Aku begitu kaget, sebab biasanya merekaselalu rukun, malah seolah saling menyalahkan. Namun, aku tidak tahu ini akting atau kenyataan. Karena hidup mereka selalu penuh dengan drama."Ya sudah, kalian nggak perlu terus-menerus saling menyalahkan. Namanya juga ada musibah, siapa sih yang mau? Lagian jika kalian terus berisik, silahkan kalian keluar saja dari mobil anakku. Kalian pulang naik angkutan umum saja sana, daripada disini bikin berisik! Kalian bertiga juga sepertinya tidak ada kasihnya sedikit pun sama anakku, padahal anakku sedang kesakitan begini. Tapi kalian malah menambah keributan saja," sungut Ibu.Ibu terlihat murka, saat mendengar perkataan mereka. Mereka semua pun terdiam, saat mendengar perkataan Ibu yang terlihat murka. Aku yakin mereka nggak mau, jika harus pulang naik angkutan umum. Mereka bertiga tidak beradu ucapan lagi, hingga kami sampai ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, tempat dulu Azka periksa, aku langsung mendapat penanganan. Setelah diperiksa, a
"Alhamdulillah, Mas, ternyata semua itu hanya mimpi," terangku, sambil memeluknya erat."Kamu mimpi apa? Kok nangisnya sampai begitu?" tanya Mas Arsya heran."Tadi aku bermimpi, Mas. Aku berada di tempat yang tidak aku kenal sama sekali, aku menangis karena takut tidak bertemu lagi dengan kalian. Aku kira itu beneran, eh ternyata itu hanya mimpi," terangku.Aku pun menuturkan panjang lebar, tentang semua yang aku alami barusan. Mas Arsya pun mendengarkan ceritaku, dengan sungguh-sungguh."Oh, jadi seperti itu ya, Sayang. Pantesan kamu nangis kejer tadi," sahut Mas Arsya."Iya, Mas, habisnya aku sedih banget," ujarku."Ya pasti sedih dong, Sayang. Mas juga pasti merasa sedih, jika dalam keadaam seperti itu," timpal Mas Arsya."Mas, kemana Bapak?" tanyaku kemudian, setelah tidak melihat keberadaan Bapak.Mas Arsya pun memberitahuku kemana Bapak, rupanya cinta pertamaku itu sedang shalat ashar. Karena ternyata saat ini telah menunjukan pukul empat lewat tiga puluh menit."Mas, aku juga
Jawaban Susi malah seolah menantangku, hingga membuat aku gemas. Kalau saja aku tidak sedang sakit, akan aku datangi dirinya. Aku tidak menjawab chat dari Susi lagi, sebab aku merasa dongkol sendiri menghadapi si Susi itu. Apakah sebenarnya Susi memiliki kelainan jiwa atau bagaimana? Itu yang terus menjadi pertanyaanku. Aku berpikir seperti itu karena perlakuannya selalu diluar batas manusia, yang selalu berpikiran normal.Mungkin aku harus tanyakan ini kepada Mas Hamdan, yang notabene adalah mantan suaminya Susi. Aku kembali ke beranda, melihat postingan teman temanku yang lain. Niatku untuk meredam emosi yang membara akibat ulah Susi, tapi ternyata emosiku malah tambah meluap-luap, saat postingan Susi yang lain mampir diberandaku.Statusnya adalah ia berterima kasih sama seseorang yang telah menolongnya, serta ia telah memberi hadiah kepadanya berupa ciuman. Itu artinya yang dia maksud adalah suamiku. Aku merasa sangat yakin, kalau yang dimaksud Susi adalah Mas Arsya. Susi rupanya b
"Nggak sih, cuma kira-kira habis berapa tuh uang untuk rental mobil? Kalau nggak bisa bayar, bukannya dapat merugikan orang lain ya? Mana yang disewa ini mobil mewah lagi, kan kasihan sama yang punya rentalannya! Bener nggak sih, Ibu-ibu?" tanya Bu Mega, sambil melirik ke arah Ibu-ibu yang ia tanya tersebut.Ia bicara sambil mencebikkan bibirnya, seolah sedang mengejek kepadaku. Ibu-ibu yang ditanya pun mengiyakan, kemudian mereka langsung tertawa, seakan menertawakan apa yang diucapkan Bu Mega. Padahal menurutku ucapan Bu Mega barusan tidak ada lucunya sama sekali. Tapi kok mereka malah tertawa seperti itu."Kenapa Bu Mega, kok Ibu kepo banget sih dengan kehidupanku? Mau berapa hari, minggu, bulan, ataupun tahun sekalipun aku berada di kampung ini itu bukan urusan Ibu. Lagian biarpun aku memberitahu nominal angka buat merental mobil ini, aku juga sangat yakin Ibu Mega tidak akan mau membantu aku untuk membayarnya bukan? Maka dari itu, Bu, lebih baik Ibu diam saja! Ibu nggak usah meng
"Ya iya dong, Mira. Coba kalau kamu berpenampilan seperti orang kaya, nggak mungkin aku memandangku dengan sebelah mata. Jadi kamu jangan salahkan aku bersikap seperti kemarin-kemarin, sebab semuanya juga karena salah kamu." Mbak Nina malah menyalahkanku, dengan semua perlakuannya kepadaku kemarin-kemarin."Ada apa ini? Siapa yang kaya?" tanya Uak Risma kepo, saat ia baru nongol ke warung anaknya tersebut.Entah telah pergi darimana dia, sehingga ia ketinggalan banyak informasi."Ini, Mah, ternyata Mira itu orang kaya lho! Mobil ini juga ternyata miliknya, serta dia juga sudah memiliki dua cabang rumah makan yang megah di Jakarta." Mbak Nina memberitahu ibunya, kalau aku ini seorang yang kaya."Ah masa sih, kok Mama nggak percaya ya," ujar Uak Risma.Uakku ini tidak percaya, dengan apa yang diucapkan oleh anaknya terseabut. Mungkin menurutnya mustahil, kalau aku bisa menjadi orang yang kaya raya. Padahal perjuanganku untuk menjadi saat ini tidaklah mudah.Karena aku berjuang selama s
"Nggak apa-apa, Bu Fatimah, kebetulan aku sedang puasa kemisan," jawab Bu Ustadzah.Ternyata Bu Ustadzah sedang puasa sunah, makanya ia tidak makan dan minum dari tadi, beda dengan Ibu-ibu yang lainnya."Oh ... maaf, Bu. Aku lupa hari," ucap Ibu sambil terkekeh."Iya nggak apa-apa, Bu Fatimah. Ya sudah permisi dulu ya semuanya, assalamualaikum." Bu Ustadzah pamit untuk yang kedua kalinya."Waalaikumsalam," sahut kami.Banyak yang pamit pulang, berbarengan dengan Bu Ustadzah, termasuk Mbak Saidah. Kini tamu yang masih tertinggal di rumah Ibu, hanya rombongan si mulut pedas saja. Mereka semua dari tadi tidak berhenti makan, seperti yang tidak pernah makan apa yang dihidangkan oleh ibuku.Entah untuk hal apa, mereka masih berada di rumah ini? Karena dari tadi mereka tidak berkata apapun, hanya asyik makan saja. Mereka seolah tidak punya rasa malu atau rasa segan kepadaku dan keluargaku. Karena mereka semua selama ini selalu membuat masalah denganku."Maaf, Bu-ibu, apa masih ada yang mau
"Mira, kok kamu marah sih?" tanya Susi seolah tidak terima dengan sikapku ini."Ya bagaimana aku tidak emosi, jika kalian itu berisik banget mulutnya? Karena keributan yang kalian timbulkan, sehingga membuat aku dan suamiku yang sedang beristirahat terganggu. Jika kalian memang mau bebas melakukan apapun sesuka kalian, ya sudah pergi saja dari sini! Kalian tinggal berisiknya di rumah kalian saja, jangan ribut di rumah orang seperti ini," tegurku.Aku sengaja berkata agak kasar, supaya mereka bisa mengerti, kalau aku dan keluargaku terganggu."Kamu kok marah-marah terus sih, Mira. Ibu kamu yang mempunyai rumah ini saja santai kok, nggak kaya kamu," jawab Susi."Ibuku memang orang baik, jadi dia masih menghargai kalian sebagai tamunya. Tapi tidak denganku, aku tidak bisa sebaik beliau. Jadi aku minta sama kalian, kalian segera pergi sekarang juga! Tinggalkan rumah ibuku, jangan lupa bersihkan dulu kulit kacang, yang kalian buang sembarangan! Lalu kalian bawa pulang sana, jangan pernah
POV SusiNamaku Susi Sulistiawati, aku memiliki teman bernama Mira. Sejak kecil kami sering bermain bersama, bahkan sekolah pun di sekolah yang sama.Bahkan kami pun selalu memakai pakaian yang sama, kami sudah seperti seorang anak kembar saja. Namun ada hal yang membedakan kami berdua.Mira tumbuh di keluarga yang penyayang, sehingga membuat dia dilimpahi dengan kasih sayang dari orang tuanya. Apalagi Mira merupakan anak satu-satunya, jadi kasih sayang orang tuanya terfokus kepadanya.Berbeda denganku, yang dari keluarga broken home. Sebelum orang tuaku berpisah, hampir setiap hari aku melihat pertengkaran Bapak dan Ibuku.Bukan hanya pertengkaran mulut, tetapi terkadang mereka juga saling baku hantam dihadapanku. Bahkan pernah aku menjadi korban kekerasan mereka hingga aku terluka, serta harus dilarikan ke rumah sakit.Semenjak saat itu, aku sering tinggal di rumah Mira. Bukan hanya Mira yang selalu mengajakku tinggal di rumahnya, melainkan orang tua Mira juga, yaitu Bu Fatimah dan