Bab 2. Perjodohan Setara
“Kenapa diam saja? Jawab pertanyaan Papa!” Suara Zardan memecah udara, tajam, menusuk kepala Alea. “Kamu ini tuli atau apa?” Alea tidak segera menyahut. Langkahnya kaku menuju sofa, tangannya gemetar menunjuk ke arah Javier. “Brengsek!” Javier hanya diam, tatapannya terkunci pada Alea yang mulai menangis. “Apa yang kau lakukan di rumahku?!” bentak Alea lagi. “Alea! Kau ini kenapa?!” bentak Zardan. “Sakit jiwa? Ha?!” “Pa, dia itu—” “Dia itu rekan bisnis Papa!” potong Zardan. Rekan bisnis? Alea menahan senyum getir. “Dia itu berengsek, Pa!” Satu tamparan keras mendarat di pipi Alea. “Kau keterlaluan!” Zardan menahan napas, lalu mengendus. “Dan kau mabuk!” Alea terisak. Papanya selalu begitu—kasar, tanpa peduli apa yang sebenarnya terjadi. Tidak pernah ada ruang untuk mendengar. Beda sekali jika itu Aleza. “Kau benar-benar memalukan. Keluar malam, mabuk, menginap entah di mana, lalu pulang seenaknya.” Tangan Zardan ter-acung menunjuk wajahnya. “Pekerjaanmu pun tak jelas. Berbanding terbalik dengan Aleza. Kalian memang kembar, tapi Aleza jauh ... jauh lebih baik dari gadis murahan sepertimu yang keluar malam pulang pagi!” Untuk kesekian kali, namanya disandingkan dengan saudara kembarnya. Selalu menjadi bayangan. Bahkan kini, di hadapan lelaki yang telah merenggut kesuciannya. “Aleza lebih baik seribu kali darimu. Pekerjaannya jelas, pergaulannya terhormat, sikapnya pun membanggakan.” Zardan mendengkus kasar. “Sedangkan kau ... ah sialan!” Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan. Alea menggigit bibirnya, menahan suara yang nyaris pecah. Padahal, Alea hanya berharap dia ditanya kenapa, dipeluk sembari ditenangkan. Yang dia dapat malah cacian. Ironi sekali. Zardan lebih membela Javier daripada Alea. “Masuk ke kamarmu. Jangan tunjukkan wajahmu di depan Javier. Cepat!” “Papa, ada apa ini?” Suara Aleza terdengar dari tangga. Ia menuruni anak tangga dengan wajah cemas. “Kenapa marah-marah ke Alea?” Zardan mendengkus kasar. “Dia menginap di luar, mabuk, lalu pulang pagi.” Aleza menghela napas panjang. “Udah, Pa. Gak enak sama Javier.” Pandangannya sekilas mengarah ke tamu mereka. “Lagian, Alea juga baru sekali ini, kan?” Tatapan Zardan menusuk. Aleza bergeming, lalu berbalik pada kembarannya. Ia menyeka air mata di wajah Alea. “Sudah, jangan nangis. Masuk kamar, ya. Jangan hiraukan Papa.” Alea terpaksa mengangguk. Dengan langkah berat ia berjalan ke kamarnya. Setiap langkah seperti menyeret luka yang kian menyesakkan. Begitu pintu kamarnya tertutup, Zardan berbalik kepada Javier. “Maaf soal tadi. Anak itu memang pemberontak.” Javier hanya mengangguk tipis. “Tidak apa, Om.” “Tenang saja, Aleza tidak seperti kembarannya. Dia cantik, penurut, kariernya jelas.” Zardan melirik Aleza dengan bangga. Senyum samar muncul di bibir Javier. “Itu sebabnya aku setuju dengan perjodohan bisnis ini.” Javier melirik ke Aleza. “Dan aku bisa melihat langsung betapa cantiknya Aleza.” Aleza terbatuk mendengar itu. Ia kembali melirik ke Javier. Apa yang dikatakan papanya ada benarnya. Javier itu tampan dengan tinggi 180 centi, tegap, tubuhnya atletik dan pastinya sukses. “Kalian setara,” ujar Zardan puas. “Satu tampan dan sukses, satunya cantik dengan karier cemerlang. Sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. ” Alea sebenarnya mendengar suara tertawa receh papanya dan Javier, tapi dia tidak peduli. Diambilnya bantal, guling, make up, hingga barang-barang lain untuk melampiaskan emosi. Suara lemparan terdengar hingga ke luar, tepat ketika Javier dan Zardan sudah meninggalkan rumah. Emilia, sang ibu, mengetuk pintu kamar Alea, membawa nampan berisi makanan siang dan segelas susu. “Alea, ini Mama, Sayang.” Pintu terbuka perlahan. Emilia masuk, meletakkan nampan di meja, lalu melirik putrinya yang kembali duduk di ranjang dengan mata sembap. “Sayang, sini.” Emilia duduk di tepi ranjang, merentangkan tangannya tanpa bertanya. Alea langsung mendekat, memeluk sang mama erat-erat, menangis lagi setelah sempat berhenti beberapa jam lalu. “Mama .…” Suaranya lirih, nyaris patah. Emilia mengusap punggung Alea lembut. “Menangislah, Mama ada di sini.” Alea menumpahkan semua sakitnya lewat tangis. Hanya Emilia yang selalu berpihak padanya. Perempuan penyayang yang tak pernah membandingkan dirinya dengan Aleza, satu-satunya alasan ia masih bisa bertahan di hingga sekarang. Saat pelukan terlepas, Emilia menghapus sisa air mata Alea. “Coba cerita ke Mama. Kenapa pulang pagi? Biasanya kamu paling anti tidur di luar, kecuali urusan kerjaan.” Alea menunduk, jemarinya meremas seprei. Pikirannya kacau. Perlukah ia jujur tentang kejadian tadi malam? Tapi bagaimana kalau Mama shock, marah, lalu akhirnya membencinya sama seperti Papa? Ia tidak sanggup kehilangan satu-satunya orang yang berpihak padanya. “Sayang, kenapa diam saja?” Emilia menyingkirkan helai rambut Alea yang menutupi wajahnya. Alea meraih tangan mamanya, menempelkan ke pipinya sejenak. Ia memaksa tersenyum tipis. “Maafin aku, Ma. Aku … menginap di rumah teman.” Emilia mengangguk pelan, meski jelas masih ada tanya di matanya. “Kalau begitu, kenapa kamu bau alkohol?”Bab 6. Ternyata Dia Suami Kembaranku“Sayang, kamu kenapa?” Emilia khawatir. Alea terduduk di lantai kamar mandi. “Masuk angin biasa.”Emilia menghela napas pelan. “Kamu yakin?”Alea mengangguk. “Iya, Ma. Gak usah khawatir.” Ia berdiri di bantu Emilia. “Kenapa Mama ke kamar aku?” tanyanya kemudian. Emilia memukul jidatnya. “Di bawah ada Reivan. Dia menunggu kamu.”“Re-Reivan,” lirih Alea. “Reivan,” kata Alea. Ia menghampiri Reivan di teras. Lelaki itu memilih duduk di sana. Reivan tersenyum. Di tangannya ada buket bunga Tulip putih. “Hai.” Reivan menyapa dan menyerahkan buket itu. “Maaf aku datang tanpa ngabari kamu lebih dulu. Aku yakin kamu gak akan terima teleponku.”Alea bergeming. Menatap bunga itu. Seketika hatinya remuk.Setulus ini Reivan padanya!“Aku kangen, Alea. Aku masih belum paham, salahku di mana, sampai kau menghindariku terus menerus.” Reivan meraih tangan Alea. “Apa karena aku mengajakmu ke bar?”Alea menggelengkan kepalanya. “Bukan. Aku hanya—”“Kau ada masal
Bab 5. LamaranAlea menghela napas panjang sambil merentangkan tangan. Pekerjaannya akhirnya selesai setelah berjam-jam duduk tanpa banyak bergerak. Di meja, tiga gelas kosong berjejer—teh, kopi, dan minuman ringan—bersama sisa permen serta camilan kecil.“Makan siang.” Fania, teman kerjanya, mendekat sambil tersenyum.“Boleh. Tapi aku gak bawa bekal,” Alea meringis.“Aku traktir. Hari ini aku ulang tahun. Kita makan di kafe dekat sini.” Fania menarik tangannya.“Dengan senang hati.” Alea mengambil tasnya dan berjalan bersama Fania.Hanya butuh tujuh menit berjalan kaki. Begitu sampai, mereka memilih tempat di sudut kafe.“Pesan apa saja, bebas. Aku gak ada acara spesial di ulang tahun ini.” Fania menyerahkan menu.“Terima kasih,” jawab Alea. Untuk sesaat, kekalutan di kepalanya mereda. Bersama Fania, ia bisa berpura-pura baik-baik saja.“Alaaah, kayak sama orang asing aja.” Fania terkekeh.“Aku ke toilet dulu,” ujar Alea, bangkit dari kursi.Namun langkahnya terhenti. Dari pintu toil
Bab 4. Rahasia Alea“Sayang, Mama minta maaf.” Emilia merasa bersalah. Alea membaringkan tubuhnya. “Tolong keluar, Ma. Aku mau sendiri.”Emilia beranjak. Ia berhenti di depan pintu, menatap kembali ke putrinya itu. “Mama selalu ada untuk kamu.”Alea menarik selimut. Memilih tidak menjawab ucapan mamanya. Dia kemudian tidur karena besok harus menjalani aktivitas rutin lagi.Hari-hari dihabiskan Alea dengan kesedihan meski tidak ada Zardan di rumah.Sudah sepuluh hari sejak Reivan yang dibentak kemarin, sepuluh hari ini juga Zardan tidak ada di rumah karena mengurus perusahaan di luar negeri.Aleza yang waktu itu sedang bahagia karena kekasihnya ingin mereka makan malam privat, menghampiri Alea di sofa ruang tamu. “Untuk kembaranku yang cantik.” Aleza meletakkan piring berisi sepotong kue ke depan Alea, lengkap dengan segelas jus jeruk.Alea menoleh, tersenyum tipis. “Makasih.”“Dicoba, ini enak banget,” kata Aleza sambil menunggu.Namun, Alea hanya diam. Aleza mendesah kesal, lalu me
Bab 3. Lelaki BerengsekAlea menggigit bibir. “Aku—”“Tidak apa,” potong Emilia lembut. “Kamu sudah dewasa. Mama yakin kamu bisa jaga diri.”Kalimat itu menohok Alea. Bisa menjaga diri? Nyatanya, ia gagal. Dirinya sudah hancur semalam.“Mama selalu percaya sama kamu. Mama bangga sama kamu, Sayang.” Emilia kembali merengkuh putrinya.Alea membalas pelukan itu, mencoba menelan kepahitan dengan kehangatan Mama. Untuk sesaat, ia ingin percaya bahwa semuanya baik-baik saja.“Sudah, sekarang makan dulu. Jangan dipikirkan kemarahan Papa. Nanti Mama yang bicara sama dia.” Emilia menepuk pipi Alea lembut. “Mau Mama suap?”Alea menggeleng cepat. “Aku bisa sendiri, Ma.”“Baiklah. Makan yang banyak, ya.” Emilia berdiri dan keluar kamar, menutup pintu perlahan.Begitu keheningan kembali menyelimuti, Alea menghela napas berat. Bayangan semalam bersama Javier menyeruak lagi, menghantam pikirannya tanpa ampun. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, dadanya sesak.Air matanya pecah lagi. Ia memukul dad
Bab 2. Perjodohan Setara“Kenapa diam saja? Jawab pertanyaan Papa!”Suara Zardan memecah udara, tajam, menusuk kepala Alea. “Kamu ini tuli atau apa?”Alea tidak segera menyahut. Langkahnya kaku menuju sofa, tangannya gemetar menunjuk ke arah Javier. “Brengsek!”Javier hanya diam, tatapannya terkunci pada Alea yang mulai menangis.“Apa yang kau lakukan di rumahku?!” bentak Alea lagi. “Alea! Kau ini kenapa?!” bentak Zardan. “Sakit jiwa? Ha?!” “Pa, dia itu—”“Dia itu rekan bisnis Papa!” potong Zardan. Rekan bisnis? Alea menahan senyum getir. “Dia itu berengsek, Pa!” Satu tamparan keras mendarat di pipi Alea. “Kau keterlaluan!” Zardan menahan napas, lalu mengendus. “Dan kau mabuk!”Alea terisak. Papanya selalu begitu—kasar, tanpa peduli apa yang sebenarnya terjadi. Tidak pernah ada ruang untuk mendengar. Beda sekali jika itu Aleza.“Kau benar-benar memalukan. Keluar malam, mabuk, menginap entah di mana, lalu pulang seenaknya.” Tangan Zardan ter-acung menunjuk wajahnya. “Pekerjaanmu
Bab 1. Kesucian yang Direnggut“Panas …,” lirih Alea. Gadis itu naik ke pangkuan Reivan tanpa ragu. “To-tolong aku!” Tangannya meraih kerah kemeja Reivan, menariknya mendekat. Tatapannya sayu, bibirnya menggodanya dengan jarak yang begitu dekat.“Alea, stop! Kamu kenapa?” Reivan, pacar Alea, mendorong bahunya. Gadis itu tak peduli. Alea malah menempelkan bibir ke lehernya, menciumi kulitnya dengan paksa. “Aku tidak mau menodaimu, kita belum menikah.”Kejadian itu menjadi tontonan para pengunjung bar, tak terkecuali Javier, laki-laki berbadan tegap tinggi 180 centi, sudah menunggu momen ini terjadi.“Alea, sadar!” Reivan mencoba menahan, suaranya penuh frustasi, tapi Alea semakin berontak, tangannya mulai meraba, dan bibirnya berhasil meraih bibir Reivan dengan paksa.“Cukup!” Reivan kehilangan kesabaran. Ia mendorong Alea dengan lebih keras hingga gadis itu jatuh kembali ke sofa, terengah, wajahnya memerah karena panas yang bukan berasal dari alkohol semata.Dengan napas kasar, Alea b