"Sudah puas kau sekarang?!"
Adelia Nina Pranata menoleh ke arah sang mertua yang tengah menatapnya penuh kebencian. Padahal kedua netranya saat ini masih basah dan memerah. Adelia jelas belum menerima kematian anaknya, tetapi malah dituduh seolah tengah bersenang-senang dalam keadaan yang sangat menyakitkan ini. "Ibu, kita pergi saja. Tidak ada gunanya berbicara dengannya di sini." Ardi, suami Adelia berbicara membuat ibunya melempar tatapan sengit ke arahnya. "Kau bermaksud ingin membela istrimu yang tidak becus ini? Hah?!" "Aku tidak membelanya, Bu. Tapi—" "Ingat, Ardi! Anakmu meninggal karena dia! Dia sudah lalai sebagai ibu hingga mengakibatkan kematian anakmu sendiri!" Nyonya Sri membentak membuat semua orang yang ada di pemakaman semakin memperhatikannya. Ketegangan semakin terasa, berbagai bisik yang tak mengenakkan mulai terdengar membuat mata Adelia terpejam menahan rasa perih yang semakin menusuk hatinya. "Aku tidak bermaksud apa-apa, Bu. Tetapi apa gunanya membahas di sini?" Suara Ardi kembali terdengar. "Halah, bagiku itu sama saja! Justru sangat penting membahasnya di sini agar orang lain tahu bahwa dia yang telah menyebabkan kematian cucuku!" "Ibu ...." "Cukup, Ardi! Tidak ada gunanya lagi kau membela wanita ini di depanku! Istrimu sudah tidak lagi bekerja semenjak dia mengandung Bintang, tetapi nyatanya apa? Anakmu malah menjadi anak yang penyakitan hingga meninggal! Dia memang tidak becus! Bagiku dia sama saja seperti pembunuh! Kehadirannya hanya membawa petaka untuk keluarga kita!" Nyonya Sri langsung menghentakkan sepatu hak tingginya. Dengan segera ia menepis tangan anak lelakinya dan mengabaikan tatapan orang banyak, hingga mereka semua beralih memperhatikan Adelia yang masih setia duduk di samping makam dengan bibir yang memucat. "Apa kau sudah mendengarnya, Adelia? Lihatlah ulahmu, anakku mati karena keinginanmu!" bisik Ardi yang sontak membuat Adelia menoleh tak percaya. "Kau juga menuduhku, Mas?" "Ya! Bukankah itu sudah sangat jelas?" "Mas, apa maksudmu? Aku—" "Sudahlah, Adelia. Jangan berpura-pura lagi! Aku tahu kau sangat menginginkan kematian Bintang agar kau bisa kembali bekerja untuk mengejar ambisimu!" Bagai tersambar petir, seluruh tubuh Adelia bergetar mendengar kata-kata itu. Adelia tak menyangka, Ardi yang tadi ia sangka ingin membelanya di depan ibu mertua malah menuduhnya dengan kata-kata yang jauh lebih menyakitkan. "Ibu macam apa yang tega mengharapkan kematian anaknya sendiri, Mas? Aku memang ingin kembali bekerja, tetapi itu jauh sebelum Bintang sakit!" balas Adelia yang hanya ditanggapi dengan senyuman tipis. "Kau pikir aku lupa dengan kata-katamu?" "Kata-kata apa yang kau maksud, Mas? Aku tidak pernah meninggalkan Bintang selama kau sibuk bekerja, aku—" "Cukup, Adelia! Aku tahu kau sengaja berdalih ingin kembali bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan Bintang dengan gajimu yang tak seberapa itu, padahal sebenarnya kau hanya ingin lepas tanggung jawab dari tugasmu sebagai istri!" "Mas ...." "Sudah, aku tidak lagi mau mendengarkan penjelasanmu! Ibu benar, kau memang tidak becus sebagai istri dan ibu untuk Bintang!" Ardi menekankan setiap kata-katanya membuat semua yang di sana terdiam. Pria itu nampak tak malu menghina istrinya di depan banyak orang dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Adelia yang sedang bersusah-payah menahan ledakan tangisnya. Hancur! Hancur sudah kekuatan Adelia saat ini! Rasa sesak semakin mencekiknya kala mengingat kembali semua tuduhan tak berdasar suami dan mertuanya. Rasanya Adelia ingin menjerit dengan semua perlakuan tak adil ini, tetapi sayang seluruh tenaganya telah terkuras habis. "Bu, maaf. Untuk masalah biaya pemakaman—" "Ini uangnya, Pak. Maaf, suami saya tidak langsung membayarnya tadi," potong Adelia pelan seraya mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari dompetnya. Sebisa mungkin wanita berumur 28 tahun itu menutupi kesedihannya di depan para tamu pemakaman. Adelia mencoba tegar karena setidaknya saat ini anaknya sudah tak lagi merasakan sakit, hingga akhirnya mereka semua bergantian pamit dan meninggalkan dirinya sendiri. "Aku rindu dengan sikap baikmu dulu, Mas. Tapi bisakah kau kembali setelah semua ini terjadi?" Adelia bergumam seraya menyeka air matanya. Dengan rintik hujan yang membasahi tubuhnya, Adelia bangkit. Ia gegas mempersiapkan mental sebelum kembali pulang, walau sebenarnya sudah tak lagi terkejut dengan tabiat Ardi yang sering meledak akhir-akhir ini. Selama menjalani tiga tahun masa pernikahannya, sikap Ardi memang terus berubah. Suaminya kerap kali mengabaikannya dengan alasan sibuk. Adelia tahu ini konsekuensinya karena telah mengusahakan kenaikan jabatan pria itu sebelum dirinya memutuskan berhenti bekerja, tetapi Adelia tak menyangka rasanya tidak dianggap selama bertahun-tahun sangat menyiksa dan menyakitkan sekali. "Ah! Kau memang selalu memuaskan, Sayang!" Kening Adelia mengerenyit kala tak sengaja mendengar suara dari lantai atas. Degup jantungnya sedikit berdetak kencang, dengan segera ia menaiki anak tangga hingga kedua netra sembabnya membulat kala menyaksikan kebersamaan suami yang sempat menghinanya di depan orang banyak dengan seorang wanita yang tak asing baginya di atas ranjang. "Tidak! Ini tidak mungkin! Jadi seperti ini kelakuanmu di belakangku, Mas?" Adelia bergumam pelan seraya menutup mulutnya sendiri. Sebisa mungkin Adelia menahan suara tangisnya. Suara desah dan tawa terdengar semakin menelusup indra pendengaran hingga menusuk relung hatinya. Tubuh Adelia bergetar pilu, tak kuasa melihat pemandangan yang amat tak pantas dari balik celah pintu kamarnya sendiri. "Kau memang selalu bisa menghiburku, Citra! Tidak seperti Adelia yang selalu membuatku pusing!" Suara Ardi terdengar dengan sedikit terengah. "Ah, kau bisa saja. Memangnya Adelia tidak pernah menghiburmu?" tanya suara lain dengan manja. "Sahabatmu itu hanya menyusahkan, Sayang! Tubuhnya saja kurus tidak menarik! Aku kira dia bermanfaat, tetapi nyatanya apa? Rumah sering berantakan dan bahkan dia tidak bisa mengurus anaknya sendiri!" Dada Adelia kembali terasa sesak mendengarnya. Padahal selama ini ia tak pernah melalaikan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga meski harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menemani anaknya yang mengidap leukemia akut. Namun nampaknya semua pengorbanannya itu sama sekali tak terlihat di mata suaminya. "Setidaknya Adelia berguna dalam kenaikan jabatanmu, Mas. Tanpanya, mungkin kau tidak bisa berada di posisi manager?" "Ya, tetapi tetap saja dia bodoh! Seharusnya dia tidak mengikuti kata ibu untuk berhenti bekerja dan menerima tawaran jabatan sebagai sekretaris CEO. Setidaknya dengan begitu dia bisa mencari uang tambahan untuk kita, bukan malah menguras uangku untuk semua kebutuhannya!" Bagai ditusuk berkali-kali, akhirnya kekuatan Adelia runtuh. Derai air matanya tumpah. Sebisa mungkin Adelia bangkit dengan mencengkram erat benda-benda yang ada di sisinya, sebelum akhirnya meraih ponsel dan membuka sesuatu yang ada di sana. "Aku tidak akan diam saja, Mas! Akan kupastikan kau menyesal! Kau harus membayar setimpal semua pengorbananku yang selama ini tak pernah kau anggap!""Harapannya kecil, Ayah. Kata dokter, untuk saat ini kita hanya bisa berharap dan berdoa untuk kebaikan Adelia dan anaknya."Sosok wanita bertubuh tinggi di belakang Oma Nora yang akhirnya menjawab pertanyaan Tuan Brata alias mertuanya sendiri. Setelahnya hening, tak ada lagi percakapan yang terdengar hingga tiba-tiba Oma Nora tak sadarkan diri di atas kursi roda yang ditempatinya."Biar aku yang membawanya ke ruang perawatan, Bella. Kamu dan yang lainnya di sini saja untuk memantau keadaan Adelia," tutur Bunda Alice berusaha tenang di tengah kegentingan suasana ini."Terima kasih, Kak. Tolong kabari aku jika ada sesuatu yang penting."Mengangguk, ibu kandungnya Bisma tersebut segera berjalan ke ruangan lain. Keadaan sekarang benar-benar terasa mendebarkan. Tak ada satu orang pun yang bisa bernapas lega, terlebih saat ini Adelia sedang berada di tengah ambang hidup dan mati.Seperti yang dikatakan oleh Bella tadi, sekarang semuanya hanya bisa terus berdoa dan berharap tentang keselama
"Bagaimana keadaannya, Dok?"Di sisi lain, ada seorang pria yang sedang sangat cemas menunggu kabar baik dari wanita yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Napasnya masih tak beraturan setelah tadi sempat berlari sekencang mungkin ke tempat ini, begitu pula dengan tangannya yang masih terasa dingin karena rasa panik yang sempat menyerangnya.Bagaimana bisa Agler tak merasakan semua sensasi menegangkan ini? Adelia yang tiba-tiba tak sadarkan diri dengan sesuatu yang mengalir deras di kedua kakinya membuatnya tak bisa banyak berpikir. Tujuannya saat itu hanya satu, yaitu membawa wanita tersebut ke rumah sakit agar bisa segera ditangani oleh dokter."Maaf, Pak. Apa Anda suaminya?" Sang dokter malah balik bertanya hingga membuat cucunya Tuan Brata itu sedikit mengembuskan napasnya dengan berat."Saya ... Kebetulan saya hanya temannya saja, Dok. Dia dan suaminya sudah lama berpisah," ucapnya sedikit terbata-bata mengingat dirinya yang sebenarnya tak tahu apa-apa tent
"Sial! Kenapa jadi semakin rumit seperti ini?!"Tak bisa melakukan apa pun, Bella hanya bisa sesekali berteriak memaki dari dalam kamarnya. Salah satu tangannya kini mencengkram kuat ponselnya. Beberapa saat lalu jari-jemari yang ada di tangan itu sudah mengetikkan cukup banyak kata untuk mencoba menghubungi pria yang baru saja menjadi suaminya selama beberapa Minggu ini, tetapi sayang semua upayanya tersebut sama sekali tak membuahkan hasil."Ken ... Jika kali ini kau benar-benar bermain dengan Adelia, aku tentu tidak akan membiarkanmu pergi ke ujung dunia sekalipun!"Sekali lagi Bella mendengkus seraya menatap sekilas isi kamarnya. Ia mencoba mencari petunjuk yang mungkin saja ditinggalkan oleh suaminya, hingga kedua netranya memicing saat tak sengaja menemukan sesuatu yang memantulkan cahaya dari atas meja riasnya."Flashdisk? Hmm, baiklah. Mari kita lihat apa yang sudah kau simpan di dalam benda kecil ini, Ken. Kau sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan sudah melanggar ke
Kedua netra Agler membulat saat menyadari tubuh Adelia yang sudah jatuh tersungkur di atas tanah. Dengan segera ia berusaha menjuhkan Citra dari wanita yang sebenarnya tadi sudah berada di sampingnya itu dan tak ragu lagi untuk mendorongnya dengan kencang, sampai beberapa saat kemudian kedua netranya membulat saat menyadari sesuatu yang kini tengah mengarah kepadanya."Ck! Wanita ini benar-benar gila!" gumamnya mendengkus kesal sebelum akhirnya kembali membantu Adelia untuk berdiri tegak di sampingnya."Dia tidak akan pernah berhenti selagi masih melihatku sadar, Agler. Aku mohon, tolong aku! Aku sebenarnya tak peduli dia menghabisiku saat ini, tetapi aku ingin anak ini selamat!" Adelia berucap dengan terengah dan tubuh yang kembali bergetar saat lagi-lagi Citra menggunakan sebuah benda yang sangat ditakuti olehnya."Kau mau berjalan sendiri ke arahku atau aku yang akan menarikmu, Adelia? Cepatlah pilih karena aku tidak mau membuang-buang waktu lagi!"Citra nampak tak main-main dengan
Suara teriakan dari kejauhan lantas membuat seorang pria yang baru saja mengeluh tersebut mempertajam indra pendengarannya. Dengan perlahan langkahnya kembali maju menelusuri jalan setapak yang entah akan membawa dirinya ke mana. Hingga beberapa menit kemudian, kedua netra kembali membulat saat melihat sebuah mobil hitam yang terparkir di lahan kosong dengan bayangan dua orang perempuan yang sedikit terlihat di sampingnya."Tidak mungkin! Apa salah satu dari wanita di sana adalah Citra? Kalau memang benar Citra, itu berarti wanita yang sedang disiksa olehnya adalah ....""Sial! Tidak mungkin! Apa iya dia berani segila itu pada Adelia?!"Pria itu mengusap wajahnya dengan gusar sambil perlahan kembali bergerak mendekat. Rencananya yang ingin menemui Citra secara langsung akhirnya ia urungkan, karena kini dirinya berpikir akan jauh lebih aman jika wanita itu tak mengetahui keberadaannya lebih dulu.Keputusannya ini sebenarnya bukan untuk mengamankan dirinya. Pria yang sudah semakin jauh
"Bisma! Bisma! Tunggu! Ke mana saja kau ini! Aku sampai pusing mencarimu karena ibuku terus bertanya tentang keberadaanmu dan Adelia!"Tanpa diduga-duga Tante Bella kini berjalan mendekat ke arah Bisma yang baru saja keluar dari area belakang villa. Wajahnya seketika menegang melihat tantenya Adelia tersebut, apalagi wanita itu memasang ekspresi tak ramah yang mana juga terlihat dengan jelas aura kemarahan di sana."Maaf, Tante. Tadi aku—""Tadi aku sudah mencarimu di kamar Adelia! Ternyata sampai lelah tanganku mengetuk pintu, tidak ada satu orang pun yang menyahut dari dalam sana. Katamu tadi Adelia ingin beristirahat di kamarnya bukan? Kenapa sekarang dia tidak ada di sana?" Tante Bella yang belum selesai dengan emosinya kembali berbicara mencecar, hingga tak sadar memotong pembicaraan pria di hadapannya.Dengan berpikir keras, Bisma berusaha mencari cara yang tepat untuk membicarakan keadaan Adelia saat ini. Ia tahu walau sikap sehari-hari Tante Bella pada Adelia terkesan cuek, wa