Radit duduk di samping Ayahnya. Pak Penghulu mengambil tempat di depan Radit bersama wakilnya.Paklik dari Radit kemudian memberi sambutan untuk tamu yang sudah hadir. Setelah mengucapkan salam dan basa-basi kecil, dia mengungkapkan tujuannya datang ke rumah Kinan bersama keluarga."Saya rasa Bapak/Ibu sekalian tahu apa maksud kami datang ke sini ya ... karena ada Pak Penghulu bersama kami. Benar kami ingin menikahkan putra kami Radit Mahesa bersama Kinan Wulandari yang tempo hari sempat tertunda karena suatu hal." tutur Paklik Radit.Suasana kembali riuh saat Paklik dari Radit memperjelas maksud dan tujuannya."Dan untuk mempersingkat waktu, kami ingin segera memulai acara akadnya, silakan, Pak bisa dimulai ...." Paklil Radit mempersilakan.Kinan yang ada di dalam akhirnya disuruh keluar oleh adiknya, Dinda."Mbak, udah ditungguin, cepetan keluar," ucap Dinda."Eh, bentar Mbak. Ganti baju, gih. Ini ada kebaya cantik dan kerudungnya," ucap MuA itu bergegas."Bu Niken dan keluarganya
"Loh, sayang banget, Mbak. Apa karena sedang hamil ya jadi gitu? Tapi beneran loh, Mbak ... mumpung ada gratisan, uenak pula," Bu Abdul kembali menawari Risa."Saya kan udah bilang gak berselera, Bu!" ucap Risa dengan wajah ditekuk.Karena merasa tak tahan saat melihat semua orang mengucapkan selamat kepada Kinan dan Radit, apalagi melihat Kinan yang selalu tersenyum bahagia membuat Risa pergi dari tempat itu dengan rasa dongkol.Ini merupakan kejutan buat Risa. Di saat dia mengira Kinan akan menderita karena gagal menikah, justru Kinan kini bahahia dengan sebuah kejutan istimewa.****Risa pulang ke rumah dengan rasa panas di hati. Ketika sampai, dia melihat ibunya-Bu Yuni- sudah duduk di ruang tamu bersama Bu Lina dan Lia "Oh, sudah sampai, Bu. Kirain besok mau ke sininya," ucap Risa kepada ibunya."Iyalah, setelah mendengar ceritamu waktu kamu telepon kemarin hati Ibu langsung panas aja," jawab Bu Yuni.Setelah itu dia beralih menatap Bu Lina dan bertanya kepadanya."Jadi selama i
"Bagaimana mungkin, Mas? Andika belum punya kekuatan hukum karena dia anak di bawah umur. Lalu bagaimana kalau aku menikah dengan Dion nanti, sementara dia tak ingin tinggal bareng ibuku?" tanya Risa tak terima.Bu Lina dan Lia menggelengkan kepala tak percaya dengan penuturan Risa. Sementara Bu Yuni menatap tajam putrinya."Apa kamu bilang? Dan kamu lebih memilih Dion daripada Ibumu sendiri, hah?!" tanya Bu Yuni dengan mendelikkan matanya."Sudahlah, Bu. Aku tak mau nantinya Dion seperti Mas Rangga, pergi meninggalkanku karena sikap Ibu," jawab Risa datar."Hei, ibu bahkan belum tahu bagaimana dan siapa Dion, apa pekerjaannya, sudah mapankah dia hingga berani menikahi putriku?" seru Bu Yuni."Tak penting, Bu. Yang penting anak dalam kandunganku memiliki seorang ayah," jawab Risa kekeh.Bu Lina dan Lia merasa heran dengan perdebatan anak dan ibu itu. Sebegitu tak berharganya kah seorang Rangga di mata mereka hingga di depannya mereka berdebat tentang seorang laki-laki lain tanpa ada r
Kinan membuka map itu dan melihat apa isi di dalamnya. Ternyata di dalam map itu ada sertifikat rumah atas nama Kinan. Diam-diam Bu Niken dan suaminya telah membeli rumah Bu Nilam dan mengalihkan namanya atas nama Kinan.Kinan menyeka sudut matanya yang basah, rasa haru menyeruak di dada."Bu, Pak ... saya gak tahu harus bagaimana lagi untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada kalian. Begitu banyak yang sudah kalian berikan untukku," ucap Kinan dengan mata berkaca-kaca."Tak perlu begitu, Kinan. Kami juga orangtuamu jadi wajar kan kalau kami ingin memberikan sesuatu kepada putri kami," ucap Bu Niken dengan senyum lembutnya.Kinan lantas memeluk wanita yang telah melahirkan suaminya itu dengan perasaan bahagia. Bu Niken membalas pelukan menantunya dengan erat.Kinan lantas memeluk wanita yang telah melahirkan suaminya itu dengan perasaan bahagia. Bu Niken membalas pelukan menantunya dengan erat."Cukup dampingi Radit dan jadikan dia raja di hatimu, maka dia akan memperlakukan
"Yaelah ... kayak cewek aja sih pake curhat-curhatan segala!" cibir Rangga."Emang cewe doang yang butuh didengar, aku juga dong," sahut Dewa.Lia datang membawa teh hangat dan cemilan untuk Lala dan Dewa. Gadis itu lalu mempersilakan tamunya untuk mencicipinya."Silakan, seadanya saja ...."ucap Lia.Dewa memperhatikan adik Rangga itu, matanya tak berkedip melihat Lia yang polos namun tetep terlihat kecantikannya."Rangga, itu adik kamu bukan?" tanya Dewa berbisik."Iya, kenapa emang?" tanya Rangga balik."Kayaknya aku bakalan sering main ke rumah ibumu nanti deh, Ga." celetuk Dewa."Eh, gak ada ya, jangan coba-coba deketin adikku atau kamu akan berurusan sama kakaknya," balas Rangga seraya menunjuk dirinya."Yeay ... emang kamu gak mau punya ipar ganteng dan mapan kayak aku, Ga?" komentar Dewa."Udah deh, jangan becanda," jawab Rangga.Lia lalu pamit ke depan menemani Andika yang sedang bermain di luar, Dewa minta ijin Rangga untuk sekedar mengobrol bersama Lia di depan.Tinggal Lala
Seperti biasa setiap pagi aku selalu menyiapkan secangkir kopi untuk Mas Bagas. Suamiku duduk dengan santainya bermain ponsel ditemani pisang goreng. "Makin cantik aja si Nita," celetuk suamiku saat aku mengantarkan kopi pesanannya. Dia melihat foto yang diupload tetanggaku itu. Pria itu melirikku sekilas lalu melanjutkan ucapannya." Makanya jadi istri itu yang becus. Baru anak satu aja udah kusem, kumel gak enak dipandang." Jangan tanya bagaimana perasaanku saat dia memuji wanita lain di depanku. Sakit tentu saja tapi aku cuma bisa menahannya. Nita adalah mantan pacar suamiku dulu. Mereka putus karena Nita dijodohkan orangtuanya dengan lelaki lain. Terdengar Caca putriku menangis, dia memang sedang tertidur saat aku memasak tadi. Segera aku ke kamar untuk menghampirinya. "Mas, tolong gendong Caca sebentar ya. Aku sedang menggoreng ikan takut gosong." Aku menyerahkan Caca pada suamiku. "Kamu gak liat aku sedang apa, Dek? Ganggu orang aja! Gak bisa liat orang nyantai," ketusnya.
"Kinan, tunggu di sini sebentar. Aku mau mengantar Nita. Kasihan dia bawa barang banyak," ucap suamiku. "Aku pinjem suamimu sebentar ya, Kinan," ucap Mbak Nita dengan suara manjanya. Tak menunggu persetujuanku, mereka berlalu dari hadapanku. Tentu saja hatiku sakit merasa tak dihargai. Bagaimana mungkin seorang suami lebih mementingkan orang lain dari pada istrinya sendiri. Air mataku menetes dengan perlakuan suamiku. Sesak sekali dada ini, tak hentinya Mas Bagas menyakitiku. Aku duduk di bangku panjang dekat toko Pak Slamet menunggu kedatangan suamiku. "Kinan, kenapa kamu di sini sendiri?" Suara itu reflek membuatku menengadah kepadanya. Mas Rangga berdiri di hadapanku. Dahinya mengernyit tampak berpikir."Kamu nangis, Kinan?" Segera kuhapus air mataku. Tak ingin orang lain mengetahui kesedihanku saat ini. "Enggak, Mas. Aku cuma kelilipan aja ini," ucapku mengelak. Lelaki di depanku menatap tak percaya. Sedetik kemudian
Aku mengikuti kegiatan PKK yang diadakan di kampung ini. Awalnya aku menolak untuk ikut, tapi Indah-tetanggaku- terus memaksa agar tidak berdiam diri saja di rumah. "Mas, aku mau PKK dulu ya," ucapku meminta ijin dari suami. "Ambilin aku makan dulu, jangan lupa minumnya sekalian," sahut Mas Bagas, suamiku yang sedang asyik bermain ponsel. Aku segera mengambilkan suamiku makan lalu kuletakkan makanan itu di hadapannya. "Mas, itu sudah aku siapin." ucapku seraya menggendong Caca yang sedari tadi rebahan di depan televisi. "Kinan, ini chas dulu ponselku. Baru kamu pergi." ucap Mas Bagas seraya menyerahkan ponselnya padaku. Begitulah sikap Mas Bagas. Apapun selalu mengandalkanku. Dia selalu minta dilayani mulai dari bangun tidur hingga akan tidur kembali. Setelah memenuhi semua permintaan Mas Bagas, aku menjemput Mbak Indah di rumahnya dengan Caca dalam gendonganku. "Mbak, udah siap?" tanyaku saat memasuki rumah Mbak Indah.