Share

Bab 4

"Iya, Bu, bahkan mereka mengataiku sebagai perempuan jalang segala." Aku berterus terang kepada Ibu, sebab dia adalah orang yang selalu setia mendengarkan curhatanku.

"Ya sudah, kamu jangan ambil pusing perkataan mereka. Biarkanlah mereka berkata apa, toh semua perkataan baik dan buruknya juga akan berbalik ke diri mereka masing-masing." Ibu memberi pepatah kepadaku, supaya aku tidak membalas perbuatan jelek semua orang yang selalu menghinaku.

Aku pun mengiyakan, apa yang ibuku pesankan kepadaku. Karena apa yang diucapkan Ibu itu memang benar, serta merupakan jalan terbaik untukku.

"Bunda, Arka mau membantu Kakek lagi ya," pinta anak sulungku, yang baru berusia sepuluh tahun dan kini mau masuk ke kelas lima Sekolah Dasar.

"Iya, Bun, Azka juga mau membantu Kakek lagi." Anak bungsuku meminta izin untuk membantu kakeknya.

Azka kini baru berusia lima tahun dan mau masuk Sekolah Taman Kanak-Kanak.

"Boleh, tapi kalian tetap harus berhati-hati ya. Jangan sambil bercanda membantu kakeknya," pesanku.

"Iya, Bun," sahut mereka.

Setelah mendapat izin dariku, mereka pun kini membantu kakeknya mengangkut batang padi yang baru dipotong. Aku membereskan bekas makan, sedangkan Ibu pun langsung bekerja seperti semula. Selesai membereskan sisa makanan, aku pun membantu Ibu merontokan padi dari batangnya.

Aku membantu hingga terdengar suara adzan ashar. Aku kemudian mengajak kedua anakku untuk pulang ke rumah, sedangkan Ibu dan Bapak shalat ashar di gubuk yang ada di sana. Mereka juga membereskan padi, yang baru kami panen untuk di simpan di saung, biar besok pagi tinggal dijemur.

Aku dan anakku bergegas pulang, sebab mereka mau mandi. Tapi dipertengahan jalan, aku malah diberhentikan oleh suara orang yang memanggilku.

"Mira, tunggu!" serunya.

Aku pun menoleh dan ternyata itu Mas Hamdan.

"Iya, Mas, ada apa?" tanyaku.

"Mira, maafin sikapnya Susi ya. Dia memang tidak suka sama kamu, gara-gara aku pernah bilang sama dia, kalau sebenarnya dulu aku menaruh perasaan sama kamu." Mas Hamdan memberitahu kenapa Susi bersikap dingin kepadaku.

"Oh ... ternyata begitu ya, Mas. Pantesan saja istrimu bilang, kalau aku perempuan jalang dan lain sebagainya. Rupanya ia itu cemburu dan ia juga takut, jika aku beneran menyukaimu. Bahkan ia memprovokasi Ibu-ibu, supaya menjaga para suaminya agar jangan sampai tergoda olehku," terangku.

Aku pun akhirnya berterus terang, tentang perkataan yang diucapkan Susi tadi pagi

Mas Hamdan pun bengong, saat mendengar apa yang aku ucapkan barusan. Sepertinya ia tidak percaya, jika istrinya sampai berbuat seperti itu karena rasa cemburunya.

"Mira, apa Susi beneran berkata seperti itu kepadamu?" tanyanya tidak percaya.

"Iya, Mas," jawabku.

Aku menjawab apa adanya, sesuai dengan apa yang diucapkan Susi dan warga yang lain tentang diriku.

"Ya ampun Susi, katanya kamu mau berubah. Tapi kok tetap saja menjadi perempuan bar-bar," ujar Mas Hamdan mengomentari sikap istrinya.

"Ya sudah, Mas, aku duluan ya! Aku nggak mau istrimu salah paham lagi, nanti ia bisa berbuat yang lebih dari pada ini." Aku pamit kepada Mas Hamdan ingin segera pulang, sebab tidak mau Susi kembali salah paham.

Setelah pamit, aku dan kedua anakku pun kembali berjalan menuju rumahku, meninggalkan Mas Hamdan yang masih mematung.

Sesampainya di depan rumahku, aku dikagetkan dengan tarikan dari tangan seseorang, yang menarik tanganku dari arah belakang secara brutal. Beruntung aku memegang perabotan dengan kuat, jadi tidak sampai tumpah.

"Ada apa sih ini, main tarik-tarik tangan orang saja?" tanyaku dengan nada suara yang aku buat naik satu oktaf, sebab aku merasa kesal.

"Kamu jangan pura-pura tidak tau, dengan apa yang telah kamu lakukan ya, Mira! Ngomong apa kamu sama suamiku, hingga ia datang-datang marah besar sama aku? Ayo jawab ngomong apa?" tanya Susi malah bertanya balik kepadaku.

Rupanya Mas Hamdan telah memarahi istrinya, setelah aku beritahu kelakuan istrinya yang pencemburu itu. Namun Susi bukannya menyadari kesalahannya, tetapi ia malah menyalahkan aku. Memang dasar Susi orangnya egois, ia tidak mau mengakui kesalahan dan tidak merasa bersalah.

"Kamu mau tau, apa yang aku katakan kepada suamimu, Susi? Aku memberitahu Mas Hamdan, tentang semua ucapan yang tadi pagi kamu katakan kepadaku. Kamu nggak terima dengan semua itu? Makanya kamu itu berpikir dulu, jika mau melakukan apapun kepada orang lain. Karena orang yang selalu kamu jahatin, tidak akan selamanya diam, tetapi bisa saja ia juga akan berontak," tegasku.

"Kurang ajar kamu, Mira! Jadi kamu mengatakan semuanya kepada suamiku? Pantas saja, jika dia sampai murka begitu. Dasar perempuan penggoda, awas kamu ya!" Susi berkata sambil  memelintirkan tanganku, hingga barang yang sedang  aku pegang terjatuh.

Susi mengamuk, ia juga menjambak kerudung masukan yang aku pakai hingga terlepas. Aku pun berusaha meminta pertolongan, anak-anakku pun ikut melerai tapi tidak bisa. Karena tenaga Susi saat ini seperti orang yang sedang kesetanan.

Ia terus mengamuk, hingga tidak kusangka ia mendorong anak bungsuku, yang ikut membela ibunya. Susi mendorong Azka, hingga Azka terbentur kesudut teras rumah yang lancip. Anakku menjerit kesakitan, akupun terperanjat karena melihat darah yang mengucur dari kening anakku.

Arka yang melihat adiknya menangis dan terluka langsung menghambur menolong Azka. Karena aku terus berteriak minta tolong, banyak warga yang datang menghampiri. Mereka pun melerai kami, termasuk Mas Hamdan.

"Plak," satu tamparan dari tangan kekar Mas Hamdan mendarat di pipi Susi.

"Aww ... sakit, Mas," ucap Susi, sambil memegang pipi yang barusan ditampar suaminya itu.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status