LOGINBab 6. Ternyata Dia Suami Kembaranku
“Sayang, kamu kenapa?” Emilia khawatir. Alea terduduk di lantai kamar mandi. “Masuk angin biasa.” Emilia menghela napas pelan. “Kamu yakin?” Alea mengangguk. “Iya, Ma. Gak usah khawatir.” Ia berdiri di bantu Emilia. “Kenapa Mama ke kamar aku?” tanyanya kemudian. Emilia memukul jidatnya. “Di bawah ada Reivan. Dia menunggu kamu.” “Re-Reivan,” lirih Alea. “Reivan,” kata Alea. Ia menghampiri Reivan di teras. Lelaki itu memilih duduk di sana. Reivan tersenyum. Di tangannya ada buket bunga Tulip putih. “Hai.” Reivan menyapa dan menyerahkan buket itu. “Maaf aku datang tanpa ngabari kamu lebih dulu. Aku yakin kamu gak akan terima teleponku.” Alea bergeming. Menatap bunga itu. Seketika hatinya remuk. Setulus ini Reivan padanya! “Aku kangen, Alea. Aku masih belum paham, salahku di mana, sampai kau menghindariku terus menerus.” Reivan meraih tangan Alea. “Apa karena aku mengajakmu ke bar?” Alea menggelengkan kepalanya. “Bukan. Aku hanya—” “Kau ada masalah?” potong Reivan cepat. Alea gugup seketika. “Kau menyembunyikan sesuatu padaku? Katakan, Alea. Aku sangat penasaran akan sikapmu belakangan ini.” Reivan berjongkok di depan Alea yang duduk. Hati Alea sakit melihat Reivan seperti itu. “Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?” Reivan hampir menangis. Alea menggelengkan kepalanya. “Bukan seperti itu. Ak-aku mencintaimu.” “Lalu? Jujur padaku.” Reivan mencium tangan Alea bergantian. “Kau tau seberapa besar cintaku ke kamu, kan? Aku bahkan sudah membicarakan masa depan kita ke orang tuaku.” Alea terenyuh mendengarnya. Ia memaksa Reivan berdiri. Memeluk lelaki itu. Tangisnya pecah. “Maafkan aku.” Alea berbisik. Reivan menatap wajah Alea. Dengan cepat ia mencium bibir itu. Hanya sebentar tanpa menuntun lebih. “Aku mencintaimu.” Reivan berkata tulus. Alea tidak menjawab. Dia kembali memeluk Reivan. Jujur, ia juga mencintai lelaki itu, tapi lidahnya kelu. Tiba-tiba saja perutnya kembali mual. Ia menutup mulutnya. “Kamu kenapa? Ha?” Reivan panik. “Kamu sakit? Kita ke dokter?” Alea tidak menjawab. Ia berlari ke dalam bersamaan dengan Emilia yang menuju teras. Mata Emilia mengikuti terus arah pergi putrinya itu. “Tante, Alea kenapa? Dia sakit?” Reivan kebingungan. Emilia diam. Memperhatikan wajah Reivan. “Aku khawatir, Tante.” Reivan mengusap wajahnya kasar. “Efek mabuk. Mungkin.” Emilia menyahut ragu. * Dua hari berlalu, dua hari juga Alea masih mual hingga dia kesal sendiri. Ini hari pernikahan Aleza. Terhitung dari tadi pagi, Alea sudah 4x keluar-masuk kamar mandi. Badannya lemas dan wajahnya pucat pasi setelah muntah. Seketika pikiran positifnya buyar. Jikalau efek masuk angin, mustahil sampai dua hari Ia mengusap wajahnya kasar. “Apa aku hamil?” Ia menatap perutnya yang masih rata. Mengusap perlahan. “Apa ada janin di sini?” Ia menggelengkan kepalanya. “Aku harus ke apotek sekarang.” Beranjak keluar kamar. “Sayang, mau ke mana?” Emilia yang sudah rapi dengan gaun mewahnya bertanya. “Ke depan, Ma. A-aku mau beli obat.” Alea berbohong ke Emilia. “Kenapa gak panggil dokter aja?” Emilia menyarankan. “Mama telepon, ya?” Alea menggelengkan kepalanya. “Obat masuk angin aja, Ma. Gak perlu menelepon dokter.” “Yakin?” Emilia menelisik. Alea mengangguk. “Jangan lama. Ini hari pernikahan Aleza.” Alea mengangguk. “Sebentar saja, Ma. Gak lama kok.” Alea bergegas pergi ke apotek dekat rumah. Membeli test pack lalu kembali ke rumah. Berganti pakaian dan segera ke hotel di mana pernikahan Aleza dan calon suaminya diadakan. Setiba di sana, ballroom hotel telah ramai. Acara akad masih belum di gelar. “Sayang,” kata Emilia. Alea menoleh. “Ma.” Kepalanya mendadak pusing dan rasa mual kembali muncul. “Aku ke toilet dulu.” Emilia mengangguk. Walau ia curiga akan kondisi yang dialami oleh putrinya itu, tapi ia bungkam. Saat di kamar mandi, Alea menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Selama dua minggu ini, perutnya terus-terusan terasa mual. “Alea, kamu baik-baik saja?” tanya Emilia, sembari mengetuk pintu kamar mandi. Emilia mengikutinya. “Aku cuma capek, Ma, Mama gak perlu khawatir.” Alea menyahut. Ia mengelap keringat yang sudah mengucur sejak tadi. “Cepat keluar. Akad nikahnya sudah mau mulai.” Emilia kembali berkata. “Iya, Ma. Sebentar lagi.” Alea kembali menarik napas. Lalu membuka tas kecilnya dan mengeluarkan benda warna putih yang merupakan test pack. Ia membaca petunjuk sejenak lalu mencelupkan ke air urine yang sudah ia siapkan. “Alea, cepat!” Emilia kembali berkata. Ternyata mamanya masih di depan pintu toilet. Alea mengambil test pack yang ia celupkan di urine itu dan memasukkan ke dalam tas tanpa melihat lagi. Ia segera keluar dari toilet dan tersenyum ke mamanya. Keduanya segera ke ballroom hotel di mana akad sedang dilaksanakan. Tidak lama, suara penghulu terdengar. “Sah?” “Sah!” Semua bersorak gembira, tapi tidak dengan Alea. Entah kenapa ia terus khawatir tentang test pack tadi. Alhasil, ia mencoba mengintip di balik tas kecilnya. Kakinya lemas seketika dan kepalanya terasa dihantam beban berat. Garis dua! Dia harus bagaimana? Javier harus tau! Namun, Alea arus menelan pil pahit saat tahu siapa yang bersanding dengan saudara kembarnya, Aleza. Hatinya penuh, sesak, dan tidak tahu harus bagaimana. Selama ini, lelaki yang diceritakan Aleza padanya adalah Javier. Javier yang menghamilinya, ternyata suami sah saudara kembarnya sendiri, Aleza!Bab 89Bram mengangguk. Javier menggertakkan giginya. Dia sudah menduga itu. “Kau bilang tidak tau namanya. Tapi apa barusan?” Aldo menyudutkan Bram. “A-aku—”Javier menghampiri Bram dan dengan gilanya mengambil tang pemotong itu lalu mengapit mulut Bram agar lidahnya keluar. “Berani berbohong padaku!” “A-apa yang ka-kau lakukan?” Bram memberontak. Ia yakin, Javier akan melukai dirinya. Javier menyeringai. “Lidahmu itu menyebalkan.” Bram mengatupkan mulutnya, tapi Javier memaksa untuk membuka dan lidahnya terjulur. Dengan cepat Javier memotong sedikit, darah mengalir deras dari sana. “Aaaaaa!” Bram menjerit kesakitan. Untuk berbicara saja, ia sudah tak sanggup. “Astaga.” Sontak Billy berucap seperti saat melihat kekejaman bosnya. Walau dia sudah biasa, tetap saja, ia sedikit terkejut. Sementara Aldo meringis, bulu kuduknya merinding melihat darah menglir dari mulut Bram. Ia juga sudah biasa menangani hak seperti ini, tapi tetap saja, jika sang bos yang bertindak akan lebih b
Bab 88Rumah tua itu berdiri seperti bayangan masa lalu yang menolak mati. Cat dindingnya longsor, jendelanya pecah, dan pohon liar merayap sampai ke atap. Ini adalah salah satu properti keluarga besar Javier—dulunya villa musim panas milik almarhum papanya, kini berubah menjadi tempat penyekapan gelap yang hanya diketahui orang-orang tertentu dalam lingkaran dalam Javier.Lampu-lampu kuning temaram menyala samar, menerangi lorong berbau lembap. Dari kejauhan terdengar suara logam beradu dan desahan tertahan seseorang.Javier berjalan di depan, langkahnya mantap, meskipun wajahnya menyimpan kemarahan yang belum padam sejak ia menemukan Alea tergeletak pingsan di gudang. Billy mengikutinya dari belakang, sementara Aldo sudah menunggu di ruang bawah tanah.Saat Javier membuka pintu besi itu, bau amis menyambutnya. Bram diikat pada kursi besi, kedua pergelangannya terikat ke belakang, wajahnya penuh lebam. Sebagian bajunya robek, dan napasnya terengah pendek. Namun meski begitu, ia masih
Bab 87“Alea, bertahan,” gumam Javier saat ia membawa Alea keluar dari mobil setelah tiba di depan rumah sakit.Seketika lampu-lampu neon rumah sakit memantulkan cahaya putih pucat di sepanjang lorong ketika Javier berlari masuk sambil menggendong Alea di dadanya. Napasnya memburu, wajahnya penuh keringat bercampur debu dari gudang tadi. Pintu UGD terbuka lebar, dan beberapa perawat langsung menghampiri begitu melihat kondisi Alea yang lemas dan pingsan.“Pasien wanita, hamil! Ada pendarahan!” seru Juan dari belakang.“Bantu saya!” Javier nyaris berteriak, suaranya pecah di ujung kalimat. “Dia kesakitan. Tolong!”Perawat segera mendorong ranjang dorong ke arahnya. Javier menunduk, memeluk Alea untuk terakhir kalinya sebelum meletakkan tubuh ringan itu di atas ranjang.“Alea … aku di sini,” bisiknya dengan suara parau. “Jangan tidur terlalu lama. Kau harus bangun, dengar?”Alea tidak menjawab. Kelopak matanya tertutup rapat, wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru. Napasnya pendek, seola
Bab 86Pintu besi itu terhempas terbuka dengan suara nyaring yang memantul di seluruh ruangan besar dan kosong itu. Cahaya senter para lelaki itu menembus gelap dan langsung disambut oleh udara lembap yang dingin, bercampur bau karat, debu, dan entah apa lagi yang amis. Lantai beton retak-retak di beberapa titik, seperti sudah lama tidak disentuh siapa pun.Javier berdiri paling depan, pistol sudah dalam genggaman, rahangnya mengeras, tubuhnya kaku seperti busur yang siap dilepaskan.Billy dan Juan berada di sampingnya, masing-masing menyorotkan senter mereka ke setiap sudut gudang yang luas itu. Atap tinggi di atas kepala tampak gelap pekat, penuh sarang laba-laba dan besi berkarat yang berderit tertiup angin malam.Sesuatu bergerak di dalam. Sangat pelan. Seolah makhluk yang tidak ingin terlihat."Gerakan jam sembilan," bisik Billy dengan suara sangat rendah.Javier menoleh sedikit, matanya menyipit, mengikuti arah cahaya Billy. Cahaya diarahkan ke tumpukan kayu yang berserakan di u
Bab 85Jam sudah menunjuk pukul satu dini hari. Udara di apartemen itu menegang seperti tali yang ditarik terlalu kencang—siap putus kapan saja. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, berpadu dengan langkah kaki berat yang terus mondar-mandir di ruang tamu. Javier tidak berhenti berjalan, bolak-balik di depan sofa, seperti singa yang kehilangan arah di kandangnya sendiri.Rambutnya acak-acakan, matanya merah, dan napasnya berat. Di tangannya, ponsel terus ia genggam erat—sesekali ia menatap layar yang masih kosong, berharap ada panggilan, pesan, atau apa pun yang bisa memberinya sedikit harapan. Akan tetapi nihil. Tidak ada kabar dari Aldo. Tidak ada dari Billy. Tidak ada tanda-tanda Alea telah ditemukan oleh anak-anak buahnya itu.“Di mana kau, Alea …?” gumamnya dengan suara serak, seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia menekan ponselnya lagi, membuka pesan terakhir yang dikirimkan Billy dua jam lalu—hanya berupa informasi singkat bahwa mereka masih melacak van putih yang te
Bab 84Udara di ruangan itu berat, lembab, bercampur dengan bau karat dan oli mesin yang menyesakkan dada. Lampu neon di langit-langit terus berkedip, seperti akan mati setiap saat. Suara tetesan air di ujung ruangan memecah kesunyian, menimbulkan gema kecil yang membuat suasana semakin mencekam.Alea menarik napas di antara isaknya yang parau. Tangannya masih diikat erat di belakang kursi besi berkarat. Tali kasar itu sudah melukai pergelangan tangannya hingga terasa panas dan perih. Setiap kali ia berusaha menggerakkan tangan, serat tali itu menembus kulitnya, meninggalkan luka baru yang berdenyut.“Kau sudah bangun, Cantik?” suara berat itu kembali terdengar dari sudut ruangan.Alea menoleh dengan mata membulat. Lelaki bertopeng hitam itu masih berdiri di sana, menatapnya tanpa ekspresi dari balik kain yang menutupi wajah. Bayangan tubuhnya yang tinggi besar terpantul di dinding kusam di belakangnya.“Ka—kau siapa? Kenapa kau mengikatku begini?” suara Alea gemetar, terputus-putus.







