***Bu Andin dan Pak Edi keluar dari rumah mereka dengan membawa dua koper yang kuperkirakan berisi baju. Sementara barang-barang berharga mereka yang lain, harus ditinggal di dalam rumah, karena sudah kesepakatan di awal perjanjian, jika tidak bisa melunasi utang, maka peminjam harus keluar hanya dengan membawa badan. Kurang lebih seperti itulah yang kubaca di surat yang Kinanti pegang."Bos, ada tiga set perhiasan emas, bagaimana?" tanya salah seorang preman kepada Kinanti, selaku bos besar mereka.Bu Andin menghentikan tangisnya dan sontak berdiri dengan mata membulat lebar. Dengan langkah lebar, dia mendekat ke arah di mana dua set perhiasannya dibawa oleh anak buah Kinanti. Aku berdecak heran, dia menyimpan begitu banyak perhiasan, tetapi untuk melunasi ut
***Adi berjalan dengan langkah gontai, mobil yang dia beli hasil dari kerja keras selama bekerja, tidak boleh dibawa oleh Anggi. Anggi benar-benar ingin membuat miskin Adi dengan merampas semua kartu kredit yang Adi miliki. Dalam hati wanita itu, tidak ingin ada wanita lain yang ikut menikmati harta suaminya, apalagi hasil kerja kerasnya bersama Anggi.Dengan pikiran buntu, Adi merogoh gawai dan mencari kontak Adelia di sana. Tujuan Adi saat ini adalah rumah Adelia, yang merupakan pemberian Adi sebagai mas kawin pernikahan mereka. Urusan pekerjaan, lelaki itu tidak mau ambil pusing, mengingat dirinya adalah lulusan sarjana ekonomi, dia yakin, ada banyak perusahaan atau pabrik yang akan menerimanya bekerja nanti. Kesombongan benar-benar telah menguasai hati Adi, padahal, rejeki adalah hak mutlak Allah pada makhluknya."Halo, Del. Jemput aku se
***Adi terduduk di pinggir jalan dengan memegangi perutnya. Melihat di seberang jalan, sebuah rumah makan Padang sudah buka dan sesak dipenuhi pengunjung. Melihat banyaknya aneka lauk dari kaca, membuat cacing di perut Adi berteriak meminta amunisi. Keputusannya sudah bulat, dia akan kembali ke rumahnya sendiri, yakni rumah yang dia bangun atas kerja kerasnya bersama Anggi. Tidak ada pilihan lain, bagi Adi, lebih baik mengemis pada istrinya itu daripada harus nekat pulang ke rumah orang tuanya dalam keadaan begini.Dia berjalan sampai terseok-seok membawa dua koper besar. Hari sudah menjelang sore, hampir seharian dia belum makan. Tiba-tiba dadanya bergemuruh mengingat kejadian barusan, bagaimana Adelia dengan cerdiknya menipu dirinya. Adi menyesal telah menyia-nyiakan Anggi, ternyata wanita yang dia jadikan istri kedua hanya ingin mengerok hartanya saja.
****PoV Endang"Gila?" gumamku lirih, Mbak Hanin mengangguk samar dan menggigit bibirnya."Bu Endang nggak kesana? Ayo, bareng sama saya," ajak Mbak Hanin, aku mengangguk pasti.Kami berjalan beriringan menuju rumah Bu Andin. Beberapa warga sudah berkerumun di sana. Nampak dua orang paruh baya sedang menangis di samping Bu Andin yang kini bertingkah seperti anak kecil.Dia berlari-lari dan menakuti para tetangga seolah anak kecil tengah bermain dengan kawan-kawannya. Aneh, di leher, tangan, jemari dan kaki Mbak Andin melingkar sebuah tali rafia berwana kuning. Untuk apa itu?"Hai, lihat nih, perhiasanku banyak kan?" pamernya pada salah satu tetangga yang dia dekati. Pak Edi panik dan menarik tangan Bu Andin agar
***Para tetangga memberi jalan pada pihak kepolisian untuk menggiring langkah Pak Edi menuju mobil polisi."Tunggu, Pak! Apa tidak bisa menunggu saya pulang dari rumah sakit, istri saya sedang sakit, Pak. Saya bahkan belum mengunjunginya." Pak Edi memelas di hadapan dua petugas kepolisian. Aku membantu ayah Bu Andin untuk mengoleskan minyak kayu putih pada istrinya. Bu RT pun dengan sigap menyodorkan teh hangat ketika Ibu Bu Andin mulai membuka matanya."Maaf, Pak Edi. Kami hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur dan laporan yang sudah dibuat. Jadi, saya harap bapak juga mematuhi peraturan kami," jawab petugas polisi, membuat Pak Edi mengusap wajahnya kasar.Ayah Bu Andin menghampiri Pak Edi dan menepuk pundak menantunya dengan tegas."Pergilah, pertanggung jawabkan apa yang sudah kamu perbuat. Urusan Andin, biar menjadi urusan kami selaku orang tuanya. Kami juga yang akan mengajukan gugatan perceraian setelah Andin mendapatkan ingatannya kembali nanti." Setelah mengatakan d
***Aku membuka pintu pagar, bersyukur Mas Danu sudah pulang. Kulihat dia baru saja keluar dari kamar mandi, gegas aku membersihkan diri di kamar mandi bawah, sebelum membahas semuanya dengan suamiku.Setelah membersihkan diri, aku menyiapkan makan malam, mengingat tadi siang sepulang dari pengadilan, aku belum menyiapkan makanan apapun di rumah. Mas Danu menyantap makanan dengan lahap, sesekali bercerita tentang keadaan Bu Hajjah Aminah dan siapa yang menunggunya di rumah sakit. Aku menceritakan semua yang Kang Di katakan padaku, ketika Mas Danu sudah berselonjor kaki di depan televisi."Serahkan semuanya pada pihak yang berwajib, percayakan saja semuanya pada polisi, Dek. Jangan mengambil resiko, bagaimana jika Pak Ferdinan nekat kabur dan mencelakai Kang Di juga anak buahnya. Aku yakin, Pak Ferdinan juga bukan orang sembarangan." Aku mengangguk mengerti, ada benarnya juga ucapan Mas Danu.***Hari ini kami memulai a
***Sayup-sayup aku mendengar suara tawa yang menggema. Aku menggeliat, tapi seluruh badanku terasa kaku, astaga, ternyata ada tali yang melilit di kaki dan badanku. Badanku diikat dengan kedua tangan berada di samping. Aku melorotkan tubuh dari kursi dan terduduk dengan kedua kaki kutekuk. Mengikat tubuhku dengan tetap membiarkan kedua tanganku bebas memudahkanku untuk bisa membuka tali yang melilit di kaki.Memang, gerakanku menjadi tidak leluasa. Sesekali aku meringis karena tali yang semakin kencang terasa di lenganku, aku berusaha tetap membuka tali yang mengikat kedua kaki, agar bisa mengintip melalui celah kunci, siapa yang menculikku dan menyekapku di sini.Nafasku terengah-engah, aku sampai lupa jika mulutku diberi plester. Kuhentikan sejenak usaha untuk melepaskan ikatan di kaki, kepalaku menunduk, agar jemariku bisa membuka plester yang membekap mulut."Hhhhaahhh ... hhhhaahhh ..."Aku meraup udara sebanyak
***Bajuku sudah basah oleh air mata, kotor tentu saja, ada bekas muntah yang sudah mengering. Aku tidak tahu, apakah ini sudah malam, atau bahkan sudah pagi lagi. Tapi kurasa, ini masih hari yang sama, mengingat Bos yang mereka bicarakan tidak kunjung datang untuk melihatku. Siapa dalang di balik semua ini?Lelah menangis, aku bersandar di pintu almari dan menatap langit-langit kamar ini. Ada sebuah ranjang besar dan kuno, juga lemari reyot yang kubuka pintunya sudah berdecit, juga beberapa foto yang terbingkai di pigora. Mataku memicing, melihat sebuah foto pernikahan. Dengan langkah berat, aku mendekat ke arah berlawanan, melihat dengan seksama, foto siapa yang tertempel di dinding kamar ini.Bu Hajjah Aminah?Ya, aku yakin sekali wanita itu Bu Hajjah Aminah, itu artinya ....Pak Ferdinan, di samping wanita yang memakai baju pengantin model jaman dulu itu adalah Pak Ferdinan. Itu artinya aku berada di rumah me