Share

Bab 2. Perjodohan Setara

Penulis: Nona Kim
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-09 14:09:13

Bab 2. Perjodohan Setara

“Kenapa diam saja? Jawab pertanyaan Papa!”

Suara Zardan memecah udara, tajam, menusuk kepala Alea. “Kamu ini tuli atau apa?”

Alea tidak segera menyahut. Langkahnya kaku menuju sofa, tangannya gemetar menunjuk ke arah Javier. “Brengsek!”

Javier hanya diam, tatapannya terkunci pada Alea yang mulai menangis.

“Apa yang kau lakukan di rumahku?!” bentak Alea lagi.

“Alea! Kau ini kenapa?!” bentak Zardan. “Sakit jiwa? Ha?!”

“Pa, dia itu—”

“Dia itu rekan bisnis Papa!” potong Zardan.

Rekan bisnis? Alea menahan senyum getir.  “Dia itu berengsek, Pa!”

Satu tamparan keras mendarat di pipi Alea.

“Kau keterlaluan!” Zardan menahan napas, lalu mengendus. “Dan kau mabuk!”

Alea terisak. Papanya selalu begitu—kasar, tanpa peduli apa yang sebenarnya terjadi. Tidak pernah ada ruang untuk mendengar. Beda sekali jika itu Aleza.

“Kau benar-benar memalukan. Keluar malam, mabuk, menginap entah di mana, lalu pulang seenaknya.” Tangan Zardan ter-acung menunjuk wajahnya. “Pekerjaanmu pun tak jelas. Berbanding terbalik dengan Aleza. Kalian memang kembar, tapi Aleza jauh ... jauh lebih baik dari gadis murahan sepertimu yang keluar malam pulang pagi!”

Untuk kesekian kali, namanya disandingkan dengan saudara kembarnya. Selalu menjadi bayangan. Bahkan kini, di hadapan lelaki yang telah merenggut kesuciannya.

“Aleza lebih baik seribu kali darimu. Pekerjaannya jelas, pergaulannya terhormat, sikapnya pun membanggakan.” Zardan mendengkus kasar. “Sedangkan kau ... ah sialan!”

Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan. Alea menggigit bibirnya, menahan suara yang nyaris pecah.

Padahal, Alea hanya berharap dia ditanya kenapa, dipeluk sembari ditenangkan. Yang dia dapat malah cacian.

Ironi sekali.

Zardan lebih membela Javier daripada Alea.

“Masuk ke kamarmu. Jangan tunjukkan wajahmu di depan Javier. Cepat!”

“Papa, ada apa ini?” Suara Aleza terdengar dari tangga. Ia menuruni anak tangga dengan wajah cemas. “Kenapa marah-marah ke Alea?”

Zardan mendengkus kasar. “Dia menginap di luar, mabuk, lalu pulang pagi.”

Aleza menghela napas panjang. “Udah, Pa. Gak enak sama Javier.” Pandangannya sekilas mengarah ke tamu mereka. “Lagian, Alea juga baru sekali ini, kan?”

Tatapan Zardan menusuk. Aleza bergeming, lalu berbalik pada kembarannya. Ia menyeka air mata di wajah Alea. “Sudah, jangan nangis. Masuk kamar, ya. Jangan hiraukan Papa.”

Alea terpaksa mengangguk.  Dengan langkah berat ia berjalan ke kamarnya. Setiap langkah seperti menyeret luka yang kian menyesakkan.

Begitu pintu kamarnya tertutup, Zardan berbalik kepada Javier. “Maaf soal tadi. Anak itu memang pemberontak.”

Javier hanya mengangguk tipis. “Tidak apa, Om.”

“Tenang saja, Aleza tidak seperti kembarannya. Dia cantik, penurut, kariernya jelas.” Zardan melirik Aleza dengan bangga.

Senyum samar muncul di bibir Javier. “Itu sebabnya aku setuju dengan perjodohan bisnis ini.” Javier melirik ke Aleza. “Dan aku bisa melihat langsung betapa cantiknya Aleza.”

Aleza terbatuk mendengar itu. Ia kembali melirik ke Javier. Apa yang dikatakan papanya ada benarnya. Javier itu tampan dengan tinggi 180 centi, tegap, tubuhnya atletik dan pastinya sukses.

“Kalian setara,” ujar Zardan puas. “Satu tampan dan sukses, satunya cantik dengan karier cemerlang. Sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. ”

Alea sebenarnya mendengar suara tertawa receh papanya dan Javier, tapi dia tidak peduli. Diambilnya bantal, guling, make up, hingga barang-barang lain untuk melampiaskan emosi. Suara lemparan terdengar hingga ke luar, tepat ketika Javier dan Zardan sudah meninggalkan rumah.

Emilia, sang ibu, mengetuk pintu kamar Alea, membawa nampan berisi makanan siang dan segelas susu. “Alea, ini Mama, Sayang.”

Pintu terbuka perlahan. Emilia masuk, meletakkan nampan di meja, lalu melirik putrinya yang kembali duduk di ranjang dengan mata sembap.

“Sayang, sini.” Emilia duduk di tepi ranjang, merentangkan tangannya tanpa bertanya.

Alea langsung mendekat, memeluk sang mama erat-erat, menangis lagi setelah sempat berhenti beberapa jam lalu.

“Mama .…” Suaranya lirih, nyaris patah.

Emilia mengusap punggung Alea lembut. “Menangislah, Mama ada di sini.”

Alea menumpahkan semua sakitnya lewat tangis. Hanya Emilia yang selalu berpihak padanya. Perempuan penyayang yang tak pernah membandingkan dirinya dengan Aleza, satu-satunya alasan ia masih bisa bertahan di hingga sekarang.

Saat pelukan terlepas, Emilia menghapus sisa air mata Alea.

“Coba cerita ke Mama. Kenapa pulang pagi? Biasanya kamu paling anti tidur di luar, kecuali urusan kerjaan.”

Alea menunduk, jemarinya meremas seprei. Pikirannya kacau. Perlukah ia jujur tentang kejadian tadi malam? Tapi bagaimana kalau Mama shock, marah, lalu akhirnya membencinya sama seperti Papa? Ia tidak sanggup kehilangan satu-satunya orang yang berpihak padanya.

“Sayang, kenapa diam saja?” Emilia menyingkirkan helai rambut Alea yang menutupi wajahnya.

Alea meraih tangan mamanya, menempelkan ke pipinya sejenak. Ia memaksa tersenyum tipis. “Maafin aku, Ma. Aku … menginap di rumah teman.”

Emilia mengangguk pelan, meski jelas masih ada tanya di matanya. “Kalau begitu, kenapa kamu bau alkohol?”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Author Receh
seru banget ceritanya, Javier licik juga ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 89

    Bab 89Bram mengangguk. Javier menggertakkan giginya. Dia sudah menduga itu. “Kau bilang tidak tau namanya. Tapi apa barusan?” Aldo menyudutkan Bram. “A-aku—”Javier menghampiri Bram dan dengan gilanya mengambil tang pemotong itu lalu mengapit mulut Bram agar lidahnya keluar. “Berani berbohong padaku!” “A-apa yang ka-kau lakukan?” Bram memberontak. Ia yakin, Javier akan melukai dirinya. Javier menyeringai. “Lidahmu itu menyebalkan.” Bram mengatupkan mulutnya, tapi Javier memaksa untuk membuka dan lidahnya terjulur. Dengan cepat Javier memotong sedikit, darah mengalir deras dari sana. “Aaaaaa!” Bram menjerit kesakitan. Untuk berbicara saja, ia sudah tak sanggup. “Astaga.” Sontak Billy berucap seperti saat melihat kekejaman bosnya. Walau dia sudah biasa, tetap saja, ia sedikit terkejut. Sementara Aldo meringis, bulu kuduknya merinding melihat darah menglir dari mulut Bram. Ia juga sudah biasa menangani hak seperti ini, tapi tetap saja, jika sang bos yang bertindak akan lebih b

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 88. Dalang di Balik Penculikan

    Bab 88Rumah tua itu berdiri seperti bayangan masa lalu yang menolak mati. Cat dindingnya longsor, jendelanya pecah, dan pohon liar merayap sampai ke atap. Ini adalah salah satu properti keluarga besar Javier—dulunya villa musim panas milik almarhum papanya, kini berubah menjadi tempat penyekapan gelap yang hanya diketahui orang-orang tertentu dalam lingkaran dalam Javier.Lampu-lampu kuning temaram menyala samar, menerangi lorong berbau lembap. Dari kejauhan terdengar suara logam beradu dan desahan tertahan seseorang.Javier berjalan di depan, langkahnya mantap, meskipun wajahnya menyimpan kemarahan yang belum padam sejak ia menemukan Alea tergeletak pingsan di gudang. Billy mengikutinya dari belakang, sementara Aldo sudah menunggu di ruang bawah tanah.Saat Javier membuka pintu besi itu, bau amis menyambutnya. Bram diikat pada kursi besi, kedua pergelangannya terikat ke belakang, wajahnya penuh lebam. Sebagian bajunya robek, dan napasnya terengah pendek. Namun meski begitu, ia masih

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 87. Hampir Keguguran

    Bab 87“Alea, bertahan,” gumam Javier saat ia membawa Alea keluar dari mobil setelah tiba di depan rumah sakit.Seketika lampu-lampu neon rumah sakit memantulkan cahaya putih pucat di sepanjang lorong ketika Javier berlari masuk sambil menggendong Alea di dadanya. Napasnya memburu, wajahnya penuh keringat bercampur debu dari gudang tadi. Pintu UGD terbuka lebar, dan beberapa perawat langsung menghampiri begitu melihat kondisi Alea yang lemas dan pingsan.“Pasien wanita, hamil! Ada pendarahan!” seru Juan dari belakang.“Bantu saya!” Javier nyaris berteriak, suaranya pecah di ujung kalimat. “Dia kesakitan. Tolong!”Perawat segera mendorong ranjang dorong ke arahnya. Javier menunduk, memeluk Alea untuk terakhir kalinya sebelum meletakkan tubuh ringan itu di atas ranjang.“Alea … aku di sini,” bisiknya dengan suara parau. “Jangan tidur terlalu lama. Kau harus bangun, dengar?”Alea tidak menjawab. Kelopak matanya tertutup rapat, wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru. Napasnya pendek, seola

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 86. Menemukan Alea

    Bab 86Pintu besi itu terhempas terbuka dengan suara nyaring yang memantul di seluruh ruangan besar dan kosong itu. Cahaya senter para lelaki itu menembus gelap dan langsung disambut oleh udara lembap yang dingin, bercampur bau karat, debu, dan entah apa lagi yang amis. Lantai beton retak-retak di beberapa titik, seperti sudah lama tidak disentuh siapa pun.Javier berdiri paling depan, pistol sudah dalam genggaman, rahangnya mengeras, tubuhnya kaku seperti busur yang siap dilepaskan.Billy dan Juan berada di sampingnya, masing-masing menyorotkan senter mereka ke setiap sudut gudang yang luas itu. Atap tinggi di atas kepala tampak gelap pekat, penuh sarang laba-laba dan besi berkarat yang berderit tertiup angin malam.Sesuatu bergerak di dalam. Sangat pelan. Seolah makhluk yang tidak ingin terlihat."Gerakan jam sembilan," bisik Billy dengan suara sangat rendah.Javier menoleh sedikit, matanya menyipit, mengikuti arah cahaya Billy. Cahaya diarahkan ke tumpukan kayu yang berserakan di u

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 85. Gudang Terbengkalai

    Bab 85Jam sudah menunjuk pukul satu dini hari. Udara di apartemen itu menegang seperti tali yang ditarik terlalu kencang—siap putus kapan saja. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, berpadu dengan langkah kaki berat yang terus mondar-mandir di ruang tamu. Javier tidak berhenti berjalan, bolak-balik di depan sofa, seperti singa yang kehilangan arah di kandangnya sendiri.Rambutnya acak-acakan, matanya merah, dan napasnya berat. Di tangannya, ponsel terus ia genggam erat—sesekali ia menatap layar yang masih kosong, berharap ada panggilan, pesan, atau apa pun yang bisa memberinya sedikit harapan. Akan tetapi nihil. Tidak ada kabar dari Aldo. Tidak ada dari Billy. Tidak ada tanda-tanda Alea telah ditemukan oleh anak-anak buahnya itu.“Di mana kau, Alea …?” gumamnya dengan suara serak, seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia menekan ponselnya lagi, membuka pesan terakhir yang dikirimkan Billy dua jam lalu—hanya berupa informasi singkat bahwa mereka masih melacak van putih yang te

  • Dihamili Suami Saudara Kembarku   Bab 84. Benarkah Javier Peduli?

    Bab 84Udara di ruangan itu berat, lembab, bercampur dengan bau karat dan oli mesin yang menyesakkan dada. Lampu neon di langit-langit terus berkedip, seperti akan mati setiap saat. Suara tetesan air di ujung ruangan memecah kesunyian, menimbulkan gema kecil yang membuat suasana semakin mencekam.Alea menarik napas di antara isaknya yang parau. Tangannya masih diikat erat di belakang kursi besi berkarat. Tali kasar itu sudah melukai pergelangan tangannya hingga terasa panas dan perih. Setiap kali ia berusaha menggerakkan tangan, serat tali itu menembus kulitnya, meninggalkan luka baru yang berdenyut.“Kau sudah bangun, Cantik?” suara berat itu kembali terdengar dari sudut ruangan.Alea menoleh dengan mata membulat. Lelaki bertopeng hitam itu masih berdiri di sana, menatapnya tanpa ekspresi dari balik kain yang menutupi wajah. Bayangan tubuhnya yang tinggi besar terpantul di dinding kusam di belakangnya.“Ka—kau siapa? Kenapa kau mengikatku begini?” suara Alea gemetar, terputus-putus.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status