Share

Bab 6

Mas Hamdan sudah bener-bener membenci istrinya, sampai-sampai ia tidak membantu istrinya tersebut. Bagitu terserah saja, Mas Hamdan mau membantu Susi ataupun tidak. Karena yang terpenting bagiku, Susi harus tetap mempertanggung jawabkan perbuatannya.

"Sekarang aku minta, supaya kamu segera membawa anakku berobat. Sebab aku tidak mau, jika anakku sampai terjadi apa-apa dikemudian hari." Aku meminta, supaya Susi segera membawa anakku berobat.

"Iya, Mira, tunggu aku akan mencari uangnya dulu!" Susi berkata sambil berdiri dan hendak pergi.

"Ok, aku tunggu seperempat jam, jika sampai seperempat jam kamu belum datang juga. Aku akan laporkan semua ini ke pihak yang berwajib," ancamku.

Aku sengaja mengancamnya, supaya dia mempunyai efek jera. Karena semua perbuatan akan ada konsekuensinya.

"Iya, Mira, tapi aku minta waktu setengah jam ya! Karena mencari uangnya pun tidak gampang," pinta Susi.

"Bukannya kamu itu orang kaya ya, Sus? Kok harus mencari uangnya dulu," tanyaku meledek.

"Yang Kaya itu suamiku, aku mana punya uang, kalau dia tidak mau membantuku." Susi menjawab dengan nada suara lesu.

Mungkin juga ia merasa menyesal dengan semua ini.

"Karena aku masih mau berbaik hati padamu, aku beri kamu waktu setengah jam. Tapi jika sampai waktu yang telah ditentukan kamu tidak datang, maka kamu bersiap-siaplah karena polisi akan mencarimu." Aku mengingatkannya lagi, supaya ia tidak ingkar janji.

"Iya, Mira," sahutnya sambil berlalu pergi dari rumahku.

Susi pergi tanpa mengucapkan pamit atau salam kepada kami sang pemilik rumah, serta orang yang ada di sini termasuk suaminya sendiri. Setelah Susi tidak ada, aku pun masuk ke kamarku untuk bersiap-siap barangkali nanti Susi datang. Sedangkan Mas Hamdan sedang berbincang dengan Bapak.

Setengah jam kemudian, Susi pun menepati janjinya. Setelah itu kami pun pergi menuju rumah sakit, dengan menggunakan mobil bak Mas Hamdan. Rumah sakit yang kami tuju berada di kecamatan, jarak dari rumah orang tuaku sekitar satu jam perjalanan, dengan menggunakan kendaraan.

Sesampainya di rumah sakit, Azka pun diperiksa oleh dokter. Bahkan kepala Azka pun di scan, sebab takut terjadi sesuatu di kepalanya. Tetapi alhamdulillah semuanya baik-baik saja, hanya luka sobek yang ada di keningnya saja.

*****

"Mira, kamu kok tega sekali sih kepada temanmu!" ujar Mbak Nina, saat aku membeli kopi untuk Bapak.

"Apa maksud kamu, Mbak?" tanyaku.

"Itu kemarin, kamu tega sekali kepada Susi. Kamu menyuruh Susi untuk berhutang, padahal itu buat pengobatan anakmu." Mbak Nina menerangkan maksud dari ucapannya tersebut.

Ternyata Mbak Nina berkata seperti itu, dikarenakan masalah aku meminta pertanggung jawaban dari Susi kemarin. Entah apa yang dibicarakan Susi diluaran sana, sehingga Mbak Nina pun berkata seperti itu.

"Mbak, memangnya Susi kemarin bilang apa sama kamu? Kok sepertinya Mbak menyalahkan aku sih?" tanyaku heran.

"Susi bilang kalau kamu meminta dia, supaya membawa anak kamu ke rumah sakit. Padahal kejadian kemarin semuanya itu bukanlah kesalah Susi, tetapi salah anak kamu sendiri yang terpeleset hingga Kapentok ujung lantai. Jadi kenapa mesti meminta Susi yang bertanggung jawab, seharusnya kamu dong sebagai Ibunya? Atau kamu memang sengaja melakukan semua itu demi uang? Malu aku mempunyai sepupu seperti kamu, makanya aku malas jika harus menganggap kamu sebagai keluargaku." Mbak Nina menjawab panjang lebar, ia juga menceritakan apa yang ia dengar dari Susi tersebut.

Rupanya Susi beralibi, kalau Azka celaka itu bukan karena kesalahannya, yang mendorong anakku tersebut sampai terjatuh. Tetapi ia menuding, kalau kecelakan tersebut karena anakku terpeleset. Hingga Mbak Nina menganggap aku ingin memanfaatkan uang Susi.

Ternyata pintar sekali Susi berdalih, hingga mengambing hitamkan orang lain. Aku juga heran kepada orang-orang, yang memiliki sifat seperti Mbak Nina. Mereka gampang sekali terhasut, oleh omongan orang yang tidak bertanggung jawab seperti Susi itu.

"Maaf, Mbak, kalau Mbak tidak melihat sendiri kejadiannya. Mending Mbak jangan langsung percaya seratus persen sama omongan orang itu. Mbak harus mencari tahu dulu, dari sumber terpercaya yang lain, biar nggak salah paham, yang nantinya bisa menimbulkan huru-hara." Aku meminta Mbak Nina, supaya ia jangan langsung percaya begitu saja dengan omongan orang lain.

"Kamu jangan malah menutupi semua kesalahan kamu, Mira. Kalau memang kamu salah, ya kamu harus mengaku salah, jangan maunya benar terus." Mbak Nina malah menyalahkanku, ia tidak mau mempercayai ucapan yang aku ucapkan.

"Ya sudah terserah Mbak saja, yang penting aku sudah memberitahu Mbak," kataku mengakhiri perdebatan.

Aku tidak mau berdebat terlalu panjang dengan Mbak Nina, makanya lebih baik aku yang mengakhirinya. Karena berurusan dengan Mbak Nina, sama dengan berurusan dengan anak kecil, yang susah diberi masukan.

"Mbak, kopi serenteng berapa harganya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Lima belas ribu," sahutnya.

Aku pun memberikan uang satu lembar nominal lima puluh ribu rupiah kepada Mbak Nina. Kemusian ia pun menerimanya, tetapi Mbak Nina malah bertanya yang bukan-bukan, tentang uang yang aku berikan tersebut.

"Mira, uang ini bukan hasil dari menipu orang 'kan?" tanyanya, dengan nada mengejek.

"Mbak, kok ngomongnya begitu sih? Ini uang hasil kerja keras aku sama suamiku ya, bukan uang hasil menipu. Lagian juga mana pernah, aku menipu orang untuk mendapatkan uang?" Aku menyahut, serta aku bertanya balik kepada Kakak sepupuku tersebut.

"Ya barang kali saja kamu sedang kepepet keuangan, lalu kamu menuduh orang melukai anakmu, setelah itu kamu meminta uang darinya." Mbak Nina berkata dengan mulut yang begitu lemes, ia juga bahkan menuduhku yang bukan-bukan.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status