Mas Hamdan sudah bener-bener membenci istrinya, sampai-sampai ia tidak membantu istrinya tersebut. Bagitu terserah saja, Mas Hamdan mau membantu Susi ataupun tidak. Karena yang terpenting bagiku, Susi harus tetap mempertanggung jawabkan perbuatannya.
"Sekarang aku minta, supaya kamu segera membawa anakku berobat. Sebab aku tidak mau, jika anakku sampai terjadi apa-apa dikemudian hari." Aku meminta, supaya Susi segera membawa anakku berobat."Iya, Mira, tunggu aku akan mencari uangnya dulu!" Susi berkata sambil berdiri dan hendak pergi."Ok, aku tunggu seperempat jam, jika sampai seperempat jam kamu belum datang juga. Aku akan laporkan semua ini ke pihak yang berwajib," ancamku.Aku sengaja mengancamnya, supaya dia mempunyai efek jera. Karena semua perbuatan akan ada konsekuensinya."Iya, Mira, tapi aku minta waktu setengah jam ya! Karena mencari uangnya pun tidak gampang," pinta Susi."Bukannya kamu itu orang kaya ya, Sus? Kok harus mencari uangnya dulu," tanyaku meledek."Yang Kaya itu suamiku, aku mana punya uang, kalau dia tidak mau membantuku." Susi menjawab dengan nada suara lesu.Mungkin juga ia merasa menyesal dengan semua ini."Karena aku masih mau berbaik hati padamu, aku beri kamu waktu setengah jam. Tapi jika sampai waktu yang telah ditentukan kamu tidak datang, maka kamu bersiap-siaplah karena polisi akan mencarimu." Aku mengingatkannya lagi, supaya ia tidak ingkar janji."Iya, Mira," sahutnya sambil berlalu pergi dari rumahku.Susi pergi tanpa mengucapkan pamit atau salam kepada kami sang pemilik rumah, serta orang yang ada di sini termasuk suaminya sendiri. Setelah Susi tidak ada, aku pun masuk ke kamarku untuk bersiap-siap barangkali nanti Susi datang. Sedangkan Mas Hamdan sedang berbincang dengan Bapak.Setengah jam kemudian, Susi pun menepati janjinya. Setelah itu kami pun pergi menuju rumah sakit, dengan menggunakan mobil bak Mas Hamdan. Rumah sakit yang kami tuju berada di kecamatan, jarak dari rumah orang tuaku sekitar satu jam perjalanan, dengan menggunakan kendaraan.Sesampainya di rumah sakit, Azka pun diperiksa oleh dokter. Bahkan kepala Azka pun di scan, sebab takut terjadi sesuatu di kepalanya. Tetapi alhamdulillah semuanya baik-baik saja, hanya luka sobek yang ada di keningnya saja.*****"Mira, kamu kok tega sekali sih kepada temanmu!" ujar Mbak Nina, saat aku membeli kopi untuk Bapak."Apa maksud kamu, Mbak?" tanyaku."Itu kemarin, kamu tega sekali kepada Susi. Kamu menyuruh Susi untuk berhutang, padahal itu buat pengobatan anakmu." Mbak Nina menerangkan maksud dari ucapannya tersebut.Ternyata Mbak Nina berkata seperti itu, dikarenakan masalah aku meminta pertanggung jawaban dari Susi kemarin. Entah apa yang dibicarakan Susi diluaran sana, sehingga Mbak Nina pun berkata seperti itu."Mbak, memangnya Susi kemarin bilang apa sama kamu? Kok sepertinya Mbak menyalahkan aku sih?" tanyaku heran."Susi bilang kalau kamu meminta dia, supaya membawa anak kamu ke rumah sakit. Padahal kejadian kemarin semuanya itu bukanlah kesalah Susi, tetapi salah anak kamu sendiri yang terpeleset hingga Kapentok ujung lantai. Jadi kenapa mesti meminta Susi yang bertanggung jawab, seharusnya kamu dong sebagai Ibunya? Atau kamu memang sengaja melakukan semua itu demi uang? Malu aku mempunyai sepupu seperti kamu, makanya aku malas jika harus menganggap kamu sebagai keluargaku." Mbak Nina menjawab panjang lebar, ia juga menceritakan apa yang ia dengar dari Susi tersebut.Rupanya Susi beralibi, kalau Azka celaka itu bukan karena kesalahannya, yang mendorong anakku tersebut sampai terjatuh. Tetapi ia menuding, kalau kecelakan tersebut karena anakku terpeleset. Hingga Mbak Nina menganggap aku ingin memanfaatkan uang Susi.Ternyata pintar sekali Susi berdalih, hingga mengambing hitamkan orang lain. Aku juga heran kepada orang-orang, yang memiliki sifat seperti Mbak Nina. Mereka gampang sekali terhasut, oleh omongan orang yang tidak bertanggung jawab seperti Susi itu."Maaf, Mbak, kalau Mbak tidak melihat sendiri kejadiannya. Mending Mbak jangan langsung percaya seratus persen sama omongan orang itu. Mbak harus mencari tahu dulu, dari sumber terpercaya yang lain, biar nggak salah paham, yang nantinya bisa menimbulkan huru-hara." Aku meminta Mbak Nina, supaya ia jangan langsung percaya begitu saja dengan omongan orang lain."Kamu jangan malah menutupi semua kesalahan kamu, Mira. Kalau memang kamu salah, ya kamu harus mengaku salah, jangan maunya benar terus." Mbak Nina malah menyalahkanku, ia tidak mau mempercayai ucapan yang aku ucapkan."Ya sudah terserah Mbak saja, yang penting aku sudah memberitahu Mbak," kataku mengakhiri perdebatan.Aku tidak mau berdebat terlalu panjang dengan Mbak Nina, makanya lebih baik aku yang mengakhirinya. Karena berurusan dengan Mbak Nina, sama dengan berurusan dengan anak kecil, yang susah diberi masukan."Mbak, kopi serenteng berapa harganya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Lima belas ribu," sahutnya.Aku pun memberikan uang satu lembar nominal lima puluh ribu rupiah kepada Mbak Nina. Kemusian ia pun menerimanya, tetapi Mbak Nina malah bertanya yang bukan-bukan, tentang uang yang aku berikan tersebut."Mira, uang ini bukan hasil dari menipu orang 'kan?" tanyanya, dengan nada mengejek."Mbak, kok ngomongnya begitu sih? Ini uang hasil kerja keras aku sama suamiku ya, bukan uang hasil menipu. Lagian juga mana pernah, aku menipu orang untuk mendapatkan uang?" Aku menyahut, serta aku bertanya balik kepada Kakak sepupuku tersebut."Ya barang kali saja kamu sedang kepepet keuangan, lalu kamu menuduh orang melukai anakmu, setelah itu kamu meminta uang darinya." Mbak Nina berkata dengan mulut yang begitu lemes, ia juga bahkan menuduhku yang bukan-bukan.Bersambung ...Aku pun langsung mengusap dada lalu beristigfar, supaya aku bisa menahan emosiku yang kini mulai tidak stabil."Terserah apa katamu, Mbak, yang penting aku tidak melakukan apa yang kamu tuduhkan. Toh ada saksi-saksi juga kok, termasuk Mas Hamdan suaminya Susi sendiri. Jika Mbak merasa tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan, silakan Mbak tanya langsung suaminya Susi. Apa aku meminta bayaran atas kecelakaan yang anakku alami atau tidak? Karena aku tidak merasa meminta bayaran atas apa yang terjadi terhadap anakku. Aku hanya meminta, supaya Susi mau mengobati anakku sampai sembuh, tetapi tidak meminta uang sama sekali darinya." Aku menuturkan sedetail mungkin, tentang apa yang sebenarnya terjadi kemarin, pada saat aku meminta pertanggung jawaban Susi untuk mengobati anakku."Ya ... Mana ada maling mau ngaku, sebab kalau semua maling ngaku, maka penjara akan penuh." Mbak Nina malah menyahut ucapanku dengan pribahasa, yang artinya tidak mempercayaiku.Aku pun tidak lagi meladeni Kakak s
"Iya ... aku akan menceraikanmu, Susi, jika kamu terus berulah yang tidak-tidak terhadap Mira dan keluarganya." Mas Hamdan menjawab pertanyaan istrinya."Nggak, pokoknya aku nggak mau diceraikan, Mas! Lebih baik aku mati, daripada harus bercerai sama kamu," tolak Susi, sambil menangis histeris.Susi pun terus menangis, saat mendengar kalau dirinya akan diceraikan oleh Mas Hamdan. Karena Susi bilang dia tidak mau, jika akan diceraikan oleh suaminya tersebut. "Makanya, Susi, kamu itu kalau jadi perempuan yang nurut sama suami. Toh aku juga nggak meminta yang macam-macam kan sama kamu? Walaupun selama menikah denganmu, kita belum dipercaya mempunyai momongan. Tetapi aku masih tetap setia kan sama kamu?" tanya Mas Hamdan."Tapi, Mas, aku merasa takut, kalau ternyata Mas mencintai wanita lain. Apalagi setelah si Mira datang tidak bersama suaminya. Aku semakin takut, Mas. Aku takut kamu jatuh cinta padanya, kemudian melupakan aku. Karena dia adalah seorang perempuan, yang dulu sangat Mas i
"Mira, Bapak, Ibu, aku permisi dulu ya! Terima kasih karena kalian telah menerima kedatanganku dengan baik," pamit Mas Hamdan.Mas Hamdan berpamitan kepadaku dan orang tuaku, tetapi wajahnya seperti sedang menahan amarah. Karena terlihat dari raut wajahnya yang merah padam, serta dengan napas yang memburu. Tetapi dia tidak melupakan, attitude yang baik saat sedang bertamu di rumah orang."Lho, kok buru-buru amat sih, Nak Hamdan?" tanya Bapak."Iya, Pak, maaf ya," sahut Mas Hamdan.Setelah bersalaman dengan kedua orang tuaku, Mas Hamdan pun pergi meninggalkan rumah kami, tanpa mengajak serta istrinya. Tetapi Susi tetap mengekori Mas Hamdan, ia berjalan terburu-buru mengimbangi langkah suaminya. Bahkan Susu tidak mengucapkan salam sama sekali terhadap kami, sebahai pemilik rumah ini. Sikap Susi dan attitude Mas Hamdan begitu berbanding terbalik. Mereka begitu jomplang bagaikan bumi dan langit. Saat ini sepertinya Mas Hamdan sedang marah besar terhadap istrinya itu, pantas saja jika Mas
Aku bertanya kepada mereka bertiga, tentang maksud dan tujuan mereka datang ke rumah orang tuaku tersebut. Padahal Susi pernah bilang, kalau dia tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi. "Asal kamu tau ya, Mira. Aku datang kesini karena mau membuat perhitungan dengan kamu, Mira! Karena gara-gara kamu, rumah tanggaku hancur!" Susi berkata, sambil mendorong pundakku, dengan begitu kasar."Iya benar, kamu harus bertanggung jawab atas semua yang dialami, Susi. Ingat kamu harus bertanggung jawab, Mira," timpal Mbak Nina dan juga Bu Mega, mereka berdua berkata sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Lho, kenapa aku yang kalian persalahkan? Aku nggak ada sangkut pautnya, dengan permasalahan yang sedang Susi hadapi. Itu kan masalah pribadi, antara Mas Hamdan dan juga Susi," sanggahku.Aku tidak terima ketika mereka berkata, kalau aku adalah biang dari masalah, yang sedang dihadapi oleh Susi tersebut. Aku tidak mau menjadi kambing hitam atas semua kesalahan yang tidak pernah aku lakukan.Enak bet
Tidak berapa lama, si pengemudi mobil pun membuka pintu, kemudian ia keluar dari dalam mobil tersebut. Wajah Mbak Nina dan Uak Risma pun langsung memucat, saat melihat siapa yang datang. Kemudian mereka pun langsung menyebut siapa pengemudi mobil pajero tersebut."Arsya!" seru Mbak Nina dan Uak Risma barengan."Iya, Uak, dia itu Mas Arsya suamiku. Bukannya Mas Malik, suaminya Mbak Nina," terangku, sambil tersenyum.Aku merasa lucu dengan tingkah mereka berdua, sebab tadi mereka sudah sangat girang karena dikira Mas Malik yang datang. Namun saat Mas Arsya yang datang wajah mereka langsung terlihat begitu kecewa."Kok suamimu membawa mobil mewah sih? Pasti suamimu sengaja menyewa mobil ini, buat dicap kaya oleh warga kampung ya?" tanya Mbak Nina, dengan senyum mengejek."Bukan seperti itu, Uak. Tapi mobil ini memang mobil kami," terangku."Ah nggak mungkin, kaksu kamu memiliki mobil. Uang dari mana kamu buat membelinya? Apalagi mobil ini 'kan harganya mahal," tanya Uak Risma.Ia nggak
Aku bertanya karena merasa heran, dengan ucapan Uak Risma barusan. Kenapa bisa, ia sampai menyimpulkan hal seperti itu? Uak Risma menganggap keluargaku sombong, hanya karena tidak mengajak mereka pergi. "Ya terus aku mesti ngomong apa lagi, Mira? Memang seperti itu kan kenyataannya? Aku yakin, jika kalian semua tidak mungkin akan mengajakku jalan-jakan, kalau saja aku tidak datang kesini!" Uak Risma terus menyalahkan kami, ia tetap merasa berada di posisi paling benar."Maaf, Mbak Risma, sebetulnya kami tidak pernah bermaksud seperti itu. Tetapi pada saat melihat sikap Mbak dan Nina yang menjauh dari keluarga kami, maka kami pun mulai membatasi. Kami bukan tidak mau mengajak Mbak dan Nina, tetapi kami merasa takut jika nanti Mbak dan Nina malah akan menolaknya." Ibu mengungkapkan semua alasan yang membuat kami tidak mau mengajak Mbak Nina dan Uak Risma."Iya bener apa kata ibunya Mira, kami semua tidak bermaksud menjadi orang yang sombong atau apapun itu. Maafkan kami, jika sikap k
"Lho, kok kamu bicaranya seperti itu sih Mira! Kamu kok malah mengancam kami," tanya Mbak Nina terlihat heran, ia sampai memicingkan matanya padaku.Kami yang berniat akan pergi jalan-jalan malah berdebat hal yang sangat konyol, hingga membuat rencana kami untuk pergi jalan-jalan pun tertunda."Makanya, kalian itu nurut saja dengan aturanku. Silahkan kalian duduk di belakang dan jangan pernah sekalipun bikin ulah! Tapi jika kalian tidak mau menuruti apa yang aku mau, lebih baik kalian semua tidak usah ikut jalan-jalan deh, bikin ribet saja!" Aku memberi mereka pilihan, mau mengikuti perintahku atau tidak.Mereka bertiga pun sepertinya berpikir, menimbang apa yang aku ucapkan. Sekali-sekali memang perlu dibegitukan, orang sombong seperti mereka bertiga. Biar mereka sadar, posisi mereka saat ini seperti apa? Aneh, orang yang diajak kok malah mau mengalahkan orang yang ngajak, itu namanya kurang ajar."Ya sudah, kami ikut aturan kamu saja deh, yang penting kami bisa ikut jalan-jalan da
"Bu-bukan, bukan begitu, Dek! Justru tadi itu Mas kaget banget, mendapat perlakuan seperti itu dari dia. Mas kaget, Sayang, bukannya menikmati," jawab Mas Arsya, sambil mengusap wajahku."Bohong kamu, Mas! Aku tidak percaya dengan ucapanmu," "Udah dong, Sayang. Kamu nggak perlu ngambek begitu, nanti cantiknya hilang lho!" Mas Arsya malah merayuku.Ia memang selalu bisa membuat aku klepek-klepek, wakau saat suasana hatiku sangatlah buruk sekalipun. Seperti saat ini, ketika mendapat perlakuan demi perlakuan yang tidak menyenangkan dari ketiga orang tersebut, yaitu Mbak Nina, Uak Risma dan juga Susi. Aku terus saja merasa jengkel, dari semenjak akan berangkat tadi. Kalau saja tidak memikirkan perasaan keluargaku, aku pasti akan membatalkan rencana piknik ini karena ulah ketika orang tersebut, sehingga membuat mood aku menjadi hancur."Awas ya, Mas, kalau sampai kamu kepincut sama si Susi! Pokoknya aku tidak akan pernah memaafkan kamu, Mas," ancamku."Ya tidak akan pernah dong, sayang.