"Sakit kamu bilang, apalagi yang dirasa anak Mira, yang sampai mengeluarkan darah. Sedangkan tamparan ku ini tidak sampai mengeluarkan darah, tapi kamu bilang sakit, Susi. Tidak seperti yang anak Mira alami. Kamu itu pantas mendapatkan semua ini, kamu itu sudah keterlaluan, kamu telah kurang ajar, Susi! Tidak puaskah kamu terus mengganggu, Mira? Bahkan kamu selalu membuat ulah, serta kamu selalu membuat aku malu, hah!" Mas Hamdan memarahi Susi di depan orang banyak.
Sedangkan anakku diobati oleh para tetangga, yang selalu baik padaku. Karena tidak semua orang bersifat seenaknya, ada juga yang masih menghargai satu sama lain."Mas, kenapa kamu selalu membela Mira? Aku melakukan semua ini juga karena ulah dia, yang telah lancang menceritakan semua yang aku katakan sama kamu. Aku tidak suka kamu terus berdekatan dengan dia, Mas. Bukankah kamu tau itu?" tanya Susi kepada Mas Hamdan, sambil berderai air mata."Susi, sadar kamu! Karena rasa cemburu buta yang kamu rasa, kamu telah begitu jauh bertindak. Bahkan kamu sampai melukai anak orang, kamu harus bertanggung jawab mengobati anaknya Mira. Aku sudah tidak sanggup lagi hidup dengan orang yang posesif seperti kamu. Aku juga sudah tidak sudi lagi hidup bersama kamu, apalagi sampai saat ini kita belum juga memiliki keturunan." Mas Hamdan mengungkapkan rasa kecewanya terhadap tindakan yang dilakukan oleh Susi."Maksud kamu apa, Mas? Kamu mau meninggalkan aku?" tanya Susi.Sedangkan Mas Hamdan tidak menjawab ucapan Susi, tetapi ia malah mendekati Azka yang sudah mendapat pertolongan pertama. Tidak berapa lama orang tuaku datang, mereka datang dengan tergopoh-gopoh. Ibu dan Bapak datang, setelah ada tetangga yang memberitahunya, kalau aku dan anakku dianiaya oleh Susi."Mira, ada apa ini? Kenapa cucu Bapak terluka?" tanya Bapak."Kakek, semua ini gara-gara Ibu ini. Dia yang datang-datang memarahi dan menganiaya Ibu, hingga Adik menjadi terluka." Arka yang menjawab dan menjelaskan semuanya kepada Bapakku."Susi, kenapa kamu melakukan semua ini hah! Apa salah anak dan cucuku, hingga kamu berani berbuat anarkis seperti ini?" Bapak bertanya kepada Susi, dengan wajah merah padam penuh amarah.Apalagi saat ini Bapak dalam keadaan lelah, serta diberi suguhan yang tidak mengenakan mata dan hatinya. Jadi emosinya pun meluap-luap. Sedangkan Ibu tidak berkata apa-apa, tetapi ia langsung menggendong Azka dan mengusap-usap air mata anakku tersebut.Susi yang ditanya Bapak hanya diam saja, mungkin dia juga terkesima dengan bentakan Bapakku. Karena selama ini Bapak terkenal seorang yang santun dan juga tidak banyak bicara. Tetapi jika sedang dalam keadaan emosi, amarahnya dapat menaklukan singa yang sedang mengamuk."Susi, ayo jawab! Kamu jangan diam saja! Bukankah kamu paling pintar, dalam mengajak orang lain berdebat?" tanyaku."Pokoknya aku tidak mau tau, kamu harus membiayai pengobatan anakku. Aku tidak mau gara-gara ulah kamu, yang membuat anakku terluka, lalu ada apa-apa dikemudian hari. Aku mau saat ini juga bawa aku ke Dokter,atau jika perlu bawa langsung kerumah sakit untuk dilakukan scan." Aku menuntut Susi, supaya ia mau bertanggung jawab dengan apa yang telah dilakukannya."Susi, ayo jawab, jangan seperti orang bisu begitu!" Mas Hamdan menegur Susi.Mas Hamdan sepertinya sebal sekali terhadap istrinya ini. Susi juga keterlaluan banget, gara-gara cemburu buta, hingga ia berbuat seanarkis begini."Sudah-sudah, lebih baik kalian semua bubar! Aku hanya meminta Nak Hamdan dan Susi untuk masuk ke rumahku. Karena aku akan meminta pertanggung jawaban kepada kalian, sebab kalian telah membuat keributan, hingga mengakibatkan cucuku cedera." Bapak membubarkan kerumunan warga kampung, yang menyaksikan pertikaian ini.Semua orang pun bubar, hanya tersisa Susi dan Mas Hamdan saja. Kemudian kami pun masuk ke dalam rumah, sebab kami akan membahas, tentang pertanggung jawaban Susi, terhadap kesembuhan anakku tersebut.*****"Nak Hamdan, bagaimana ini? Cucuku menjadi cedera karena ulah istrimu. Bapak tidak mau Nak Arsya sampai menyalahkan kami, sebab menganggap kami telah teledor mengurus anak." Bapak memulai percakapan, setelah tadi ia bersih-bersih terlebih dulu."Iya, Pak, saya tahu semua ini karena ulah istriku. Tapi mulai saat ini aku tidak mau ikut campur lagi, dengan apa yang telah ia lakukan. Tetapi bukan berarti aku akan lepas tanggung jawab ya, Pak. Hanya saja aku ingin melihat, bagaimana pertanggung jawaban istriku, tanpa campur tangan dariku." Mas Hamdan pun mengungkapkan, apa yang telah menjadi keputusannya.Rupanya Mas Hamdan angkat tangan, dia tidak mau membantu Susi untuk mempertanggung jawabkan perbuatan istrinya tersebut."Maksud Mas apa? Mas tidak mau membantu aku untuk membiayai pengobatan anaknya Mira?" Susi bertanya kepada suaminya."Iya aku memang tidak mau membantumu, Susi. Aku ingin melihat sekeras apa usahamu, tanpa bantuan dan campur tangan aku. Karena selama ini, kamu tidak pernah mendengar apapun yang aku sarankan." Mas Hamdan menjawab pertanyaan Susi.Ia memberi alasan, kenapa ia sampai tidak mau membantu istrinya itu. Rupanya Mas Hamdan seolah menyerah, dengan apa yang dilakukan istrinya. Karena semua pepatah yang diucapkan Mas Hamdan, tidak pernah sekalipun Susi lakukan."Terus, aku mesti minta tolong sama siapa. Mas?" tanyanya lagi."Ya kamu pikir saja sendiri, berani berbuat mesti berani bertanggung jawab. Makanya mikir dulu sebelum bertindak," sahut Mas Hamdan sinis.Bersambung ...Mas Hamdan sudah bener-bener membenci istrinya, sampai-sampai ia tidak membantu istrinya tersebut. Bagitu terserah saja, Mas Hamdan mau membantu Susi ataupun tidak. Karena yang terpenting bagiku, Susi harus tetap mempertanggung jawabkan perbuatannya."Sekarang aku minta, supaya kamu segera membawa anakku berobat. Sebab aku tidak mau, jika anakku sampai terjadi apa-apa dikemudian hari." Aku meminta, supaya Susi segera membawa anakku berobat."Iya, Mira, tunggu aku akan mencari uangnya dulu!" Susi berkata sambil berdiri dan hendak pergi."Ok, aku tunggu seperempat jam, jika sampai seperempat jam kamu belum datang juga. Aku akan laporkan semua ini ke pihak yang berwajib," ancamku.Aku sengaja mengancamnya, supaya dia mempunyai efek jera. Karena semua perbuatan akan ada konsekuensinya."Iya, Mira, tapi aku minta waktu setengah jam ya! Karena mencari uangnya pun tidak gampang," pinta Susi."Bukannya kamu itu orang kaya ya, Sus? Kok harus mencari uangnya dulu," tanyaku meledek."Yang Kaya i
Aku pun langsung mengusap dada lalu beristigfar, supaya aku bisa menahan emosiku yang kini mulai tidak stabil."Terserah apa katamu, Mbak, yang penting aku tidak melakukan apa yang kamu tuduhkan. Toh ada saksi-saksi juga kok, termasuk Mas Hamdan suaminya Susi sendiri. Jika Mbak merasa tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan, silakan Mbak tanya langsung suaminya Susi. Apa aku meminta bayaran atas kecelakaan yang anakku alami atau tidak? Karena aku tidak merasa meminta bayaran atas apa yang terjadi terhadap anakku. Aku hanya meminta, supaya Susi mau mengobati anakku sampai sembuh, tetapi tidak meminta uang sama sekali darinya." Aku menuturkan sedetail mungkin, tentang apa yang sebenarnya terjadi kemarin, pada saat aku meminta pertanggung jawaban Susi untuk mengobati anakku."Ya ... Mana ada maling mau ngaku, sebab kalau semua maling ngaku, maka penjara akan penuh." Mbak Nina malah menyahut ucapanku dengan pribahasa, yang artinya tidak mempercayaiku.Aku pun tidak lagi meladeni Kakak s
"Iya ... aku akan menceraikanmu, Susi, jika kamu terus berulah yang tidak-tidak terhadap Mira dan keluarganya." Mas Hamdan menjawab pertanyaan istrinya."Nggak, pokoknya aku nggak mau diceraikan, Mas! Lebih baik aku mati, daripada harus bercerai sama kamu," tolak Susi, sambil menangis histeris.Susi pun terus menangis, saat mendengar kalau dirinya akan diceraikan oleh Mas Hamdan. Karena Susi bilang dia tidak mau, jika akan diceraikan oleh suaminya tersebut. "Makanya, Susi, kamu itu kalau jadi perempuan yang nurut sama suami. Toh aku juga nggak meminta yang macam-macam kan sama kamu? Walaupun selama menikah denganmu, kita belum dipercaya mempunyai momongan. Tetapi aku masih tetap setia kan sama kamu?" tanya Mas Hamdan."Tapi, Mas, aku merasa takut, kalau ternyata Mas mencintai wanita lain. Apalagi setelah si Mira datang tidak bersama suaminya. Aku semakin takut, Mas. Aku takut kamu jatuh cinta padanya, kemudian melupakan aku. Karena dia adalah seorang perempuan, yang dulu sangat Mas i
"Mira, Bapak, Ibu, aku permisi dulu ya! Terima kasih karena kalian telah menerima kedatanganku dengan baik," pamit Mas Hamdan.Mas Hamdan berpamitan kepadaku dan orang tuaku, tetapi wajahnya seperti sedang menahan amarah. Karena terlihat dari raut wajahnya yang merah padam, serta dengan napas yang memburu. Tetapi dia tidak melupakan, attitude yang baik saat sedang bertamu di rumah orang."Lho, kok buru-buru amat sih, Nak Hamdan?" tanya Bapak."Iya, Pak, maaf ya," sahut Mas Hamdan.Setelah bersalaman dengan kedua orang tuaku, Mas Hamdan pun pergi meninggalkan rumah kami, tanpa mengajak serta istrinya. Tetapi Susi tetap mengekori Mas Hamdan, ia berjalan terburu-buru mengimbangi langkah suaminya. Bahkan Susu tidak mengucapkan salam sama sekali terhadap kami, sebahai pemilik rumah ini. Sikap Susi dan attitude Mas Hamdan begitu berbanding terbalik. Mereka begitu jomplang bagaikan bumi dan langit. Saat ini sepertinya Mas Hamdan sedang marah besar terhadap istrinya itu, pantas saja jika Mas
Aku bertanya kepada mereka bertiga, tentang maksud dan tujuan mereka datang ke rumah orang tuaku tersebut. Padahal Susi pernah bilang, kalau dia tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi. "Asal kamu tau ya, Mira. Aku datang kesini karena mau membuat perhitungan dengan kamu, Mira! Karena gara-gara kamu, rumah tanggaku hancur!" Susi berkata, sambil mendorong pundakku, dengan begitu kasar."Iya benar, kamu harus bertanggung jawab atas semua yang dialami, Susi. Ingat kamu harus bertanggung jawab, Mira," timpal Mbak Nina dan juga Bu Mega, mereka berdua berkata sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Lho, kenapa aku yang kalian persalahkan? Aku nggak ada sangkut pautnya, dengan permasalahan yang sedang Susi hadapi. Itu kan masalah pribadi, antara Mas Hamdan dan juga Susi," sanggahku.Aku tidak terima ketika mereka berkata, kalau aku adalah biang dari masalah, yang sedang dihadapi oleh Susi tersebut. Aku tidak mau menjadi kambing hitam atas semua kesalahan yang tidak pernah aku lakukan.Enak bet
Tidak berapa lama, si pengemudi mobil pun membuka pintu, kemudian ia keluar dari dalam mobil tersebut. Wajah Mbak Nina dan Uak Risma pun langsung memucat, saat melihat siapa yang datang. Kemudian mereka pun langsung menyebut siapa pengemudi mobil pajero tersebut."Arsya!" seru Mbak Nina dan Uak Risma barengan."Iya, Uak, dia itu Mas Arsya suamiku. Bukannya Mas Malik, suaminya Mbak Nina," terangku, sambil tersenyum.Aku merasa lucu dengan tingkah mereka berdua, sebab tadi mereka sudah sangat girang karena dikira Mas Malik yang datang. Namun saat Mas Arsya yang datang wajah mereka langsung terlihat begitu kecewa."Kok suamimu membawa mobil mewah sih? Pasti suamimu sengaja menyewa mobil ini, buat dicap kaya oleh warga kampung ya?" tanya Mbak Nina, dengan senyum mengejek."Bukan seperti itu, Uak. Tapi mobil ini memang mobil kami," terangku."Ah nggak mungkin, kaksu kamu memiliki mobil. Uang dari mana kamu buat membelinya? Apalagi mobil ini 'kan harganya mahal," tanya Uak Risma.Ia nggak
Aku bertanya karena merasa heran, dengan ucapan Uak Risma barusan. Kenapa bisa, ia sampai menyimpulkan hal seperti itu? Uak Risma menganggap keluargaku sombong, hanya karena tidak mengajak mereka pergi. "Ya terus aku mesti ngomong apa lagi, Mira? Memang seperti itu kan kenyataannya? Aku yakin, jika kalian semua tidak mungkin akan mengajakku jalan-jakan, kalau saja aku tidak datang kesini!" Uak Risma terus menyalahkan kami, ia tetap merasa berada di posisi paling benar."Maaf, Mbak Risma, sebetulnya kami tidak pernah bermaksud seperti itu. Tetapi pada saat melihat sikap Mbak dan Nina yang menjauh dari keluarga kami, maka kami pun mulai membatasi. Kami bukan tidak mau mengajak Mbak dan Nina, tetapi kami merasa takut jika nanti Mbak dan Nina malah akan menolaknya." Ibu mengungkapkan semua alasan yang membuat kami tidak mau mengajak Mbak Nina dan Uak Risma."Iya bener apa kata ibunya Mira, kami semua tidak bermaksud menjadi orang yang sombong atau apapun itu. Maafkan kami, jika sikap k
"Lho, kok kamu bicaranya seperti itu sih Mira! Kamu kok malah mengancam kami," tanya Mbak Nina terlihat heran, ia sampai memicingkan matanya padaku.Kami yang berniat akan pergi jalan-jalan malah berdebat hal yang sangat konyol, hingga membuat rencana kami untuk pergi jalan-jalan pun tertunda."Makanya, kalian itu nurut saja dengan aturanku. Silahkan kalian duduk di belakang dan jangan pernah sekalipun bikin ulah! Tapi jika kalian tidak mau menuruti apa yang aku mau, lebih baik kalian semua tidak usah ikut jalan-jalan deh, bikin ribet saja!" Aku memberi mereka pilihan, mau mengikuti perintahku atau tidak.Mereka bertiga pun sepertinya berpikir, menimbang apa yang aku ucapkan. Sekali-sekali memang perlu dibegitukan, orang sombong seperti mereka bertiga. Biar mereka sadar, posisi mereka saat ini seperti apa? Aneh, orang yang diajak kok malah mau mengalahkan orang yang ngajak, itu namanya kurang ajar."Ya sudah, kami ikut aturan kamu saja deh, yang penting kami bisa ikut jalan-jalan da