Kinan membuka map itu dan melihat apa isi di dalamnya. Ternyata di dalam map itu ada sertifikat rumah atas nama Kinan. Diam-diam Bu Niken dan suaminya telah membeli rumah Bu Nilam dan mengalihkan namanya atas nama Kinan.Kinan menyeka sudut matanya yang basah, rasa haru menyeruak di dada."Bu, Pak ... saya gak tahu harus bagaimana lagi untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada kalian. Begitu banyak yang sudah kalian berikan untukku," ucap Kinan dengan mata berkaca-kaca."Tak perlu begitu, Kinan. Kami juga orangtuamu jadi wajar kan kalau kami ingin memberikan sesuatu kepada putri kami," ucap Bu Niken dengan senyum lembutnya.Kinan lantas memeluk wanita yang telah melahirkan suaminya itu dengan perasaan bahagia. Bu Niken membalas pelukan menantunya dengan erat.Kinan lantas memeluk wanita yang telah melahirkan suaminya itu dengan perasaan bahagia. Bu Niken membalas pelukan menantunya dengan erat."Cukup dampingi Radit dan jadikan dia raja di hatimu, maka dia akan memperlakukan
"Yaelah ... kayak cewek aja sih pake curhat-curhatan segala!" cibir Rangga."Emang cewe doang yang butuh didengar, aku juga dong," sahut Dewa.Lia datang membawa teh hangat dan cemilan untuk Lala dan Dewa. Gadis itu lalu mempersilakan tamunya untuk mencicipinya."Silakan, seadanya saja ...."ucap Lia.Dewa memperhatikan adik Rangga itu, matanya tak berkedip melihat Lia yang polos namun tetep terlihat kecantikannya."Rangga, itu adik kamu bukan?" tanya Dewa berbisik."Iya, kenapa emang?" tanya Rangga balik."Kayaknya aku bakalan sering main ke rumah ibumu nanti deh, Ga." celetuk Dewa."Eh, gak ada ya, jangan coba-coba deketin adikku atau kamu akan berurusan sama kakaknya," balas Rangga seraya menunjuk dirinya."Yeay ... emang kamu gak mau punya ipar ganteng dan mapan kayak aku, Ga?" komentar Dewa."Udah deh, jangan becanda," jawab Rangga.Lia lalu pamit ke depan menemani Andika yang sedang bermain di luar, Dewa minta ijin Rangga untuk sekedar mengobrol bersama Lia di depan.Tinggal Lala
Seperti biasa setiap pagi aku selalu menyiapkan secangkir kopi untuk Mas Bagas. Suamiku duduk dengan santainya bermain ponsel ditemani pisang goreng. "Makin cantik aja si Nita," celetuk suamiku saat aku mengantarkan kopi pesanannya. Dia melihat foto yang diupload tetanggaku itu. Pria itu melirikku sekilas lalu melanjutkan ucapannya." Makanya jadi istri itu yang becus. Baru anak satu aja udah kusem, kumel gak enak dipandang." Jangan tanya bagaimana perasaanku saat dia memuji wanita lain di depanku. Sakit tentu saja tapi aku cuma bisa menahannya. Nita adalah mantan pacar suamiku dulu. Mereka putus karena Nita dijodohkan orangtuanya dengan lelaki lain. Terdengar Caca putriku menangis, dia memang sedang tertidur saat aku memasak tadi. Segera aku ke kamar untuk menghampirinya. "Mas, tolong gendong Caca sebentar ya. Aku sedang menggoreng ikan takut gosong." Aku menyerahkan Caca pada suamiku. "Kamu gak liat aku sedang apa, Dek? Ganggu orang aja! Gak bisa liat orang nyantai," ketusnya.
"Kinan, tunggu di sini sebentar. Aku mau mengantar Nita. Kasihan dia bawa barang banyak," ucap suamiku. "Aku pinjem suamimu sebentar ya, Kinan," ucap Mbak Nita dengan suara manjanya. Tak menunggu persetujuanku, mereka berlalu dari hadapanku. Tentu saja hatiku sakit merasa tak dihargai. Bagaimana mungkin seorang suami lebih mementingkan orang lain dari pada istrinya sendiri. Air mataku menetes dengan perlakuan suamiku. Sesak sekali dada ini, tak hentinya Mas Bagas menyakitiku. Aku duduk di bangku panjang dekat toko Pak Slamet menunggu kedatangan suamiku. "Kinan, kenapa kamu di sini sendiri?" Suara itu reflek membuatku menengadah kepadanya. Mas Rangga berdiri di hadapanku. Dahinya mengernyit tampak berpikir."Kamu nangis, Kinan?" Segera kuhapus air mataku. Tak ingin orang lain mengetahui kesedihanku saat ini. "Enggak, Mas. Aku cuma kelilipan aja ini," ucapku mengelak. Lelaki di depanku menatap tak percaya. Sedetik kemudian
Aku mengikuti kegiatan PKK yang diadakan di kampung ini. Awalnya aku menolak untuk ikut, tapi Indah-tetanggaku- terus memaksa agar tidak berdiam diri saja di rumah. "Mas, aku mau PKK dulu ya," ucapku meminta ijin dari suami. "Ambilin aku makan dulu, jangan lupa minumnya sekalian," sahut Mas Bagas, suamiku yang sedang asyik bermain ponsel. Aku segera mengambilkan suamiku makan lalu kuletakkan makanan itu di hadapannya. "Mas, itu sudah aku siapin." ucapku seraya menggendong Caca yang sedari tadi rebahan di depan televisi. "Kinan, ini chas dulu ponselku. Baru kamu pergi." ucap Mas Bagas seraya menyerahkan ponselnya padaku. Begitulah sikap Mas Bagas. Apapun selalu mengandalkanku. Dia selalu minta dilayani mulai dari bangun tidur hingga akan tidur kembali. Setelah memenuhi semua permintaan Mas Bagas, aku menjemput Mbak Indah di rumahnya dengan Caca dalam gendonganku. "Mbak, udah siap?" tanyaku saat memasuki rumah Mbak Indah.
Sontak semua Ibu-Ibu yang ada di situ tertawa mendengar perkataan Mbak Risa. Bahkan ada Seseibu yang lain yang ikut menimpali ucapannya. "Calon pelakor gak modal dong, Mbak. Kayak kuntilanak aja." sahut Bu Siska. "Gak tau diri itu namanya, Bu. Mungkin di rumahnya gak ada kaca jadi sok kecakepan dia," sahut Mbak Risa melirikku lagi. "Udah, Mbak. Pagi-pagi jangan gibahin orang. Mending mikir hari ini mau masak apa," sahut Mak Sarni mencoba menenangkan suasana. "Mak Sarni belum pernah ada di posisi kita sih, makanya bisa ngomong kayak gitu. Calon pelakor kok dibela, Mak" sahut Mbak Risa. Hatiku panas mendengar ucapannya. Tapi aku tak mau mempermalukan diri sendiri. Lebih baik aku cepat mengambil pesananku dan menyerahkan uangnya pada Mak Sarni. "Mak, tolong belanjaan saya dihitung," ucapku pada perempuan di depanku. "Total semua 18 ribu, Mbak." jawab Mak Sarni. Kubayar belanjaanku dengan selembar uang 20 ribuan. Setelah mene
TING! TING! TING! Ponselku berbunyi, Mas Rangga menelponku. Aku ragu antara mengangkatnya atau tidak. Di satu sisi aku takut dengan istrinya. Di sisi lain aku merindukan kasih sayang dari pria lain sepertinya. Aku punya suami tapi seperti hidup sendiri. Tak pernah kami mengobrol dari hati ke hati seperti dulu. Dia lebih suka pergi sendiri bersama teman-temannya. Hatiku hampa, aku kesepian tak ada lelaki yang memberiku kasih sayang. Ponsel itu terus berdering meminta perhatianku. Akhirnya kugeser tombol berwarna hijau. "Halo?" ucap suara di sana yang kuyakin itu adalah suara Mas Rangga. "Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku ragu. "Kinan, kenapa baru dijawab? Dari kemarin aku telepon kamu," sahut Mas Rangga. "Aku takut, Mas. Nanti istrimu marah jika tahu kau menghubungiku." jawabku. Terdengar helaan nafas panjangnya. Aku yakin dia pun mempunyai perasaan takut yang sama denganku. Aku masih bertanya-tanya kenapa pria itu
"Iya saya sendiri. Maaf saya gak merasa memesan makanan. Mungkin Bapak salah orang atau salah alamat." jawabku. Mbak Indah yang ada di sampingku tampak berpikir."Iya, Pak. Coba dilihat lagi alamatnya." Pak Kurir menunjukkan alamat yang dia maksud padaku dan Mbak Indah, memang benar itu alamat rumahku namanya juga sama dengan namaku jadi tak mungkin sebuah kebetulan. Apa mungkin suamiku yang memesan makanan itu untukku. Apa dia menyesal dengan kejadian tadi pagi sehingga dia berinisiatif memberikan aku sesuatu. "Ini udah dibayar, Mbak. Gak apa-apa ambil aja. Mungkin ada seseorang yang sengaja mengirimkan makanan ini untuk Mbak," ucap Kurir itu. "Iya, Pak. Saya terima paketnya ya. Barangkali memang suami saya yang sudah memesannya, terima kasih," jawabku sambil tersenyum. Mbak Indah tersenyum menggodaku."Ternyata Bagas bisa romantis juga ya, Kinan. Mungkin dia mengirimkan makanan itu sebagai ucapan permintaan maafnya padamu." Aku merasa s