan gema kecil yang membuat suasana semakin mencekam.Alea menarik napas di antara isaknya yang parau. Tangannya masih diikat erat di belakang kursi besi berkarat. Tali kasar itu sudah melukai pergelangan tangannya hingga terasa panas dan perih. Setiap kali ia berusaha menggerakkan tangan, serat tali itu menembus kulitnya, meninggalkan luka baru yang berdenyut.“Kau sudah bangun, Cantik?” suara berat itu kembali terdengar dari sudut ruangan.Alea menoleh dengan mata membulat. Lelaki bertopeng hitam itu masih berdiri di sana, menatapnya tanpa ekspresi dari balik kain yang menutupi wajah. Bayangan tubuhnya yang tinggi besar terpantul di dinding kusam di belakangnya.“Ka—kau siapa? Kenapa kau mengikatku begini?” suara Alea gemetar, terputus-putus.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status